Aku sama sekali tak menyangka kalau liburanku kali ini, akan mempertemukan aku dengan seorang yang paling aku benci dan ingin aku hindari. Dia adalah mantan suamiku.
Aku melihat Mas Haikal tengah berada di lobi hotel yang sama tempat aku menginap, di Denpasar. Aku yang sedang menggendong anakku seketika menjadi panik. Tentu saja aku panik, karena aku takut dia akan melakukan apa saja, apabila tahu kalau Pasya adalah putranya.
"Del, kamu gendong dulu deh si Pasya. Kamu lihat sendiri itu di lobi hotel ada Mas Haikal. Jadi untuk menghindari hal-hal yang nggak diinginkan, lebih baik kamu gendong dulu anakku. Nanti misalnya dia tanya tentang Pasya, kamu jawab saja kalau Pasya adalah anak kamu," kataku yang membuat Adelia-adik sepupuku, membelalakkan matanya.
"Wah, nggak bener ini. Mbak Amanda bisa menjatuhkan reputasi aku ini. Masak aku yang masih gadis disuruh mengaku sudah punya anak sih, ck." Adelia menggerutu panjang lebar meskipun dia akhirnya menerima Pasya dari tanganku, dan menggendongnya.
"Nggak apa-apa lah, Del. Mengakunya kan hanya sama Mas Haikal. Cuma sebentar saja kok. Setelah melewati dia atau setelah kita masuk ke dalam lift, Pasya akan aku gendong lagi. Soalnya kita nggak bisa menghindar lagi. Dia sudah melihat ke arah kita. Kalau kita pergi, dia akan curiga. Apalagi dia sudah lihat aku gendong Pasya tadi. Jadi akting dikit deh, ya," ucapku dengan nada memelas pada adik sepupuku itu.
Akhirnya Adel menganggukkan kepalanya dan tersenyum seraya berkata, "Iya, tenang saja. Aku jago akting kok. Semoga saja Pasya juga bisa diajak akting sama aku, Mbak."
"Insya Allah, bisa. Anakku biar masih sebelas bulan sudah bisa diajak akting lho," sahutku jumawa
"Aamiin. Ayo, kita jalan ke lift! Pura-pura nggak lihat saja kita. Semoga Mas Haikal nggak sadar dan masih sibuk ngobrol sama temannya." Adelia lalu melangkah dengan percaya diri menuju ke arah lift, yang ada persis di samping posisi Mas Haikal berdiri saat ini.
Aku berjalan beriringan dengan Adelia yang berjalan terlebih dulu. Aku berdoa dalam hati agar Pasya bisa diajak kerja sama, karena dari tadi dia selalu menatapku dan sepertinya ingin segera aku gendong kembali.
Jantungku semakin berdegup kencang ketika kami sesaat lagi akan tiba di dekat Mas Haikal. Benar saja dugaanku kalau Mas Haikal sudah memperhatikan kami dari tadi. Tepat ketika kami sudah melewati dirinya dan berdiri di depan lift, dia mendekatiku dan menyapa.
"Halo, Manda. Apa kabar?"
Aku sontak menoleh padanya dan memaksa untuk tersenyum. Rupanya dia sudah selesai ngobrol dengan temannya
"Eh, kamu. Liburan ke sini juga rupanya," jawabku basa-basi.
"Liburan plus kerja, karena aku akan mendirikan cottage di sini," jawabnya dengan menampilkan senyuman manis.
Aku seketika memalingkan wajahku agar tak berlama-lama menatapnya. Bagaimanapun sekarang dia adalah suami orang. Mengingat itu membuat hatiku sakit. Luka yang sudah mulai mengering perlahan terasa nyeri kembali.
Tepat ketika pintu lift terbuka, Pasya menangis. Rupanya dia sudah tak sabar ingin aku gendong kembali. Aku refleks meraih tubuh anakku dari gendongan Adel, lalu aku dekap dia dengan erat dan mengusap punggungnya dengan perlahan.
"Mbak Manda, ayo kita masuk lift sekarang!" ajak Adel seraya merangkul bahuku.
Aku mengangguk dan melangkah ke dalam lift. Namun, tanpa diduga kedua tangan Mas Haikal menahan pintu lift agar tetap terbuka. Dia menatap lekat wajah Pasya, yang kebetulan anakku kini sedang menatap Mas Haikal juga.
"Manda, siapa anak ini?" tanya Mas Haikal tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Pasya.
"Anakku, Mas!" sahut Adel mewakili aku menjawab pertanyaan mantan suamiku itu.
Mata Mas Haikal menyipit seolah tak percaya dengan jawaban Adel.
"Memangnya kamu sudah nikah?" tanya Mas Haikal dengan tatapan menyelidik pada Adelia.
"Ya sudah dong. Buktinya itu aku sudah punya anak. Masak kalau belum menikah sudah punya anak sih. Aku ini perempuan baik-baik lho, Mas," sahut Adel yang membuatku tertawa dalam hati, karena aktingnya lumayan juga.
"Mas, tolong tangannya dilepas dari pintu lift itu. Supaya pintunya bisa tertutup dan liftnya bergerak naik. Kami ingin segera sampai di kamar, dan beristirahat," sahutku datar.
Mas Haikal tetap tak melepas kedua tangannya dari pintu lift. Dia terus menatap Pasya dan aku secara bergantian.
"Aku akan cari tahu tentang anak ini."
"Silakan!"
Aku menjawab dengan cukup tenang walaupun dalam hati sudah ketar-ketir. Hingga setelah puas memandangi Pasya, Mas Haikal melepaskan kedua tangannya dari pintu lift. Dalam hitungan detik, pintu lift tertutup dan segera naik ke lantai tempat kamar kami berada.
***
"Mbak, bagaimana kalau Mas Haikal beneran cari tahu tentang Pasya? Terus kalau dia marah karena selama ini nggak diberitahu tentang keberadaan Pasya, bagaimana?" tanya Adel ketika kabin lift sudah bergerak naik.
Aku pandangi wajahnya yang tampak cemas. Aku mengulum senyum karena ekspresi wajah adik sepupuku itu, sangat berbeda dengan yang tadi dia perlihatkan saat di depan Mas Haikal. Tadi Adel sangat percaya diri ketika mengatakan kalau Pasya adalah anaknya. Tapi, kini dia takut kalau Mas Haikal tahu identitas Pasya.
"Biar saja dia cari tahu. Memangnya aku akan diam saja kalau dia berusaha untuk merebut Pasya dariku."
Tepat ketika bibirku terkatup, pintu lift terbuka. Aku serta Adel segera keluar dari kabin lift dan melangkah menuju ke kamar kami.
"Ma…Ma…Ma."
Pasya menjulurkan lidahnya ke arah dadaku, memberi kode kalau dia sedang ingin menyusu.
"Pintar banget sih anak Mama ini. Sudah sampai kamar baru minta ASI," ucapku dengan senyuman ketika tatapanku dan tatapan anakku bertemu.
Aku tanpa menunggu lama langsung duduk di sofa, dan melepas tiga kancing teratas blus katun yang aku kenakan. Aku lalu mulai menyusui anakku. Sementara aku melihat Adel sudah merebahkan tubuhnya di atas kasur sambil memejamkan mata.
"Mbak, andaikan Mas Haikal masih cinta dan mengajak rujuk, apa Mbak Manda mau?" tanya Adel yang sontak membuat aku terkesiap.
"Kenapa kamu punya pikiran kayak gitu? Nggak mungkin lah dia mau rujuk sama aku. Dia kan sudah punya istri dan anak, Del. Apa kamu lupa kalau aku diceraikan olehnya karena aku dikira mandul?"
"Apa Mbak lupa kalau yang menggugat cerai itu adalah Mbak Manda, bukan Mas Haikal?" ucap Adel balas bertanya padaku.
Aku mengalihkan tatapanku ke arah Adel yang sedang berbaring di kasur.
"Aku menggugat cerai karena aku tak sudi dimadu. Apalagi Mas Haikal sudah berkhianat sebelum minta ijin untuk menikah lagi. Pelakor itu sudah hamil enam minggu! Jadi buat apa aku mempertahankan rumah tangga yang sudah bobrok karena pengkhianatan," sahutku agak ketus yang membuat Adel menoleh ke arahku.
"Tapi, aku lihat sorot mata Mas Haikal masih penuh cinta saat menatap kamu tadi, Mbak," ucap Adel yang membuat aku tersenyum kecut.
Aku baru saja akan menanggapi ucapan adik sepupuku itu, tapi aku urungkan karena bunyi ketukan di pintu yang menginterupsi pembicaraan kami.
Adel segera bangkit dari kasur dan melangkah ke pintu, lalu membukanya.
"Mas Haikal!"
"Amanda mana, Del?"
Aku yang mendengar suara Mas Haikal langsung panik. Aku ingin menyudahi memberi ASI pada Pasya. Tapi, anakku ini masih lahap menyusu. Hingga akhirnya aku pasrah ketika Mas Haikal menerobos masuk ke dalam kamar, dan melihat aku sedang menyusui Pasya.
Langkah Mas Haikal terhenti. Dia terpaku melihatku sedang menyusui seorang bayi. Namun, tak lama seulas senyum terbit dari bibirnya. Kini dia melangkah mendekatiku dan duduk di sofa, di sebelahku. Tentu saja aku menjadi risih dibuatnya. Bagaimana tidak risih, kami bukanlah pasangan suami istri lagi. Apalagi keadaanku saat ini terbuka bagian atasnya.“Kamu ngapain sih duduk di situ? Sudah tahu aku sedang menyusui, tapi malah dekat-dekat. Sudah sana pergi.” Aku buru-buru beranjak dari kursi, berniat pindah ke tempat tidur. Namun, tangan Mas Haikal dengan cepat mencekal lenganku hingga aku terduduk kembali.“Aku hanya mau ngomong. Duduklah dulu di sini. Nggak apa-apa kalau kamu sambil menyusui. Lagi pula anak kita pasti rindu dengan papanya, iya kan?”Kedua bola mataku membulat sempurna mendengar kata-katanya. Jantungku berdegup kencang dan tubuhku tiba-tiba menjadi lemas, hingga akhirnya aku duduk kembali di sofa karena takut kalau sampai kakiku tak bisa menopang diri ini. Melalui ekor
Mas Haikal terus memandangiku dengan tatapan sendu. Bahkan dia menggeser posisi duduknya, hingga hanya berjarak sekitar beberapa inci saja dari tempatku duduk.“Manda, aku sudah berulang kali bilang sama kamu saat kita masih menjadi suami istri. Aku nggak pernah berniat untuk berbuat zina dengan Meta. Setelah minum kopi buatannya, aku langsung merasa ada yang aneh pada tubuhku. Aku merasa sangat ingin memeluk dirimu dan melakukan hubungan badan denganmu, tapi justru yang ada di hadapanku saat itu adalah Meta. Aku sudah nggak bisa lagi mengendalikan diriku, hingga akhirnya terjadilah perbuatan terlarang itu. Aku sudah katakan hal ini berulang kali padamu dulu, agar kamu mencabut gugatan ceraimu. Tapi, kamu nggak percaya padaku dan lebih memilih untuk berpisah. Andaikan kamu percaya dan mencabut gugatan itu, tentu aku akan ada saat kamu hamil dan melahirkan anakku,” sahutnya lirih.“Perlu kamu tahu ya, Mas. Andaikan aku percaya semua kata-katamu, aku tetap memilih untuk berpisah dengan
“Pasya mau ya digendong sama Papa.” Mas Haikal berkata sambil mengarahkan kedua tangannya pada Pasya. Anakku itu langsung memekik senang. Dia juga memajukan tubuhnya ke arah Mas Haikal. Menunjukkan kalau dia juga ingin digendong oleh ayahnya.“Hati-hati gendongnya!” ucapku yang segera diangguki oleh Mas Haikal.Setelah tubuh Pasya berada dalam dekapan Mas Haikal. Tampak Mas Haikal meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Dia lalu berselfie dengan Pasya.“Pasya, coba lihat ke sini!” titah Mas Haikal, yang sontak membuat Pasya menoleh ke arah layar ponsel ayahnya. Kemudian...Klik!Aku takjub melihat interaksi ayah dan anak yang ada di hadapanku ini. Pasya terlihat senang sekali berada dalam dekapan ayahnya, membuatku begitu terharu. Mungkin dia rindu kasih sayang ayahnya, karena selama ini dia hanya mendapat kasih sayang dariku saja. Pria yang selama ini ada di dekat anakku, hanyalah kakek dan om nya.“Manda, bisa kita foto bertiga?” tanya Mas Haikal tiba-tiba, yang membuatku ter
Aku merasakan jantungku berdegup kencang. Aku sungguh tak menyangka bahwa akan bertemu Mas Haikal di saat akan menghindarinya. Aku berpikir keras untuk menjawab pertanyaan mantan suamiku itu. Kuperhatikan dirinya yang juga sepertinya akan check out dari hotel ini. Hatiku berdesir ketika melihat koper kecil di sebelahnya. Koper itu dulu aku yang membeli untuknya, dan selalu dia pakai untuk bepergian tugas ke luar kota. Aku tak menyangka Mas Haikal masih menggunakannya.“Manda, kok malah bengong?” tanya Mas Haikal yang sudah berada di dekatku. Dia meraih tubuh Pasya dari gendonganku, karena tubuh anakku terjulur ke arah Mas Haikal. Ya, anakku itu ingin digendong oleh papanya. Aku refleks menganggukkan kepala. Hal itu membuat Adel membulatkan matanya.“Mbak, kenapa mengangguk sih? Kita kan nggak pulang sekarang,” bisik Adel di telingaku.“Ya Tuhan, aku spontanitas saja tadi karena aku gugup, Del,” jawabku dengan berbisik juga.“Kalau mau balik ke Jakarta sekarang, bareng saja sama aku.
Lamunanku akan masa lalu buyar ketika sebuah tepukan lembut mendarat di punggung tanganku. Di saat itulah aku mendengar rengekan Pasya.“Manda,” bisik mas Haikal.“Eh, Pasya kenapa?” tanyaku cemas. Aku segera meraih tubuh anakku dari dekapan mas Haikal.“Mungkin dia haus,” sahut mas Haikal lembut ketika aku mengambil alih tubuh Pasya darinya.“Ya sudah, kamu pindah sana. Jangan di depanku dong!” titahku dengan suara pelan.“Ck, buat apa pindah sih? Aku juga sudah tahu isinya,” ucapnya dengan senyuman. Aku tahu mas Haikal mencoba untuk menggodaku. Hm, tak usah ya. Aku tak akan tergoda.“Kalau sayang sama anak, cepetan deh pindah. Aku mau susui anakku sekarang!” tegasku padanya.“Ok.” Mas Haikal lalu beringsut dari tempatnya duduk. Dia membalikkan tubuhnya, memunggungi aku.Ketika sudah merasa aman, aku lantas memberi ASI anakku, yang tampak sudah tak sabar. Senyum mengembang di bibirku ketika melihat Pasya menyusu sambil menatapku. Interaksi seperti inilah yang memberikan kepuasan ters
Pov Haikal.Aku mantan suami Amanda Iskandar Prayuda. Ya, biarpun kami sudah resmi bercerai, tapi aku tetap menganggap dirinya sebagai istriku. Aku tetap menyematkan namaku di belakang namanya. Andaikan Manda tahu, dia pasti akan marah besar dan meminta aku supaya tak menyematkan nama Prayuda di belakang namanya. Namun, kenyataannya justru dia yang memberikan nama Prayuda di belakang nama Pasya, anak kami. Ah, senangnya mengetahui kenyataan itu. Walaupun aku tahu kalau Manda melakukan itu, bukan karena dia masih memiliki perasaan padaku. Tapi, karena memang Pasya berhak atas nama itu karena dia adalah anak kandungku. Oh ya, mengenai perasaan Manda padaku. Aku kurang yakin juga kalau dia sudah tak memiliki perasaan cinta padaku. Meskipun dia sangat membenciku, tapi benci dan cinta itu kan beda tipis. Oleh karena itu, boleh kan aku berharap agar kami bisa bersatu kembali. Lagi pula Amanda pernah menjanjikan padaku kalau kemungkinan rujuk itu selalu ada. Jadi sepertinya tinggal tunggu wa
Mas Haikal masih terdiam duduk di tepi tempat tidur sambil menatap Pasya, yang sudah terlelap. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan karena aku mendengar helaan napasnya yang sering terdengar. Aku tetap berdiri di sisi tempat tidur yang tak jauh darinya, menunggu sesaat apa yang akan dia lakukan. Lima menit...sepuluh menit, mas Haikal bergeming. Dia diam saja di tempatnya, yang membuat aku memutuskan untuk menegurnya.“Mas, ingat pesan papa tadi. Kalau Pasya sudah tidur, Mas segera keluar dari kamar ini. Nggak baik berada di dalam kamar ini terlalu lama, karena kita sudah bukan suami istri lagi,” ucapku mengulang pesan papaku tadi.Mas Haikal menoleh seraya berkata, “Iya, aku akan segera keluar dari sini setelah kamu jawab beberapa pertanyaanku, Manda.”“Pertanyaan apa? Katakan saja, insya Allah akan aku jawab,” sahutku kalem.“Setelah kita resmi bercerai, kamu nggak mau menerima uangku. Padahal aku sudah bertekad akan memberimu nafkah sampai kamu menikah lagi. Walaupun aku memang berhar
“Ayolah, terima ini! Uang hasil penjualan rumah kita adalah hak kamu, Manda,” ucap mas Haikal setelah aku tak juga menerima amplop dari tangannya.Tanpa disangka, Pasya dengan antusias meraih amplop dari tangan papanya. Hal itu membuat mas Haikal dan aku terkejut.“Manda, kamu lihat sendiri kalau Pasya menginginkan uang ini. Jadi ambillah dan simpan, ya,” ucap mas Haikal sekali lagi.Aku akhirnya menuruti kata-katanya. Kuanggukkan kepalaku yang sontak membuat mas Haikal tersenyum semringah.“Baiklah, aku terima. Terima kasih, Mas. Uang ini akan aku gunakan untuk keperluan Pasya,” sahutku yang disambut oleh gelengan kepala mas Haikal.“Nggak. Itu murni untuk kamu. Aku kan dari tadi sudah bilang, kalau uang hasil penjualan rumah kita adalah hak kamu. Kalau Pasya biar jadi urusanku. Dia kan anakku, jadi aku wajib membiayainya. Aku akan transfer uang ke rekening itu setiap bulannya untuk Pasya. Hari ini aku sudah transfer uang untuk Pasya. Kamu bisa cek saldonya nanti,” cetus mas Haikal y