Sepanjang perjalanan menuju rumah orang tuanya, Meta terus menangis. Berisik sih sebenarnya, tapi aku biarkan dia terus menangis agar plong hatinya. Kulirik Meta yang meringkuk di jok kursi, di sebelahku. Tak menyangka juga wanita yang aku kenal dari kecil ini, ternyata menjalin hubungan dengan suami orang hingga dirinya hamil. Apesnya aku yang menjadi sasaran menutup aibnya, dengan taruhan rumah tanggaku. Sial memang!“Darel tahu siapa ayahnya, Meta?” tanyaku iseng. Dari pada mendengarnya menangis terus, lebih baik aku ajak dia bicara. Barangkali bisa mengorek keterangan siapa ayahnya Darel.Meta tetap diam. Tangisannya mendadak terhenti. Satu menit. Dua menit. Hingga lima menit, tak kunjung juga dia jawab pertanyaanku tadi. Ok, aku akan ganti pertanyaannya.“Darel ada sama ayahnya atau sama orang tua kamu sekarang? Soalnya beberapa hari yang lalu, aku datang ke rumah orang tua kamu. Ternyata kalian berdua nggak ada di sana. Mereka juga nggak tahu keberadaan kamu ada di mana saat itu
Hari ini aku ke rumah makanku lebih awal dari biasanya, karena kemarin tak sempat datang ke ruko. Hal itu disebabkan karena kejadian di rumah sakit yang menyita waktuku. Belum lagi harus ke kantor pak Haris dan kantor polisi, untuk mengajukan tuntutan pada dokter Bambang. Hingga kemarin bisnis kulinerku ini terabaikan.“Selamat pagi, Bu,” sapa para karyawanku ketika melihatku datang.“Selamat pagi. Bagaimana rumah makan ini kemarin? Maaf ya kemarin nggak sempat kemari soalnya ada urusan,” sahutku sambil menatap karyawanku satu persatu.“Kemarin baik-baik saja, Bu. Semoga selalu begitu. Tetap ramai pengunjung seperti biasanya,” sahut salah seorang karyawanku.“Alhamdulillah. Sekarang kalian lanjut bekerja, ya. Saya mau ke ruangan saya dulu,” ucapku yang diangguki oleh mereka.Aku langsung menaiki anak tangga menuju ruang kerjaku di lantai dua. Tepat ketika aku sudah tiba di ruanganku, bunyi notifikasi pesan masuk terdengar di ponselku. Aku lantas merogoh ponselku dari dalam tas, dan ak
Aku yang merasa bersalah, bergegas menghampiri mas Haikal yang masih berada di lantai.“M-maaf ya, Mas. Aku tadi refleks, soalnya kamu yang semakin mendekat sih. Aku tadi juga bingung kok bisa dorong kamu sekencang itu,” ucapku merasa tak enak hati.“Iya, sakit banget ini. Kamu tenaganya kayak hulk juga. Aku nggak sangka lho,” ucap mas Haikal dengan tatapan sendu kala mata kami bertemu.“Iya, iya, maaf deh. Ya sudah bangun sekarang. Masak kamu mau tiduran terus di lantai. Ayo, bangun sekarang, Mas!” ucapku. Namun, mas Haikal bergeming. Tak mau bergerak sama sekali.“Pinggangku terasa mau copot. Badanku terasa sakit semua, Manda. Coba kamu bayangkan, tubuhku terjungkal ke lantai yang keras. Sakit banget lho,” rengeknya persis seperti anak kecil.“Ya terus bagaimana dong? Sudah terlanjur jatuh juga kan. Nggak bisa diputar ulang lagi kejadiannya. Kalau bisa sih, aku mau mengurangi kekuatanku supaya kamu nggak jatuh kayak tadi,” sahutku dengan mengulum senyuman karena geli sendiri dengan
“Siapa dia, Manda?! Kenapa ada lelaki tidur di ruangan ini? Terus apa yang telah kalian lakukan di ruangan ini?” tanya tanteku dari ambang pintu, dengan tatapan tajam yang dia arahkan padaku.Rupanya tante Karlina tak bisa melihat wajah mas Haikal yang sedang tertelungkup di atas sofa. Sehingga bertanya tentang identitas pria yang sedang tidur di sofa panjang.“Eh, Tante. Silakan duduk dulu! Nanti jelaskan, ya,” ucapku berusaha tenang. Padahal degup jantungku sudah memompa dengan begitu kencangnya, karena tatapan tajam dan ucapan tanteku mengisyaratkan kecurigaan.Tante Karlina akhirnya masuk dan menutup pintu ruang kerjaku. Dia menatap mas Haikal yang masih tertidur pulas di sofa panjang.“Kok kayaknya Tante pernah melihat lelaki ini ya, Manda,” ucap tante Karlina, yang melangkah mendekati mas Haikal. Mata tanteku membelalak ketika sudah berada di samping sofa. “Ini...Haikal!”Aku pun mengangguk dan tersenyum canggung. “I-iya, Tan. Mas Haikal kemari karena ada perlu penting. Terus di
Aku dengan jantung yang berdetak kencang, berjalan berdampingan dengan mas Haris masuk ke dalam restoran. Rupanya mas Haris sudah memesan tempat untuk kami. Dan...meja kami berada di depan mantan suamiku!Aku menahan napas ketika berjalan ke meja itu. Awalnya aku melihat kalau mas Haikal tak melihat ke arahku dan mas Haris. Mantan suamiku itu sedang serius bicara dengan dua orang pria. Tapi, ketika aku dan mas Haris tiba di meja kami, tatapanku dan tatapan mas Haikal bertemu. Aku melihat sorot mata yang kaget terpancar jelas di sana. Apalagi saat mas Haris menarik kursi untukku, dan mempersilakan aku duduk.“Terima kasih, Mas,” ucapku pada mas Haris dengan senyuman yang terbit dari bibir ini.Mas Haris tersenyum dan mengangguk padaku. “Aku sudah memesan steak, agar kita bisa langsung makan. Aku memesan wagyu steak untuk kamu. Mama kamu yang memberitahuku kalau wagyu steak adalah kesukaan kamu, Manda.”“Wah, rupanya sudah ada pembicaraan antara mamaku dan Mas, ya. Terus apa lagi yang M
Aku gelisah melihat dua pria beda usia itu saling tatap. Apalagi aku melihat wajah mas Haikal tampak kesal. Entah dengan wajah mas Haris apakah terlihat kesal atau tidak, aku tak tahu karena dia memunggungi aku.“Mas Haris, sudahlah. Sebaiknya Mas melanjutkan makan saja. Ingat lho, Mas. Kita sedang di tempat umum,” ucapku pelan.Tak lama aku mengatupkan kedua bibirku, mas Haris membalikkan tubuhnya. Kini kami saling berhadapan kembali. Barulah aku dapat melihat raut wajahnya yang tampak kesal. Mungkin dia kesal karena makan malamnya denganku terganggu oleh mas Haikal. Meskipun mantan suamiku itu tak melakukan suatu tindakan, tapi sikap mas Haikal mampu memancing emosi mas Haris. Hal ini lah yang aku sayangkan.“Manda, boleh aku tanya sesuatu sama kamu?” tanya mas Haris tiba-tiba.“Boleh, silakan saja!” jawabku yang tentu saja aku tambah dengan senyuman, untuk mencairkan suasana.Mas Haris menganggukkan kepalanya dan tersenyum, yang menurutku seperti dia paksakan.“Apa kamu masih menci
Dua hari setelah aku makan malam dengan mas Haris di restoran Italia, mas Haikal berkirim pesan di Sabtu pagi.[Manda, hari ini kedua orang tuaku mau menemui Pasya. Aku sudah memberitahu tentang anak kita pada mereka. Jadi tolong Pasya jangan dibawa ke mana-mana, mengingat ini hari Sabtu. Biarkan dia mengenal eyang kakung dan eyang putrinya.]Aku spontan menganggukkan kepala, meskipun mas Haikal tak melihatnya. Aku lantas membalas pesan mantan suamiku itu.[Ok, Mas. Aku memang nggak ada rencana ke mana-mana hari ini. Silakan kalau mau datang ke rumah!]Setelah itu, mas Haikal tak berkirim pesan lagi padaku. Sepertinya dia marah padaku gara-gara aku makan malam dengan mas Haris. Biarlah dia marah, toh aku bukan lagi istrinya. Jadi tak masalah dong kalau jalan sama pria lain.Aku lantas mendekati anakku yang sedang nonton film kartun kesukaannya. Aku cium pipi gembilnya dengan gemas, dan kutatap wajahnya yang semakin mirip dengan mas Haikal.“Pasya, mandi dulu yuk! Nanti eyang mau datan
Papaku menatap lekat wajahku karena aku hanya diam dari tadi.“Manda, kok diam saja. Bu Sawitri mengajak kamu bicara. Beliau minta maaf sama kamu,” ucap papa yang membuatku menghela napas panjang.“I-iya, Pa. Aku mendengar kok ucapan ibu,” sahutku dengan suara pelan. Aku menatap wajah papaku dan setelahnya aku pun menoleh ke arah mas Haikal yang rupanya sedang menatapku juga. Sepertinya menunggu jawabanku atas permintaan maaf ibunya.“Terus?” desak papaku.“Aku...aku sudah memaafkan ibu. Tapi, aku sulit untuk melupakan perlakuan ibu padaku dulu. Jujur saja kalau aku masih sakit hati apabila teringat perkataan ibu, yang menyuruh mas Haikal menikah lagi karena aku diduga mandul. Perempuan mana yang mau dimadu, Pa. Begitu juga aku yang tak rela kalau mas Haikal menikah lagi, dan aku harus berbagi suami dengan perempuan lain. Makanya aku lebih memilih bercerai dan tak memberitahu kalau saat itu aku sedang hamil. Semua itu aku lakukan karena aku sakit hati dan kecewa pada mas Haikal, maupu