"Apa ini, Bu?"
Chava menatap selembar kertas dalam balutan map biru, pandangannya berpindah pada sosok wanita yang duduk tepat disampingnya."Anggaplah sebagai hadiah pernikahanmu dengan Azzam." Halimah mengangguk, senyum penuh ketulusan terus tercetak di wajah tuanya yang dihiasi kerutan.Chava membuka map tersebut, membacanya sekilas. "Maaf, Bu. Tapi aku tidak bisa menerimanya.""Jangan begitu, Nak. Ambillah ini, atau Ibu dan bapak akan sangat kecewa padamu." Halimah mendorong kertas yang disodorkan Chava. "Kamu sudah menolak resepsi yang Ibu tawarkan. Kamu juga menolak seserahan yang Ibu berikan dengan alasan tak mau merepotkan, padahal ini sebagai bukti keseriusan kami memintamu menjadi istri Azzam," imbuhnya."Bukan begitu maksudku, Bu.""Ibu tau." Wanita tua itu mengangguk. "Ibu tak salah pilih mantu." Halimah mengeratkan genggaman tangannya pada jemari Chava.'Tapi ibu salah memilihkan istri untuk Mas Azzam. Aku tak pernah bisa membahagiakannya, bu. Mas Azzam menderita selama menikah denganku.'Chava menyeka bulir bening yang luruh tanpa permisi. Sakit hatinya kian bertambah manakala teringat kejadian selepas akad nikahnya dengan Azzam setahun lalu. Sebelum kembali ke rumah yang dibeli Azzam untuk ditempati mereka, Halimah sempat menyerahkan sertifikat tanah. Mertuanya berencana membangun rumah untuknya dan Azzam di tanah itu, tapi Azzam menolak lantaran dia telah membeli sebuah rumah yang lokasinya lebih dekat dengan kantor tempatnya bekerja.Chava menangis bukan karena merasa kehilangan surat berharga itu, Chava menangis menyadari sedalam apa perasaan suaminya terhadap Hana. Orang akan sanggup melakukan apa saja demi orang yang dicintainya, begitu pun Azzam.[Malam ini aku dan Hana telat pulang, masak makan malam untukmu saja. Jangan menungguku.]Sebuah notifikasi pesan masuk, memutus lamunan Chava. Secepatnya dia mengetikkan balasan meski tahu suaminya tak menantikan balasannya. Dan benar saja, Azzam tak lagi mengiriminya pesan setelah mendapat balasan singkat darinya."Bagaimana mau memberitahukan kalau kamu sudah ada di dalam sini, kalau papamu terus sibuk dengan istri barunya?" Chava mengusap perutnya yang mulai sedikit membola.Walau Azzam tinggal bersamanya, tapi Hanalah pemilik hati dan raga Azzam sepenuhnya. Mereka bahkan tak pernah lagi tidur sekamar sejak hari pertama Azzam membawa pulang istri keduanya. Chava dapat memaklumi mengingat suaminya pasti tengah menikmati masa pengantin barunya dengan Hana. Mereka sedang hangat-hangatnya.Namun, sampai bulan keempat pernikahan keduanya, Azzam benar-benar sudah tak lagi memberikan waktu untuk Chava. Chava selalu datang memeriksakan kehamilannya seorang diri. Jangankan mendampingi, Azzam bahkan tak memberikan kesempatan untuk Chava memberitahukan tentang kehamilannya. Ya, sejauh itu mereka sekarang. Nyatanya, hidup seatap tak menjamin apa-apa."Terima kasih ya, Zam. Cincinnya bagus sekali, padahal aku sudah bilang beli yang murah saja, tapi kamu malah beli yang ada berliannya."Chava yang tengah berdiri di sisi tangga buru-buru kembali ke kamarnya begitu melihat kepulangan suami dan adik madunya. Niatnya mengambil air minum sengaja ia urungkan, Chava pikir mereka sudah pulang mengingat malam sudah larut."Tidak masalah selagi kamu suka. Apa pun akan aku lakukan asal kamu bahagia.""Duh, jadi makin cinta." Hana mencium sebelah pipi Azzam."Tapi ngomong-ngomong, Zam. Kenapa Chava tidak dibelikan cincin sekalian? Katamu bonus yang kamu terima lumayan.""Chava tidak usah! Dia tidak suka perhiasan." Azzam menyahut."Aku tidak enak, Zam. Masa aku dibelikan cincin berlian, tapi dia tidak dibelikan apa-apa." Hana menimpali."Sudahlah, toh Chava juga tidak tau. Oh ya, sisa uang bonusnya sudah aku transfer ke rekeningmu buat tambah-tambah beli perabotan rumah baru kita. Aku ingin kita bisa secepatnya pindah dari sini," ujar Azzam."Terima kasih ya, Zam. Hari ini aku benar-benar bahagia. Sudah diajak makan malam romantis di restoran mahal, dibelikan cincin berlian. Bahkan semua bonusmu kamu berikan buat aku. Ini benar-benar kado ulang tahun terindah yang pernah aku dapatkan seumur hidupku, Zam.""Nanti saja terima kasihnya," bisik Azzam mengedipkan sebelah matanya. "Nanti habis mandi langsung pakai baju dinas yang kubelikan ya. Sampai pagi, tidak ada penolakan.""Kenapa musti pakai baju kurang bahan, Zam? Toh, ujung-ujungnya bajunya kamu buang juga. Bukannya kamu lebih suka aku yang ..." Tawa Hana berderai.Wanita cantik itu berlari meninggalkan suaminya usai berhasil menggoda Azzam dengan meremas sesuatu di balik celana Azzam."Hana! Nakal, kamu ya! Mau dihukum." Azzam berlari menyusul istrinya, meniti anak tangga. Seluruh ruangan dipenuhi tawa."Dengan senang hati, aku terima hukuman darimu. Mau sekalian mandi bareng?""Boleh." Azzam menjawab antusias dengan mata berbinar.Daun pintu tertutup. Chava menghela napas panjang lalu keluar dari persembunyiannya untuk melanjutkan niat mengambil air minum. Chava tak ingin menangis, demi Tuhan.Namun, dia tak dapat mengendalikan laju air matanya. Cairan terkutuk itu terus saja mengalir meski Chava seka berulang kali. Suaminya sibuk memanjakan istri keduanya, menghabiskan waktunya untuk Hana seorang.Tak pernah Azzam hiraukan kesakitan yang dialami Chava. Cintanya yang begitu besar pada Hana sudah membutakan mata hati Azzam hingga dia tak melihat luka yang tersembunyi rapi di sudut hati terdalam istri pertamanya."Rupanya dia berpamitan tanpa mengatakan alasan kepulangannya yang terlambat demi membahagiakan istri mudanya."Gemetar tangan Chava meraih gelas yang baru saja dia isi air dingin. Rasa sakit hatinya tak terperi, sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ternyata sesakit itu untuk bertahan demi bayi dalam kandungannya.Seharusnya Chava mengadakan syukuran untuk mendo'akan bayi dalam kandungannya yang genap berumur empat bulan, seminggu yang lalu. Akan tetapi karena keterbatasan biaya, pun Chava tak berani meminta pada suaminya. Apalagi Chava tahu betul akhir-akhir ini Azzam sedang banyak pengeluaran.Sertifikat tanah yang dia berikan pada Azzam sudah dijual. Azzam membelikan Hana rumah yang berkali lipat jauh lebih megah dibanding rumah yang mereka tempati saat ini. Rumah yang dibeli dua bulan lalu, tapi belum sempat ditempati karena Hana bersikeras mengisi istananya lengkap dengan perabotan terlebih dulu sebelum dia dan suaminya pindah.Semenyakitkan ini hanya untuk bertahan. Chava lelah, ia sudah tak sanggup lagi. Sudah cukup kediamannya selama ini malah dijadikan kesempatan bagi Azzam menginjak harga dirinya.Keesokan paginya Chava bangun dengan rasa pening yang terasa mencengkeram kepalanya. Entah jam berapa ia tidur, yang pasti Chava baru bisa memejamkan mata setelah lelah menangis. Masalah yang datang terus menumpuk tanpa penyelesaian.Ah, Chava meringis. Tentu saja hanya dia seorang yang mengganggap kemunculan Hana sebagai sumber masalah di kehidupannya. Buktinya, Azzam terlihat santai dan justru sangat menikmati perannya menjadi suami dari dua wanita sekaligus."Masak apa, Va?"Tiba-tiba saja Hana sudah berdiri di sisi Chava yang baru saja mematikan kompor."Cuma nasi goreng, Mbak. Maaf, aku bangun kesiangan jadi tidak sempat bikin sarapan yang lain. Tehnya buat Mbak Hana sama kopi Mas Azzam sudah di meja. Hati-hati, Mbak. Masih panas.""Terima kasih, ya." Hana mengusap bahu Chava sekilas sebelum berlalu dari sana.Chava mengelus dada. Dia sempat melihat pahatan maha karya suaminya yang terukir di leher Hana, ketika adik madunya berpaling barusan.Bukan. Chava bukan iri lantaran Azzam tak pernah mendatangi kamarnya untuk meminta haknya sebagai suami. Chava hanya merasa miris dengan nasibnya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, Chava menyaksikan betapa hangat dan penuh perhatiannya Azzam terhadap istri mudanya. Mereka tampak berbincang akrab sambil melempar tawa, sesekali diselingi ciuman romantis dan pelukan.Menilik lagi keadaan dirinya, Chava merasa dia lebih mirip pembantu di rumah itu. Sementara dua sejoli yang tengah asyik berbagi cinta di depan sana adalah majikannya.Fakta demi fakta yang tersaji di depan mata semakin menampar Chava bahwa sejatinya dia memang tak akan bisa menempati ruang hati Azzam. Semuanya terlalu menyakitkan dan Chava menyadari, kondisi seperti ini tak akan baik untuk tumbuh kembang janin dalam kandungannya, begitu juga dengan kesehatan mentalnya.Chava tak akan lagi menggantungkan harapannya pada Azzam, dia tak akan berharap apa-apa lagi. Mau tak mau Chava dipaksa menerima kenyataan, dia harus membuat keputusan jika dirinya tak ingin terus menerus diinjak harga dirinya. Chava tak boleh tinggal diam atau dia hanya akan semakin terpuruk. Tak ada pilihan lain selain mengakhiri semuanya.Namun, Chava juga tak mau gegabah. Dia harus menyelesaikan semua permasalahan yang ada dengan sebaik mungkin."Tidak sekalian makan bareng kita, Va?"Chava ingin mentertawakan celotehan Hana yang dirasa tak berperasaan. Bagaimana mungkin wanita itu berkata demikian setelah dia dan Azzam menikmati sarapan penuh canda tanpa memikirkannya."Aku kan tidak bekerja, Mbak. Makannya ya santai saja, kalau sudah lapar.""Jangan terus mengulang kebiasaan buruk, Va. Sarapan ya harus rutin, jangan nunggu lapar baru makan. Jangan sampai jatuh sakit." Hana meletakkan piring kotor ke dalam sink, tanpa mencucinya."Iya, Mbak. Terima kasih atas perhatiannya," jawab Chava basa-basi.Chava menyelesaikan kegiatannya mengupas mangga. Sejak kemarin dia ingin makan salad buah, tapi baru sempat membuatnya itu pun hanya memakai bahan seadanya di kulkas. Sayang rasanya kalau harus mengeluarkan uang untuk membelinya, yang Chava tahu harga salad buah di luaran cukup mahal."Chava!""Iya, Mbak." Chava menoleh sekilas sebelum akhirnya kembali memusatkan perhatiannya pada Hana. Ia meneguk salivanya kelat. Mendadak Chava merasa gugup.Hana berdiri tepat di dekat lemari pantry, tengah memegang kotak susu ibu hamil."Kamu hamil, Va?" tanya wanita itu dengan tatapan lurus yang sulit Chava artikan."Siapa yang hamil, Yang?"Sedetik kemudian Azzam sudah ada di tengah-tengah dua wanita itu, dipandanginya kedua istrinya bergantian. Sementara Hana mengayunkan kakinya mendekati Azzam, Chava bergeming dengan pikiran yang entah. Ternyata melalui jalan ini Tuhan menyampaikan berita kehamilannya pada Azzam."Yang? Siapa yang hamil?" Azzam mengulangi pertanyaannya."Chava, Zam. Chava yang hamil." Hana menyahut dengan sorot mata yang tak berpindah sedikit pun dari Chava."Apa!" Azzam memekik.Chava membuang muka, tak berani menatap suaminya. Sebab Chava tahu, kabar kehamilan itu ingin Azzam dengar dari Hana. Bukan darinya.Senyum di bibir Chava memudar begitu menyadari apa yang dia bayangkan tak menjadi kenyataan. Ia pikir Azzam akan berteriak antusias mendengar kabar itu, lalu memeluknya dan mengucapkan kata-kata manis. Serasa hendak terbang tetapi belum apa-apa sudah langsung dihempaskan sampai ke dasar jurang saat ketakutan itu terjadi. Azzam terpaku dengan pandangan kosong, alih-alih bahagia mendengar kabar kehamilan Chava, lelaki itu justru menatap istri mudanya. Pun sama dengan Hana yang bibirnya terkatup rapat. Tatapan keduanya saling mengunci satu sama lain, sampai akhirnya mereka sadar ada Chava di tengah-tengah mereka.Semua sudah cukup membuktikan kalau Azzam tak pernah menginginkan anak dari Chava. Betapa bodohnya Chava, kehadirannya saja tak pernah dianggap ada oleh suaminya sendiri, apalagi anaknya. "Sudah siang, Mbak. Nanti telat ke kantornya." Chava mengambil alih kotak susu di tangan Hana. "Kamu hamil, Va?" Sekali lagi Hana bertanya. Melalui ekor matanya, Chava dapat menangkap seber
Tak ada hal yang lebih menyakitkan bagi seorang istri ketika kehadirannya tak dianggap sama sekali oleh suaminya sendiri. Berkali-kali Chava mencoba bertahan dengan menekan rasa sakitnya, tetapi sesering itu juga Azzam terus menorehkan luka. Tak peduli sekeras apa perjuangan Chava, bisa apa dia kalau Azzam terus berusaha mematahkan usahanya. Segala sesuatu ada batasnya, pun dengan kesabaran Chava, dan kali ini dia telah sampai pada ambang batas kesabarannya. Cukup! Chava tak akan pernah lagi mengemis apa pun pada Azzam. Kenyataan pahit yang terus Chava telan sendirian, luka yang dia balut dengan tertatih, nyatanya kembali Azzam hadiahi dengan goresan luka baru setiap harinya. Malam dingin sepi yang Chava dekap seorang diri selama ini, tak ingin lagi dia lalui."Chava, Chava!"Mendengar namanya terus diserukan oleh orang yang selama ini mendiami relung hati nyatanya tak membuat Chava bahagia. Kini, justru kebencian itu begitu nyata. Derap langkah terdengar memburu satu sama lain, ta
Memiliki suami yang penyayang dan pengertian, anak-anak yang lucu, hidup berdampingan dengan mertua yang baik. Chava pikir hidupnya akan berakhir indah meski pernikahannya dengan Azzam dilandasi perjodohan. Namun, harapan tinggallah harapan. Mimpi indah yang dirajutnya tiap malam, do'a penuh ketulusan yang dia panjatkan dengan menyelipkan nama suami tercinta. Pengabdian tulusnya sepanjang menikah dengan lelaki itu dibalas rasa sakit tak terperi. Dalam mimpi pun, tak pernah Chava bayangkan kehidupan rumah tangganya akan semenyedihkan ini. Azzam membawakan adik madu. Hana, wanita yang membuatnya tergila-gila. Wanita yang membuatnya melupakan kalau ada sosok yang harus Azzam beri secuil perhatian juga. "Aku turut sedih dengan apa yang menimpamu, Va." Hana menarik napas panjang demi mengisi rongga dadanya yang terasa sesak. "Sejujurnya aku memang sempat iri padamu, aku juga ingin hamil. Tapi bukan berarti aku senang kamu kehilangan bayimu." Istri
"Bukankah pekerjaan Anda menyelamatkan nyawa orang, kenapa Anda tidak bisa menyelamatkan bayiku? Kembalikan bayi itu padaku, Dok. Saya mohon. Saya tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini, jika bayi saya pergi. Saya benar-benar seorang diri. Tolong, Dok. Kembalikan bayi saya." Chava meraung dengan wajah bersimbah air mata, kedua tangannya sibuk mengguncang bahu dokter yang menatapnya iba. Wanita berkacamata dengan seragam khas itu bungkam, ikut larut dalam pusaran kesedihan Chava. Pun dengan dua orang perawat yang juga berada dalam ruangan itu. Siapa tak tersentuh melihat tangis sarat kesedihan Chava yang begitu memilukan. "Hanya dia satu-satunya yang saya miliki, Dok. Kalau dia pergi, entah bagaimana saya harus melanjutkan hidup. Kenapa Tuhan tidak adil, seharusnya saya ikut pergi saja bersama bayiku," racau Chava yang masih belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa bayinya telah berpulang. "Kembalikan dia, Dok. Tolong ..."Dokter perempua
"Ibu!"Mengabaikan pekikan itu, Halimah kembali mengayunkan tangannya. Netra tuanya menganak sungai, amarah dan rasa kecewa yang menggunung ia tumpahkan. Tangisan terdengar riuh rendah, tak hanya sekali tapi berkali-kali Halimah mendaratkan tamparan di wajah anak lelaki semata wayangnya. Azzam yang merasa bersalah tentu tak berani melakukan perlawanan. "Ibu, saya mohon, Bu. Hentikan!" Hana bersimpuh, memegangi kedua kaki ibu mertuanya. Istri mana yang tega melihat suami yang dicintainya disakiti, biarpun oleh ibu kandungnya sendiri sekali pun. "Bu, tolong, Bu. Semuanya bisa dibicarakan baik-baik." Hana kembali mengiba.Kecamuk di benak Azzam membuatnya tak bisa berkutik. Lelaki itu bahkan dengan sadar membiarkan Hana memohon ampun demi dirinya tak terus dijadikan samsak oleh Halimah. "Anak kurang ajar! Susah payah Ibu besarkan kamu, Ibu rawat kamu dengan penuh cinta kasih. Ibu berikan yang terbaik yang Ibu punya untukmu, begini balasanmu?""Ibu ..."Tangis Hana hampir tak terdengar
Sampai habis suara Halimah, sampai kering air matanya, tapi isak lirih tertahan wanita itu masih terus menggema memenuhi seluruh penjuru ruangan. Ditatapnya Chava yang masih bergeming sejak kali pertama kedatangannya ke tempat itu. "Kenapa diam saja, Nak? Kenapa tidak cerita sama Ibu kalau anak Ibu sudah zalim sama kamu." Halimah mengusap kepala Chava kemudian memeluknya erat. Sungguh, dia dapat merasakan kesakitan yang dialami menantunya. "Ibu merasa sangat berdosa sekali sudah menjerumuskanmu. Ibu yakin kamu istri terbaik yang pantas disandingkan dengan anak Ibu dan kamu berhasil membuktikannya, tapi rupanya justru anak Ibu yang tidak pantas menjadi suamimu. Anakku sendiri yang meragukan pilihan Ibu. Sakit sekali hati Ibu, Nak."Tak ada kata yang terucap, Chava balas pelukan mertuanya lebih erat. Bahu Halimah bergetar hebat, pun disusul air matanya yang makin deras. Betapa wanita paruh baya itu memendam sakit hati yang mendalam pada anaknya sendiri. Ji
Rintik gerimis mengantar laju kereta besi yang ditumpangi Chava. Angin yang berhembus menguarkan aroma tanah, menyisakan genangan di mana-mana. Chava melempar pandangannya pada hamparan rerumputan basah di tepian jalan. Angannya kembali pada beberapa jam yang lalu sebelum dirinya duduk di salah satu taksi yang membawanya pergi. Tak lama setelah kepergian Halimah, Chava pun memutuskan untuk pergi. Menggunakan sisa uang hasil menggadaikan cincin kawinnya tempo hari, dia melunasi administrasi rumah sakit. Mengabaikan rasa sakitnya, Chava putuskan untuk kembali ke rumah setelah sebelumnya mengintai keadaan di sana. Setelah Azzam dan Hana pergi, barulah dia memberanikan diri masuk menggunakan kunci cadangan untuk mengambil beberapa barangnya sebelum dia benar-benar pergi. "Tisu, Mbak." Chava tersentak, supir taksi mengulurkan kotak tisu padanya. "Maaf ya, Pak. Saya pasti sudah mengganggu konsentrasi menyetir Bapak," ujar Chava tak enak hati.
Azzam terus melayangkan tatapan tajam, sementara tubuhnya mengunci sang istri hingga Hana tak berkutik sama sekali. Tubuh wanita itu gemetaran, jangankan melarikan diri, sekadar menarik napas saja Hana merasa begitu kesulitan. Tatapan dingin Azzam sungguh mematikan. "Z-zam!""Jadi selama ini kamu diamkan uang pemberianku buat Chava, Han? Padahal kamu tau uang itu untuk makan kita bertiga!""Aku lupa, Zam. Orang lupa masa mau disalahkan." Tertunduk wanita itu tanpa berani membalas tatapan sang suami. "Keterlaluan! Kalau hanya sekali, bisa lah aku anggap lupa. Tiga kali, Han! Tiga kali jatah uang Chava untuk keperluan rumah tangga kita kamu simpan di laci!" Azzam membanting ketiga amplop itu di ranjang. "Kamu tau, Chava itu tidak pernah bekerja selama menikah denganku. Dengan kamu menahan haknya, yang akhirnya aku sadari ternyata uang itu dikembalikan padaku untuk memberi makan kita berdua. Demi kita bisa makan Chava sampai rela jadi tuk
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan