"Zam."
Azzam tersentak ketika Hana menyikut lengannya. Pria itu tersenyum ramah menyambut uluran tangan para tamu yang datang memberikan do'a restu. Lelaki yang telah sah menjadikan Hana sebagai istri keduanya itu tampak sumringah. Akan tetapi tatapannya berubah sendu tiap kali bayangan Chava berkelindan di benak.Punggung yang selalu bergetar halus ketika Azzam melihatnya dari belakang, pun terlihat sama hari ini. Dari tempatnya berdiri Azzam sempat melihat kepergian istri pertamanya. Lelaki itu tak henti menyorot hingga tubuh mungil itu lenyap dari pandangan.'Dia pasti sedang menangis.' Azzam masih tenggelam dalam perasaan yang tak bisa dijelaskan. Dia memang merasa bahagia telah menikahi gadis pujaan hatinya, gadis yang amat sangat dia cintai. Azzam sangat bahagia.Namun, entah mengapa hatinya basah manakala teringat akan Chava. Apalagi jika ingat tatapan mata wanita yang telah setahun membersamainya meniti hidup hingga Azzam berada di puncak tertinggi karirnya saat ini. Telaga mata Azzam mengembun tak kuasa menatap mata bening Chava. Tak peduli betapa lelahnya wanita itu, bagaimana perasaannya, tak pernah sekali pun Chava melalaikan tugasnya sebagai istri. Belum pernah sekali pun bibir itu melontarkan keluhan."Kenapa aku perhatikan dari tadi kamu murung, Zam?" Hana menatap suaminya dari pantulan cermin. Ia tengah sibuk membersihkan sisa riasan di wajah. Keduanya telah berada di kamar hotel begitu resepsi berakhir."Hanya perasaanmu saja." Azzam menjawab sekenanya. Duduk di ranjang, berada dalam ruangan yang sama dengan Hana, tetapi kadang kala bayangan Chava datang tanpa permisi. Hingga mengalihkan perhatian lelaki itu."Wajahmu terus mendung. Apa karena Chava? Dia pulang bahkan tanpa pamit. Apa sebenarnya dia tidak benar-benar merestui pernikahan kita, Zam?""Jangan membuang waktu memikirkan hal yang akan membuatmu terluka." Azzam meraih ponsel yang sejak pagi ia matikan, kemudian menunjukkannya pada Hana."Dia sudah pamit, katanya agak kurang sehat."Hana membaca barisan kata dalam kolom room chat suaminya dengan kakak madu, lalu memandangi Azzam dalam diam."Kalau memang dia nggak merestui kita, nggak mungkin kita menikah sekarang. Sudahlah, jangan merusak hari bahagia kita dengan terus memikirkan soal Chava. Dia sengaja pulang lebih awal karena memang butuh istirahat. Sama seperti kita, dia pasti juga kelelahan setelah beberapa hari ini membantu persiapan pernikahan kita," ucap Azzam yang langsung tahu apa yang sedang ada dalam pikiran Hana.Azzam mengangsurkan tubuhnya memangkas jarak menyadari sang istri masih bergeming."Pergilah mandi, aku sudah tidak tahan," bisik Azzam membuat Hana merinding."Ih, dasar!" Hana memekik manja sambil memukul mesra dada suaminya.Ketika Hana tengah mengurung diri di kamar mandi, Azzam berusaha menepis bayangan Chava. Dia tak mau merusak suasana malam pengantinnya, malam yang telah begitu lama Azzam nantikan.Dinginnya malam berbanding terbalik dengan suasana kamar di mana dua anak manusia tengah sibuk berbagi raga. Malam itu, Hana berhasil menumpahkan darah di seprai sebagai bukti bahwa Azzam adalah yang pertama. Hana pandai memanaskan suasana hingga bayangan Chava benar-benar lenyap dari kepala Azzam. Betapa Azzam dibuat mabuk kepayang ketika berkali-kali dia harus meninggi dan tumbang penuh kepuasan."Terima kasih banyak, Yang. Aku sangat mencintaimu," bisik Azzam dengan tangan melingkari perut Hana begitu permainan panas keduanya berakhir.Kedua anak manusia itu saling berpelukan, tanpa sekat. Peluh yang mengucur, kondisi peraduan yang tak ubahnya kapal pecah juga jejak cinta yang ditinggalkan Azzam di tubuh Hana menjadi bukti keganasan lelaki itu."Maaf kalau aku belum bisa mengimbangi permainanmu, Zam. Bisa jadi Chava jauh lebih bisa memuaskanmu ketimbang aku, dia pasti jauh lebih mahir mengingat kalian sudah menikah cukup lama. Tapi kamu tidak usah khawatir, biar nanti aku belajar padanya agar aku bisa ...,"Azzam membalikkan badan Hana yang semula berbaring memunggunginya. Gerakannya menghentikan perkataan Hana, tatapan keduanya saling bertautan."Sudah kubilang jangan pernah membahas soal Chava kalau kita sedang berdua, apalagi ini malam pengantin kita. Fokus saja hanya pada kita berdua. Aku tidak bisa membandingkan kalian berdua, tolong ... kamu sendiri tau betul alasan aku menikahinya.""Iya, maaf." Hana mencicit manja lalu menubruk dada Azzam dan tenggelam di sana."Istirahatlah sebentar.""Sebentar?" Hana mendongak."Jangan harap aku akan membiarkanmu tidur nyenyak malam ini. Aku sudah cukup bersabar selama ini, Yang. Pokoknya, malam ini aku ingin melakukannya sampai puas.""Ah, Azzam! Masih sakit, tau."Pekikan manja Hana semakin membuat Azzam berhasrat untuk kembali melakukan pendakian. Azzam benar-benar mewujudkan ucapannya dengan tidak membiarkan Hana lolos malam itu.Malam makin merambat naik. Meski lelah mendera akibat aktivitas sejak pagi hingga malam meninggi, tak lantas membuat Azzam mengurungkan niatnya mengajak istri keduanya mengarungi lautan cinta berbalut kenikmatan. Rintihan tertahan yang sesekali disertai kesakitan Hana, sungguh membuat Azzam menggila. Lelaki itu dibuat lupa pada sosok istri pertamanya.Jika sang suami tengah sibuk mereguk kenikmatan bersama wanita yang dicintainya, di tempat yang berbeda Chava justru sedang berperang melawan rasa sakit. Tak hanya hatinya, pun fisiknya yang dihajar letih sejak beberapa hari terakhir. Belum lagi drama mual muntah yang ia rasa semakin parah."Berhenti memikirkan dia, Va. Mereka pasti sedang ...," Chava menggelengkan kepala berusaha mengusir bayangan tentang aktivitas yang sedang dilakukan suaminya bersama istri barunya malam ini.Salahkan Chava yang terlalu banyak berharap pada pernikahannya. Seharusnya dia sadar diri, Azzam menikahinya hanya demi bakti. Salahkan Chava yang sudah dengan mudahnya menjatuhkan hati pada Azzam. Andai Chava sadar diri dari awal, rasanya tak akan semenyakitkan ini ketika dia ditinggal menikah lagi."Sabar ya, Sayang. Demi kamu Mama akan coba bertahan agar kamu juga mendapatkan hakmu, tapi kita perlu bersabar. Saat ini papamu sedang menikmati kebahagiaannya menjadi pengantin baru." Chava mengelus perutnya.Air matanya kembali menitik saat teringat saat ini dia hanya seorang diri, menahan rasa nyeri diselimuti kesepian dan dinginnya malam. Sementara jauh di sana lelaki yang dicintainya tengah merengkuh kenikmatan bersama wanita lain.Chava membenci perasaannya yang sulit dikendalikan. Andai tak ada kehidupan baru di dalam rahimnya, mungkin sudah sejak hari itu dia memutuskan pergi. Sejatinya, tak ada satu pun wanita di dunia ini yang rela dimadu.Kehidupan rumah tangganya berjalan lancar selama ini, dia dan Azzam membina hubungan baik meski pria itu kerap bersikap dingin. Karir Azzam juga terus menanjak, cemerlang hingga sesukses ini. Kebahagiaan mereka makin lengkap manakala Tuhan menitipkan anugerahnya sebagai bukti cinta mereka. Chava kira sebahagia itu kehidupan rumah tangganya.Namun, sayangnya kebahagiaan yang Chava pikir akan bisa membuat pasangan lain di luar sana menjadi iri, justru hanya kebahagiaan semu. Chava ingin pergi, tapi ada hal yang menahannya. Chava telah bertekad untuk bertahan demi bayinya, dia tak bisa egois.Dibangunkan oleh desakan dari dalam perut yang kemudian menjalar naik, setengah berlari Chava menghambur ke kamar mandi. Cukup lama Chava berdiri di depan wastafel, sampai tak ada yang keluar dari mulutnya. Tak hanya rasa mual yang luar biasa menyiksa, Chava juga merasa pusing dan lemas."Anak manis, Mama tau kamu anak pintar. Bantu Mama melewati masa sulit ini ya, Nak. Entah harus dengan apa Mama ungkapkan, betapa Mama sangat bersyukur dengan kehadiranmu."Dengan tubuh lemah Chava menyeret langkahnya, tertatih meniti setiap anak tangga demi bisa mencapai dapur. Segelas teh mungkin akan membantu meredakan mual yang dirasakannya. Chava menelan ludahnya saat tiba-tiba saja membayangkan sarapan bubur ayam yang ada di depan pintu masuk perumahan.Ah, lagi-lagi dia hanya bisa menelan kekecewaan. Chava memang memiliki suami, tapi bukan seperti suami kebanyakan orang. Chava harus membiasakan diri untuk menjalani kehamilan itu sendirian."Chava!"Tubuh Chava menegang. Suara itu amat dikenalinya.'Apa aku berhalusinasi? Kenapa aku seperti mendengar suara Mas Azzam. Ini pasti salah, dia sedang menikmati masa pengantin baru di hotel, mana mungkin dia ada di sini sekarang.' Chava membatin.Selepas minum teh, Chava merasa lebih baik hingga dia memutuskan untuk membeli bubur ayam sendiri."Chava."Sekali lagi, panggilan itu terdengar. Kali ini jauh lebih jelas. Chava masih bergeming di depan pintu pagar yang baru saja ditutupnya. Ibu hamil itu pun membalikkan badan, menoleh ke arah sumber suara.Seperti mimpi, tubuh Chava mematung. Antara tak percaya, tapi juga bahagia saat melihat sosok yang semalaman ini terus dia bayangkan, tengah berdiri di depan mata."Mas Azzam?"Ada setitik bahagia menghinggapi rongga dada Chava, ia pikir suaminya akan melupakannya, tapi rupanya Azzam kembali ke rumah pagi ini. Hingga kemudian senyum yang tergambar di wajah Chava perlahan memudar manakala ia melihat sosok yang tersembunyi di balik tubuh suaminya. Saking bahagianya, Chava bahkan tak menyadari kalau ternyata adik madunya tengah berada di sana, juga dua buah koper besar yang berjajar tak jauh dari mereka."Hai, Va." Hana tersenyum manis."Hana akan tinggal bersama kita mulai hari ini. Jadilah kakak madu yang baik." Begitu Azzam berucap.Hancur. Selaksa asa lebur menjadi debu. Bayangan bisa bermanja dan berbagi berita kehamilan yang akan membuat Azzam bahagia. Melewati waktu berdua, hanyalah angan. Sebuah mimpi mahal yang entah kapan akan terlaksana.Chava pikir dirinyalah yang menjadi alasan kepulangan Azzam pagi ini. Akan tetapi rupanya dia telah keliru. Mana mungkin Azzam memikirkannya sedang tak pernah ada namanya di dalam hati lelaki itu."Azzam, ih! Minggir sana!" Suara Hana terdengar manja mendayu-dayu. "Jangan harap kamu bisa lolos, Han. Aku sudah terlalu lama menunggumu jadi terima saja hukumanmu.""Jangan macam-macam, Zam. Sudah siang, kita bisa telat ke kantor!""Tidak, jika kamu bisa diajak bekerjasama."Setelahnya tak terdengar lagi percakapan dua sejoli itu. Chava mematung di depan kamar dengan gagang kain pel di tangan, niatnya untuk membersihkan kamar adik madunya tertunda. Ia pikir Azzam dengan istri barunya sudah pergi ke kantor selagi dia membereskan dapur tadi, tapi rupanya pasangan yang masih dalam masa pengantin baru itu sedang menuntaskan sesuatu yang tertunda. Suara tabu yang bahkan tak pernah Chava dengar sepanjang penyatuannya bersama Azzam, membuatnya ingin melarikan diri dari tempat itu detik ini juga. Akan tetapi kakinya seolah tertanam kuat di bumi. Chava bahkan tak sanggup sekadar menggeser tubuhnya. Ketika deru napas terdengar bersahutan dengan desahan, dua anak manusia yang sibuk mereguk m
"Apa ini, Bu?" Chava menatap selembar kertas dalam balutan map biru, pandangannya berpindah pada sosok wanita yang duduk tepat disampingnya. "Anggaplah sebagai hadiah pernikahanmu dengan Azzam." Halimah mengangguk, senyum penuh ketulusan terus tercetak di wajah tuanya yang dihiasi kerutan. Chava membuka map tersebut, membacanya sekilas. "Maaf, Bu. Tapi aku tidak bisa menerimanya.""Jangan begitu, Nak. Ambillah ini, atau Ibu dan bapak akan sangat kecewa padamu." Halimah mendorong kertas yang disodorkan Chava. "Kamu sudah menolak resepsi yang Ibu tawarkan. Kamu juga menolak seserahan yang Ibu berikan dengan alasan tak mau merepotkan, padahal ini sebagai bukti keseriusan kami memintamu menjadi istri Azzam," imbuhnya. "Bukan begitu maksudku, Bu.""Ibu tau." Wanita tua itu mengangguk. "Ibu tak salah pilih mantu." Halimah mengeratkan genggaman tangannya pada jemari Chava. 'Tapi ibu salah memilihkan istri untuk Mas Azzam. Aku tak pernah bisa membahagiakannya, bu. Mas Azzam menderita sel
Senyum di bibir Chava memudar begitu menyadari apa yang dia bayangkan tak menjadi kenyataan. Ia pikir Azzam akan berteriak antusias mendengar kabar itu, lalu memeluknya dan mengucapkan kata-kata manis. Serasa hendak terbang tetapi belum apa-apa sudah langsung dihempaskan sampai ke dasar jurang saat ketakutan itu terjadi. Azzam terpaku dengan pandangan kosong, alih-alih bahagia mendengar kabar kehamilan Chava, lelaki itu justru menatap istri mudanya. Pun sama dengan Hana yang bibirnya terkatup rapat. Tatapan keduanya saling mengunci satu sama lain, sampai akhirnya mereka sadar ada Chava di tengah-tengah mereka.Semua sudah cukup membuktikan kalau Azzam tak pernah menginginkan anak dari Chava. Betapa bodohnya Chava, kehadirannya saja tak pernah dianggap ada oleh suaminya sendiri, apalagi anaknya. "Sudah siang, Mbak. Nanti telat ke kantornya." Chava mengambil alih kotak susu di tangan Hana. "Kamu hamil, Va?" Sekali lagi Hana bertanya. Melalui ekor matanya, Chava dapat menangkap seber
Tak ada hal yang lebih menyakitkan bagi seorang istri ketika kehadirannya tak dianggap sama sekali oleh suaminya sendiri. Berkali-kali Chava mencoba bertahan dengan menekan rasa sakitnya, tetapi sesering itu juga Azzam terus menorehkan luka. Tak peduli sekeras apa perjuangan Chava, bisa apa dia kalau Azzam terus berusaha mematahkan usahanya. Segala sesuatu ada batasnya, pun dengan kesabaran Chava, dan kali ini dia telah sampai pada ambang batas kesabarannya. Cukup! Chava tak akan pernah lagi mengemis apa pun pada Azzam. Kenyataan pahit yang terus Chava telan sendirian, luka yang dia balut dengan tertatih, nyatanya kembali Azzam hadiahi dengan goresan luka baru setiap harinya. Malam dingin sepi yang Chava dekap seorang diri selama ini, tak ingin lagi dia lalui."Chava, Chava!"Mendengar namanya terus diserukan oleh orang yang selama ini mendiami relung hati nyatanya tak membuat Chava bahagia. Kini, justru kebencian itu begitu nyata. Derap langkah terdengar memburu satu sama lain, ta
Memiliki suami yang penyayang dan pengertian, anak-anak yang lucu, hidup berdampingan dengan mertua yang baik. Chava pikir hidupnya akan berakhir indah meski pernikahannya dengan Azzam dilandasi perjodohan. Namun, harapan tinggallah harapan. Mimpi indah yang dirajutnya tiap malam, do'a penuh ketulusan yang dia panjatkan dengan menyelipkan nama suami tercinta. Pengabdian tulusnya sepanjang menikah dengan lelaki itu dibalas rasa sakit tak terperi. Dalam mimpi pun, tak pernah Chava bayangkan kehidupan rumah tangganya akan semenyedihkan ini. Azzam membawakan adik madu. Hana, wanita yang membuatnya tergila-gila. Wanita yang membuatnya melupakan kalau ada sosok yang harus Azzam beri secuil perhatian juga. "Aku turut sedih dengan apa yang menimpamu, Va." Hana menarik napas panjang demi mengisi rongga dadanya yang terasa sesak. "Sejujurnya aku memang sempat iri padamu, aku juga ingin hamil. Tapi bukan berarti aku senang kamu kehilangan bayimu." Istri
"Bukankah pekerjaan Anda menyelamatkan nyawa orang, kenapa Anda tidak bisa menyelamatkan bayiku? Kembalikan bayi itu padaku, Dok. Saya mohon. Saya tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini, jika bayi saya pergi. Saya benar-benar seorang diri. Tolong, Dok. Kembalikan bayi saya." Chava meraung dengan wajah bersimbah air mata, kedua tangannya sibuk mengguncang bahu dokter yang menatapnya iba. Wanita berkacamata dengan seragam khas itu bungkam, ikut larut dalam pusaran kesedihan Chava. Pun dengan dua orang perawat yang juga berada dalam ruangan itu. Siapa tak tersentuh melihat tangis sarat kesedihan Chava yang begitu memilukan. "Hanya dia satu-satunya yang saya miliki, Dok. Kalau dia pergi, entah bagaimana saya harus melanjutkan hidup. Kenapa Tuhan tidak adil, seharusnya saya ikut pergi saja bersama bayiku," racau Chava yang masih belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa bayinya telah berpulang. "Kembalikan dia, Dok. Tolong ..."Dokter perempua
"Ibu!"Mengabaikan pekikan itu, Halimah kembali mengayunkan tangannya. Netra tuanya menganak sungai, amarah dan rasa kecewa yang menggunung ia tumpahkan. Tangisan terdengar riuh rendah, tak hanya sekali tapi berkali-kali Halimah mendaratkan tamparan di wajah anak lelaki semata wayangnya. Azzam yang merasa bersalah tentu tak berani melakukan perlawanan. "Ibu, saya mohon, Bu. Hentikan!" Hana bersimpuh, memegangi kedua kaki ibu mertuanya. Istri mana yang tega melihat suami yang dicintainya disakiti, biarpun oleh ibu kandungnya sendiri sekali pun. "Bu, tolong, Bu. Semuanya bisa dibicarakan baik-baik." Hana kembali mengiba.Kecamuk di benak Azzam membuatnya tak bisa berkutik. Lelaki itu bahkan dengan sadar membiarkan Hana memohon ampun demi dirinya tak terus dijadikan samsak oleh Halimah. "Anak kurang ajar! Susah payah Ibu besarkan kamu, Ibu rawat kamu dengan penuh cinta kasih. Ibu berikan yang terbaik yang Ibu punya untukmu, begini balasanmu?""Ibu ..."Tangis Hana hampir tak terdengar
Sampai habis suara Halimah, sampai kering air matanya, tapi isak lirih tertahan wanita itu masih terus menggema memenuhi seluruh penjuru ruangan. Ditatapnya Chava yang masih bergeming sejak kali pertama kedatangannya ke tempat itu. "Kenapa diam saja, Nak? Kenapa tidak cerita sama Ibu kalau anak Ibu sudah zalim sama kamu." Halimah mengusap kepala Chava kemudian memeluknya erat. Sungguh, dia dapat merasakan kesakitan yang dialami menantunya. "Ibu merasa sangat berdosa sekali sudah menjerumuskanmu. Ibu yakin kamu istri terbaik yang pantas disandingkan dengan anak Ibu dan kamu berhasil membuktikannya, tapi rupanya justru anak Ibu yang tidak pantas menjadi suamimu. Anakku sendiri yang meragukan pilihan Ibu. Sakit sekali hati Ibu, Nak."Tak ada kata yang terucap, Chava balas pelukan mertuanya lebih erat. Bahu Halimah bergetar hebat, pun disusul air matanya yang makin deras. Betapa wanita paruh baya itu memendam sakit hati yang mendalam pada anaknya sendiri. Ji
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan