Aku merasakan jantungku berdegup kencang. Aku sungguh tak menyangka bahwa akan bertemu Mas Haikal di saat akan menghindarinya. Aku berpikir keras untuk menjawab pertanyaan mantan suamiku itu. Kuperhatikan dirinya yang juga sepertinya akan check out dari hotel ini. Hatiku berdesir ketika melihat koper kecil di sebelahnya. Koper itu dulu aku yang membeli untuknya, dan selalu dia pakai untuk bepergian tugas ke luar kota. Aku tak menyangka Mas Haikal masih menggunakannya.
“Manda, kok malah bengong?” tanya Mas Haikal yang sudah berada di dekatku. Dia meraih tubuh Pasya dari gendonganku, karena tubuh anakku terjulur ke arah Mas Haikal. Ya, anakku itu ingin digendong oleh papanya.
Aku refleks menganggukkan kepala. Hal itu membuat Adel membulatkan matanya.
“Mbak, kenapa mengangguk sih? Kita kan nggak pulang sekarang,” bisik Adel di telingaku.
“Ya Tuhan, aku spontanitas saja tadi karena aku gugup, Del,” jawabku dengan berbisik juga.
“Kalau mau balik ke Jakarta sekarang, bareng saja sama aku. Nanti aku antar sampai rumah papa,” sahut Mas Haikal yang kembali membuat hatiku berdesir. Dia bilang apa tadi? Papa? Dia masih memanggil mantan mertuanya dengan sebutan papa. Sama sekali tak kusangka.
“Nggak usah, Mas. Kita sudah pesan tiket pesawat kok untuk baliknya,” tolakku secara halus.
“Jangan menolak dong, Manda. Nanti aku ganti deh biaya tiket pesawatnya. Kamu sebutkan saja berapa biayanya,” sahut Mas Haikal kalem. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada seorang pria, yang aku tahu adalah asisten Mas Haikal. “Rud, tolong bawa koper Bu Amanda ke mobil!”
“Baik, Pak,” sahut Rudi. Pria itu menatapku dan tersenyum serta mengangguk sopan. “Apa kabar, Bu Amanda?”
“Alhamdulillah, baik,” jawabku dengan senyuman padanya.
“Rud, anakku ganteng, ya. Namanya, Pasya Prayuda,” celetuk Mas Haikal pada asistennya yang langsung menganggukkan kepala.
“Iya, ganteng banget. Mirip sama Pak Haikal,” sahut Rudi jujur.
Aku menghela napas mendengar percakapan mereka berdua.
Di saat yang sama, Mas Haikal pun membayar biaya kamar hotel yang aku tempati. Selanjutnya, dia mengajak aku dan Adel menuju mobil yang sudah menunggu di depan lobi hotel.
Akhirnya, aku pulang ke Jakarta bersama dengan mantan suamiku. Awalnya berniat untuk menghindar, tapi malah justru pulang bersamanya.
***
Kini kami sudah berada di pesawat pribadi milik keluarga Mas Haikal. Berada di pesawat pribadi ini mengingatkan aku pada masa lalu, di mana aku dan Mas Haikal pernah duduk berdampingan di kursi pesawat sebagai pasangan suami istri. Saat belum ada orang ketiga dan ibu mertua yang ikut campur dalam rumah tangga kami. Ya, ibu mertua ikut campur dalam rumah tangga kami, karena aku belum kunjung hamil juga di tahun ke tujuh pernikahan kami.
Saat ini ingatanku berada ketika aku dan Mas Haikal sedang melakukan perjalanan ke Paris. Kami dulu memang sering berlibur dan menikmati kebersamaan. Hingga rasa gundahku karena belum bisa memberikan keturunan untuk suami, sirna karena perlakuan manis Mas Haikal padaku. Mas Haikal memang tak menuntut soal anak padaku. Dia berpikir, bahwa kami memang belum diberi keturunan saja oleh Tuhan.
“Kalau ngantuk tidur saja dulu, Sayang. Perjalanan masih jauh,” bisik Mas Haikal ketika kami tengah dalam perjalanan ke Paris kala itu. Dia melihat aku menguap. Dia memasangkan selimut di tubuhku hingga sebatas dada.
“Aku tidur dulu ya, Mas. Kamu kalau mengantuk tidur saja,” ucapku balas berbisik padanya.
“Aku belum mengantuk. Aku sepertinya nggak bisa tidur, karena dengan memandang wajahmu membuat aku selalu terjaga,” ucapnya mulai menggombal.
Aku seketika tertawa dan mengelus rahang kokohnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Setelah itu, aku pun terlelap dan masuk ke alam mimpi.
Liburan ke Paris adalah salah satu liburan dari sekian banyak tempat di dunia yang kami kunjungi. Mas Haikal sangat memanjakan aku, begitu juga sebaliknya. Kami saling mencintai satu sama lain. Cinta kami tumbuh ketika masih sama-sama menjadi mahasiswa di salah satu kampus ternama di Jakarta. Mas Haikal adalah kakak tingkatku, dua tingkat di atasku. Tiga tahun menjalin hubungan, kami memutuskan untuk menikah.
Pernikahan kami diselenggarakan dengan meriah. Bagaimana tidak meriah, kalau Mas Haikal adalah putra tunggal dari seorang pengusaha sukses. Dia adalah pewaris tunggal kerajaan bisnis keluarganya. Aku yang seorang putri bungsu dari dua bersaudara berasal dari keluarga menengah, merasa beruntung memiliki suami seperti Mas Haikal.
Rumah tangga kami pun adem ayem tanpa gangguan yang berarti. Walaupun ada pertengkaran kecil, itu wajar saja dalam kehidupan berumah tangga. Namun, kebahagiaan kami terusik ketika memasuki tahun ke tujuh pernikahan kami.
“Haikal, kok Amanda belum hamil juga sih? Kamu perlu seorang keturunan lho. Masak sudah tujuh tahun menikah, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan,” ucap ibu mertuaku suatu hari ketika berkunjung ke rumah kami.
“Sabar dong, Bu. Ujian rumah tangga kan macam-macam bentuknya. Nah, giliran aku diuji dengan belum dikaruniai anak oleh Tuhan,” sahut Mas Haikal kalem.
“Ya jelas saja belum dikaruniai anak. Menurut dokter Bambang, rahim Amanda bermasalah kan,” celetuk ibu Mas Haikal.
“Iya, itu menurut dokter Bambang. Tapi, kalau Tuhan berkehendak lain dan suatu hari memberi anak pada kami. Jadi Ibu sabar saja dulu. Nanti kalau sudah waktunya punya cucu, Ibu akan bisa menggendong cucu Ibu kok,” sahut Mas Haikal kala itu dengan sabar menghadapi ibunya.
“Iya, tapi sampai kapan? Awalnya juga Ibu sabar dan berdiam diri. Tapi, ini sudah tujuh tahun lho,” ucap ibu Mas Haikal yang tiba-tiba membuat jantungku berdegup kencang. Entahlah, dari nada suaranya aku seperti menangkap ada ancaman.
“Ada pasangan suami istri yang belum memiliki anak hingga sepuluh tahun lebih. Mereka sabar dan akhirnya punya anak juga. Jadi nggak usah dihitung berapa lamanya, Bu. Aku mohon Ibu supaya bantu doa saja. Selebihnya kita serahkan pada Tuhan, ok,” sahut Mas Haikal yang membuat aku sedikit bernapas lega.
“Bagaimana kalau kamu menikah lagi supaya mendapat keturunan, Haikal?” tanya ibu Mas Haikal yang membuat kami berdua terkejut.
“Apa?! Menikah lagi? Nggak ada sedikit pun untuk niat itu terlintas di kepalaku, Bu. Jadi tolong Ibu tarik kembali saran Ibu itu,” sahut Mas Haikal tegas. Sedang aku, hanya bisa menggigit bibir bawahku sambil memilin jemari karena rasa cemas mulai melanda. Telapak kakiku juga mulai terasa dingin.
“Amanda tetap istri kamu. Istri kedua hanya untuk mendapatkan anak saja. Kamu tahu Meta kan, Nak? Dia seorang gadis yang baik lho. Dia masih saudara jauh kita. Buyutnya sepupu buyut kamu. Sepertinya dia cocok juga jadi istri kamu,” ucap ibu Mas Haikal berusaha merayu.
Perutku terasa mulas mendengar ucapan ibu mertuaku kala itu. Aku tahu siapa Meta. Aku tahu juga kalau diam-diam dia suka memperhatikan Mas Haikal. Ah, apa ini suatu konspirasi agar bisa menyingkirkan aku secara halus, dengan alasan aku yang belum kunjung hamil. Tentu saja ibu Mas Haikal menyodorkan Meta, karena gadis itu adalah saudara jauh dari pihaknya.
“Nggak, Bu. Sekali aku bilang nggak, tetap nggak. Amanda adalah istri aku satu-satunya, dan aku sabar menunggu hingga dia hamil anakku,” tegas Mas Haikal kala itu.
Aku yang kala itu bernapas lega, tapi akhirnya harus kecewa yang teramat dalam. Kekecewaan itu terjadi di saat kami baru saja melakukan hubungan suami istri, dan Mas Haikal mengatakan sesuatu yang menohok hatiku.
“Sayang, ijinkan aku untuk menikahi Meta. Aku janji akan adil pada kalian berdua. Waktuku akan lebih banyak untukmu,” ucap Mas Haikal yang membuat tubuhku terasa lemas.
“Apa, Mas? Kamu mau menikah lagi? Tapi, kenapa?” tanyaku dengan kelopak mata yang mulai berair. “Kamu sudah bilang sama ibu kalau nggak mau menikah lagi. Tapi, kenapa sekarang berubah pikiran?”
“Itu karena...karena Meta sudah hamil enam minggu. Dia hamil anakku, Manda,” sahut Mas Haikal lirih.
Deg.
Duniaku terasa runtuh ketika mendengar pengakuannya. Aku menangis sejadi-jadinya. Kutepis tangan Mas Haikal yang berusaha menenangkan aku. Tak sudi lagi diri ini disentuh olehnya.
“Baik, nikahi dia dan ceraikan aku!” ucapku setelah tangisku reda.
“Nggak. Aku nggak mau berpisah sama kamu. Aku mencintai kamu, Sayang,” sahut Mas Haikal lembut.
“Stop! Jangan bilang cinta lagi, Mas! Kamu sudah mendua dan berkhianat. Kalau kamu nggak mau menceraikan aku, biar aku yang menggugat cerai,” sahutku lantang yang membuatnya terkejut.
Semenjak itu, aku menghindarinya dengan pisah kamar. Aku juga menghubungi pengacaraku untuk mengurus perceraianku dengan Mas Haikal. Awalnya Mas Haikal menolak, tapi dia akhirnya setuju setelah aku membujuknya dengan mengatakan kalau ada kemungkinan rujuk. Tentu saja itu hanya trik dariku. Mana sudi aku rujuk dengannya yang sudah jelas menyakiti hatiku.
Di saat proses cerai berlangsung, aku merasakan kelainan dalam diriku. Aku periksakan diriku ke dokter, dan hasilnya aku positif hamil tiga minggu. Rupanya hubungan badan kami di malam itu membuahkan hasil. Namun, aku bertekad dalam hati bahwa aku akan membesarkan anakku seorang diri. Mas Haikal tak akan aku beritahu perihal kehamilanku ini. Anak dalam kandunganku ini, biarlah menjadi milikku seorang.
Lamunanku akan masa lalu buyar ketika sebuah tepukan lembut mendarat di punggung tanganku. Di saat itulah aku mendengar rengekan Pasya.“Manda,” bisik mas Haikal.“Eh, Pasya kenapa?” tanyaku cemas. Aku segera meraih tubuh anakku dari dekapan mas Haikal.“Mungkin dia haus,” sahut mas Haikal lembut ketika aku mengambil alih tubuh Pasya darinya.“Ya sudah, kamu pindah sana. Jangan di depanku dong!” titahku dengan suara pelan.“Ck, buat apa pindah sih? Aku juga sudah tahu isinya,” ucapnya dengan senyuman. Aku tahu mas Haikal mencoba untuk menggodaku. Hm, tak usah ya. Aku tak akan tergoda.“Kalau sayang sama anak, cepetan deh pindah. Aku mau susui anakku sekarang!” tegasku padanya.“Ok.” Mas Haikal lalu beringsut dari tempatnya duduk. Dia membalikkan tubuhnya, memunggungi aku.Ketika sudah merasa aman, aku lantas memberi ASI anakku, yang tampak sudah tak sabar. Senyum mengembang di bibirku ketika melihat Pasya menyusu sambil menatapku. Interaksi seperti inilah yang memberikan kepuasan ters
Pov Haikal.Aku mantan suami Amanda Iskandar Prayuda. Ya, biarpun kami sudah resmi bercerai, tapi aku tetap menganggap dirinya sebagai istriku. Aku tetap menyematkan namaku di belakang namanya. Andaikan Manda tahu, dia pasti akan marah besar dan meminta aku supaya tak menyematkan nama Prayuda di belakang namanya. Namun, kenyataannya justru dia yang memberikan nama Prayuda di belakang nama Pasya, anak kami. Ah, senangnya mengetahui kenyataan itu. Walaupun aku tahu kalau Manda melakukan itu, bukan karena dia masih memiliki perasaan padaku. Tapi, karena memang Pasya berhak atas nama itu karena dia adalah anak kandungku. Oh ya, mengenai perasaan Manda padaku. Aku kurang yakin juga kalau dia sudah tak memiliki perasaan cinta padaku. Meskipun dia sangat membenciku, tapi benci dan cinta itu kan beda tipis. Oleh karena itu, boleh kan aku berharap agar kami bisa bersatu kembali. Lagi pula Amanda pernah menjanjikan padaku kalau kemungkinan rujuk itu selalu ada. Jadi sepertinya tinggal tunggu wa
Mas Haikal masih terdiam duduk di tepi tempat tidur sambil menatap Pasya, yang sudah terlelap. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan karena aku mendengar helaan napasnya yang sering terdengar. Aku tetap berdiri di sisi tempat tidur yang tak jauh darinya, menunggu sesaat apa yang akan dia lakukan. Lima menit...sepuluh menit, mas Haikal bergeming. Dia diam saja di tempatnya, yang membuat aku memutuskan untuk menegurnya.“Mas, ingat pesan papa tadi. Kalau Pasya sudah tidur, Mas segera keluar dari kamar ini. Nggak baik berada di dalam kamar ini terlalu lama, karena kita sudah bukan suami istri lagi,” ucapku mengulang pesan papaku tadi.Mas Haikal menoleh seraya berkata, “Iya, aku akan segera keluar dari sini setelah kamu jawab beberapa pertanyaanku, Manda.”“Pertanyaan apa? Katakan saja, insya Allah akan aku jawab,” sahutku kalem.“Setelah kita resmi bercerai, kamu nggak mau menerima uangku. Padahal aku sudah bertekad akan memberimu nafkah sampai kamu menikah lagi. Walaupun aku memang berhar
“Ayolah, terima ini! Uang hasil penjualan rumah kita adalah hak kamu, Manda,” ucap mas Haikal setelah aku tak juga menerima amplop dari tangannya.Tanpa disangka, Pasya dengan antusias meraih amplop dari tangan papanya. Hal itu membuat mas Haikal dan aku terkejut.“Manda, kamu lihat sendiri kalau Pasya menginginkan uang ini. Jadi ambillah dan simpan, ya,” ucap mas Haikal sekali lagi.Aku akhirnya menuruti kata-katanya. Kuanggukkan kepalaku yang sontak membuat mas Haikal tersenyum semringah.“Baiklah, aku terima. Terima kasih, Mas. Uang ini akan aku gunakan untuk keperluan Pasya,” sahutku yang disambut oleh gelengan kepala mas Haikal.“Nggak. Itu murni untuk kamu. Aku kan dari tadi sudah bilang, kalau uang hasil penjualan rumah kita adalah hak kamu. Kalau Pasya biar jadi urusanku. Dia kan anakku, jadi aku wajib membiayainya. Aku akan transfer uang ke rekening itu setiap bulannya untuk Pasya. Hari ini aku sudah transfer uang untuk Pasya. Kamu bisa cek saldonya nanti,” cetus mas Haikal y
“Maaf, kalau boleh tahu kenapa kalian bercerai? Bukankah kalian ini pasangan serasi? Dari masih jaman kuliah dan setelah menikah, kalian tampak adem ayem.” Andi bertanya sambil menatapku lekat. Sorot matanya menunjukkan rasa keingintahuan yang begitu besar, membuatku menarik napas panjang.“Intinya sudah nggak ada kecocokan saja di antara kami. Buat apa diteruskan kalau sudah nggak cocok,” jawabku diplomatis.Jawabanku rupanya kurang memuaskan bagi Andi, hingga dia berusaha untuk menebak-nebak.“Apa...ada orang ketiga?” tebaknya yang membuatku tersenyum kecut.Aku memang sakit hati pada mas Haikal. Tapi, dia adalah mantan suamiku dan ayah anakku. Aku pernah mencintainya begitu dalam. Mas Haikal juga baik padaku, meskipun pada akhirnya dia menorehkan luka di hatiku. Tapi, itu bukan berarti aku harus membuka aibnya di depan orang lain. Tidak, aku bukan orang yang seperti itu. Biarlah aku, mas Haikal dan keluarga kami saja yang tahu penyebab perceraian kami. Orang lain termasuk Andi biar
Pov HaikalAku terkejut sekali melihat kedatangan Andi si rumah mantan mertuaku. Ketika melihat dia datang dan membawa kado untuk anakku, pikiranku langsung tak tenang. Berbagai pertanyaan bersarang di kepalaku. Aku segera berbisik pada Amanda, untuk tahu kenapa Andi bisa hadir di pesta ulang tahun anakku. Aku sebagai papanya Pasya tentu keberatan dengan kedatangan Andi. Kalau ada yang tanya kenapa? Ya karena aku tahu kalau Andi pernah menaruh hati pada Amanda-mantan istriku. Apalagi sekarang status Andi yang duda, dan Amanda yang juga seorang janda. Makin ketar-ketir lah hatiku. Aku takut kalau antara Andi dan Amanda menjalin suatu hubungan. Meskipun sah saja sih kalau mereka menjalin hubungan, karena mereka sama-sama single. Tapi, aku yang masih mengharapkan bisa rujuk dengan Amanda tentu sangat tak suka kalau mereka dekat, dan menjalin hubungan spesial.Aku memang berniat rujuk dengan Amanda sudah lama. Tepatnya setelah Amanda menjanjikan kalau kemungkinan untuk rujuk selalu ada, k
Pov HaikalAku menatap punggung Amanda yang menjauh. Kuhela napas panjang, kemudian berjalan ke arah Andi dan mantan ayah mertuaku duduk. Aku harus mengajak Andi bicara empat mata, untuk memastikan niatnya datang kemari. Terdengar konyol memang, karena siapa saja bisa datang kemari. Toh ini bukan rumahku. Aku pun ada di rumah ini karena yang berulang tahun adalah Pasya, anakku.“Ndi, bisa kita bicara empat mata sebentar?” tanyaku yang tentu saja membuat Andi terkejut.“Oh, boleh. Tunggu sebentar, ya. Aku habiskan dulu makananku,” sahutnya yang sedang menikmati tekwan.Aku menganggukkan kepalaku, dan duduk di sebelahnya. Kuambil air mineral dalam kemasan gelas, dan kuminum hingga tandas untuk mendinginkan hatiku.“Yuk, Kal! Kita mau ngomong di mana?” tanya Andi setelah selesai menikmati tekwan.Aku tak langsung menjawab. Aku pandangi ke setiap sudut rumah orang tua Amanda. Tak ada ruang untuk kami bicara empat mata. Rumah ini cukup ramai oleh para anak kecil plus pengantarnya. Ditambah
Pagi ini aku tampak panik karena tubuh Pasya yang tiba-tiba demam. Anakku itu tergolek lemah di atas tempat tidur. Sama dengan anak seusianya yang lain kalau rewel ketika sedang tak enak badan. Pasya dari tadi merengek. Aku beri susu karena semenjak berusia satu tahun, Pasya memang berhenti minum ASI. Tapi, botol susu yang aku beri, hanya sebentar saja dia pegang. Selebihnya, dia serahkan kembali botol susu itu padaku. Aku peluk dan kucium keningnya dengan lembut, untuk membuatnya merasa nyaman.“Pasya mau apa, Sayang? Mau makan bubur? Atau mau sosis bakar?” tanyaku, berharap dia menganggukkan kepalanya ketika aku menyebut makanan kesukaannya. Tapi, dia hanya diam sambil terus merengek. Membuatku semakin panik dan sedih.Di saat aku merasa panik, tiba-tiba saja ponselku berdering. Aku langsung meraih benda pipih itu yang tergeletak di atas nakas, dan melihat nama mas Haikal terpampang di layar ponselku. Aku langsung mengangkat panggilan telepon itu.“Halo, Mas,” sapaku dengan nada cem