"Azzam, ih! Minggir sana!" Suara Hana terdengar manja mendayu-dayu.
"Jangan harap kamu bisa lolos, Han. Aku sudah terlalu lama menunggumu jadi terima saja hukumanmu.""Jangan macam-macam, Zam. Sudah siang, kita bisa telat ke kantor!""Tidak, jika kamu bisa diajak bekerjasama."Setelahnya tak terdengar lagi percakapan dua sejoli itu. Chava mematung di depan kamar dengan gagang kain pel di tangan, niatnya untuk membersihkan kamar adik madunya tertunda. Ia pikir Azzam dengan istri barunya sudah pergi ke kantor selagi dia membereskan dapur tadi, tapi rupanya pasangan yang masih dalam masa pengantin baru itu sedang menuntaskan sesuatu yang tertunda.Suara tabu yang bahkan tak pernah Chava dengar sepanjang penyatuannya bersama Azzam, membuatnya ingin melarikan diri dari tempat itu detik ini juga. Akan tetapi kakinya seolah tertanam kuat di bumi. Chava bahkan tak sanggup sekadar menggeser tubuhnya. Ketika deru napas terdengar bersahutan dengan desahan, dua anak manusia yang sibuk mereguk madu cinta itu saling menyerukan nama masing-masing.Dengan tubuh gemetaran Chava menyeret langkahnya kembali ke kamar. Tak ada air mata yang jatuh, sejak lama Chava sudah menyiapkan hati kalau sewaktu-waktu hal ini terjadi."Sadar diri, Va. Kamu dan Hana sangat jauh berbeda. Wanita itu cantik, cerdas, berpendidikan. Dia punya segudang pesona dan dengan semua yang dimilikinya mampu membuat para pria tergila-gila, termasuk suamimu." Chava tersenyum getir, mendadak salivanya terasa pahit. Di depan cermin Chava sibuk mematut diri."Sedangkan kamu! Apa yang bisa dibanggakan darimu? Sebatang kara, hanya lulusan SMA. Kamu sudah kalah sejak awal, Chava!"Hampir sebulan sejak Hana menempati rumah itu. Azzam mengajak istri barunya pergi berbulan madu selama dua pekan di Bali. Menghabiskan cuti, memanfaatkan waktu sebaik mungkin demi bisa bersama dengan wanita yang sangat dicintainya.Sebongkah merah bernama hati bak tercabik lalu ditaburi garam. Chava sakit hati meski dia mencoba menerimanya. Kenyataannya, Hana tak hanya memiliki hati Azzam secara utuh, tetapi waktu dan perhatian lelaki itu. Sejak awal Azzam sudah condong pada istri keduanya. Chava merasakan ketimpangan karena ketidakadilan Azzam dalam bersikap."Azzam, ih! Sudah cukup! Tolong tangannya dikondisikan. Kita sudah kesiangan, Zam."Chava tersentak. Dia yang sedang mengganti gorden ruang tengah menghentikan pekerjaannya begitu melihat pintu kamar utama terbuka lebar. Derai tawa Azzam dan Hana terhenti, senyum perlahan memudar dari wajah mereka manakala menyadari keberadaan Chava di sana."Va, lagi apa kok naik-naik bangku, begitu?" Hana bertanya. Mendadak ia diserang canggung manakala tatapannya saling bertemu dengan kakak madunya."Oh, gordennya sudah kotor, mau aku ganti. Mbak Hana baru mau berangkat?""I-iya." Hana tampak gugup. Ia menyikut lengan suaminya. "Zam, bantuin Chava, gih! Kasihan masa perempuan suruh manjat-manjat kursi begitu.""Tidak usah, Mas. Ini juga sudah selesai, kok. Mas Azzam sama Mbak Hana berangkat saja takutnya nanti kesiangan." Chava menjawab tanpa menatap lawan bicaranya."Kasihan Chava, Zam. Bantuin dulu, toh cuma sebentar.""Kamu kan dengar sendiri Chava hampir selesai dengan pekerjaannya, sebaiknya kita berangkat sekarang kalau tidak mau telat sampai kantor.""Iya, Mbak. Pergilah.""Tuh, dengar! Chava itu bukan perempuan manja yang perlu kamu cemaskan. Dia bisa melakukan semuanya sendiri, selama ini juga begitu. Ayo!" Azzam menggandeng istri mudanya, berlalu dari sana.Samar, Chava masih bisa mendengar suara Hana berpamitan padanya, lalu detik berikutnya pasangan pengantin baru itu lenyap di balik pintu. Tubuh itu limbung, hampir saja mencium lantai seandainya saja Chava tak gegas berpegangan.Sekeras apa pun Chava berusaha menabahkan hati, nyatanya dia tak sekuat itu. Berkali-kali dia menyalahkan dirinya yang tak berdaya. Andai saja dia bekerja sehingga tak menggantungkan hidupnya pada Azzam. Andai tak ada janin dalam perutnya, andai tak sedalam itu rasa cintanya. Chava tak perlu menderita sendiri bertahan di tempat yang bahkan kehadirannya sama sekali tak diharapkan.Chava pikir ketersediaannya menerima Hana di rumah itu membuat Azzam bisa menerimanya juga sebagaimana lelaki itu menerima Hana. Akan tetapi lagi-lagi hanya kekecewaan yang Chava dapatkan. Harapannya bisa mendapat sedikit perhatian Azzam, tak pernah menjadi nyata. Lelaki itu justru semakin lengket dengan Hana. Tak jarang mereka memperlihatkan kemesraan di depan Chava tanpa memikirkan bagaimana hancurnya perasaan Chava."Gajiku bulan ini, bagi dua sama Chava ya." Azzam melepas dasi yang menjerat lehernya."Memang selama ini kamu kasih Chava berapa, Zam?"Azzam tak langsung menjawab, dia menghempaskan bobotnya di bibir ranjang, menarik tangan Hana untuk duduk di pangkuannya. Sementara Hana masih menunggu jawaban lelaki itu karena dia tahu pasti berapa gaji suaminya per bulannya, dan uang pemberian Azzam barusan hanya sebagian dari nominal yang didapat Azzam selama sebulan dia bekerja."Selama ini dia hanya aku beri sepertiga dari gajiku saja, itu pun dia berikan sebagian untuk ibu.""Apa!" Hana terbelalak. Dia tak menyangka lelaki yang biasanya royal terhadapnya, ternyata perhitungan pada Chava yang notabenenya merupakan istri pertama."Jangan bercanda, Zam. Uang segitu mana cukup!""Buktinya Chava tak pernah protes selama ini, dia juga tak pernah meminta lagi padaku. Itu artinya cukup, kan?""Chava diam bukan berarti cukup, Zam. Bisa saja dia tak enak hati kalau harus memintanya lagi padamu. Kamu tau, kebutuhan perempuan itu sangat banyak. Urusan dapur, keperluan listrik, air dan segala macam. Belum lagi untuk keperluan pribadi. Jatahmu buat Chava sedikit sekali, ditambah masih harus dibagi lagi buat ibu. Lalu kamu kemana kan sisa gajimu?""Jangan heran, Yang. Uangnya selalu aku bagi tiga selama ini. Buat aku sendiri, buat kamu, sama buat Chava. Itu saja sudah aku tambahi karena aku tau aku harus memberimu nafkah juga.""Astaga, Azzam. Uang segini mana cukup, padahal Chava yang harus membeli semua kebutuhan hidup kita.""Kan sudah aku tambahi." Azzam menyahut."Tetap saja kurang, apalagi sekarang aku juga tinggal di sini, artinya kebutuhan makin banyak. Ya sudah, biar bagian aku buat Chava sekalian. Toh, gajiku juga utuh.""Yakin?" tanya Azzam menguji istri keduanya."Kenapa tidak?""Bukankah katamu kamu ingin punya rumah sendiri? Rumah yang kita tempati berdua, tanpa Chava.""Iya juga. Ya sudah, aku kasih sebagian jatahku saja.""Kamu memang sangat baik, jadi makin cinta." Azzam mencuri satu ciuman di bibir Hana."Aku kasihan sama Chava, Zam.""Sudah, jangan memikirkan dia lagi. Cukup fokus saja padaku dan jadilah istri yang baik."Obrolan mereka terhenti ketika tangan Azzam mulai bergerak nakal. Pengantin baru itu seolah tak pernah bosan untuk kegiatan yang satu itu. Tanda merah yang menghiasi leher masing-masing menjadi tanda betapa ganasnya dua anak manusia itu ketika menyelami samudera kenikmatan.Chava mengurungkan niatnya memanggil suami beserta adik madunya untuk makan malam. Chava pikir setelah seharian bekerja akan membuat Azzam dan Hana merasa lapar. Akan tetapi rupanya bukan perut mereka yang lapar, tetapi bagian bawah perut yang mendesak untuk dikenyangkan juga.Chava telah mendengar semuanya. Untuk kesekian kali, hatinya teriris pedih menyadari fakta itu terungkap. Awal menikah dengan Azzam, lelaki itu memang bekerja sebagai staf biasa, dan dari yang Chava ketahui Azzam berhasil naik pangkat enam bulan lalu. Tak sekali pun ia bertanya perihal gaji Azzam. Chava selalu bersyukur berapa pun uang yang diberikan lelaki itu padanya.Namun, mengetahui fakta Hana menikmati penghasilan Azzam jauh sebelum keduanya menikah, juga dengan nominal yang jauh lebih besar dari apa yang diterima Chava. Tak ada hal yang lebih menyakitkan bagi seorang istri.'Mama harus bagaimana, nak?' Chava kembali ke kamar tanpa sempat mengisi perut terlebih dulu.Masalah yang selalu datang selepas Azzam mengatakan niatnya menikah lagi, juga faktor hormon kehamilan membuat kewarasan Chava nyaris cidera.Pagi harinya. Seperti biasa, Chava selalu dihadapkan dengan keromantisan suaminya bersama istri mudanya. Dengan rambut yang sama-sama masih setengah basah, Azzam menggandeng Hana menuju meja makan. Mereka makan dengan lahap, apalagi setelah semalaman penuh kegiatan ranjang yang mereka lakukan menguras habis tenaga mereka."Terima kasih uangnya, Mas. Mbak Hana sudah kasihkan ke aku pagi tadi." Chava berujar."Ya."Berbeda ketika berinteraksi dengan Hana, Azzam akan selalu antusias dengan apa saja yang dikatakan wanita itu. Sedangkan ketika bersama Chava lelaki itu hanya berbicara seperlunya saja, bahkan terkesan enggan."Aku ke dalam dulu ambil tas sekalian sama kunci mobil," pamit Hana usai menghabiskan isi piringnya."Iya, Sayang."Andai Chava lebih dulu pergi ke dapur, mungkin telinganya tak ternodai dengan panggilan mesra itu. Panggilan yang diam-diam ingin dapat dia dengar dari suaminya."Duduk, Va!" titah Azzam, dingin."Sebentar, aku taruh piring kotor dulu ke belakang.""Nanti saja," cegah Azzam.Chava menurut, ia kembali menempati kursinya. Sepersekian detik, keluarlah perkataan yang lagi-lagi sukses menghancurkan kepercayaan diri Chava. Ia pikir kesabarannya akan berbuah manis, lalu sampai kapan dia bisa bertahan dalam situasi seperti ini?Azzam, lelaki itu terus mematahkan perjuangannya. Chava benar-benar tak dianggap. Hanya Hana yang menjadi poros kehidupan lelaki itu. Semua sudah terbukti. Pun dengan permintaan Azzam pada Chava kali ini. Tak cukup dengan membawakan adik madu, kini Azzam juga meminta sertifikat tanah pemberian Halimah sebagai hadiah pernikahan mereka dulu."Berikan aku sertifikat pemberian ibu. Aku harus membelikan rumah untuk Hana karena dia juga istriku. Nanti begitu aku sudah ada uangnya, akan aku ganti."Chava mematung sejenak. Ditatapnya lurus manik mata lelaki itu, lelaki yang selama ini Chava jadikan sebagai dunianya. Lelaki yang Chava perlakukan selayaknya raja, kini tengah meminta satu-satunya benda berharga yang dimilikinya untuk dia berikan pada wanita lain. Azzam memintanya untuk Hana."Apa ini, Bu?" Chava menatap selembar kertas dalam balutan map biru, pandangannya berpindah pada sosok wanita yang duduk tepat disampingnya. "Anggaplah sebagai hadiah pernikahanmu dengan Azzam." Halimah mengangguk, senyum penuh ketulusan terus tercetak di wajah tuanya yang dihiasi kerutan. Chava membuka map tersebut, membacanya sekilas. "Maaf, Bu. Tapi aku tidak bisa menerimanya.""Jangan begitu, Nak. Ambillah ini, atau Ibu dan bapak akan sangat kecewa padamu." Halimah mendorong kertas yang disodorkan Chava. "Kamu sudah menolak resepsi yang Ibu tawarkan. Kamu juga menolak seserahan yang Ibu berikan dengan alasan tak mau merepotkan, padahal ini sebagai bukti keseriusan kami memintamu menjadi istri Azzam," imbuhnya. "Bukan begitu maksudku, Bu.""Ibu tau." Wanita tua itu mengangguk. "Ibu tak salah pilih mantu." Halimah mengeratkan genggaman tangannya pada jemari Chava. 'Tapi ibu salah memilihkan istri untuk Mas Azzam. Aku tak pernah bisa membahagiakannya, bu. Mas Azzam menderita sel
Senyum di bibir Chava memudar begitu menyadari apa yang dia bayangkan tak menjadi kenyataan. Ia pikir Azzam akan berteriak antusias mendengar kabar itu, lalu memeluknya dan mengucapkan kata-kata manis. Serasa hendak terbang tetapi belum apa-apa sudah langsung dihempaskan sampai ke dasar jurang saat ketakutan itu terjadi. Azzam terpaku dengan pandangan kosong, alih-alih bahagia mendengar kabar kehamilan Chava, lelaki itu justru menatap istri mudanya. Pun sama dengan Hana yang bibirnya terkatup rapat. Tatapan keduanya saling mengunci satu sama lain, sampai akhirnya mereka sadar ada Chava di tengah-tengah mereka.Semua sudah cukup membuktikan kalau Azzam tak pernah menginginkan anak dari Chava. Betapa bodohnya Chava, kehadirannya saja tak pernah dianggap ada oleh suaminya sendiri, apalagi anaknya. "Sudah siang, Mbak. Nanti telat ke kantornya." Chava mengambil alih kotak susu di tangan Hana. "Kamu hamil, Va?" Sekali lagi Hana bertanya. Melalui ekor matanya, Chava dapat menangkap seber
Tak ada hal yang lebih menyakitkan bagi seorang istri ketika kehadirannya tak dianggap sama sekali oleh suaminya sendiri. Berkali-kali Chava mencoba bertahan dengan menekan rasa sakitnya, tetapi sesering itu juga Azzam terus menorehkan luka. Tak peduli sekeras apa perjuangan Chava, bisa apa dia kalau Azzam terus berusaha mematahkan usahanya. Segala sesuatu ada batasnya, pun dengan kesabaran Chava, dan kali ini dia telah sampai pada ambang batas kesabarannya. Cukup! Chava tak akan pernah lagi mengemis apa pun pada Azzam. Kenyataan pahit yang terus Chava telan sendirian, luka yang dia balut dengan tertatih, nyatanya kembali Azzam hadiahi dengan goresan luka baru setiap harinya. Malam dingin sepi yang Chava dekap seorang diri selama ini, tak ingin lagi dia lalui."Chava, Chava!"Mendengar namanya terus diserukan oleh orang yang selama ini mendiami relung hati nyatanya tak membuat Chava bahagia. Kini, justru kebencian itu begitu nyata. Derap langkah terdengar memburu satu sama lain, ta
Memiliki suami yang penyayang dan pengertian, anak-anak yang lucu, hidup berdampingan dengan mertua yang baik. Chava pikir hidupnya akan berakhir indah meski pernikahannya dengan Azzam dilandasi perjodohan. Namun, harapan tinggallah harapan. Mimpi indah yang dirajutnya tiap malam, do'a penuh ketulusan yang dia panjatkan dengan menyelipkan nama suami tercinta. Pengabdian tulusnya sepanjang menikah dengan lelaki itu dibalas rasa sakit tak terperi. Dalam mimpi pun, tak pernah Chava bayangkan kehidupan rumah tangganya akan semenyedihkan ini. Azzam membawakan adik madu. Hana, wanita yang membuatnya tergila-gila. Wanita yang membuatnya melupakan kalau ada sosok yang harus Azzam beri secuil perhatian juga. "Aku turut sedih dengan apa yang menimpamu, Va." Hana menarik napas panjang demi mengisi rongga dadanya yang terasa sesak. "Sejujurnya aku memang sempat iri padamu, aku juga ingin hamil. Tapi bukan berarti aku senang kamu kehilangan bayimu." Istri
"Bukankah pekerjaan Anda menyelamatkan nyawa orang, kenapa Anda tidak bisa menyelamatkan bayiku? Kembalikan bayi itu padaku, Dok. Saya mohon. Saya tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini, jika bayi saya pergi. Saya benar-benar seorang diri. Tolong, Dok. Kembalikan bayi saya." Chava meraung dengan wajah bersimbah air mata, kedua tangannya sibuk mengguncang bahu dokter yang menatapnya iba. Wanita berkacamata dengan seragam khas itu bungkam, ikut larut dalam pusaran kesedihan Chava. Pun dengan dua orang perawat yang juga berada dalam ruangan itu. Siapa tak tersentuh melihat tangis sarat kesedihan Chava yang begitu memilukan. "Hanya dia satu-satunya yang saya miliki, Dok. Kalau dia pergi, entah bagaimana saya harus melanjutkan hidup. Kenapa Tuhan tidak adil, seharusnya saya ikut pergi saja bersama bayiku," racau Chava yang masih belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa bayinya telah berpulang. "Kembalikan dia, Dok. Tolong ..."Dokter perempua
"Ibu!"Mengabaikan pekikan itu, Halimah kembali mengayunkan tangannya. Netra tuanya menganak sungai, amarah dan rasa kecewa yang menggunung ia tumpahkan. Tangisan terdengar riuh rendah, tak hanya sekali tapi berkali-kali Halimah mendaratkan tamparan di wajah anak lelaki semata wayangnya. Azzam yang merasa bersalah tentu tak berani melakukan perlawanan. "Ibu, saya mohon, Bu. Hentikan!" Hana bersimpuh, memegangi kedua kaki ibu mertuanya. Istri mana yang tega melihat suami yang dicintainya disakiti, biarpun oleh ibu kandungnya sendiri sekali pun. "Bu, tolong, Bu. Semuanya bisa dibicarakan baik-baik." Hana kembali mengiba.Kecamuk di benak Azzam membuatnya tak bisa berkutik. Lelaki itu bahkan dengan sadar membiarkan Hana memohon ampun demi dirinya tak terus dijadikan samsak oleh Halimah. "Anak kurang ajar! Susah payah Ibu besarkan kamu, Ibu rawat kamu dengan penuh cinta kasih. Ibu berikan yang terbaik yang Ibu punya untukmu, begini balasanmu?""Ibu ..."Tangis Hana hampir tak terdengar
Sampai habis suara Halimah, sampai kering air matanya, tapi isak lirih tertahan wanita itu masih terus menggema memenuhi seluruh penjuru ruangan. Ditatapnya Chava yang masih bergeming sejak kali pertama kedatangannya ke tempat itu. "Kenapa diam saja, Nak? Kenapa tidak cerita sama Ibu kalau anak Ibu sudah zalim sama kamu." Halimah mengusap kepala Chava kemudian memeluknya erat. Sungguh, dia dapat merasakan kesakitan yang dialami menantunya. "Ibu merasa sangat berdosa sekali sudah menjerumuskanmu. Ibu yakin kamu istri terbaik yang pantas disandingkan dengan anak Ibu dan kamu berhasil membuktikannya, tapi rupanya justru anak Ibu yang tidak pantas menjadi suamimu. Anakku sendiri yang meragukan pilihan Ibu. Sakit sekali hati Ibu, Nak."Tak ada kata yang terucap, Chava balas pelukan mertuanya lebih erat. Bahu Halimah bergetar hebat, pun disusul air matanya yang makin deras. Betapa wanita paruh baya itu memendam sakit hati yang mendalam pada anaknya sendiri. Ji
Rintik gerimis mengantar laju kereta besi yang ditumpangi Chava. Angin yang berhembus menguarkan aroma tanah, menyisakan genangan di mana-mana. Chava melempar pandangannya pada hamparan rerumputan basah di tepian jalan. Angannya kembali pada beberapa jam yang lalu sebelum dirinya duduk di salah satu taksi yang membawanya pergi. Tak lama setelah kepergian Halimah, Chava pun memutuskan untuk pergi. Menggunakan sisa uang hasil menggadaikan cincin kawinnya tempo hari, dia melunasi administrasi rumah sakit. Mengabaikan rasa sakitnya, Chava putuskan untuk kembali ke rumah setelah sebelumnya mengintai keadaan di sana. Setelah Azzam dan Hana pergi, barulah dia memberanikan diri masuk menggunakan kunci cadangan untuk mengambil beberapa barangnya sebelum dia benar-benar pergi. "Tisu, Mbak." Chava tersentak, supir taksi mengulurkan kotak tisu padanya. "Maaf ya, Pak. Saya pasti sudah mengganggu konsentrasi menyetir Bapak," ujar Chava tak enak hati.
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan