Ibu mas Haikal lalu memperlihatkan pesan tersebut pada suaminya dan padaku secara bergantian.Ayah mas Haikal bergeming ketika membaca pesan tersebut. Pria paruh baya itu tak memberikan reaksi apa pun. Beliau justru asyik bermain dengan cucunya.“Coba aku lihat pesannya itu,” pinta mas Haikal tiba-tiba. Dia dari tadi hanya bisa melihat ekspresi kami dari atas ranjang perawatan.Ibu mas Haikal memberikan ponselnya padaku, agar aku menyerahkannya pada mas Haikal.“Ini, Mas,” kataku setelah ponsel tersebut ada di tanganku.Mas Haikal menatap kedua video itu satu persatu. Berulang kali aku melihat dirinya menarik napas panjang, setelah melihat video tersebut. Begitu juga setelah dirinya membaca pesan dari bu Retno.“Aku sudah memaafkan mereka, tapi proses hukum terhadap Melvin harus tetap berjalan. Tolong sampaikan itu pada ibu Retno ya, Bu. Oh iya, rumah yang sebelumnya aku tempati bersama Meta, aku serahkan untuk Meta sebagai harta gono gini. Jadi silakan saja kalau mau ditempati atau d
Selesai sidang, Haris menghampiriku sebelum dia dibawa kembali ke penjara oleh petugas. Aku rupanya trauma juga dengan perlakukan Haris beberapa waktu yang lalu. Begitu dia mendekat, aku langsung merapat ke samping papa.“Jangan takut, Manda. Aku hanya ingin minta maaf padamu. Aku sangat menyesal telah berlaku bodoh. Aku khilaf dan...cemburu juga saat itu karena mendengar kamu akan rujuk dengan mantan suami. Mohon maafkan aku. Ini permohonan maafku dari lubuk hatiku yang paling dalam. Nggak ada niatan apa-apa. Aku tahu nggak akan bisa lepas dari jerat hukum. Semua bukti sudah lengkap, berikut saksinya. Aku nggak bisa mengelak lagi, bukan? Jadi aku minta maaf dengan tulus. Biar aku tenang saat menjalani masa hukuman,” ucapnya yang spontan aku angguki.“Iya, aku sudah maafkan,” sahutku cukup singkat saja karena ingin segera pergi dari ruangan itu. Jujur saja, berhadapan dengan Haris seperti memutar kembali rekaman kejadian beberapa waktu yang lalu. Aku bahkan sampai memegang kepalaku ya
Kedua orang tuaku datang ke ruang tengah setelah mendengar cucu mereka menangis. Mereka terkejut juga ketika melihat mas Haikal yang meringis menahan sakit, sambil memegang pinggang kirinya.“Haikal, Manda, ada apa?” tanya papa dan mama bersamaan.“Pasya saking senangnya bisa digendong papanya lagi, langsung heboh dan gerakannya itu menimbulkan nyeri di pinggang mas Haikal yang terluka itu,” sahutku.“Oh, begitu. Ya sudah, kita antar Haikal ke rumah sakit. Supaya diperiksa lukanya. Misal ada apa-apa, bisa langsung diobati,” ucap papa, yang kemudian melangkah menghampiri mas Haikal. “Ayo, Haikal!”“I-iya, Pa.” Mas Haikal dengan perlahan beranjak dari sofa, dengan dibantu oleh papa.“Kamu di rumah saja, Manda. Pasya mana mau kamu tinggal dalam keadaan menangis,” titah papaku.“Iya, Manda. Ada pak Ujang yang akan menyetir mobil kok. Jadi aku dan papa nggak akan repot. Jaga Pasya saja, ya,” timpal mas Haikal.Aku mengangguk seraya berkata, “Ok.”Aku dan mama mengantar mereka sampai di dep
Dua minggu kemudian.Aku menatap pantulan diriku di depan cermin ketika diri ini sedang dirias oleh make up artis. Aku mengenakan sanggul Jawa yang sudah dirajut dengan bunga melati. Make up wajahku yang tak mencolok, tapi terkesan elegan. Aku lirik kebaya putih gading yang diletakkan di atas kasur. Tak sadar kedua sudut bibirku terangkat membentuk sebuah senyuman. Mengingat kala pertama kali menjadi pengantin. Ah, aku sungguh tak menyangka kalau akan dua kali melaksanakan ijab kabul di depan penghulu dengan orang yang sama, Haikal Prayuda.Setelah berbagai macam peristiwa yang kami alami, akhirnya aku dan Mas Haikal kembali bersama menjadi pasangan suami istri. Tentu kali ini kehidupan rumah tangga kami nantinya akan lebih berwarna, karena ada Pasya di tengah-tengah kami. Bahkan Mas Haikal beberapa hari yang lalu sempat mengatakan, kalau dirinya ingin memberi Pasya seorang adik. Dia minta padaku agar tak mencegah kehamilan, meskipun usia Pasya saat ini masih satu setengah tahun. Aku
Wanita itu tersenyum padaku sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan diri ini. Aku yang tampak ragu akhirnya menerima uluran tangannya, karena tak etis rasanya mengabaikan seseorang yang ingin bersalaman. Sekalian aku meneliti dirinya yang aku perkirakan usianya sekitar sepuluh tahun di atasku.“Kenalkan, saya Winda. Mantan istrinya Haris,” sahutnya yang membuatku terkejut. Mau apa juga dia menemuiku di sini? Apa kebetulan? Andaikan dia ingin berbicara denganku mengenai Haris, buat apa juga? Toh aku sudah tak ada sangkut pautnya dengan Haris. Aku sekarang sudah ada yang memiliki, suamiku tercinta! Menyebut namanya, membuatku menoleh sekilas ke arah Mas Haikal yang sedang bercengkerama dengan Pasya di kursi tunggu.“Iya, Mbak Winda. Senang berkenalan dengan Mbak. Omong-omong, Mbak mau berobat juga di rumah sakit ini?” pancingku agar dia langsung mengatakan tujuannya menemuiku.“Oh, saya kerja di sini, Amanda. Saya bekerja sebagai salah satu perawat di rumah sakit ini. Saya
“Oh begitu, ya. Berarti sekarang Hesti itu sudah jadi istri resminya Haris dong. Soalnya Haris sudah resmi bercerai kan dengan Mbak Winda,” sahutku yang masih penasaran saja. Kulirik Mas Haikal yang tampaknya sudah kesal karena aku masih terus saja ngobrol.“Kalau soal itu saya nggak tahu. Setelah bercerai, saya sudah nggak peduli lagi dengan Haris. Saya hanya memikirkan anak saya saja. Itu lebih penting. Urusan Anisa jauh lebih penting dari pada urusan Haris dan Hesti, yang sudah membuat luka mendalam di hati saya. Tapi, saya pernah melihat di rumah sakit ini, Hesti menggendong seorang anak balita laki-laki. Itu saja sih yang saya tahu. Selebihnya saya nggak tahu dan nggak mau tahu,” sahutnya dengan mengangkat kedua bahu.Di saat aku sedang ngobrol dengan Winda, tiba-tiba saja Mas Haikal menghampiriku dan menepuk pelan pundakku.“Manda, kamu katanya mau periksa kehamilan. Ayo, kita ke Poli kandungan sekarang!”Aku sontak menoleh ke arahnya dan tersenyum canggung padanya. Tampak wajah
Aku sesekali melirik ke arah wanita itu. Meskipun aku berlagak tak peduli, namun tetap saja ada yang mengganjal di hati. Hingga akhirnya aku putuskan untuk memberitahu Mas Haikal tentang wanita berkacamata hitam itu.“Mas.”“Hm, ada apa?”“Coba Mas lihat deh wanita yang duduk di seberang kita, yang pakai kacamata hitam itu. Dia dari tadi melihat terus ke aku. Jadi merasa gimana gitu. Bukannya geer, tapi kok aneh saja aku dilihati orang terus menerus. Jadi kayak punya salah aku ini,” ucapku dengan suara pelan, khawatir kalau sampai terdengar oleh yang bersangkutan.Mas Haikal lalu menoleh ke arah meja wanita yang aku maksud. Begitu juga dengan diri ini, yang ikut menoleh ke arah meja wanita yang berkacamata hitam. Namun, alangkah terkejutnya aku ketika tak mendapati diri wanita itu di tempatnya duduk tadi. Aku sampai mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari sosok wanita itu.“Mana orangnya, Manda? Meja yang kamu maksud sudah kosong kok,” ucap Mas Haikal, yang membuatku mengeru
“Suruh dia masuk, Pak!”“Baik, Bu.”Aku menunggu Pak Imam datang bersama dengan wanita itu. Sesekali aku menoleh ke dalam rumah dan Mas Haikal sudah tak tampak. Dia sudah masuk ke dalam kamar Pasya rupanya. Aku akan mengirimkan pesan padanya agar dia tak mencariku, karena aku tak mengikutinya masuk ke dalam rumah.[Mas, aku masih di teras. Ada tamu.]Tak lama pesanku pun sudah terkirim dan segera dibaca oleh suamiku. Tak sampai satu detik, kuterima pesan balasan dari Mas Haikal.[Siapa tamunya? Aku menemani Pasya dulu. Kalau dia sudah anteng, aku akan turun menemani kamu.]Segera kubalas pesannya.[Ok.]Sengaja aku tak memberitahu perihal wanita yang datang ingin mencari pekerjaan di rumah ini. Aku malas membahasnya melalui pesan. Aku ingin membahasnya secara langsung.Setelah aku berkirim pesan pada suamiku, Pak Imam sudah berdiri tak jauh dari tempatku duduk. Di sampingnya berdiri seorang wanita muda dengan tubuh tinggi semampai.“Bu Manda, ini tadi yang mau cari kerjaan di sini,” u