Mas Haikal terus memandangiku dengan tatapan sendu. Bahkan dia menggeser posisi duduknya, hingga hanya berjarak sekitar beberapa inci saja dari tempatku duduk.
“Manda, aku sudah berulang kali bilang sama kamu saat kita masih menjadi suami istri. Aku nggak pernah berniat untuk berbuat zina dengan Meta. Setelah minum kopi buatannya, aku langsung merasa ada yang aneh pada tubuhku. Aku merasa sangat ingin memeluk dirimu dan melakukan hubungan badan denganmu, tapi justru yang ada di hadapanku saat itu adalah Meta. Aku sudah nggak bisa lagi mengendalikan diriku, hingga akhirnya terjadilah perbuatan terlarang itu. Aku sudah katakan hal ini berulang kali padamu dulu, agar kamu mencabut gugatan ceraimu. Tapi, kamu nggak percaya padaku dan lebih memilih untuk berpisah. Andaikan kamu percaya dan mencabut gugatan itu, tentu aku akan ada saat kamu hamil dan melahirkan anakku,” sahutnya lirih.
“Perlu kamu tahu ya, Mas. Andaikan aku percaya semua kata-katamu, aku tetap memilih untuk berpisah dengan kamu. Mana ada seorang istri yang mau dimadu? Lagi pula kamu sudah mengkhianati aku, dan aku nggak terima itu. Aku nggak terima kamu yang sudah menusukku dari belakang, dan membuat jalang itu sampai hamil. Andai aku tahu lebih awal perbuatan kamu dan jalang itu, tentu aku nggak akan mau kamu sentuh lagi. Sayangnya, aku tahu setelah kamu memberi aku nafkah batin. Itu yang membuat aku semakin membencimu, Mas. Kamu licik sekali! Kamu menipuku! Kamu berperilaku sebagai seorang suami yang baik, tapi di luar rumah ternyata memiliki jalang yang kamu simpan rapat-rapat. Aku jijik sama kamu! Sekarang keluar dari sini!” kataku dengan suara lantang, yang membuat Mas Haikal terkejut dan Pasya sontak menangis.
Mas Haikal spontan menyentuh punggung Pasya untuk menenangkannya. Namun, aku yang sudah muak dengannya segera kutepis tangannya dari punggung anakku.
“Lepaskan tanganmu dari punggung anakku!” sentakku yang membuat Pasya semakin menangis kencang karena terkejut. Tapi, entah lah mungkin juga dia menangis karena aku menghardik ayahnya.
“Pelan-pelan ngomongnya, Manda. Kamu membuat anakku menangis,” ujar Mas Haikal lembut, tapi justru suaranya yang lembut itu semakin membuat aku kesal padanya. Suaranya itu mengingatkan aku kalau dia sedang merayuku dulu, kalau aku sedang merajuk padanya. Bisa jadi dia juga melakukan hal yang sama terhadap Meta, si pelakor itu.
“Cih! Jangan kamu sebut Pasya sebagai anakmu, karena dia bukan anak kamu! Sekarang keluar dari sini dan jangan kamu ganggu hidup kami! Biarkan kami hidup tenang tanpa kehadiran kamu, maupun bayang-bayang kamu, Mas. Kamu sudah punya keluarga yang bahagia sekarang. Jadi hiduplah yang nyaman dengan anak dan istri kamu. Jangan kamu usik dan dekati kami lagi. Ini adalah pertama dan terakhir kalinya kamu mendekati aku maupun anakku,” sahutku dengan tatapan tajam padanya.
“Anak kita, Amanda. Pasya Prayuda anak laki-laki dari seorang Haikal Prayuda. Jangan kamu sembunyikan fakta itu. Kamu bisa menyuruhku pergi sekarang, tapi kamu nggak bisa melarang aku untuk datang lagi. Aku ingin ikut andil dalam membesarkan anak kita. Aku akan mengajaknya jalan-jalan keliling kota Jakarta dengan naik motor gede, kalau dia sudah berusia dua atau tiga tahun. Aku akan merancang tempat duduk untuk Pasya di motorku, sehingga dia merasa nyaman nantinya.” Mas Haikal berkata dengan tatapan yang menerawang, seolah dia sedang membayangkan saat itu akan tiba. Senyumnya pun mengembang ketika menatap Pasya yang masih menangis, meskipun tak sekencang tadi. Tangan Mas Haikal kembali mengusap lembut punggung Pasya, tak peduli aku yang melotot ke arahnya. Dalam beberapa detik, tangisan Pasya pun terhenti. Hanya isakannya saja yang masih terdengar. Hal itu membuat Mas Haikal tersenyum semringah, merasa bangga telah berhasil menghentikan tangisan anaknya. Sedang aku hanya bisa menghela napas panjang. Mungkin inilah yang namanya ikatan batin antara ayah dan anak.
“Pasya sudah berhenti menangis. Sekarang pergilah, Mas! Aku juga mau istirahat, capek habis jalan-jalan. Tolong jangan ganggu aku, karena kalau kamu ganggu aku maka akan kulaporkan pada suamiku,” ucapku berbohong agar membuat Mas Haikal ragu kalau Pasya adalah anaknya, walaupun kemungkinan itu sangat lah kecil karena adanya kemiripan mereka berdua.
Mas Haikal sontak tertawa mendengar penuturanku barusan. Dia tertawa geli sampai tubuhnya terguncang pelan.
“Amanda...Amanda, aku dari tadi sudah bilang kalau kamu ini nggak bisa bohongi aku. Sudah jelas kalau Pasya adalah duplikat aku. Haikal versi mini, istilah lainnya. Lagi pula aku juga tahu kok, kalau kamu belum menikah,” ucap Mas Haikal di sela tawanya. Dia lalu mendekatiku hingga aku refleks bergeser mundur. “Kamu tahu, kalau aku tahu kamu sedang hamil saat proses cerai kita, nggak bakalan aku setuju dengan gugatan kamu itu. Saat itu, aku setuju karena aku melihat kamu yang sudah nggak bisa lagi menerimaku. Kamu lebih bahagia kalau berpisah denganku. Jadi aku memilih melepasmu agar kamu bahagia, Manda. Walaupun kita sudah pisah, tapi kamu masih ada di hatiku sampai sekarang. Aku tetap menganggap kamu sebagai istriku. Apalagi sekarang aku tahu kalau kamu sudah melahirkan anakku. Jadi sampai kapan pun kamu tetaplah istriku.”
Aku terhenyak mendengar ucapannya. Seketika aku menjadi panik, tapi aku berusaha mengendalikan diri agar kepanikanku tak terlihat oleh Mas Haikal. Aku tak mau dia memanfaatkan situasi ini untuk mendekatiku atau Pasya.
“Cih! Mau menipuku, iya? Aku nggak bakalan termakan oleh mulut manismu, Mas. Hakim sudah ketok palu dan pernikahan kita sudah berakhir, ingat itu. Kita hanyalah mantan sekarang. Jadi pergilah dan jangan mengaku lagi kalau aku adalah istrimu! Bisa mundur nanti kalau ada pria yang mau mendekatiku,” sahutku ketus.
“Nah, ngaku kan kalau kamu sebenarnya belum menikah.” Mas Haikal terkekeh dan menatapku dengan tatapan penuh kemenangan, karena berhasil membuatku mengaku kalau sebenarnya aku belum menikah.
‘Asyem bener dia. Aku nggak sadar sudah masuk dalam jebakannya. Ah, sial memang. Kenapa juga sih harus berurusan dengan mantan?’ ucapku dalam hati.
Aku yang merasa malu dan kesal padanya, segera meraih tasku yang sudah Mas Haikal letakkan kembali di meja. Aku langsung melemparkannya untuk kedua kali ke arah mantan suamiku itu. Sementara di belakangku, Adel tertawa pelan dari tadi menyaksikan interaksi aku dan Mas Haikal.
Bugh!
Mas Haikal yang sengaja tak mau mengelak langsung menangkap tasku itu. Tanpa aku duga, dia mengeluarkan dompetnya dan mengambil seluruh uang yang ada di sana. Dia lalu menaruh semua uangnya itu di dalam tasku. Aku pun melongo melihat ulahnya itu.
“Ini uang untuk keperluan Pasya. Aku akan memberikan lagi nanti. Tolong hubungi aku dan ceritakan tentang perkembangan Pasya. Aku ingin ikut andil dalam membesarkan dia. Ijinkan aku untuk menemuinya setiap hari. Atau kalau kamu keberatan, tiga atau empat kali dalam seminggu aku akan menemuinya. Please, Manda. Oh ya, kalau kamu nggak mau menghubungiku untuk bercerita tentang perkembangan anakku, kamu rekam saja aktivitas dia dan kirimkan padaku,” ucap Mas Haikal dengan tatapan memohon.
“Aku sudah hapus nomor kamu, Mas,” sahutku acuh.
Mas Haikal lantas membuka lagi tasku dan mengambil ponselku. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Adel. “Adel, ini ponsel Amanda. Aku akan miss call. Kamu tolong simpan nomorku. Supaya Amanda bisa mengirimkan video Pasya nantinya.”
Adelia tak langsung menerima. Dia menatapku untuk minta persetujuanku. Hingga setelah berpikir agak lama, akhirnya aku menganggukkan kepala. Memberi ijin pada Adel untuk menyimpan nomor telepon mantan suamiku itu. Aku berpikir bahwa Mas Haikal perlu juga tahu tentang perkembangan Pasya. Walaupun membenci pria itu, tapi dia tetaplah ayah anakku. Apalagi dia katakan tadi kalau ingin ikut andil dalam membesarkan Pasya, anak kami.
“Terima kasih, Manda. Kalau bisa setiap saat kamu kirimkan video Pasya, ok.” Mas Haikal tersenyum dan menutup resleting tasku dan meletakkannya di atas meja.
“Insya Allah, kalau aku nggak repot,” sahutku tanpa menatapnya. Aku fokus menatap Pasya yang kini tengah menatapku.
“Baiklah, aku akan keluar sekarang dari kamar ini. Tapi sebelum keluar, aku ingin menggendong anakku dulu. Berikan aku ijin untuk menggendongnya, Manda,” pinta Mas Haikal dengan nada memelas.
Aku menghela napas panjang. Tiba-tiba saja, Pasya menoleh ke arah Mas Haikal dan tersenyum pada ayahnya. Ah, situasi seperti ini yang tak aku inginkan. Di saat aku sudah nyaman hidup berdua dengan anakku, tiba-tiba harus bertemu lagi dengan mantan suami yang sudah menorehkan luka di hatiku.
“Pasya mau ya digendong sama Papa.” Mas Haikal berkata sambil mengarahkan kedua tangannya pada Pasya. Anakku itu langsung memekik senang. Dia juga memajukan tubuhnya ke arah Mas Haikal. Menunjukkan kalau dia juga ingin digendong oleh ayahnya.“Hati-hati gendongnya!” ucapku yang segera diangguki oleh Mas Haikal.Setelah tubuh Pasya berada dalam dekapan Mas Haikal. Tampak Mas Haikal meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Dia lalu berselfie dengan Pasya.“Pasya, coba lihat ke sini!” titah Mas Haikal, yang sontak membuat Pasya menoleh ke arah layar ponsel ayahnya. Kemudian...Klik!Aku takjub melihat interaksi ayah dan anak yang ada di hadapanku ini. Pasya terlihat senang sekali berada dalam dekapan ayahnya, membuatku begitu terharu. Mungkin dia rindu kasih sayang ayahnya, karena selama ini dia hanya mendapat kasih sayang dariku saja. Pria yang selama ini ada di dekat anakku, hanyalah kakek dan om nya.“Manda, bisa kita foto bertiga?” tanya Mas Haikal tiba-tiba, yang membuatku ter
Aku merasakan jantungku berdegup kencang. Aku sungguh tak menyangka bahwa akan bertemu Mas Haikal di saat akan menghindarinya. Aku berpikir keras untuk menjawab pertanyaan mantan suamiku itu. Kuperhatikan dirinya yang juga sepertinya akan check out dari hotel ini. Hatiku berdesir ketika melihat koper kecil di sebelahnya. Koper itu dulu aku yang membeli untuknya, dan selalu dia pakai untuk bepergian tugas ke luar kota. Aku tak menyangka Mas Haikal masih menggunakannya.“Manda, kok malah bengong?” tanya Mas Haikal yang sudah berada di dekatku. Dia meraih tubuh Pasya dari gendonganku, karena tubuh anakku terjulur ke arah Mas Haikal. Ya, anakku itu ingin digendong oleh papanya. Aku refleks menganggukkan kepala. Hal itu membuat Adel membulatkan matanya.“Mbak, kenapa mengangguk sih? Kita kan nggak pulang sekarang,” bisik Adel di telingaku.“Ya Tuhan, aku spontanitas saja tadi karena aku gugup, Del,” jawabku dengan berbisik juga.“Kalau mau balik ke Jakarta sekarang, bareng saja sama aku.
Lamunanku akan masa lalu buyar ketika sebuah tepukan lembut mendarat di punggung tanganku. Di saat itulah aku mendengar rengekan Pasya.“Manda,” bisik mas Haikal.“Eh, Pasya kenapa?” tanyaku cemas. Aku segera meraih tubuh anakku dari dekapan mas Haikal.“Mungkin dia haus,” sahut mas Haikal lembut ketika aku mengambil alih tubuh Pasya darinya.“Ya sudah, kamu pindah sana. Jangan di depanku dong!” titahku dengan suara pelan.“Ck, buat apa pindah sih? Aku juga sudah tahu isinya,” ucapnya dengan senyuman. Aku tahu mas Haikal mencoba untuk menggodaku. Hm, tak usah ya. Aku tak akan tergoda.“Kalau sayang sama anak, cepetan deh pindah. Aku mau susui anakku sekarang!” tegasku padanya.“Ok.” Mas Haikal lalu beringsut dari tempatnya duduk. Dia membalikkan tubuhnya, memunggungi aku.Ketika sudah merasa aman, aku lantas memberi ASI anakku, yang tampak sudah tak sabar. Senyum mengembang di bibirku ketika melihat Pasya menyusu sambil menatapku. Interaksi seperti inilah yang memberikan kepuasan ters
Pov Haikal.Aku mantan suami Amanda Iskandar Prayuda. Ya, biarpun kami sudah resmi bercerai, tapi aku tetap menganggap dirinya sebagai istriku. Aku tetap menyematkan namaku di belakang namanya. Andaikan Manda tahu, dia pasti akan marah besar dan meminta aku supaya tak menyematkan nama Prayuda di belakang namanya. Namun, kenyataannya justru dia yang memberikan nama Prayuda di belakang nama Pasya, anak kami. Ah, senangnya mengetahui kenyataan itu. Walaupun aku tahu kalau Manda melakukan itu, bukan karena dia masih memiliki perasaan padaku. Tapi, karena memang Pasya berhak atas nama itu karena dia adalah anak kandungku. Oh ya, mengenai perasaan Manda padaku. Aku kurang yakin juga kalau dia sudah tak memiliki perasaan cinta padaku. Meskipun dia sangat membenciku, tapi benci dan cinta itu kan beda tipis. Oleh karena itu, boleh kan aku berharap agar kami bisa bersatu kembali. Lagi pula Amanda pernah menjanjikan padaku kalau kemungkinan rujuk itu selalu ada. Jadi sepertinya tinggal tunggu wa
Mas Haikal masih terdiam duduk di tepi tempat tidur sambil menatap Pasya, yang sudah terlelap. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan karena aku mendengar helaan napasnya yang sering terdengar. Aku tetap berdiri di sisi tempat tidur yang tak jauh darinya, menunggu sesaat apa yang akan dia lakukan. Lima menit...sepuluh menit, mas Haikal bergeming. Dia diam saja di tempatnya, yang membuat aku memutuskan untuk menegurnya.“Mas, ingat pesan papa tadi. Kalau Pasya sudah tidur, Mas segera keluar dari kamar ini. Nggak baik berada di dalam kamar ini terlalu lama, karena kita sudah bukan suami istri lagi,” ucapku mengulang pesan papaku tadi.Mas Haikal menoleh seraya berkata, “Iya, aku akan segera keluar dari sini setelah kamu jawab beberapa pertanyaanku, Manda.”“Pertanyaan apa? Katakan saja, insya Allah akan aku jawab,” sahutku kalem.“Setelah kita resmi bercerai, kamu nggak mau menerima uangku. Padahal aku sudah bertekad akan memberimu nafkah sampai kamu menikah lagi. Walaupun aku memang berhar
“Ayolah, terima ini! Uang hasil penjualan rumah kita adalah hak kamu, Manda,” ucap mas Haikal setelah aku tak juga menerima amplop dari tangannya.Tanpa disangka, Pasya dengan antusias meraih amplop dari tangan papanya. Hal itu membuat mas Haikal dan aku terkejut.“Manda, kamu lihat sendiri kalau Pasya menginginkan uang ini. Jadi ambillah dan simpan, ya,” ucap mas Haikal sekali lagi.Aku akhirnya menuruti kata-katanya. Kuanggukkan kepalaku yang sontak membuat mas Haikal tersenyum semringah.“Baiklah, aku terima. Terima kasih, Mas. Uang ini akan aku gunakan untuk keperluan Pasya,” sahutku yang disambut oleh gelengan kepala mas Haikal.“Nggak. Itu murni untuk kamu. Aku kan dari tadi sudah bilang, kalau uang hasil penjualan rumah kita adalah hak kamu. Kalau Pasya biar jadi urusanku. Dia kan anakku, jadi aku wajib membiayainya. Aku akan transfer uang ke rekening itu setiap bulannya untuk Pasya. Hari ini aku sudah transfer uang untuk Pasya. Kamu bisa cek saldonya nanti,” cetus mas Haikal y
“Maaf, kalau boleh tahu kenapa kalian bercerai? Bukankah kalian ini pasangan serasi? Dari masih jaman kuliah dan setelah menikah, kalian tampak adem ayem.” Andi bertanya sambil menatapku lekat. Sorot matanya menunjukkan rasa keingintahuan yang begitu besar, membuatku menarik napas panjang.“Intinya sudah nggak ada kecocokan saja di antara kami. Buat apa diteruskan kalau sudah nggak cocok,” jawabku diplomatis.Jawabanku rupanya kurang memuaskan bagi Andi, hingga dia berusaha untuk menebak-nebak.“Apa...ada orang ketiga?” tebaknya yang membuatku tersenyum kecut.Aku memang sakit hati pada mas Haikal. Tapi, dia adalah mantan suamiku dan ayah anakku. Aku pernah mencintainya begitu dalam. Mas Haikal juga baik padaku, meskipun pada akhirnya dia menorehkan luka di hatiku. Tapi, itu bukan berarti aku harus membuka aibnya di depan orang lain. Tidak, aku bukan orang yang seperti itu. Biarlah aku, mas Haikal dan keluarga kami saja yang tahu penyebab perceraian kami. Orang lain termasuk Andi biar
Pov HaikalAku terkejut sekali melihat kedatangan Andi si rumah mantan mertuaku. Ketika melihat dia datang dan membawa kado untuk anakku, pikiranku langsung tak tenang. Berbagai pertanyaan bersarang di kepalaku. Aku segera berbisik pada Amanda, untuk tahu kenapa Andi bisa hadir di pesta ulang tahun anakku. Aku sebagai papanya Pasya tentu keberatan dengan kedatangan Andi. Kalau ada yang tanya kenapa? Ya karena aku tahu kalau Andi pernah menaruh hati pada Amanda-mantan istriku. Apalagi sekarang status Andi yang duda, dan Amanda yang juga seorang janda. Makin ketar-ketir lah hatiku. Aku takut kalau antara Andi dan Amanda menjalin suatu hubungan. Meskipun sah saja sih kalau mereka menjalin hubungan, karena mereka sama-sama single. Tapi, aku yang masih mengharapkan bisa rujuk dengan Amanda tentu sangat tak suka kalau mereka dekat, dan menjalin hubungan spesial.Aku memang berniat rujuk dengan Amanda sudah lama. Tepatnya setelah Amanda menjanjikan kalau kemungkinan untuk rujuk selalu ada, k
Seto yang tak ingin keadaan menjadi memanas, lantas tampil sebagai penengah.“Irene, Papa rasa yang diucapkan Pasya itu benar. Kamu sabar dulu untuk sementara waktu. Video call adalah cara yang tepat. Tapi, kamu juga harus rutin mengunjungi Ayesha, dan pelan-pelan mendekatinya. Nanti juga lama-lama dia akan luluh sama kamu,” ucap Seto lembut. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Pasya. “Kamu nggak masalah kan kalau Irene nantinya akan rutin datang kemari untuk menemui Ayesha?”“Tentu saya nggak akan keberatan. Irene adalah ibu kandungnya Ayesha, Pak. Saya nggak mungkin memisahkan Ayesha dan ibu kandungnya. Jadi silakan Irene datang kapan pun dia mau. Hanya satu pesan saya, jangan memaksakan kehendak yang bikin Ayesha nggak nyaman. Itu saja sih permintaan saya, dan saya berharap kalau Irene bisa mengerti,” sahut Pasya.Seto lalu kembali menatap anaknya seraya berkata, “Ren, itu Pasya sudah bilang kalau dia sama sekali nggak keberatan, kalau kamu rutin datang kemari. Jadi solusinya begi
Tak lama, Saskia datang sambil menggendong Ayesha. Dia tampak sedang mengajak bercanda Ayesha sambil berjalan menuju sofa tempat Irene duduk.“Nah, ini ada mama, Sayang. Yesha sekarang dipangku sama mama, ya,” ucap Saskia dengan suara lembut.Ayesha yang sebelumnya tertawa, tiba-tiba merengek ketika Saskia meletakkannya di atas pangkuan Irene. Dia juga berpegangan pada blus Saskia, kode kalau dia tak ingin dilepaskan dari pelukan Saskia.“Ayesha, Sayang. Ini Mama, Nak. Mama kangen sama kamu. Semenjak kamu lahir, Mama belum peluk kamu,” ucap Irene lirih dengan kedua bola mata yang mulai berkaca-kaca, karena sedih mendapat penolakan dari anak kandungnya sendiri.Pasya yang melihat itu pun jadi tak tega. Dia membantu membujuk Ayesha.“Yesha...ayo, mau ya dipangku sama mama. Nanti mimik susu lagi sama mama,” ucap Pasya, yang membuat Saskia serta Irene kompak menoleh padanya.‘Mas Pasya kenapa ngomongnya soal menyusu sih? Apa memang itu yang sekarang ada di kepalanya. Mentang-mentang Irene
Saskia lalu beringsut menjauhi suaminya dengan wajah tertekuk. Dia mendadak diam seribu bahasa.Pasya yang mengetahui perubahan sang istri, lantas tersenyum dan meraih tangan Saskia.“Cemburu?” tanya Pasya dengan tatapan menggoda.Hening.Saskia sepertinya malas memberi tanggapan. Dia malah sibuk merapatkan selimut di tubuh Ayesha, yang terbaring di sebelahnya duduk.“Irene sudah pulih dari koma, Kia. Dia menanyakan tentang bayinya. Tadi papanya telepon saat kita masih di bandara. Kamu sedang sibuk sendiri dengan Ayesha, makanya nggak tahu kalau aku menerima telepon dari mantan mertua,” jelas Pasya dengan nada lembut.Saskia sontak menatap sang suami. “Irene mau mengambil Ayesha ya, Mas?”Pasya mengangguk seraya berkata, “Iya, Sayang. Dia kan ibunya. Dia juga taruhan nyawa saat melahirkan Ayesha. Lagi pula aku dan Irene sudah berkomitmen untuk mengasuh anak kami, meski di tempat yang berbeda.”Saskia tampak muram. Meskipun dia hanya sebatas ibu sambung, namun dia sangat menyayangi Aye
“Pa, kok diam saja?” tanya Irene lagi dengan nada mendesak.“Eh, kamu kan masih harus banyak istirahat, Ren. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya, ya,” sahut Seto sedikit gugup. Membuat Irene curiga.“Pa, Ma, sebenarnya ini ada apa sih? Kok aku merasa kalau Mama dan Papa sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Ngomong saja sih terus terang. Ada apa?” desak Irene dengan wajah memelas.Seto dan Diah saling tatap. Mereka seolah sedang berdiskusi melalui tatapan mata. Hingga akhirnya Diah menganggukkan kepalanya pada sang suami.“Ren, kamu kan baru saja pulih dari koma. Lebih baik nanti saja Papa beritahunya. Papa khawatir kalau nanti kamu...” Seto menghentikan kata-katanya ketika Irene menyela ucapannya.“Ini ada hubungannya dengan Ayesha dan Mas Pasya? Kalau iya, nggak apa katakan saja sekarang. Aku merasa sudah lebih baik kok sekarang, Pa,” ucap Irene yakin.“Ya sudah, kamu kasih tahu saja sekarang, Mas,” timpal Diah.Seto mengangguk. Dia lalu menatap wajah cantik Irene yang terliha
Kini kedua bola mata Irene mulai membuka secara perlahan. Tatapan wanita itu menyisir ke sekitarnya.“Selamat malam, Bu Irene,” sapa dokter dengan suara perlahan. Pria itu memperhatikan setiap respons pasiennya, untuk mengetahui sejauh mana perkembangan Irene.“Ma-malam,” sahut Irene lirih dan terbata.“Ibu baru saja siuman setelah tak sadarkan diri selama empat bulan lamanya. Selamat datang, Bu Irene. Semoga kondisi Ibu semakin membaik,” ucap dokter dengan senyuman.“S-saya ta-tak s-sadar kan di-ri s-selama em-pat bu-lan?” sahut Irene masih dengan suara terbata-bata.“Iya dan alhamdulillah, sekarang Ibu sudah melewati masa kritis. Tapi, setelah ini tolong jangan banyak bicara dulu. Ibu istirahat dulu yang cukup supaya kesehatannya lekas pulih,” ucap dokter, yang diangguki oleh Irene.Setelah selesai memeriksa Irene, dokter lalu mengalihkan tatapan pada suster. “Sus, satu jam lagi kalau nggak ada keluhan dari pasien, silakan pasiennya dipindahkan ke ruang perawatan. Masa kritisnya sud
Empat bulan berlalu, kini saatnya pernikahan Pasya dan Saskia digelar. Acara akad nikah dilangsungkan di kediaman orang tua Saskia. Sedangkan resepsinya nanti akan dirayakan di salah satu hotel berbintang lima.Saskia tampil cantik dan anggun dengan kebaya putih dan kain jarik coklat tua. Wajah Saskia dipoles dengan riasan yang natural, tapi tetap terlihat cantik dan elegan.Sedangkan Pasya sendiri tampil gagah dengan setelan jas warna hitam dan kemeja putih, lengkap lengan peci hitamnya. Pasya juga sudah menyiapkan mahar berupa satu set perhiasan emas berhiaskan berlian. Meski ini bukan yang pertama, tapi tetap saja Pasya merasa gugup. Hal itu diketahui Haikal.Haikal berpindah duduknya di sebelah anak sulungnya. Mumpung Saskia belum tiba di ruangan itu. Begitu menurut pemikiran Haikal.“Sya, tenang saja kenapa sih. Jangan gugup begitu! Kayak yang baru pertama kali saja,” bisik Haikal.Pasya menghela napas panjang dan melirik pada papanya. “Namanya pengantin, mau pertama kali atau ke
Pasya masih berada di ruang keluarga menemani Amanda, ketika sebuah suara membuatnya tertegun dan menoleh ke arah sumber suara itu.“Assalamualaikum.”“Wa’ alaikumsalam,” sahut Amanda dan Pasya secara bersamaan.“Wah, tamu jauh ini yang datang. Sini duduk, Kia,” sapa Amanda dengan senyum mengembang di bibirnya.“Apa kabar, Tante? Ini aku bawain kado untuk Ayesha. Semoga suka.” Saskia berkata sambil meletakkan paper bag berukuran besar di atas meja. Setelahnya, dia mengecup pipi Amanda karena tangan wanita paruh baya itu sedang memegang botol susu.“Yesha, ada Tante Kia datang. Dia bawa kado untuk kamu tuh,” bisik Amanda pada cucunya yang sedang asyik menyusu.Ayesha seketika menghentikan aktivitasnya menyusu, dan sontak menoleh ke arah Saskia yang kini sudah duduk di sebelah Amanda. Bayi itu seolah tahu kalau wanita yang ada di sebelah neneknya, adalah wanita yang sedang dekat dengan papanya. Setelah itu, Ayesha kembali lagi menyusu.“Kamu tadi berhenti menyusu sebentar karena mau men
Amanda yang dari tadi diam, kini merasa kesal juga dengan ucapan mantan besannya. Dia menatap Diah seraya berkata, “Bu, tolong jangan begitu. Pasya ini kan orang tuanya Ayesha. Ada mantan istri dan mantan suami. Tapi, nggak ada mantan anak dan mantan orang tua. Sekarang kondisi Irene sedang tak memungkinkan untuk mengasuh anak. Jadi sudah seharusnya Pasya mengambil alih. Apa salah seorang ayah mengasuh anaknya? Saya rasa nggak juga, Bu. Apalagi Ibu dan Bapak pernah datang ke rumah kami, untuk sekedar memberitahu kalau Irene hamil anaknya Pasya. Nah, sekarang kenapa dipersulit saat Pasya hendak mengasuh anaknya?”Hening. Tak ada sepatah kata lagi yang terucap dari bibir Diah maupun Seto. Hanya hembusan napas kasar yang terdengar dari mulut keduanya.Akhirnya Seto mengeluarkan kata setelah sesaat terdiam.“Tapi, Pasya kan nggak setiap waktu ada di samping...siapa tadi nama cucuku?” ucap Seto dengan tatapan pada Amanda serta Pasya secara bergantian.“Ayesha,” sahut Pasya.“Iya, Ayesha. P
Pasya dan kedua orang tuanya kini berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Tujuan mereka pertama kali adalah ke ruang bayi, di mana bayi Pasya berada.“Mama sudah nggak sabar mau melihat cucu Mama, Sya,” ucap Amanda dengan senyuman ketika di jarak beberapa meter dari posisi mereka saat ini, sudah terlihat ruangan bayi.“Iya, tapi Mama untuk sementara ini hanya bisa melihat Ayesha dari balik kaca saja. Bantu doanya ya, Ma, supaya bayiku bisa segera keluar dari inkubator. Jadi kita bisa menggendongnya nanti,” sahut Pasya, yang diangguki oleh Amanda.“Tentu dong, Sayang. Kamu nggak minta pun, Mama sudah pasti akan mendoakan cucu Mama,” sahut Amanda masih dengan senyum yang tersungging di bibirnya.Tak lama, langkah mereka terhenti di depan ruang bayi. Amanda dan Haikal yang ingin melihat cucu mereka, segera menghampiri suster jaga.“Sus, kami ingin melihat cucu kami yang baru lahir kemarin, boleh kan?” ucap Amanda dengan nada suara memohon.Suster itu terdiam sejenak, sebelum dia akhirnya