Sagara menganggukkan kepalanya kemudian mengecup kening sang mama. "Aku pulang dulu ya, Ma. Semoga Mama segera sembuh dan sehat seperti semula. Juga, kejiwaan Mama juga kembali normal. Aku sayang Mama." Sagara mengusapi rambut mamanya itu.
Setelahnya, ia pun keluar dari ruangan itu diikuti oleh Andra dan juga Suster Indah. Setibanya di luar, Andra menatap Suster Indah dengan lekat sembari mendengarkan obrolan Sagara dengan perempuan itu.
"Tolong beri tahu saya secepatnya, apa pun itu. Karena saya tidak ingin melewati info sedikit pun dari Mama. Mohon kerja samanya ya, Suster Indah. Saya butuh info dari Anda," kata Sagara memohon kepada Suster Indah.
Perempuan itu mengangguk sembari mengulas senyumnya. "Iya, Mas Sagara. Anda tenang saja. Saya pasti akan memberikan informasi kepada Anda mengenai Bu Mayang."
Sagara menerbitkan senyumnya. Kemudian menoleh kepada Andra yang berdiam diri di sampingnya. Tengah menatap Suster Indah seolah tak akan pernah menatapn
Belum Dita menjawab, perempuan itu keluar dari kamarnya dan menghentikan langkahnya dengan cepat kala melihat sang suami berdiri menatap Dita. Lalu, Sagara menolehkan kepalanya kepada sang istri sembari menghela napasnya dengan lega.Ia pun menghampiri perempuan itu dan menatapnya dengan sayu. "Aku tau, kesalahan aku sangat fatal, Hanna. Aku minta maaf dan aku mohon sama kamu, pulang. Jangan tinggalkan aku kayak gini. Sudah hampir seminggu kamu menghilang tanpa ada kabar. Buat aku stress, Hanna. Aku gak nggak berniat buat cuekin kamu, apalagi marahin kamu." Sagara berucap dengan suara bergetar.Tak mampu lagi menahan air matanya, lantas pria itu menitikan air mata tersebut. Namun, Hanna membuang muka sembari menelan salivanya dengan pelan."Cukup sakit dan kamu tau itu, Sagara. Dan aku tidak akan luluh begitu saja hanya karena lihat kamu menangis. Aku punya hati, punya perasaan. Bisa sakit saat mendengar penuturan kamu yang nusuk banget di relung hati aku. Menga
"Kamu masih perhatian. Tapi hanya perhatian dari ucapan aja. Sedangkan hati kamu masih gedek bahkan gak mau lihat muka aku. Baiklah. Aku tidak akan mengganggu kamu lagi. Agar kita sama-sama saling merindu dan ingin bertemu dengan sungguh-sungguh. Bukan karena terpaksa."Sagara menghela napasnya dengan pelan. Kemudian masuk ke dalam kamarnya karena rasa kantuk sudah menyerangnya. Sementara Andra masih betah di sana dan tidak sadar jika Sagara sudah masuk ke dalam. Lantaran terlalu asyik berkirim pesan dengan Suster Indah."Sagara?" Andra bangun dari duduknya setelah melihat sekeliling jika Sagara tidak ada di sana. "Si kampret, ternyata udah masuk ke dalam. Sialan bener itu anak." Andra pun ikut masuk ke dalam rumah dan menghampiri Sagara di dalam kamarnya.Terlihat pria itu tengah duduk di tepi tempat tidur sembari memandang jendela. Tatapan itu kosong. Seperti hatinya. Tengah kosong dan hampa. Ada Hanna pun di dalam sana, jika raganya tidak ada di sampingnya, s
“Sagara. Sebaiknya kamu jangan ke sini. Nanti saja. Aku minta maaf karena aku gak tau kalau Damar lagi nyari kamu. Dia … dia, sekarang ada di depan boutique. Aku mohon sama kamu, jangan ke sini. Aku akan baik-baik saja. Aku janji.”Sagara menitikan air matanya lagi. Mana mungkin ia bisa tenang sementara Damar sedang berada di depan boutique Hanna. Ada Hanna di dalam sana, membuat Sagara semakin tak karuan.“Aku gak bisa diem aja, Hanna. Kalau Damar masuk ke dalam, terus lihat kamu … apa yang akan dia lakukan? Aku nggak mau itu terjadi. Aku harus ke sana. Ini semua salah aku. Yang berurusan dengan dia adalah aku, bukan kamu.”“Sagara! Dia nggak tau kalau aku ada di sini. Kamu jangan sok jadi pahlawan. Biar Damar pergi dulu dari sini. Aku pasti akan memberi tahu kamu. Dia berdiam diri di depan boutique karena menunggu aku datang. Dan mungkin dia pikirnya aku masih sering ke sana.“Aku yakin, sebentar lagi Damar akan pergi. Dia pasti akan pergi karena baik aku atau kamu, tidak ada yang d
Polisi sudah berada di boutique Hanna. Sepuluh menit setelah Hanna dibawa oleh Damar. Kondisi boutique sudah berantakan dengan ketiga karyawannya tengah menangis. Dita segera bangun dari duduknya dan menghampiri pihak kepolisian.“Saya baru saja menghubungi polisi, lima menit yang lalu. Tapi, Mbak Hanna sudah dibawa oleh si penculik itu, Pak. Tolong selamatkan Mbak Hanna, Pak. Saya mohon. Beliau sedang hamil.” Dita memohon dengan air mata terus berurai.“Kami dihubungi oleh Pak Sagara untuk segera ke sini karena ada pria yang hendak menculik Bu Hanna. Maafkan kami karena terlambat datang. Kami berjanji, akan mencari keberadaan Bu Hanna dengan selamat.”Tony—sebagai ketua tim penyelidik lantas menghubungi Sagara kembali. Tak lama setelahnya, Andra segera menerima panggilan itu.“Bagaimana, Pak? Hanna sudah aman?” tanya Andra di seberang sana.“Mohon maaf, Pak. Kami terlambat kemari karena Bu Hanna sudah berhasil dibawa oleh si penculik.”“APA!” Andra berteriak hingga membuat Sagara mer
Sagara kembali menatap wajah Hanna yang sedari tadi diam saja. Kemudian menatap Damar kembali dengan tajam.“Gue yang punya urusan sama elo. Kalau mau sekap, sekap gue. Jangan Hanna. Dia nggak punya salah apa pun. Jangan pernah sentuh dia dan jauhkan pistol itu dari kepala Hanna, sialan!” pekik Sagara kemudian.“Kalian berdua sama. Karena Hanna adalah istri kamu. Jika saya membawa Hanna, itu sam artinya dengan membawa kamu. Dan memang benar, kan? Kamu datang karena untuk menyelamatkan Hanna.” Damar kembali tersenyum miring.Sagara menelan salivanya.“Terus ulur waktu, Sagara. Sepuluh menit lagi polisi sampai. Gue udah kirim lokasinya ke mereka. Elo dan Hanna akan aman. Bolak balik aja ucapan elo, kalau udah kehabisan kata,” kata Andra berbisik kepada Sagara.“Bicara apa kamu?” tanya Damar kemudian.Andra menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Mau Om apa sih? Kenapa culik Hanna, dan maksud dari pesan yang dikirim Om itu apa?”“Tanyakan saja pada Sagara. Dia harus bertanggung jawab atas
“Seharusnya aku ikut pulang saat kamu jemput aku. Seandainya aku nggak egois, kejadian seperti ini pasti tidak akan pernah terjadi,” ucapnya penuh sesal.Sampai akhirnya Hanna menyalahkan dirinya lantaran tidak ikut pulang saat Sagara menjemputnya bahkan pria itu sudah memohon kepadanya agar mau ikut dengannya.Namun, itu semua hanya sebuah penyelasan yang tiada ujungnya. Sagara sudah terkapar tak sadarkan diri karena menolongnya dari sanderaaan Damar.Tiba di rumah sakit. Dokter Handoko serta beberapa perawat segera mengambil tindakan dan membawa Sagara ke dalam ruang operasi. Karena info dari kepolisian jika Sagara tertembak oleh ayah tirinya sendiri.“Tolong selamatkan suami saya, Dok,” lirih Hanna memohon kepada Dokter Handoko.“Anda tenang saja, Bu. Kami akan melakukan yang terbaik untuk suami Anda.” Dokter Handoko menepuk lengan Hanna kemudian masuk ke dalam ruang operasi.Memulai melakukan pengambilan peluru di dalam tubuh Sagara. Memerlukan waktu tiga jam lamanya untuk proses
Hanna terdiam. Sementara Andra sudah diajak oleh perawat untuk melakukan pengecekan golongan darah. Berharap pria itu memiliki golongan yang sama dengan Sagara.Hanna mengusapi perutnya. Pikirannya sudah kalut. Ia pun memejamkan matanya sembari meremas perutnya itu.‘Kita pernah berjuang sama-sama. Kamu masih ada di sini karena Sagara. Tapi, dia bukan papa kandung kamu. Mama jahat nggak sih, kalau harus mengobarkan kamu demi menyelamatkan Sagara.’ Hanna dalam kebingungan.‘Tapi, Sagara pasti marah besar kalau tau aku nekad mendonorkan darahku. Jika terjadi sesuatu pada anakku, Sagara pasti akan merasa bersalah. Aku tau betul sifat dia seperti apa.’ Hanna kembali berucap dalam hati.Sementara Dokter Handoko sudah kembali ke ruang operasi untuk segera menyalurkan darah itu ke dalam tubuh Sagara yang terlihat begitu pucat.“Apa yang harus aku lakukan? Mana mungkin aku bisa tenang seperti ini, sementara Sagara kekurangan darah dan itu akan menyebabkan efek yang serius pada kondisi Sagara.
Dokter Handoko tercengang mendengar penuturan dari Hanna. Ia pun hanya menganggukkan kepalanya kemudian pamit keluar. Ingin segera membuka berita tentang pasien yang baru saja dia operasi itu. Sampai masuk berita, dan dia tidak tahu menahu soal itu.Lantas pria itu menganga kala melihat berita yang sudah tersebar dengan cepat dalam hitungan menit.“Caraka Sagara? Putera tunggal Satya, pemilik Anumerta Coorporation? Astaga!” Dokter Handoko benar-benar terkejut dengan fakta yang mengejutkan dalam berita yang baru saja dia ketahui.“Pantas saja, media meliputnya. Karena memang anak ini dicari banyak orang dan masih mempertanyakan tentang kematiannya kala itu. Semuanya ditutupi oleh Damar, si licik yang sudah mengambil alih perusahaan itu. Semoga kamu mendapat ganjaran yang setimpal, Damar.”Dokter Handoko tampaknya terbawa emosi kala melihat berita tentang Sagara. Yang kini diketahui oleh publik, jika pria itu masih hidup dan kini sedang menanti anak pertamany. Yang mereka sangka jika an
"Kita lakukan tes terlebih dahulu. Susternya sudah saya minta untuk membawakan alat tes kehamilan juga," kata Dokter Azmi menjelaskan.Sagara tampak terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika Hanna bisa secepat itu memberinya keturunan, kalau memang alat itu menunjukkan dua garis biru.Tak lama kemudian, Dokter Aris datang dan memberikan tespack kepada Hanna. "Silakan dicek terlebih dahulu, Bu Hanna. Kita periksa setelah hasilnya sudah keluar."Hanna mengangguk kemudian mengambil alat tes kehamilan itu. Lalu, masuk ke dalam toilet untuk segera melakukan tes kehamilan. Semakin cepat, semakin baik. Begitu menurutnya.Lima menit kemudian. Hanna keluar dari toilet. Sagara tengah duduk di samping sang anak yang sedang memakan buah apel yang sudah Sagara potong-potong."Positif, Dok." Hanna memberikan alat itu untuk diperlihatkan kepada Dokter Aris.Dokter Aris manggut-manggut. "Kalau begitu, kita lakukan USG terlebih dahulu. Agar tahu, sudah berapa usianya."Sagara juga ikut ke ruang USG. Pun
Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kenangan terburuk yang pernah dia alami begitu menyakitkan hatinya. Di mana nasib buruk itu mengguncang dirinya, datang secara bersamaan.Namun, hasil yang kini dia dapatkan jauh lebih baik dari apa yang pernah dia miliki. Bahkan, orang-orang yang sudah merendahkannya kini bertekuk lutut padanya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di mana acara pernikahan itu sudah selesai dilaksanakan. Para tamu yang datang sudah pulang ke rumah masing-masing.Pun dengan Sagara dan juga Hanna. Mereka memilih untuk pulang setelah acaranya selesai.Di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat canggung karena tidak tahu harus dimulai dari mana.Andra pun mengirim pesan kepada Sagara untuk menanyakan perihal malam pertama yang harus dia lakukan.Andra: [Udah molor, belum? Apa jangan-jangan mau ngalahin gue!]Pesan terkirim.Sementara Indah masih berada di dalam kamar mandi. Seolah tak tahu, apa yang harus dia lakukan.Ting!Sagara: [Baru pemanasan. Tapi, karena el
“Milla kenapa jadi begitu? Bener-bener sampul nggak bisa menjamin bisa dipercaya,” kata Hanna setelah kembali dari kamar mandi.Sagara mengendikan bahunya. “Lagi suka sama seseorang, kali. Makanya cari perhatian.”Hanna lantas menolehkan kepalanya kepada Sagara. “Kalau sukanya sama kamu, gimana?”Sagara tersenyum miring. “Yaa nggak gimana gimana, Sayang. Mau diganti lagi? Aku sih, terserah kamu aja. Karena aku nggak akan terkena rayuan apa pun kalau dia berani merayuku.”Perempuan itu hanya melirik Sagara yang berbicara dengan santainya. Sebab memang begitu kenyataannya. Tidak tergoda sedikit pun pada orang-orang yang berani menggodanya."Gak akan kelar, kalau diganti lagi dan lagi. Biar aja. Kecuali kamunya oleng."Sagara menatap Hanna kemudian menghela napas kasar. "Nggak akan. Janji, gak akan oleng. Aku gak mau kehilangan kamu. Daripada ladenin orang macam dia, lebih baik aku pindah jabatan aja, kerja di Lestari aja."Hanna terkekeh pelan. "Yaa bagus. Jangan sampai membuang berlian
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Di ruang makan. Sagara, Hanna, Mayang dan juga Suster Indah tengah sarapan bersama.“Jadi gimana, Sus? Tetap mau resign?” tanya Sagara setelah menyelesaikan acara makannya.Suster Indah menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Bisa kita bicara, Mas Sagara?”Sagara mengangguk. “Temui saya di ruang kerja!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. Setelahnya, diikuti oleh Suster Indah setelah pamit kepada Hanna dan juga Mayang.“Jadi gimana, Sus?” tanya Sagara setelah tiba di ruang kerjanya.Suster Indah memberikan catatan yang setiap hari ia tulis mengenai kondisi kesehatan Mayang.“Bu Mayang masih butuh pendamping, Mas Sagara. Dan sepertinya, harus selalu ditemani sampai selamanya. Kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya kembali. Dan memang, banyaknya pasien yang sembuh itu tidak sembuh permanen,” tutur Suster Indah menjelaskan.Sagara melihat catatan tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Harusnya cari yang udah tua, janda atau perawan tu
Sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Setelah berjam-jam lamanya, tanpa ada transit terlebih dahulu. Akhirnya tiba di tanah kelahiran.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Waktu yang tepat untuk mereka makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Makan di resto mereka, yang saat itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih untuk makan di lantai tiga, ruang privasi sang pemilik resto.“Sayang. Rivano-nya tidurin di tempat tidurnya aja. Bawa ke sini,” teriak Sagara kepada Hanna yang tengah menyusui sang anak.“Iyaaa!” sahut Hanna kemudian.Sagara pun kembali menyesap kopi miliknya yang ia pesan lima menit yang lalu. Sembari menunggu makanan yang mereka pesan tiba.“Gue mau bahas project di Singapura. Kemaren, mereka pengen revisi motif yang ada di ujung deket kaca gitu. Katanya, terlalu rame dan warnanya juga kurang cocok dengan warna tembok kantor mereka.”Sagara manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya gue lagi males bahas kerjaan. Karena gue masih cuti. Tapi, karena besok udah
Wisnu sudah tak tahan lagi dengan ucapan tak masuk akal Linda. Meminta agar Hanna dimasukkan ke dalam pemilik Lestari. Daripada meladeni ucapan aneh istrinya itu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu.Linda mendengus kasar. Ia kemudian menghubungi Hanna untuk memarahi anaknya itu karena sudah berani berhenti bekerja.“Ma. Kan, udah Mas Adi yang menghidupi aku. Setiap bulan juga, aku selalu kirim uang ke Mam,” keluh Hanna dalam panggilan tersebut.Kebetulan sekali, perempuan itu sedang berada di rumah Hanna karena diminta untuk datang ke sana. Membantunya membuka semua kado dari para tamu undangan.“Kenapa dia?” tanya Andra yang juga ikut membantu membuka kado.Hanna mengendikan bahunya. “Kayaknya … mamanya Hanna matre, deh. Kedengerannya sih, Hanna ini diminta untuk kerja lagi.”"Ya elaaah! Si Adi gajinya udah puluhan juta juga. Masih aja kudu kerja. Beneran sih, kalau kayak gitu mah. Matre." Andra menepuk jidatnya.Hanna kembali duduk di samping Hanna, kemudian menghela napas pa
Dalam hal ini, mereka memang seperti dunia terbalik. Bukannya Hanna yang meminta Sagara agar mengabulkan permintaannya untuk pergi ke luar negeri. Dan yang terjadi di sana malah Sagara yang terlihat begitu antusias untuk mengajak Hanna pergi ke luar negeri."Sayang. Andra pengen lamar Suster Indah di sana.""Sebenarnya aku masih capek. Tapi, kalau kamu maksa, ya udah. Karena tempat itu memang tempat yang sangat ingin aku kunjungi. Aku pernah punya mimpi, ingin pergi ke sana bersama orang yang aku cinta.""Dan aku akan mewujudkannya. Kamu nggak perlu gendong Rivano, biar aku aja. Karena aku nggak tahu kapan akan bisa punya waktu untuk mewujudkan semua keinginan kamu, untuk pergi ke luar negeri. Termasuk Budapest. Enam bulan yang akan datang, aku akan disibukkan dengan kuliah juga dengan pekerjaan kantor. Sepertinya tidak akan punya waktu banyak untuk kamu dan juga Rivano."Kita manfaatkan waktu ini untuk pergi ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita hanya punya waktu weekend sa
Sagara mengulas senyumnya. “I love you more. Kamu sangat mencintaiku, aku lebih lebih mencintai kamu. Don’t leave me. Aku butuh kamu.”“Hanya akan pergi, jika kamu yang menginginkanku pergi. Tidak dibutuhkan lagi untuk mengisi hidupmu.”“Dan itu tidak akan pernah terjadi,” ucapnya kemudian meraup bibir istrinya kembali.Permainan kedua akan dimulai lagi. Kemudian, Hanna menghentikan Sagara yang tengah meraup bibirnya.“Mau, yang lebih dari ini?” tanyanya sembari mengusapi milik Sagara yang semakin mengeras.“Apa itu?” tanyanya kemudian.Tanpa memberi tahu, Hanna menjatuhkan tubuh Sagara kemudian merangkak ke bawah sana. Melahap benda itu dengan gerakan yang membuat Sagara semakin menggila.“Arrgghh! Fuck you, Hanna!” Sagara meremas lengan Hanna seraya menikmati setiap permainan yang tengah dilakukan oleh istrinya itu.“Don’t stop, Honey!” lirih Sagara yang tengah kegirangan akan permainan yang dilakukan oleh Hanna.“Never!” ucapnya kemudian tersenyum menyeringai.**Waktu sudah menunj
“Di tempat ini?” tanya Suster Indah dengan pelan. Deru napas Andra bahkan masih sangat terasa karena jarak yang memisahkan mereka hanya satu helai rambut saja.Andra mengulas senyumnya. “No! Hanya spontan saja. Di tempat ini, terlalu biasa dan aku nggak bawa apa-apa. Di tempat yang lain aja. Kita tunggu waktunya tiba.” Kemudian Andra mengecup kening kekasihnya itu. “Terima kasih, sudah menjadi pembuka hatiku yang dulu tidak pernah bisa dibuka karena hal dan lainnya.”Suster Indah mengangguk. “Terima kasih, sudah menjadi yang pertama dan semoga menjadi yang terakhir.”Andra mengangguk. “Aamiin. Kita berusaha sama-sama. Menjalaninya juga bersama-sama. Apa pun yang terjadi nanti, kita harus bisa menghadapinya.”Perempuan itu kembali menerbitkan senyumnya. “Iya, Mas.”“Aku mau ke dalam lagi. Kamu, masih tetap ingin di sini? Memangnya, Tante Mayang masih belum waras betul, yaa?”“Belum, Mas. Kejiwaan seseorang tidak akan kembali normal seperti dulu. Pasti akan selalu ada yang namanya kambu