"Selamat Bu, berdasarkan hasil pemeriksaan, Bu Chava dinyatakan mengandung. Usianya baru delapan minggu," ucap pria bersnelli itu seraya menjabat tangan Chava.
Perempuan bernama Chava itu bergeming, sungguh, berita menggembirakan ini tak pernah terlintas dalam benaknya akan dapat dia dengar setelah setahun pernikahannya. Binar di wajahnya cukup mewakili perasaannya saat ini, Chava sangat bahagia. Tak sabar rasanya segera membagi kabar menggembirakan itu pada suaminya.
"Saya sungguh hamil, Dok?" Chava yang merasa dirinya seperti sedang bermimpi pun mengajukan pertanyaan.
Dokter lelaki berkacamata itu kemudian mengangguk mantap. "Ini hasil foto USG yang baru saja kita ambil, bulatan kecil ini adalah janin Bu Chava." Menunjukkan titik hitam pada lembar hitam putih ndi tangannya.
Setitik butir bening luruh tanpa permisi, Chava sangat bahagia. Akhirnya harapannya untuk bisa memiliki anak bisa terwujud, begitu juga impian ibu mertuanya yang selama setahun ini bersabar menantikan kehadiran seorang cucu di kehidupannya yang beranjak senja.
Ah, Chava ingin gegas pulang dan memberitahukan kabar kehamilannya. Akan tetapi dokter yang baru saja memeriksanya itu seolah masih ingin menahannya.
"Ke depannya tolong dijaga lebih hati-hati lagi ya, Bu. Usia kehamilan awal biasanya masih riskan. Lebih dijaga lagi pola makan dan usahakan untuk istirahat cukup. Saya resepkan vitamin, Bu Chava bisa kembali lagi bulan depan atau jika ada keluhan."
Chava menerima secarik kertas yang disodorkan padanya kemudian menjabat tangan dokter dan mengucapkan terima kasih sebelum beranjak meninggalkan tempat itu.
Sepanjang perjalanan pulang, Chava tak hentinya membingkai senyum di wajah. Sesekali tangannya terulur mengusap perutnya yang masih rata. Belakangan ini Chava sering mengeluh mual dan muntah, rasa pusing juga kerap mendatanginya secara mendadak. Sampai kemudian ia curiga jika gejala yang dialaminya merupakan tanda awal sebuah kehamilan. Rasa haru yang membuncah dalam dada saat Chava mengetahui kepastian jika dirinya memang telah hamil. Usahanya selama ini akhirnya membuahkan hasil, buah cintanya bersama suami kini tumbuh di rahimnya.
Getaran ponsel yang bersumber dari dalam tas yang berada di pangkuan Chava berhasil menarik wanita itu dari lamunan panjangnya. Bibir merah jambu yang sedikit pucat itu melekuk indah manakala menangkap nama yang tertera di layar.
[Nanti aku pulang lebih awal, kebetulan nggak ada lembur dan ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu]
Chava baru saja memikirkan lelaki itu, dan ternyata suaminya sudah lebih dulu mengiriminya pesan. Tadinya Chava ingin memberitahukan berita kehamilannya, tapi kemudian dia urung melakukannya.
"Jangan memberitahunya lewat pesan, nanti sore saja begitu dia pulang sekalian buat kejutan," gumam Chava begitu terlintas ide di benaknya.
Chava menghapus barisan kata yang sempat diketiknya, kemudian mengubah tulisannya sebelum mengirimnya pada sang suami.
[Iya, Mas. Kebetulan ada hal penting juga yang mau aku sampaikan sama kamu. Aku akan masak makanan kesukaanmu untuk makan malam, aku menunggumu.]
Pesan dengan cepat terbaca oleh Azzam, tapi tak ada tanda-tanda adanya balasan setelah Chava menunggu sekian menit lamanya. Perempuan itu kembali menyimpan ponselnya, lalu meminta supir taksi yang membawanya untuk berhenti di salah satu toko aksesoris.
Kehamilan adalah sebuah berita bahagia yang paling dinantikan pasangan menikah pada umumnya. Chava ingin memberikan kejutan dengan cara sebaik mungkin menurut versinya, hingga kenangan indah akan tercipta dan sulit untuk dilupakan.
Aneka jenis masakan rumahan yang menjadi favorit Azzam telah tersaji di meja setelah lebih dari satu jam lamanya Chava berkutat di dapur. Chava menatap puas hasil karyanya sebelum ia memutuskan untuk pergi mandi dan bersiap menyambut kepulangan suaminya.
Rumah yang ditempatinya semenjak menikah berukuran cukup besar, suasana sepi yang mencekam seringkali Chava rasakan selama ini. Suaminya sibuk menghabiskan waktu di kantor, begitu juga ketika akhir pekan. Chava hampir tak pernah melihat suaminya memiliki waktu luang. Dunia Azzam benar-benar dihabiskan untuk pekerjaan.
Chava mematut penampilannya di depan cermin, memastikan dirinya dalam keadaan terbaik ketika menyambut suaminya letih sepulang kerja.
"Nanti setelah makan malam, kita beritahu Papa kalau kamu sudah ada di sini ya, Nak?" monolog Chava seraya mengusap perutnya.
Pandangan Chava berpindah pada kotak kado berpita yang ia simpan di laci meja rias. Satu buah alat kehamilan, lembar hasil pemeriksaan dari dokter, juga lembar monokrom hasil USG yang didapatnya dari dokter siang tadi, Chava kemas dengan begitu cantik.
Senyum sumringah terus terpatri di bibir Chava, tak bisa ia bayangkan reaksi suaminya ketika melihat kotak kado itu nanti. Hingga deru mesin mobil yang berhenti di pekarangan rumah membuat Chava buru-buru mengakhiri lamunan indahnya. Chava menyimpan kotak kado kecil itu di balik saku baju terusan yang dipakainya.
"Chava!" Azzam memanggil dengan tidak sabaran.
"Iya, Mas."
Seakan lupa dengan kondisinya yang tengah berbadan dua, Chava setengah berlari menyambut sang suami. Langsung diraihnya tas kerja lelaki itu, kemudian Chava mencium punggung tangan Azzam dengan takzim sebagai bentuk baktinya sebagai istri.
"Mau mandi dulu atau mau makan dulu, Mas? Biar aku siapkan."
"Nanti saja, ada hal penting yang harus aku omongin sama kamu." Azzam menyahut.
"Kebetulan, aku juga ada hal penting yang mau aku sampaikan, tapi nanti saja sehabis makan malam. Setelah Mas Azzam menyampaikan berita penting itu dulu. Sekarang sebaiknya ayo kita masuk, di luar gerimis."
Langkah Chava tertahan saat Azzam menepis tangannya, wanita itu diam membeku mengikuti ke mana arah mata suaminya tertuju.
"Masuk, Han!"
Selang beberapa detik kemudian, Chava melihat seorang wanita cantik dengan setelan formal. Wanita itu begitu anggun, dan seketika saja Chava membandingkan penampilannya dengan wanita itu. Sungguh sangat bertolak belakang. Seperti langit dan bumi.
"Siapa, Mas?" Chava menatap suaminya penuh tanya.
"Nanti aku jelaskan di dalam," balas Azzam, pria itu kemudian mengalihkan tatapannya pada perempuan yang ia bawa pulang. "Ayo, masuk Han!" titahnya mengulangi perintah.
Sementara wanita yang disuruh masuk hanya diam membatu.
"Mari masuk, Mbak. Jangan berdiri di luar menjelang Maghrib." Kini giliran Chava mempersilakan tamunya untuk masuk.
Meski bingung, Chava memilih untuk diam sedangkan Azzam sempat menggandeng tangan Hana yang kemudian langsung ditepis oleh wanita cantik itu. Azzam dan Hana duduk menempati sofa yang berbeda selagi Chava pamit ke dapur membuat minuman.
"Nggak usah tegang begitu, Han. Chava perempuan baik, dia nggak mungkin nyerang kamu," ucap Azzam berusaha menenangkan wanita yang tampak gelisah itu.
"Kamu gila, Zam. Aku pulang saja ya?" Hana meraih tas tangannya hendak bangkit dari sofa.
"Setelah sejauh ini? Kalau kamu terus menghindar, mau sampai kapan?"
"Justru itu, Zam! Chava perempuan baik-baik, aku bisa melihatnya. Aku nggak tega," ucap Hana tertahan. Tubuhnya sedikit bergetar menahan tangis."
"Tenang! Percaya sama aku." Azzam mendekat, menepuk bahu Hana beberapa kali.
Langkah Chava sempat tertahan, indera pendengarannya masih berfungsi dengan baik hingga dia bisa mendengar percakapan di ruang tamu dengan jelas. Berbagai macam praduga memenuhi benak wanita itu. Tangannya gemetaran saat kecemasan mendadak menyeruak dari dalam dada. Ketakutan yang Chava sendiri tak tahu alasannya.
"Biar aku panggil Chava sebentar, duduklah dengan tenang dan percayakan semuanya padaku. Semuanya akan baik-baik saja."
Sebelum Azzam memergokinya, Chava sudah lebih dulu mengayunkan langkahnya yang terasa berat. Wajahnya tampak datar meski kepalanya hampir dibuat pecah memikirkan berbagai macam pertanyaan. Chava berpura-pura tak mendengar apapun yang dibicarakan dua orang itu.
"Maaf lama, Mbak." Chava menurunkan cangkir teh beserta toples kue kering di meja.
"Aku ke belakang dulu Mas, mau menyiapkan makan malam."
"Tunggu sebentar! Duduklah, ada yang mau aku katakan!" titah Azzam.
"Sekarang?"
Chava memangku nampan usai melihat suaminya mengangguk. Ia pun mengambil posisi duduk di sofa dengan menjaga jarak dari dua orang di hadapannya.
Hening memeluk sejenak, ruangan itu tetiba terasa hampa. Melalui ekor matanya dapat Chava lihat sesekali Hana melirik suaminya. Bahasa tubuh wanita anggun itu tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
'Ada apa ini? Ada apa sebenarnya?' Chava meremas ujung roknya.
Detik yang terus berlalu dalam kebisuan tanpa Chava berani membuka suara terlebih dulu. Sampai kemudian Azzam menyuara setelah mengumpulkan segenap kekuatannya.
"Va," panggil Azzam lirih.
"Zam, jangan!" Hana menggeleng pelan mengkode lelaki itu untuk tak melanjutkan ucapannya.
"Iya, Mas. Ada apa? Katakan saja!" Chava tak tahan dengan situasi yang terasa serba tak enak.
"Namanya Hana, Va. Dia calon istri keduaku," ucap Azzam seraya mengambil tangan Hana untuk dia genggam.
Chava membatu, apa yang baru saja didengarnya seperti sebuah hantaman yang seketika membuat dunianya menjadi gelap. Beruntung sofa berhasil menopang tubuhnya, jika tidak, mungkin sudah sejak tadi Chava jatuh tersungkur bersamaan dengan leburnya hati dan impian indah yang dirajutnya selama ini.
Setelah setahun berlalu, ternyata ini kado istimewa yang didapatkan Chava di hari ulang tahun pernikahannya yang pertama.
Bibir itu terkunci rapat, matanya memanas digenangi embun tipis nan rapuh yang mudah retak dalam sekali kedip. Sekuat hati Chava menahan diri, tangisnya hanya akan menunjukkan kelemahannya di hadapan dua sejoli itu. Melihat bagaimana suaminya menatap penuh cinta pada wanita lain, tatapan yang tak pernah Chava dapatkan selama setahun pernikahannya. Ah, lagi-lagi kenyataan menamparnya. Bukan Chava tak tahu bahwa bukan dirinya yang menempati ruang istimewa di hati Azzam. Selama ini dia hanya menjalankan baktinya sebagai istri, berharap seiring berjalannya waktu lelaki yang tepat setahun lalu mengucap janji suci pernikahan itu akan memberinya cinta walaupun hanya secuil. Namun, jangankan cinta, melihat ke arahnya sedikit pun, tidak pernah Azzam lakukan. Bagaimana Chava dan Azzam menjalani pernikahan selama ini, bagaimana benih Azzam tumbuh di rahim Chava, semua itu hanya bagian dari kewajiban suami istri. Saling memberi dan menerima, tanpa ada hati, tanpa perasaan apalagi melibatkan cin
Tak ada yang berubah sejak hari itu, suasana dalam rumah tetaplah sama. Kopi masih tersedia, makanan, begitu juga dengan kebutuhan Azzam lainnya. Tak hanya memastikan rumah selalu dalam keadaan rapi dan bersih, Chava juga memastikan untuk selalu memenuhi kebutuhan suaminya.Kebekuan yang biasa terjadi di meja makan, Azzam sibuk melahap makanannya tanpa mengeluarkan sepatah kata, pun dengan Chava. Sudah biasa. Memang begitulah kondisi rumah tangga yang mereka jalani. Tak ada gelak tawa apalagi canda. Jangankan duduk bersama sambil berbagi cerita di penghujung senja, atau ketika akhir pekan tiba. Chava dan Azzam hanya akan bicara seperlunya saja.Apa itu jalan-jalan, pergi berbelanja bersama sekadar menghabiskan waktu berdua. Chava belum pernah merasakan hal itu sejak pertama kali memasuki rumah itu sebagai istri Azzam. Tiap akhir pekan dihabiskan Azzam di luaran sana dengan berkumpul bersama teman-temannya, terkadang juga untuk urusan pekerjaan.Namun, belakangan Chava tahu kalau terny
Mengenakan masker untuk menutupi hidungnya, Chava bergelut dengan rasa mual ketika harum bawang putih yang ditumis menyeruak. Perutnya serasa diaduk, sensasi tak nyaman menjalar naik membuat kepalanya ikut pening. Akan tetapi semua itu berusaha ia tahan demi membuatkan sarapan untuk lelaki yang menjadi ayah dari jabang bayi yang tengah dikandungnya.Semenjak mengetahui hubungan istimewa yang terjalin antara Azzam dan Hana, wanita itu memang sengaja menyiapkan dua kotak bekal makan siang untuk mereka. Biarlah, orang akan beranggapan dirinya bodoh. Chava justru melakukan itu dengan harapan agar sepasang sejoli itu sedikit memikirkan perasaannya. Mungkin dengan begitu, dapat menarik perhatian Azzam lalu pria itu akan memberikan ruang hatinya untuk Chava meski hanya setitik.Chava buru-buru melepas masker dan membuangnya ke tempat sampah begitu melihat kedatangan sang suami."Tehnya sudah aku taruh di meja, atau mau aku buatkan kopi?" Wanita itu bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dar
"Zam."Azzam tersentak ketika Hana menyikut lengannya. Pria itu tersenyum ramah menyambut uluran tangan para tamu yang datang memberikan do'a restu. Lelaki yang telah sah menjadikan Hana sebagai istri keduanya itu tampak sumringah. Akan tetapi tatapannya berubah sendu tiap kali bayangan Chava berkelindan di benak.Punggung yang selalu bergetar halus ketika Azzam melihatnya dari belakang, pun terlihat sama hari ini. Dari tempatnya berdiri Azzam sempat melihat kepergian istri pertamanya. Lelaki itu tak henti menyorot hingga tubuh mungil itu lenyap dari pandangan.'Dia pasti sedang menangis.' Azzam masih tenggelam dalam perasaan yang tak bisa dijelaskan. Dia memang merasa bahagia telah menikahi gadis pujaan hatinya, gadis yang amat sangat dia cintai. Azzam sangat bahagia.Namun, entah mengapa hatinya basah manakala teringat akan Chava. Apalagi jika ingat tatapan mata wanita yang telah setahun membersamainya meniti hidup hingga Azzam berada di puncak tertinggi karirnya saat ini. Telaga ma
"Azzam, ih! Minggir sana!" Suara Hana terdengar manja mendayu-dayu. "Jangan harap kamu bisa lolos, Han. Aku sudah terlalu lama menunggumu jadi terima saja hukumanmu.""Jangan macam-macam, Zam. Sudah siang, kita bisa telat ke kantor!""Tidak, jika kamu bisa diajak bekerjasama."Setelahnya tak terdengar lagi percakapan dua sejoli itu. Chava mematung di depan kamar dengan gagang kain pel di tangan, niatnya untuk membersihkan kamar adik madunya tertunda. Ia pikir Azzam dengan istri barunya sudah pergi ke kantor selagi dia membereskan dapur tadi, tapi rupanya pasangan yang masih dalam masa pengantin baru itu sedang menuntaskan sesuatu yang tertunda. Suara tabu yang bahkan tak pernah Chava dengar sepanjang penyatuannya bersama Azzam, membuatnya ingin melarikan diri dari tempat itu detik ini juga. Akan tetapi kakinya seolah tertanam kuat di bumi. Chava bahkan tak sanggup sekadar menggeser tubuhnya. Ketika deru napas terdengar bersahutan dengan desahan, dua anak manusia yang sibuk mereguk m
"Apa ini, Bu?" Chava menatap selembar kertas dalam balutan map biru, pandangannya berpindah pada sosok wanita yang duduk tepat disampingnya. "Anggaplah sebagai hadiah pernikahanmu dengan Azzam." Halimah mengangguk, senyum penuh ketulusan terus tercetak di wajah tuanya yang dihiasi kerutan. Chava membuka map tersebut, membacanya sekilas. "Maaf, Bu. Tapi aku tidak bisa menerimanya.""Jangan begitu, Nak. Ambillah ini, atau Ibu dan bapak akan sangat kecewa padamu." Halimah mendorong kertas yang disodorkan Chava. "Kamu sudah menolak resepsi yang Ibu tawarkan. Kamu juga menolak seserahan yang Ibu berikan dengan alasan tak mau merepotkan, padahal ini sebagai bukti keseriusan kami memintamu menjadi istri Azzam," imbuhnya. "Bukan begitu maksudku, Bu.""Ibu tau." Wanita tua itu mengangguk. "Ibu tak salah pilih mantu." Halimah mengeratkan genggaman tangannya pada jemari Chava. 'Tapi ibu salah memilihkan istri untuk Mas Azzam. Aku tak pernah bisa membahagiakannya, bu. Mas Azzam menderita sel
Senyum di bibir Chava memudar begitu menyadari apa yang dia bayangkan tak menjadi kenyataan. Ia pikir Azzam akan berteriak antusias mendengar kabar itu, lalu memeluknya dan mengucapkan kata-kata manis. Serasa hendak terbang tetapi belum apa-apa sudah langsung dihempaskan sampai ke dasar jurang saat ketakutan itu terjadi. Azzam terpaku dengan pandangan kosong, alih-alih bahagia mendengar kabar kehamilan Chava, lelaki itu justru menatap istri mudanya. Pun sama dengan Hana yang bibirnya terkatup rapat. Tatapan keduanya saling mengunci satu sama lain, sampai akhirnya mereka sadar ada Chava di tengah-tengah mereka.Semua sudah cukup membuktikan kalau Azzam tak pernah menginginkan anak dari Chava. Betapa bodohnya Chava, kehadirannya saja tak pernah dianggap ada oleh suaminya sendiri, apalagi anaknya. "Sudah siang, Mbak. Nanti telat ke kantornya." Chava mengambil alih kotak susu di tangan Hana. "Kamu hamil, Va?" Sekali lagi Hana bertanya. Melalui ekor matanya, Chava dapat menangkap seber
Tak ada hal yang lebih menyakitkan bagi seorang istri ketika kehadirannya tak dianggap sama sekali oleh suaminya sendiri. Berkali-kali Chava mencoba bertahan dengan menekan rasa sakitnya, tetapi sesering itu juga Azzam terus menorehkan luka. Tak peduli sekeras apa perjuangan Chava, bisa apa dia kalau Azzam terus berusaha mematahkan usahanya. Segala sesuatu ada batasnya, pun dengan kesabaran Chava, dan kali ini dia telah sampai pada ambang batas kesabarannya. Cukup! Chava tak akan pernah lagi mengemis apa pun pada Azzam. Kenyataan pahit yang terus Chava telan sendirian, luka yang dia balut dengan tertatih, nyatanya kembali Azzam hadiahi dengan goresan luka baru setiap harinya. Malam dingin sepi yang Chava dekap seorang diri selama ini, tak ingin lagi dia lalui."Chava, Chava!"Mendengar namanya terus diserukan oleh orang yang selama ini mendiami relung hati nyatanya tak membuat Chava bahagia. Kini, justru kebencian itu begitu nyata. Derap langkah terdengar memburu satu sama lain, ta
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan