Senyum di bibir Chava memudar begitu menyadari apa yang dia bayangkan tak menjadi kenyataan. Ia pikir Azzam akan berteriak antusias mendengar kabar itu, lalu memeluknya dan mengucapkan kata-kata manis. Serasa hendak terbang tetapi belum apa-apa sudah langsung dihempaskan sampai ke dasar jurang saat ketakutan itu terjadi.
Azzam terpaku dengan pandangan kosong, alih-alih bahagia mendengar kabar kehamilan Chava, lelaki itu justru menatap istri mudanya. Pun sama dengan Hana yang bibirnya terkatup rapat. Tatapan keduanya saling mengunci satu sama lain, sampai akhirnya mereka sadar ada Chava di tengah-tengah mereka.Semua sudah cukup membuktikan kalau Azzam tak pernah menginginkan anak dari Chava. Betapa bodohnya Chava, kehadirannya saja tak pernah dianggap ada oleh suaminya sendiri, apalagi anaknya."Sudah siang, Mbak. Nanti telat ke kantornya." Chava mengambil alih kotak susu di tangan Hana."Kamu hamil, Va?" Sekali lagi Hana bertanya.Melalui ekor matanya, Chava dapat menangkap seberkas rasa iri yang terpancar dari mata adik madunya. Entah hanya perasaan Chava saja, tetapi seolah ada ketakutan dalam diri Hana. Mungkin Hana pikir kehamilan Chava akan mengancam hubungannya dengan Azzam.Hana juga sesekali menatap Azzam pilu, seakan kabar kehamilan Chava sungguh melukai perasaannya. Melalui tatapan itu pula Chava tahu betapa Hana sangat ingin bisa hamil sepertinya."Iya, Mbak." Pada akhirnya Chava menjawab."Berapa bulan?""Jalan lima.""Apa? Sudah selama itu dan kamu nggak ada kasih tau sama kita?" Hana terperanjat."Waktu aku tau hamil, di saat bersamaan Mas Azzam kasih tau kalau dia mau nikahi Mbak Hana. Aku cuma tidak mau menambah beban pikirannya, selama ini aku sengaja diam karena tak ingin mengusik kebahagiaan kalian yang sedang dalam masa pengantin baru," jelas Chava.Ibu hamil itu menaruh bungkus susu ke tempat semula. Chava kemudian mengambil kotak bekal yang telah dia siapkan untuk suami dan adik madunya."Han," panggil Azzam penuh kekhawatiran. Cukup lama mengenal wanita itu membuat Azzam tahu betul apa yang saat ini tengah dirasakan Hana."Ini bekalnya, Mbak. Hati-hati di jalan, nanti makan malam mau dimasakin apa?" Chava berusaha mengurai suasana yang mendadak canggung."Nanti saja Hana kirim pesan sama kamu. Kami berangkat sekarang, sudah siang," pungkas Azzam sembari menggandeng tangan Hana mengajaknya pergi dari sana.Sepi.Chava menarik kursi dan lekas menempatinya sebelum ia tumbang. Luar biasa perih hatinya. Azzam kentara sekali mencemaskan Hana, khawatir perasaannya terlukai dengan kehamilan Chava, sementara pada Chava lelaki itu tak peduli sedikit pun.Ah, tak ingin berlarut dalam kesedihan, Chava memutuskan menunda membuat salad buah. Ia mengembalikan mangga yang sudah dia kupas ke dalam lemari pendingin. Pagi ini dia berencana untuk pergi ke pasar membeli kebutuhan yang kebetulan sudah habis semua."Ya ampun," lirih Chava kebingungan. Ia membuka laci lemarinya, tetapi ternyata tak ada selembar pun uang tersisa di tempat biasa dia menyimpannya.Chava tertegun, selain hilang kebiasaan cium tangan sebelum dan sesudah Azzam pulang kerja, dia pun sudah tiga bulan ini tak lagi diberi nafkah seperti biasanya. Jika biasanya uang untuknya diberikan melalui Hana setelah beberapa hari berlalu dari tanggal Azzam gajian, puncaknya bulan ini. Dia sama sekali tak diberi uang. Ternyata menjadi ibu rumah tangga yang sama sekali tak menghasilkan itu sangat merepotkan.Chava yang terbiasa menadahkan tangan pada Azzam, seketika dibuat berpikir keras. Memutar otak demi kompor di dapur tetap menyala, demi kebutuhan lainnya bisa terpenuhi. Sekilas, tatapan Chava tertuju pada cincin pernikahannya. Hanya tersisa itu saja barang berharga yang dia punya saat ini."Apa aku gadaikan atau dijual saja cincinnya ya?" Chava menimbang sesaat.Detik berikutnya, Chava memutuskan untuk berganti pakaian dan pergi ke pasar. Akan dia gadaikan cincin kawinnya, nanti setelah dapat uang dari Azzam barulah dia akan menebusnya. Begitu pikir Chava.Andai masih ada beras di rumah, mungkin Chava tak akan bertindak sejauh itu. Dia hanya tak mau membiarkan suami dan istri barunya pulang kerja dalam keadaan kelaparan dan tak mendapatkan makanan di rumah. Dia akan semakin kesulitan jika disalahkan nantinya.Chava meninggalkan pegadaian dengan beberapa lembar uang merah di tangan. Rumah sakit menjadi tujuan utamanya untuk melakukan kontrol kehamilan rutin yang seharusnya dia lakukan sejak seminggu lalu. Sampai di sana rupanya antrean pasien cukup panjang. Chava baru bisa mendapatkan sekantong plastik berisi vitamin semasa hamil ketika sore menjelang.Chava melanjutkan perjalanan dengan berburu bahan makanan di supermarket terdekat dan sesampainya di rumah saat gelap mendekap bumi sepenuhnya."Dari mana, Va?"Chava kaget melihat sosok lelaki yang duduk di teras rumahnya. Pria itu kemudian mendekat untuk membantu mengangkat beras dan barang belanjaan Chava."Habis belanja, Om. Om Heru sudah lama?""Belum terlalu. Kenapa nggak minta tolong Azzam buat bawakan? Ini berat, apalagi kamu sedang hamil.""Tadi sekalian ada perlu, Om. Terima kasih," ujarnya saat Heru menaruh barang belanjaannya di dapur."Silakan duduk, Om. Biar aku buatkan teh.""Tidak usah repot-repot.""Hanya teh, Om."Heru mengedarkan pandangan sekilas. Rumah cukup sepi."Suamimu belum pulang? Padahal biasanya jam enam sudah ada di rumah. Apa semenjak menikah lagi, dia jadi sering terlambat pulang?"Prang!"Astaga! Kamu baik-baik saja?" Heru menjauhkan tubuh Chava dari pecahan kaca.Chava tak sengaja menjatuhkan cangkir kopi lantaran terlalu kaget. Dia tak menyangka Heru mengetahui pernikahan kedua suaminya."Jadi Om sudah tau kalau Mas Azzam menikah lagi? Sejak kapan?" Manik itu memancarkan tanya."Om pernah ke sini waktu itu dan tidak sengaja melihat suamimu merangkul mesra seorang wanita cantik. Saat itulah Om tau kalau ternyata Azzam menduakanmu.""Om, tolong jangan beritahu ibu. Chava takut kondisinya drop kalau ibu sampai tau pernikahan kedua Mas Azzam.""Kalau soal itu kamu tidak perlu cemas, Om belum pernah menceritakan perihal pernikahan ke dua suamimu pada siapa pun." Heru menghela napas, menatap istri dari keponakannya itu dengan penuh keheranan."Kamu ini aneh, Va. Suami kawin lagi kok diizinkan. Memangnya apa kurangmu?""Chava terpaksa, Om. Chava tidak bisa melarang keinginan Mas Azzam." Wanita itu tertunduk. Ketidakberdayaan yang membuatnya terpaksa menelan semua kepahitan ini."Jangan menderita sendiri sementara kamu bisa mengambil keputusan dan berbahagia," kata Heru."Maksud Om Heru?"Heru memangkas jarak, tatapannya mengerikan dan gerak tubuhnya sungguh membuat Chava merinding. Wanita itu beringsut menjauh."Jangan pura-pura bodoh, Va. Selama ini Om perhatian sama kamu, Om memiliki rasa lebih sama kamu. Bukan sebagai paman dan keponakan, melainkan sebagai seorang laki-laki terhadap wanita," ucap Heru disusul seringai menakutkan."Om Heru sudah menikah, begitu pula aku. Jangan melantur, Om." Chava bergerak menjauh. Gelagat Heru mulai mencurigakan, dan itu membuatnya takut."Cerai sama Azzam! Kamu bisa membalas dendam padanya dengan menikah denganku. Jadilah istri keduaku, Om janji akan memenuhi seluruh kebutuhanmu, termasuk membahagiakanmu juga. Hal yang tidak bisa Azzam lakukan untukmu.""Om jangan macam-macam!" Chava memekik. Setiap kali dia menjauh, Heru terus saja mengejarnya.Merasa sedang dalam bahaya, Chava berlari hendak meninggalkan rumah. Akan tetapi kondisinya yang sedang berbadan dua membuat pergerakannya menjadi terbatas. Naas, Heru berhasil menangkapnya."Om, lepas!" Chava mendorong tubuh Heru kala pria itu berhasil memeluknya."Kamu itu cantik, Va. Bahkan jauh lebih cantik dari istri kedua Azzam yang bodoh itu. Bisa-bisanya dia tega mencampakkanmu dengan menikahi wanita lain. Sungguh bodoh!""Lepas, Om! Ingat, aku ini istri keponakanmu. Sadar, Om."Air mata mulai membanjiri wajah Chava. Dia sangat ketakutan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Meronta dengan sekuat tenaga pun rasanya percuma. Bukannya iba, Heru justru semakin beringas."Sudah sangat lama aku memimpikan bisa mencicipi tubuhmu yang indah ini, Va. Aku perhatikan kamu semakin cantik dan menggairahkan dalam keadaan hamil begini," bisik Heru penuh nafsu. Tatapannya menelanjangi Chava dan itu membuat Chava risih.Di tengah ketakutan yang mendera, Chava menendang pangkal paha Heru. Dengan cepat dia memanfaatkan keadaan untuk lari secepat yang dia bisa."Chava! Jangan berani kabur. Bersikap baiklah selagi aku masih bisa sabar. Jika kamu terus bersikap seperti ini, maka jangan salahkan kalau aku melakukannya dengan kasar."Heru meringis memegangi alat vitalnya. Meski tendangan Chava tak begitu keras, tapi tetap saja dia merasa kesakitan. Heru kemudian berlari menyusul Chava, dan lagi-lagi dia berhasil menangkap wanita itu.Chava yang merasakan sakit di perutnya tak bisa berlari dengan cepat, kini tubuhnya tenggelam dalam dekapan kokoh pria laknat itu. Heru menyeringai, tangannya mulai bergerilya membuat Chava menangis jejeritan."Tolong, Om. Kalau memang Om tidak peduli padaku, kasihanilah bayi dalam kandunganku, Om," pinta Chava mengiba, berharap lelaki yang serupa monster itu masih memiliki sedikit belas kasihan padanya."Jangan coba membujukku, apalagi menggunakan air matamu sebagai senjata karena aku tidak akan mundur sedikit pun setelah sekian lama kesempatan ini datang padaku."Heru menarik paksa Chava ke kamar, membanting tubuh wanita itu di kasur. Tak peduli tangisan kesakitan bercampur rasa takut Chava. Tak peduli wanita itu terus meronta, mengiba untuk dilepaskan. Melihat wanita hamil itu lemas tak berdaya, Heru melucuti helaian kain yang melekat di badan dengan cepat.Hal itu dimanfaatkan Chava dengan baik. Dia gegas meraih ponsel dalam saku bajunya dan menghubungi Hana. Beberapa kali panggilan itu tak diangkat, Chava yang sedang berburu dengan waktu bergantian menghubungi suaminya. Nihil. Tersambung, tapi tak juga diangkat."Brengsek! Jangan coba meminta bantuan pada siapa pun, atau aku akan berubah kejam dan jangan salahkan aku!" hardik Heru penuh ancaman.Terjadi adegan tarik menarik antara Chava dan Heru memperebutkan ponsel Chava. Sekuat apa pun Chava berusaha mempertahankan miliknya, tenaganya jelas tak sebanding dengan Heru. Lelaki itu berhasil merebut benda itu dan membantingnya ke lantai hingga berserakan."Tidak, Om! Jangan lakukan!" Chava terus meronta dengan sisa tenaganya."Jangan, Om! Aku mohon!"Heru menulikan telinganya, pria itu semakin bergerak liar."Tidak! Mas Azzam, tolong!" Jeritan Chava terdengar memilukan usai Heru berhasil merobek pakaiannya.Chava masih berusaha mempertahankan kehormatannya. Dia terus meronta, memukuli apa saja yang bisa dia raih, melawan Heru sampai dia benar-benar kehabisan tenaga. Dan, semua itu membuat Heru murka hingga lelaki itu kalap dan melayangkan satu tamparan keras.Hening.Detik berikutnya tak lagi terdengar suara tangisan. Heru tersenyum licik melihat Chava terkapar kehilangan kesadarannya dengan sudut bibir mengeluarkan darah.Tak ada hal yang lebih menyakitkan bagi seorang istri ketika kehadirannya tak dianggap sama sekali oleh suaminya sendiri. Berkali-kali Chava mencoba bertahan dengan menekan rasa sakitnya, tetapi sesering itu juga Azzam terus menorehkan luka. Tak peduli sekeras apa perjuangan Chava, bisa apa dia kalau Azzam terus berusaha mematahkan usahanya. Segala sesuatu ada batasnya, pun dengan kesabaran Chava, dan kali ini dia telah sampai pada ambang batas kesabarannya. Cukup! Chava tak akan pernah lagi mengemis apa pun pada Azzam. Kenyataan pahit yang terus Chava telan sendirian, luka yang dia balut dengan tertatih, nyatanya kembali Azzam hadiahi dengan goresan luka baru setiap harinya. Malam dingin sepi yang Chava dekap seorang diri selama ini, tak ingin lagi dia lalui."Chava, Chava!"Mendengar namanya terus diserukan oleh orang yang selama ini mendiami relung hati nyatanya tak membuat Chava bahagia. Kini, justru kebencian itu begitu nyata. Derap langkah terdengar memburu satu sama lain, ta
Memiliki suami yang penyayang dan pengertian, anak-anak yang lucu, hidup berdampingan dengan mertua yang baik. Chava pikir hidupnya akan berakhir indah meski pernikahannya dengan Azzam dilandasi perjodohan. Namun, harapan tinggallah harapan. Mimpi indah yang dirajutnya tiap malam, do'a penuh ketulusan yang dia panjatkan dengan menyelipkan nama suami tercinta. Pengabdian tulusnya sepanjang menikah dengan lelaki itu dibalas rasa sakit tak terperi. Dalam mimpi pun, tak pernah Chava bayangkan kehidupan rumah tangganya akan semenyedihkan ini. Azzam membawakan adik madu. Hana, wanita yang membuatnya tergila-gila. Wanita yang membuatnya melupakan kalau ada sosok yang harus Azzam beri secuil perhatian juga. "Aku turut sedih dengan apa yang menimpamu, Va." Hana menarik napas panjang demi mengisi rongga dadanya yang terasa sesak. "Sejujurnya aku memang sempat iri padamu, aku juga ingin hamil. Tapi bukan berarti aku senang kamu kehilangan bayimu." Istri
"Bukankah pekerjaan Anda menyelamatkan nyawa orang, kenapa Anda tidak bisa menyelamatkan bayiku? Kembalikan bayi itu padaku, Dok. Saya mohon. Saya tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini, jika bayi saya pergi. Saya benar-benar seorang diri. Tolong, Dok. Kembalikan bayi saya." Chava meraung dengan wajah bersimbah air mata, kedua tangannya sibuk mengguncang bahu dokter yang menatapnya iba. Wanita berkacamata dengan seragam khas itu bungkam, ikut larut dalam pusaran kesedihan Chava. Pun dengan dua orang perawat yang juga berada dalam ruangan itu. Siapa tak tersentuh melihat tangis sarat kesedihan Chava yang begitu memilukan. "Hanya dia satu-satunya yang saya miliki, Dok. Kalau dia pergi, entah bagaimana saya harus melanjutkan hidup. Kenapa Tuhan tidak adil, seharusnya saya ikut pergi saja bersama bayiku," racau Chava yang masih belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa bayinya telah berpulang. "Kembalikan dia, Dok. Tolong ..."Dokter perempua
"Ibu!"Mengabaikan pekikan itu, Halimah kembali mengayunkan tangannya. Netra tuanya menganak sungai, amarah dan rasa kecewa yang menggunung ia tumpahkan. Tangisan terdengar riuh rendah, tak hanya sekali tapi berkali-kali Halimah mendaratkan tamparan di wajah anak lelaki semata wayangnya. Azzam yang merasa bersalah tentu tak berani melakukan perlawanan. "Ibu, saya mohon, Bu. Hentikan!" Hana bersimpuh, memegangi kedua kaki ibu mertuanya. Istri mana yang tega melihat suami yang dicintainya disakiti, biarpun oleh ibu kandungnya sendiri sekali pun. "Bu, tolong, Bu. Semuanya bisa dibicarakan baik-baik." Hana kembali mengiba.Kecamuk di benak Azzam membuatnya tak bisa berkutik. Lelaki itu bahkan dengan sadar membiarkan Hana memohon ampun demi dirinya tak terus dijadikan samsak oleh Halimah. "Anak kurang ajar! Susah payah Ibu besarkan kamu, Ibu rawat kamu dengan penuh cinta kasih. Ibu berikan yang terbaik yang Ibu punya untukmu, begini balasanmu?""Ibu ..."Tangis Hana hampir tak terdengar
Sampai habis suara Halimah, sampai kering air matanya, tapi isak lirih tertahan wanita itu masih terus menggema memenuhi seluruh penjuru ruangan. Ditatapnya Chava yang masih bergeming sejak kali pertama kedatangannya ke tempat itu. "Kenapa diam saja, Nak? Kenapa tidak cerita sama Ibu kalau anak Ibu sudah zalim sama kamu." Halimah mengusap kepala Chava kemudian memeluknya erat. Sungguh, dia dapat merasakan kesakitan yang dialami menantunya. "Ibu merasa sangat berdosa sekali sudah menjerumuskanmu. Ibu yakin kamu istri terbaik yang pantas disandingkan dengan anak Ibu dan kamu berhasil membuktikannya, tapi rupanya justru anak Ibu yang tidak pantas menjadi suamimu. Anakku sendiri yang meragukan pilihan Ibu. Sakit sekali hati Ibu, Nak."Tak ada kata yang terucap, Chava balas pelukan mertuanya lebih erat. Bahu Halimah bergetar hebat, pun disusul air matanya yang makin deras. Betapa wanita paruh baya itu memendam sakit hati yang mendalam pada anaknya sendiri. Ji
Rintik gerimis mengantar laju kereta besi yang ditumpangi Chava. Angin yang berhembus menguarkan aroma tanah, menyisakan genangan di mana-mana. Chava melempar pandangannya pada hamparan rerumputan basah di tepian jalan. Angannya kembali pada beberapa jam yang lalu sebelum dirinya duduk di salah satu taksi yang membawanya pergi. Tak lama setelah kepergian Halimah, Chava pun memutuskan untuk pergi. Menggunakan sisa uang hasil menggadaikan cincin kawinnya tempo hari, dia melunasi administrasi rumah sakit. Mengabaikan rasa sakitnya, Chava putuskan untuk kembali ke rumah setelah sebelumnya mengintai keadaan di sana. Setelah Azzam dan Hana pergi, barulah dia memberanikan diri masuk menggunakan kunci cadangan untuk mengambil beberapa barangnya sebelum dia benar-benar pergi. "Tisu, Mbak." Chava tersentak, supir taksi mengulurkan kotak tisu padanya. "Maaf ya, Pak. Saya pasti sudah mengganggu konsentrasi menyetir Bapak," ujar Chava tak enak hati.
Azzam terus melayangkan tatapan tajam, sementara tubuhnya mengunci sang istri hingga Hana tak berkutik sama sekali. Tubuh wanita itu gemetaran, jangankan melarikan diri, sekadar menarik napas saja Hana merasa begitu kesulitan. Tatapan dingin Azzam sungguh mematikan. "Z-zam!""Jadi selama ini kamu diamkan uang pemberianku buat Chava, Han? Padahal kamu tau uang itu untuk makan kita bertiga!""Aku lupa, Zam. Orang lupa masa mau disalahkan." Tertunduk wanita itu tanpa berani membalas tatapan sang suami. "Keterlaluan! Kalau hanya sekali, bisa lah aku anggap lupa. Tiga kali, Han! Tiga kali jatah uang Chava untuk keperluan rumah tangga kita kamu simpan di laci!" Azzam membanting ketiga amplop itu di ranjang. "Kamu tau, Chava itu tidak pernah bekerja selama menikah denganku. Dengan kamu menahan haknya, yang akhirnya aku sadari ternyata uang itu dikembalikan padaku untuk memberi makan kita berdua. Demi kita bisa makan Chava sampai rela jadi tuk
Bulu mata lentik itu sesekali mengerjap. Dari jarak sedekat itu, dapat si pria lihat kecantikan alami yang dimiliki Chava. Alis hitam nan lebat memayungi telaga mata berwarna kecokelatan serupa kacang almond. Pipi bersemu merah sesegar buah persik, dagu lancip dan hidung mancung yang mungil. Hingga tatapan pria itu tertuju pada bagian paling ranum di wajah ayu Chava. Bibir setengah terbuka itu begitu lembab dan menggoda. Pria itu kemudian menggeleng menepis pikirannya yang mulai mengembara liar. "Aduh!" Si pria meringis sembari menyentuh rahangnya. "Kan sudah kubilang, tenanglah sebentar."Pria itu kembali menunduk pasrah membiarkan Chava mengobati luka-lukanya. Sekarang dia menjelma menjadi anak baik yang ketakutan usai dimarahi ibunya. Ia kembali menghela napas berat ketika wajahnya dan wajah Chava nyaris tak berjarak. "Kamu tidak takut padaku?" Setelah sekian lama kebungkamannya, pemuda itu akhirnya menyuara."Kamu makan nasi, sama
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan