Aku yang merasa bersalah, bergegas menghampiri mas Haikal yang masih berada di lantai.“M-maaf ya, Mas. Aku tadi refleks, soalnya kamu yang semakin mendekat sih. Aku tadi juga bingung kok bisa dorong kamu sekencang itu,” ucapku merasa tak enak hati.“Iya, sakit banget ini. Kamu tenaganya kayak hulk juga. Aku nggak sangka lho,” ucap mas Haikal dengan tatapan sendu kala mata kami bertemu.“Iya, iya, maaf deh. Ya sudah bangun sekarang. Masak kamu mau tiduran terus di lantai. Ayo, bangun sekarang, Mas!” ucapku. Namun, mas Haikal bergeming. Tak mau bergerak sama sekali.“Pinggangku terasa mau copot. Badanku terasa sakit semua, Manda. Coba kamu bayangkan, tubuhku terjungkal ke lantai yang keras. Sakit banget lho,” rengeknya persis seperti anak kecil.“Ya terus bagaimana dong? Sudah terlanjur jatuh juga kan. Nggak bisa diputar ulang lagi kejadiannya. Kalau bisa sih, aku mau mengurangi kekuatanku supaya kamu nggak jatuh kayak tadi,” sahutku dengan mengulum senyuman karena geli sendiri dengan
“Siapa dia, Manda?! Kenapa ada lelaki tidur di ruangan ini? Terus apa yang telah kalian lakukan di ruangan ini?” tanya tanteku dari ambang pintu, dengan tatapan tajam yang dia arahkan padaku.Rupanya tante Karlina tak bisa melihat wajah mas Haikal yang sedang tertelungkup di atas sofa. Sehingga bertanya tentang identitas pria yang sedang tidur di sofa panjang.“Eh, Tante. Silakan duduk dulu! Nanti jelaskan, ya,” ucapku berusaha tenang. Padahal degup jantungku sudah memompa dengan begitu kencangnya, karena tatapan tajam dan ucapan tanteku mengisyaratkan kecurigaan.Tante Karlina akhirnya masuk dan menutup pintu ruang kerjaku. Dia menatap mas Haikal yang masih tertidur pulas di sofa panjang.“Kok kayaknya Tante pernah melihat lelaki ini ya, Manda,” ucap tante Karlina, yang melangkah mendekati mas Haikal. Mata tanteku membelalak ketika sudah berada di samping sofa. “Ini...Haikal!”Aku pun mengangguk dan tersenyum canggung. “I-iya, Tan. Mas Haikal kemari karena ada perlu penting. Terus di
Aku dengan jantung yang berdetak kencang, berjalan berdampingan dengan mas Haris masuk ke dalam restoran. Rupanya mas Haris sudah memesan tempat untuk kami. Dan...meja kami berada di depan mantan suamiku!Aku menahan napas ketika berjalan ke meja itu. Awalnya aku melihat kalau mas Haikal tak melihat ke arahku dan mas Haris. Mantan suamiku itu sedang serius bicara dengan dua orang pria. Tapi, ketika aku dan mas Haris tiba di meja kami, tatapanku dan tatapan mas Haikal bertemu. Aku melihat sorot mata yang kaget terpancar jelas di sana. Apalagi saat mas Haris menarik kursi untukku, dan mempersilakan aku duduk.“Terima kasih, Mas,” ucapku pada mas Haris dengan senyuman yang terbit dari bibir ini.Mas Haris tersenyum dan mengangguk padaku. “Aku sudah memesan steak, agar kita bisa langsung makan. Aku memesan wagyu steak untuk kamu. Mama kamu yang memberitahuku kalau wagyu steak adalah kesukaan kamu, Manda.”“Wah, rupanya sudah ada pembicaraan antara mamaku dan Mas, ya. Terus apa lagi yang M
Aku gelisah melihat dua pria beda usia itu saling tatap. Apalagi aku melihat wajah mas Haikal tampak kesal. Entah dengan wajah mas Haris apakah terlihat kesal atau tidak, aku tak tahu karena dia memunggungi aku.“Mas Haris, sudahlah. Sebaiknya Mas melanjutkan makan saja. Ingat lho, Mas. Kita sedang di tempat umum,” ucapku pelan.Tak lama aku mengatupkan kedua bibirku, mas Haris membalikkan tubuhnya. Kini kami saling berhadapan kembali. Barulah aku dapat melihat raut wajahnya yang tampak kesal. Mungkin dia kesal karena makan malamnya denganku terganggu oleh mas Haikal. Meskipun mantan suamiku itu tak melakukan suatu tindakan, tapi sikap mas Haikal mampu memancing emosi mas Haris. Hal ini lah yang aku sayangkan.“Manda, boleh aku tanya sesuatu sama kamu?” tanya mas Haris tiba-tiba.“Boleh, silakan saja!” jawabku yang tentu saja aku tambah dengan senyuman, untuk mencairkan suasana.Mas Haris menganggukkan kepalanya dan tersenyum, yang menurutku seperti dia paksakan.“Apa kamu masih menci
Dua hari setelah aku makan malam dengan mas Haris di restoran Italia, mas Haikal berkirim pesan di Sabtu pagi.[Manda, hari ini kedua orang tuaku mau menemui Pasya. Aku sudah memberitahu tentang anak kita pada mereka. Jadi tolong Pasya jangan dibawa ke mana-mana, mengingat ini hari Sabtu. Biarkan dia mengenal eyang kakung dan eyang putrinya.]Aku spontan menganggukkan kepala, meskipun mas Haikal tak melihatnya. Aku lantas membalas pesan mantan suamiku itu.[Ok, Mas. Aku memang nggak ada rencana ke mana-mana hari ini. Silakan kalau mau datang ke rumah!]Setelah itu, mas Haikal tak berkirim pesan lagi padaku. Sepertinya dia marah padaku gara-gara aku makan malam dengan mas Haris. Biarlah dia marah, toh aku bukan lagi istrinya. Jadi tak masalah dong kalau jalan sama pria lain.Aku lantas mendekati anakku yang sedang nonton film kartun kesukaannya. Aku cium pipi gembilnya dengan gemas, dan kutatap wajahnya yang semakin mirip dengan mas Haikal.“Pasya, mandi dulu yuk! Nanti eyang mau datan
Papaku menatap lekat wajahku karena aku hanya diam dari tadi.“Manda, kok diam saja. Bu Sawitri mengajak kamu bicara. Beliau minta maaf sama kamu,” ucap papa yang membuatku menghela napas panjang.“I-iya, Pa. Aku mendengar kok ucapan ibu,” sahutku dengan suara pelan. Aku menatap wajah papaku dan setelahnya aku pun menoleh ke arah mas Haikal yang rupanya sedang menatapku juga. Sepertinya menunggu jawabanku atas permintaan maaf ibunya.“Terus?” desak papaku.“Aku...aku sudah memaafkan ibu. Tapi, aku sulit untuk melupakan perlakuan ibu padaku dulu. Jujur saja kalau aku masih sakit hati apabila teringat perkataan ibu, yang menyuruh mas Haikal menikah lagi karena aku diduga mandul. Perempuan mana yang mau dimadu, Pa. Begitu juga aku yang tak rela kalau mas Haikal menikah lagi, dan aku harus berbagi suami dengan perempuan lain. Makanya aku lebih memilih bercerai dan tak memberitahu kalau saat itu aku sedang hamil. Semua itu aku lakukan karena aku sakit hati dan kecewa pada mas Haikal, maupu
Aku melihat raut kecewa di wajah kedua orang tuaku. Mama yang selama ini gencar membujukku untuk menerima mas Haris, tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Mungkin kedua orang tuaku kecewa, karena dari pihak mas Haris belum ada omongan untuk kelanjutan hubungan kami. Belum juga membawa orang tuanya ke rumah untuk melamar, tapi tiba-tiba saja mas Haris sudah menyebut bahwa dia adalah calon suamiku. Tak berbeda dengan kedua orang tuaku, aku pun merasa kecewa dan diremehkan oleh mas Haris. Dia dengan entengnya mengatakan, kalau aku adalah calon istrinya. Padahal belum ada ikatan apa pun di antara kami.“Haris, duduk dulu di situ! Sebaiknya kita bicara baik-baik dan meluruskan semuanya.” Papaku berkata sambil menunjuk sofa yang kosong, kode agar mas Haris duduk di tempat yang papa tunjuk.Mas Haris pun menuruti apa yang papaku perintahkan, walaupun aku melihat sorot mata kurang suka karena perintah papaku tadi. Mas Haris sepertinya ingin mendekati dan merebut hati Pasya, yang sedang asyi
Beberapa hari setelah kedatangan mas Haikal dan kedua orang tuanya serta mas Haris ke rumah orang tuaku, aku masih belum bisa memutuskan tawaran mereka. Apakah akan menerima tawaran rujuk mas Haikal, atau menerima memulai hidup baru dengan mas Haris? Sebuah keputusan yang sulit bagiku. Apalagi kedua orang tuaku menyerahkan sepenuhnya keputusan itu pada diri ini. Mama yang semula mendukung penuh agar aku memulai lembaran hidup baru bersama dengan mas Haris, kini sepertinya menarik dukungannya semenjak mas Haris mengaku sebagai calon suamiku secara sepihak. Walaupun sudah dijelaskan alasannya, tetap saja mama tak bisa menerima karena menurutnya mas Haris agak arogan dengan mengklaim diriku, padahal melamar juga belum. Meskipun begitu mama mengatakan, akan menghargai keputusanku apabila pada akhirnya aku memilih mas Haris sebagai suamiku.Kini di saat aku sedang berpikir keras untuk mengambil keputusan, datang Adel dan Andi di rumah makanku. Oh ya, mereka rupanya saling dekat setelah pik