Jonas—yang memang berusia tiga tahun lebih tua dari Sagara lantas memiliki pemikiran yang dewasa dan memahami kondisi kelabilan yang sedang Sagara alami kini. Namun, ia juga tidak ingin menyalahkan Hanna yang ingin menghukum suaminya itu dengan pergi tanpa sepengetahuan pria itu.“Sudah kenyang, Hanna?” tanya Jonas setelah melihat nasi serta lauk di atas piring Hanna sudah habis.Hanna mengangguk. “Sudah, kok. Sangat kenyang. Terima kasih ya, Jonas.”“Sama-sama. Jangan nangis lagi, yaa.”Hanna mengulas senyumnya. “Iya, Jonas. Gimana kabar mama kamu? Katanya, kamu pulang karena mama kamu sakit.”Jonas menganggukkan kepalanya. “Sudah mendingan. Tapi, masih belum bisa bangun.”“Oohh. Semoga cepat sembuh ya, Jonas. Aku tau, kamu adalah anak kesayangan mama kamu.”Jonas tersenyum lebar. “Kamu … masih ingin di sini? Sudah hampir jam lima.”Hanna melihat jam yang melingkar di tangannya. “Oh, iyaa. Sudah sore. Ternyata, bukan makan siang lagi. Tapi sekalian makan malam.”Jonas terkekeh sembar
Andra menghela napasnya dengan panjang. Ia pun menghubungi Citra, meminta untuk menemuinya di rumahnya."Apa?! Hanna kabur dari rumah? Sejak kapan?" Citra terkejut dengan ucapan Andra yang memberi tahu jika Hanna pergi dari rumah."Makanya ke sini. Gue minta bantuan elo buat nyari Hanna. Si Sagara pake acara sakit, pula. Kebiasaan emang ini anak. Tiap ada masalah, pasti lupa makan dan akhirnya bikin asam lambungnya naik.""Astaga. Ya udah, gue ke rumah elo sekarang. Kebetulan, gue lagi free juga." Citra menutup panggilan tersebut dan bergegas menuju rumah Andra.Sementara Andra kembali duduk di samping Sagara. Ia menghela napasnya dengan pelan sambil menatap Sagara yang tengah duduk sembari melamun."Makan, nih. Kalau pengen ketemu sama Hanna, elo harus sembuh. Kita cari sama-sama. Gue bakal nemenin elo nyari Hanna sampai ketemu," kata Andra berucap dengan pelan.Mata sembab dan layu mengangkat dan menatap Andra. "Gue mengkhawatirkan kondisi Hanna di luar sana, Ndra. Kalau di rumah da
Hanna terdiam sejenak. Ia baru tahu, Andra datang ke sini mencarinya hanya bersama Citra. Kemudian ia pun menggelengkan kepalanya. Menghilangkan rasa khawatirnya kepada Sagara."Mungkin nyarinya berpencar. Makanya nggak barengan," ucapnya berharap seperti itu. "Atau mungkin juga dia lagi sibuk urus resto. Sepuluh hari lagi restonya selesai dan akan segera dibuka untuk umum," sambungnya kemudian.Namun, raut wajahnya tidak berkata seperti itu. Ia mengkhawatirkan kondisi Sagara di sana. Ingin kembali, tapi masih belum ingin. Hanna pun tersenyum pasi."Bukan karena sakit. Dia memang udah gak peduli lagi sama aku. Mana mau, nyari aku," ucapnya dengan pelan.Dita mengusapi lengan Hanna. "Bukan begitu, Mbak. Mas Sagara pasti nyari Mbak. Jangan berpikir negatif terus kalau sebenarnya Mbak ingin sekali, Mas Sagara mencintai Mbak dengan sepenuh hati dia."Hanna menolehkan kepalanya dengan pelan kepada Dita. "Begitu ya, Dit?" tanyanya kemudian.Dita mengangguk. "Iya. Istirahat lagi, Mbak. Saya
Andra mengendikan bahunya. “Sagara bakal bikin Lestari maju lagi setelah puas menyakiti Krisna. Dia udah punya strategi yang nggak akan elo tau sampai semuanya dia lakukan. Banyak hal yang dia rencanakan termasuk bikin Lestari akan kembali maju lagi. Kita cukup jadi penonton aja.“Sekarang, Sagara belum bisa gerak karena kepergiaan Hanna. Dia nggak akan bisa kerja kalau Hanna belum ditemukan. Sebenarnya, sumber kekuatan Sagara ada di Hanna. Tapi, dia sendiri yang udah bikin Hanna sakit.”Citra menghela napasnya dengan pelan. “Papa emang keterlaluan. Kalau Sagara butuh gue agar dimaafin sama Hanna, gue siap. Karena, kalau Papa nggak kasih tau semuanya, Sagara pasti nggak akan sampai bersikap dingin dan bingung sampai cuekin Hanna.”Andra menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Sagara bisa mengatasi masalahnya sendirian, kalau masalah hubungannya.”“Oh, gitu.”Andra mengangguk lagi. Setelahnya, ia
Pagi hari. Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Sagara yang baru selesai mandi kemudian sarapan dan minum obat. Ia terus memantau ponselnya, berharap pesan yang ia kirim pada ponsel terkirim.Namun, hingga lima belas menit lamanya Hanna masih belum mau mengaktifkan ponselnya. Lantas pria itu putus asa. Tak ingin menunggu lagi lantaran Hanna tidak akan pernah mau mengaktifkan ponselnya sampai kapan pun.Sagara memilih untuk pergi ke rumah sakit jiwa untuk menemui sang mama. Sudah terlalu lama ia membiarkan Mayang sendiri di sana. Sudah waktunya ia menjenguk dan melihat keadaannya yang semakin parah itu.“Sagara. Kondisi elo udah sehat bener? Muka elo masih pucat kayak gitu,” kata Andra mengejar Sagara yang sudah berada di garasi mobil.Sagara mengangguk dengan pelan. “Gue udah mendingan, Andra. Gue mau jenguk Mama.”“Yaa gue ikut, Sagara. Biar gue aja yang nyetir. Muka elo masih pucat, elo juga pasti nggak punya ten
Sagara lantas memijat keningnya. Sementara Suster Indah hanya mendengarkan saja. Ia pun tak bisa merespon apa pun karena tidak pernah melihat sosok hantu berbentuk Satya di ruangan itu.Namun, ia teringat sesuatu saat ia menginap di sana dan menemani tidur Mayang di ruangan tersebut. Ia pun menolehkan kepalanya dengan cepat kepada Sagara.“Mas. Saya teringat sesuatu saat saya tidur di sini,” kata Suster Indah kepada Sagara.Sagara menoleh pelan kepada Suster Indah. “Ingat apa, Sus? Suster lihat papa saya, nyamperin Mama?”Suster Indah menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Bukan, Mas. Saya nggak bisa lihat hal begituan. Tepatnya saya melihat Bu Mayang bicara sendiri di tengah malam jam dua pagi.”Sagara mengerutkan keningnya. “Ngomong sendiri? Bukannya, yang nggak waras emang suka ngomong sendiri. Selain ngomongnya ngelantur. Nggak bisa dipercaya kalau orang gila ngomong.”Suster Indah terkekeh
Sagara menganggukkan kepalanya kemudian mengecup kening sang mama. "Aku pulang dulu ya, Ma. Semoga Mama segera sembuh dan sehat seperti semula. Juga, kejiwaan Mama juga kembali normal. Aku sayang Mama." Sagara mengusapi rambut mamanya itu.Setelahnya, ia pun keluar dari ruangan itu diikuti oleh Andra dan juga Suster Indah. Setibanya di luar, Andra menatap Suster Indah dengan lekat sembari mendengarkan obrolan Sagara dengan perempuan itu."Tolong beri tahu saya secepatnya, apa pun itu. Karena saya tidak ingin melewati info sedikit pun dari Mama. Mohon kerja samanya ya, Suster Indah. Saya butuh info dari Anda," kata Sagara memohon kepada Suster Indah.Perempuan itu mengangguk sembari mengulas senyumnya. "Iya, Mas Sagara. Anda tenang saja. Saya pasti akan memberikan informasi kepada Anda mengenai Bu Mayang."Sagara menerbitkan senyumnya. Kemudian menoleh kepada Andra yang berdiam diri di sampingnya. Tengah menatap Suster Indah seolah tak akan pernah menatapn
Belum Dita menjawab, perempuan itu keluar dari kamarnya dan menghentikan langkahnya dengan cepat kala melihat sang suami berdiri menatap Dita. Lalu, Sagara menolehkan kepalanya kepada sang istri sembari menghela napasnya dengan lega.Ia pun menghampiri perempuan itu dan menatapnya dengan sayu. "Aku tau, kesalahan aku sangat fatal, Hanna. Aku minta maaf dan aku mohon sama kamu, pulang. Jangan tinggalkan aku kayak gini. Sudah hampir seminggu kamu menghilang tanpa ada kabar. Buat aku stress, Hanna. Aku gak nggak berniat buat cuekin kamu, apalagi marahin kamu." Sagara berucap dengan suara bergetar.Tak mampu lagi menahan air matanya, lantas pria itu menitikan air mata tersebut. Namun, Hanna membuang muka sembari menelan salivanya dengan pelan."Cukup sakit dan kamu tau itu, Sagara. Dan aku tidak akan luluh begitu saja hanya karena lihat kamu menangis. Aku punya hati, punya perasaan. Bisa sakit saat mendengar penuturan kamu yang nusuk banget di relung hati aku. Menga