Riko familiar dengan situasi seperti ini, dia merasa de javu. Belasan tahun lalu ia merasakan hal yang sama, hanya saja dengan sosok berbeda. Jika Chava takut kehilangan suaminya, dulu hal serupa terjadi pada mendiang ayahnya.
Demi pengabdian sang ayah pada trah Pradipta, seorang suami harus kehilangan istri, seorang anak harus merelakan ibunya berpulang. Rasa sakit yang tak terperi, Riko kecil merasakan semua itu. Hal yang tak sepantasnya dirasakan anak seusianya. Dia dipaksa dewasa karena keadaan.Namun, kehadiran Sinta, perhatian serta segala bentuk kasih sayang yang dicurahkan wanita tua itu padanya laksana mata air di tengah padang pasir. Sinta menuntaskan dahaganya akan kasih sayang seorang ibu yang hanya bisa tujuh tahun Riko rasakan. Sinta menggantikan posisi mendiang ibunya, mencukupi seluruh kebutuhannya sebagai anak. Hal itulah yang melatarbelakangi tumbuhnya kasih sayang yang sama terhadap wanita tua itu.Riko menghormatinya, lebih dari itu"Aduh!" Buru-buru Chava meletakkan gelas yang dibawanya hingga sebagian isinya tumpah. Ia lantas duduk di sofa kecil dekat jendela sambil menarik napas sembari memegangi perutnya. Usia kandungannya sudah makin besar, gerakan bayinya pun sudah bisa dia rasakan. Meski hal itu sudah sering terjadi, tapi terkadang Chava masih tak bisa menyembunyikan kekagetannya. "Ada apa, Yang?" Sakti yang baru saja ke luar dari kamar mandi pun gegas mendekati wanita itu. Melihat Chava meringis seperti menahan rasa sakit seketika membuatnya panik. "Enggak apa-apa kok, Mas. Tadi si dede nendangnya agak kencang dari biasanya, sampai kerasa nyeri perutku.""Sabar. Namanya ibu hamil ya memang begitu, pasti banyak yang dirasa. Mas tau payahnya seperti apa, Mas juga nggak bisa sekadar mengurangi rasa sakit yang kamu alami, tetapi semua pengorbananmu selama hamil, melahirkan dan membesarkan anak kita nanti pasti akan diganjar dengan pahala yang tak terkira dari Tuhan."Chava mengangguk, tangannya masih berge
Jutaan kubik air yang runtuh dari langit kian deras, mencipta genangan yang membasahi bumi hingga bau tanah basah tercium kental. Masih dalam suasana duka yang menyelimuti, tangis di wajah Sinta masih belum kunjung reda. Seakan memiliki ikatan batin cukup kuat, Sinta memaksa untuk diantar ke rumah sakit menemui David. Pertemuan mengharu biru yang menguras air mata dan emosi berlangsung selama tiga jam. David menghembuskan napas usai meminta maaf pada semua orang yang dirasanya telah dia sakiti. Sinta yang masih belum bisa menerima kenyataan begitu terpukul kehilangan salah satu sosok yang sudah dianggapnya sebagai cucu. "Maafkan, Oma. Maaf." Bibir wanita berusia senja itu tak henti mengucap kata maaf. Sinta merasa ikut andil atas kekacauan yang terjadi. Andai dia bisa bersikap sewajarnya, mungkin kejadian seperti ini tak perlu terjadi. Kebahagiaannya karena telah dipertemukan dengan Sakti membuatnya melupakan sosok yang perlu dia bagi perhatian juga. "Berhenti menyalahkan diri, Ny
Segelas jus alpukat dan sepotong roti bakar hazelnut yang masih menguarkan asap tipis belum tersentuh sama sekali. Chava masih setia mengunci rapat mulutnya. Meski telah berusaha mengikhlaskan apa yang terjadi di masa lalu, tak dipungkiri, sakit itu masih terasa. Bukan Chava membenci Azzam maupun Hana, bukan. Hatinya telah berdamai cukup lama, berbesar hati untuk tidak menanam dendam dalam sanubari. Bukan pula rasa cintanya masih tertinggal untuk mantan suaminya, tetapi Chava juga manusia biasa. Setiap orang tentu berbeda menanggapi rasa sakit, juga mengobatinya. Tak Chava pungkiri, hatinya masih menyimpan sedikit kesakitan. Awalnya sengaja Chava ingin menghindari Hana, tetapi bujukan suaminya yang membuatnya sekarang berada di tempat yang sama dengan bekas madunya itu. Duduk saling berhadapan, mencipta suasana tak nyaman sementara Sakti menunggu di meja terpisah dengan dalih membiarkan dua wanita itu leluasa berbicara. "Maaf membuatmu tak nyaman setiap kali kita bertemu, Va. Sebag
Rinai gerimis masih berjatuhan dari langit, meniupkan bayu mencipta hawa dingin. Meski matahari mulai muncul di kaki langit, cahayanya terhalang langit kelabu. Bumi masih menggelap, membuat sebagian orang enggan beranjak dari kasur. Pun dengan Chava yang sedari tadi asyik bergelung di bawah selimut tebal berbulu. "Bangun, Yang. Sarapan."Sakti baru saja selesai memakai dasi, duduk di tepian ranjang mengusap kepala istrinya. Hormon kehamilan kadang membuat mood Chava mudah berubah-ubah. Sejak usia kehamilannya makin membesar, Chava menjadi mudah mengantuk. Sakti biarkan saja wanita itu bangun lebih siang dari biasanya karena malamnya Chava sering kesulitan tidur. Alih-alih bangun, Chava justru semakin mengeratkan selimut. "Mas sudah mau berangkat? Maaf, nggak bisa ngurusin kamu," ucapnya dengan mata tertutup. "Nggak apa, Mas bisa ngurus diri Mas sendiri, kok. Terpenting kamu sama anak kita nyaman.""Malas bangun." Chava meringkuk. "Ya sudah, biar Mas suruh bibi antar sarapan ke sin
"Sayang, kamu Mas tinggal dulu sebentar, nggak apa? Kebetulan Mas ada perlu sebentar.""Iya, Mas." Chava tak menaruh curiga sedikit pun pada suaminya. Ia pikir memang Sakti masih harus menyelesaikan banyak pekerjaannya yang menumpuk. "Kamu bisa istirahat di belakang barangkali mau rebahan.""Di sini saja, nanti kalau capek aku langsung masuk.""Ya sudah, Mas pergi sekarang. Kalau ada apa-apa langsung telepon Mas, ya? Semisal butuh sesuatu jangan sungkan buat minta sama Tania." Sakti mengusap pucuk kepala istrinya sebelum benar-benar berlalu dari sana. Selain satu judul buku yang sedang dibaca Chava, kebetulan ada judul lain di platform novel online berbeda yang juga begitu membuatnya penasaran. Wanita itu pun mengeluarkan ponselnya dan menggulir layar melanjutkan halaman baca yang sempat terjeda.Sakti mengayunkan kakinya dengan cepat menuju ruangan yang berada di samping ruang rapat. Sengaja dia minta pegawai HRD untuk menemuinya bukan di ruang kerjanya agar mereka bisa leluasa ber
Chava merapatkan sweater yang membungkus tubuhnya, hujan lebat membawa titik air menciptakan hawa dingin. Malam makin meninggi, di menit ke lima belas sejak kepergian Sakti, lelaki itu masih belum juga mengirimkan pesan. Ingin rasanya Chava menghubungi suaminya lebih dulu, tetapi ia takut tindakannya akan menggangu konsentrasi Sakti. Pada akhirnya, dia terus berjalan mengitari ruang tengah sebab gelisah menunggu kabar. "Duduk, Nak. Oma yang lihat jadi pusing sendiri kamu mondar-mandir begitu. Duduk dulu, minum. Atau mau Oma temani tidur?"Chava dengan cepat menggeleng. "Mau di sini saja, Oma. Nunggu kabar dari Mas Sakti.""Selagi dia pergi sama Riko, bisa dipastikan suamimu akan baik-baik saja." Tangan Sinta gemetaran saat berusaha meraih Chava dan memintanya untuk duduk. "Kamu tau, Le. Calon suamimu pergi ke mana?" "Ih, Oma apaan, sih! Ya mana Lea tau, memangnya Lea ada dua puluh empat jam nempel sama dia apa?" Yang ditanya malah mencak-mencak. Chava terkekeh. Adik sepupu suamin
"Cantiknya istriku. Ibu hamil satu ini, makin besar perutnya kok malah tambah mempesona ya?" Sakti memeluk istrinya dari belakang, tangannya bergerak lembut mengitari perut Chava yang membola. "Sehat-sehat kesayangan Papa, baik-baik di dalam perutnya mama ya. Nanti ketika tiba waktunya, lahirlah dengan mudah dan selamat, Papa, mama, nenek buyut sama yang lainnya sudah lama menantikanmu."Chava memejamkan mata sesaat meresapi sensasi hangat yang menjalar di sanubari. Kini, ia telah mendapat jawabannya, jawaban dari pertanyaannya dulu ketika ia harus kehilangan anak yang hanya tinggal menunggu waktu untuk lahir ke dunia. Buah hatinya dengan Azzam dulu tak diharapkan oleh mantan suaminya itu. Morning sickness, dan keluhan ibu hamil lainnya yang juga dirasakan Chava membuatnya kepayahan. Semua prosesnya dia lewati seorang diri, suami yang dia harapkan akan menemaninya, justru tengah sibuk mereguk manisnya madu pengantin baru. Hati Chava gerimis mengingatnya. Sakitnya masih begitu membe
Senyum yang terlukis di bibir Chava sebelum masuk ke ruang pemeriksaan tadi, nyatanya tak mampu melenyapkan ketakutan dalam diri pria itu. Teringat noda darah yang cukup banyak memercik di seprai, ketakutan akan sesuatu yang buruk menimpa Chava menghantui Sakti. Gemetar tubuh itu sembari merapal do'a, mengharapkan Tuhan berkenan menjaga wanita itu untuknya. Belum pernah Sakti merasa setakut ini, perasaan takut kehilangan yang menggunung. Tak bisa Sakti bayangkan akan bagaimana menjalani hidupnya tanpa Chava. Sampai kemudian dokter yang sempat dilihatnya masuk bersama Chava, muncul tepat ketika pintu terbuka lebar. "Bapak siapanya pasien?" Dokter wanita berkacamata itu bertanya ramah, memastikan tak salah memberikan informasi tentang kondisi pasien. "Saya suaminya, Dok.""Mari ikut masuk, temani istrinya berjuang ya, Pak. Bu Chava sudah pembukaan dua."Nyatanya penjelasan dokter tak juga membuat Sakti tenang, justru pria itu semakin gelisah. "Istri saya mau melahirkan, Dok?"Dokter