Jutaan kubik air yang runtuh dari langit kian deras, mencipta genangan yang membasahi bumi hingga bau tanah basah tercium kental. Masih dalam suasana duka yang menyelimuti, tangis di wajah Sinta masih belum kunjung reda. Seakan memiliki ikatan batin cukup kuat, Sinta memaksa untuk diantar ke rumah sakit menemui David. Pertemuan mengharu biru yang menguras air mata dan emosi berlangsung selama tiga jam. David menghembuskan napas usai meminta maaf pada semua orang yang dirasanya telah dia sakiti. Sinta yang masih belum bisa menerima kenyataan begitu terpukul kehilangan salah satu sosok yang sudah dianggapnya sebagai cucu. "Maafkan, Oma. Maaf." Bibir wanita berusia senja itu tak henti mengucap kata maaf. Sinta merasa ikut andil atas kekacauan yang terjadi. Andai dia bisa bersikap sewajarnya, mungkin kejadian seperti ini tak perlu terjadi. Kebahagiaannya karena telah dipertemukan dengan Sakti membuatnya melupakan sosok yang perlu dia bagi perhatian juga. "Berhenti menyalahkan diri, Ny
Segelas jus alpukat dan sepotong roti bakar hazelnut yang masih menguarkan asap tipis belum tersentuh sama sekali. Chava masih setia mengunci rapat mulutnya. Meski telah berusaha mengikhlaskan apa yang terjadi di masa lalu, tak dipungkiri, sakit itu masih terasa. Bukan Chava membenci Azzam maupun Hana, bukan. Hatinya telah berdamai cukup lama, berbesar hati untuk tidak menanam dendam dalam sanubari. Bukan pula rasa cintanya masih tertinggal untuk mantan suaminya, tetapi Chava juga manusia biasa. Setiap orang tentu berbeda menanggapi rasa sakit, juga mengobatinya. Tak Chava pungkiri, hatinya masih menyimpan sedikit kesakitan. Awalnya sengaja Chava ingin menghindari Hana, tetapi bujukan suaminya yang membuatnya sekarang berada di tempat yang sama dengan bekas madunya itu. Duduk saling berhadapan, mencipta suasana tak nyaman sementara Sakti menunggu di meja terpisah dengan dalih membiarkan dua wanita itu leluasa berbicara. "Maaf membuatmu tak nyaman setiap kali kita bertemu, Va. Sebag
Rinai gerimis masih berjatuhan dari langit, meniupkan bayu mencipta hawa dingin. Meski matahari mulai muncul di kaki langit, cahayanya terhalang langit kelabu. Bumi masih menggelap, membuat sebagian orang enggan beranjak dari kasur. Pun dengan Chava yang sedari tadi asyik bergelung di bawah selimut tebal berbulu. "Bangun, Yang. Sarapan."Sakti baru saja selesai memakai dasi, duduk di tepian ranjang mengusap kepala istrinya. Hormon kehamilan kadang membuat mood Chava mudah berubah-ubah. Sejak usia kehamilannya makin membesar, Chava menjadi mudah mengantuk. Sakti biarkan saja wanita itu bangun lebih siang dari biasanya karena malamnya Chava sering kesulitan tidur. Alih-alih bangun, Chava justru semakin mengeratkan selimut. "Mas sudah mau berangkat? Maaf, nggak bisa ngurusin kamu," ucapnya dengan mata tertutup. "Nggak apa, Mas bisa ngurus diri Mas sendiri, kok. Terpenting kamu sama anak kita nyaman.""Malas bangun." Chava meringkuk. "Ya sudah, biar Mas suruh bibi antar sarapan ke sin
"Sayang, kamu Mas tinggal dulu sebentar, nggak apa? Kebetulan Mas ada perlu sebentar.""Iya, Mas." Chava tak menaruh curiga sedikit pun pada suaminya. Ia pikir memang Sakti masih harus menyelesaikan banyak pekerjaannya yang menumpuk. "Kamu bisa istirahat di belakang barangkali mau rebahan.""Di sini saja, nanti kalau capek aku langsung masuk.""Ya sudah, Mas pergi sekarang. Kalau ada apa-apa langsung telepon Mas, ya? Semisal butuh sesuatu jangan sungkan buat minta sama Tania." Sakti mengusap pucuk kepala istrinya sebelum benar-benar berlalu dari sana. Selain satu judul buku yang sedang dibaca Chava, kebetulan ada judul lain di platform novel online berbeda yang juga begitu membuatnya penasaran. Wanita itu pun mengeluarkan ponselnya dan menggulir layar melanjutkan halaman baca yang sempat terjeda.Sakti mengayunkan kakinya dengan cepat menuju ruangan yang berada di samping ruang rapat. Sengaja dia minta pegawai HRD untuk menemuinya bukan di ruang kerjanya agar mereka bisa leluasa ber
Chava merapatkan sweater yang membungkus tubuhnya, hujan lebat membawa titik air menciptakan hawa dingin. Malam makin meninggi, di menit ke lima belas sejak kepergian Sakti, lelaki itu masih belum juga mengirimkan pesan. Ingin rasanya Chava menghubungi suaminya lebih dulu, tetapi ia takut tindakannya akan menggangu konsentrasi Sakti. Pada akhirnya, dia terus berjalan mengitari ruang tengah sebab gelisah menunggu kabar. "Duduk, Nak. Oma yang lihat jadi pusing sendiri kamu mondar-mandir begitu. Duduk dulu, minum. Atau mau Oma temani tidur?"Chava dengan cepat menggeleng. "Mau di sini saja, Oma. Nunggu kabar dari Mas Sakti.""Selagi dia pergi sama Riko, bisa dipastikan suamimu akan baik-baik saja." Tangan Sinta gemetaran saat berusaha meraih Chava dan memintanya untuk duduk. "Kamu tau, Le. Calon suamimu pergi ke mana?" "Ih, Oma apaan, sih! Ya mana Lea tau, memangnya Lea ada dua puluh empat jam nempel sama dia apa?" Yang ditanya malah mencak-mencak. Chava terkekeh. Adik sepupu suamin
"Cantiknya istriku. Ibu hamil satu ini, makin besar perutnya kok malah tambah mempesona ya?" Sakti memeluk istrinya dari belakang, tangannya bergerak lembut mengitari perut Chava yang membola. "Sehat-sehat kesayangan Papa, baik-baik di dalam perutnya mama ya. Nanti ketika tiba waktunya, lahirlah dengan mudah dan selamat, Papa, mama, nenek buyut sama yang lainnya sudah lama menantikanmu."Chava memejamkan mata sesaat meresapi sensasi hangat yang menjalar di sanubari. Kini, ia telah mendapat jawabannya, jawaban dari pertanyaannya dulu ketika ia harus kehilangan anak yang hanya tinggal menunggu waktu untuk lahir ke dunia. Buah hatinya dengan Azzam dulu tak diharapkan oleh mantan suaminya itu. Morning sickness, dan keluhan ibu hamil lainnya yang juga dirasakan Chava membuatnya kepayahan. Semua prosesnya dia lewati seorang diri, suami yang dia harapkan akan menemaninya, justru tengah sibuk mereguk manisnya madu pengantin baru. Hati Chava gerimis mengingatnya. Sakitnya masih begitu membe
Senyum yang terlukis di bibir Chava sebelum masuk ke ruang pemeriksaan tadi, nyatanya tak mampu melenyapkan ketakutan dalam diri pria itu. Teringat noda darah yang cukup banyak memercik di seprai, ketakutan akan sesuatu yang buruk menimpa Chava menghantui Sakti. Gemetar tubuh itu sembari merapal do'a, mengharapkan Tuhan berkenan menjaga wanita itu untuknya. Belum pernah Sakti merasa setakut ini, perasaan takut kehilangan yang menggunung. Tak bisa Sakti bayangkan akan bagaimana menjalani hidupnya tanpa Chava. Sampai kemudian dokter yang sempat dilihatnya masuk bersama Chava, muncul tepat ketika pintu terbuka lebar. "Bapak siapanya pasien?" Dokter wanita berkacamata itu bertanya ramah, memastikan tak salah memberikan informasi tentang kondisi pasien. "Saya suaminya, Dok.""Mari ikut masuk, temani istrinya berjuang ya, Pak. Bu Chava sudah pembukaan dua."Nyatanya penjelasan dokter tak juga membuat Sakti tenang, justru pria itu semakin gelisah. "Istri saya mau melahirkan, Dok?"Dokter
Galaksi Candra Pradipta. Nama yang disematkan Chava untuk buah hati pertamanya dengan Sakti. Wanita itu sempat memilih beberapa daftar nama sekaligus, lalu Sakti dimintai pendapat, dan pilihan mereka jatuh pada nama indah itu. Galaksi, bayi mungil yang tengah menjadi rebutan Sinta dan Lea. Kehebohan memenuhi ruangan itu, menjadikan Lea sebagai tersangka utama. Gadis itu sesekali jejeritan, gemas ingin menimang tetapi takut menyakiti malaikat kecil itu lantaran tubuhnya yang masih sangat lembut. "Lucu banget, Gala ganteng banget, Oma." Sinta terkekeh saat Lea mendekap lengannya, menduselkan kepalanya karena terlalu gemas. "Kamu mau punya bayi?" tanyanya. "Mau lah, Oma. Lucu banget, buat hiburan kalau lagi suntuk, biar bisa dimainin.""Hust! Kamu pikir bayi itu mainan apa?" Wanita tua itu menepuk tangan Lea yang sedari tadi membelai gemas pipi Gala. "Ya habisnya lucu banget, sih. Jadi gemas.""Kamu juga bisa punya secepatnya, tinggal rutin bikin saja sama Riko.""Apa!" Lea memutar
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan