Mengenakan masker untuk menutupi hidungnya, Chava bergelut dengan rasa mual ketika harum bawang putih yang ditumis menyeruak. Perutnya serasa diaduk, sensasi tak nyaman menjalar naik membuat kepalanya ikut pening. Akan tetapi semua itu berusaha ia tahan demi membuatkan sarapan untuk lelaki yang menjadi ayah dari jabang bayi yang tengah dikandungnya.
Semenjak mengetahui hubungan istimewa yang terjalin antara Azzam dan Hana, wanita itu memang sengaja menyiapkan dua kotak bekal makan siang untuk mereka. Biarlah, orang akan beranggapan dirinya bodoh. Chava justru melakukan itu dengan harapan agar sepasang sejoli itu sedikit memikirkan perasaannya. Mungkin dengan begitu, dapat menarik perhatian Azzam lalu pria itu akan memberikan ruang hatinya untuk Chava meski hanya setitik.Chava buru-buru melepas masker dan membuangnya ke tempat sampah begitu melihat kedatangan sang suami."Tehnya sudah aku taruh di meja, atau mau aku buatkan kopi?" Wanita itu bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari wajan. Teringat kejadian semalam membuat Chava enggan.Tak ada sahutan, tetapi kemudian pria itu menarik kursi dan menyesap teh buatan Chava. Azzam sendiri masih dibuat bingung dengan apa yang harus dia lakukan. Menyadari kesalahannya semalam walau masih belum mengingat jika bibirnya telah lancang menyebut nama Hana dengan fasihnya saat kegiatan panas itu tengah berlangsung. Azzam jelas tahu istrinya terluka, tetapi berat untuk sekadar berkata, apalagi meminta maaf."Tidak usah siapkan bekal, Va. Kebetulan aku ada tugas ke luar."Kata-kata Azzam menghentikan gerakan tangan Chava seketika. Dilihatnya masakan yang sudah hampir matang di wajan, helaan napasnya terdengar kasar kemudian tak lama berselang Chava mematikan kompor.'Aku bawa ke tempat ibu saja daripada mubazir.' Chava tersenyum getir. Memangnya dia bisa apa selain diam menerima, bicara pun percuma karena tak pernah sekali pun Azzam mau mendengar perkataannya."Tadi ibu telepon," kata Azzam lagi.Hening. Masing-masing mereka sibuk dengan isi kepalanya."Aku akan usahakan ke rumah ibu nanti." Chava memindahkan gulai ayam yang baru saja dimasaknya ke dalam rantang untuk dia berikan pada ibu mertuanya."Va ...""Aku tau, aku tidak akan cerita apa-apa sama ibu, nggak ada yang perlu kamu cemaskan," timpal Chava yang paham dengan apa yang sedang dipikirkan suaminya. Lelaki itu pasti takut dirinya akan menceritakan perihal pernikahan keduanya.Azzam menatap punggung perempuan yang tampak sibuk dengan kegiatannya, Chava berdiri membelakanginya, menjawab singkat pertanyaannya dan terlihat enggan menatap wajahnya. Wanita itu begitu dingin. Baru saja Azzam hendak membuka mulut, tapi bersamaan Chava berlalu dari sana.Bahkan ketika Azzam berpamitan, Chava mencium punggung tangannya tanpa melirik pria itu sedikit pun."Enggak apa-apa keberadaanmu masih Mama sembunyikan ya, Nak? Maaf ... menurut Mama ini yang terbaik untuk sekarang."Chava membelai lembut perutnya. Ia sibuk menata hati pasca kedatangan Hana sampai dia melupakan niatnya membeli keperluan penunjang kehamilannya.Wanita cantik itu telah rapi dengan tunik warna peach, tangannya menenteng rantang dengan senyum terkembang. Rencananya Chava akan membeli keperluan kehamilannya sepulang dari rumah ibu mertua. Telah lama dia tak berkunjung, ada kerinduan yang tak terlukiskan. Halimah, ibu mertuanya adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki Chava saat ini. Dari wanita berusia senja itu, Chava menuntaskan dahaganya atas kerinduan pada seorang ibu.Selepas kepulangan Chava dari rumah mertuanya, ia hanya sempat mengambil jeda sejenak sebelum Chava kembali disibukkan dengan kegiatannya membersihkan rumah. Ruang laundry menjadi tujuannya. Chava memeriksa satu per satu kantong pakaian suaminya sebelum ia masukan ke dalam mesin cuci."Nota." Wanita itu menggumam lirih usai mengeluarkan secarik kertas dari saku celana Azzam.Senyum getir terbit di bibir Chava, mendadak dia mengasihani dirinya sendiri. Nota pembayaran seuntai kalung lengkap dengan liontin bertahtakan baru permata tertulis di sana. Logam mulia yang harganya lima kali lipat dari total perhiasan yang diterimanya dulu saat menikah dengan Azzam. Akan tetapi, ini bukan perihal nominal.Malam harinya. Azzam mengerutkan kening mendapati istrinya tak menyambut kepulangannya seperti biasa. Rumah tampak sepi, lampu utama bahkan telah dimatikan dan digantikan dengan cahaya temaram, padahal jarum jam baru menyentuh angka delapan."Tak biasanya."Lelaki itu gegas menuju kamar utama. Sesosok tubuh yang tengah tergolek di atas pembaringan menyambut penglihatan Azzam."Va, sudah tidur?" Pria itu melangkah pelan. "Aku bawakan nasi bebek."Chava mengucek matanya lalu dengan segera bangkit dari ranjang. Baru setengah jam yang lalu ia merebahkan diri di sana."Sudah pulang? Biar aku siapkan air buat mandi?" Chava mengikat rambutnya asal dan bersiap untuk pergi ke kamar mandi."Tidak usah!"Namun Chava tetap melanjutkan niatnya. Di kamar, Azzam masih menantikan wanita itu keluar."Tadi aku sekalian mampir makan," ucap Azzam mengangsurkan bungkusan plastik pada Chava."Terima kasih."Chava menerimanya, membawanya turun ke dapur sekalian membuatkan suaminya minuman. Tepat di depan pintu, langkah Chava tertahan manakala dia teringat sesuatu. Wanita itu kembali menghampiri suaminya yang baru saja duduk di tepian ranjang sambil memegangi ponsel."Ini, tadi nggak sengaja aku temukan di saku celana. Perhiasan akan dihargai murah tanpa adanya surat bukti pembelian."Tatapan Azzam masih terpaku pada wajah Chava. Helaian kertas di tangan wanita itu melambai hendak jatuh karena tak kunjung Azzam terima.Sudah hampir sepuluh menit berlalu, Azzam masih membatu di tempat memperhatikan lembaran kertas di tangannya dengan seksama. Pembawaan Chava yang tenang ketika berhadapan dengan Azzam membuat pria itu bertanya-tanya. Sejauh apa pun Azzam berusaha menelaah, dia tak bisa meraba isi hati sang istri.'Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan umatNya.' Chava berusaha menghibur diri sendiri.Hormon kehamilan membuatnya kesulitan menerima makanan beberapa hari belakangan ini. Chava menarik kursi begitu selesai menyeduh secangkir kopi untuk Azzam. Niatnya ingin makan, barangkali saja nasi bebek yang dibelikan suaminya dapat diterima perutnya."Kenapa rasanya enak sekali? Atau hanya perasaanku saja?"Setitik kristal bening luruh tanpa permisi. Sepanjang pernikahannya dengan Azzam, ini adalah kali pertama lelaki itu membelikan makanan untuknya."Padahal hanya seporsi nasi bebek dengan sambal biasa, aku pun bisa membelinya sendiri meski dengan uang pemberian Mas Azzam, tapi kenapa rasanya benar-benar sangat nikmat."Chava kembali menyuap. Setiap kunyahan sejalan dengan bulir bening yang terus berjatuhan. Ada rasa haru bercampur nelangsa yang menggerogoti hati. Haruskah dia bersyukur melihat perubahan Azzam yang mulai menunjukkan sedikit perhatian padanya, di saat wanita lain yang menjadi alasan perubahan dalam diri suaminya?"Oh, aku baru saja mau naik."Buru-buru Chava menyeka wajahnya begitu melihat kedatangan Azzam, ia bergerak cepat membereskan meja demi menghindari tatapan lelaki itu."Tidak usah, aku mau minum kopi di sini saja." Azzam menyahut. Pria itu menghempaskan bobotnya di kursi, menunggu Chava selesai mencuci piring kotor yang baru saja dipakainya makan."Aku mau bicara."Gerakan tangan Chava terhenti, tanpa menoleh dia menjawab, "Kebetulan aku sudah ngantuk. Maaf."Lagi, Azzam terdiam melihat langkah demi langkah membawa Chava lenyap dari pandangannya. Melalui ekor matanya, Azzam dapat melihat dengan jelas sisa tangis di wajah Chava. Chava menghindari bertatap muka langsung, tapi Azzam sempat melihatnya sebelum Chava membuang muka begitu ia menapakkan kaki di ruangan itu.Chava masih setia dalam keterdiamannya hingga hari yang paling membahagiakan bagi Azzam dan Hana tiba. Wanita itu terus meremas kedua tangannya di pangkuan. Kebaya cantik dengan sentuhan modern warna biru melekat pas di tubuhnya. Sepanjang perjalanan menuju gedung tempat dilaksanakannya pernikahan Azzam, dalam taksi yang membawanya itu Chava terus merenung. Tak pernah sekali pun terlintas dalam benaknya hari itu akan tiba.Pernikahan kedua Azzam dengan Hana sudah cukup membuktikan segalanya. Bukti bahwa sejak awal Chava telah kalah.Tepat ketika kata 'sah' terdengar menggema memenuhi ruangan, gerimis di wajah Chava kian deras. Dengan cepat ia menyekanya, tak mau merusak hari paling membahagiakan bagi sang suami. Akad nikah digelar sekaligus resepsi di salah satu gedung hotel ternama."Aku tau, Mas. Bukan aku pemilik hatimu, tapi setidaknya hargai aku sebagai istrimu."Dengan berderai air mata Chava berlalu dari resepsi pernikahan kedua suaminya, bahkan secuil kata maaf pun tak dia dapatkan dari pria yang terlihat sumringah berdiri di atas pelaminan.Sesaat, Chava mengedarkan pandangannya meneliti setiap sudut bangunan. Dekorasi yang tampak mewah dan megah, aneka hidangan dari katering ternama. Belum lagi hantaran dengan kualitas terbaik, juga mahar yang diberikan Azzam untuk wanita yang dicintainya. Pernikahan itu digelar dengan sangat meriah, Azzam rela merogoh kocek dalam-dalam menguras tabungannya demi mewujudkan pernikahan impian kekasih hatinya. Dan setiap kali Chava ingat seperti apa antusias Azzam merencanakan pernikahan keduanya, seakan ada belati tak kasat mata yang menembus hati hingga jantungnya.Berbanding terbalik ketika menikah dengannya. Tak ada pesta di gedung karena hanya akad di kantor dilanjutkan acara syukuran kecil-kecilan di rumah. Hidangan ala kadarnya, hantaran sederhana. Seperangkat alat sholat dan cincin dua gram sebagai mahar. Hati Chava serasa diremas. Sakit. Sebagai wanita biasa, rasa iri mendadak muncul di rongga dada.Bukan pernikahan megah, bukan riasan mahal yang membuat Hana terlihat begitu cantik di hari bahagianya. Bukan mahar, hantaran dan semua keindahan dalam resepsi pernikahan itu. Bukan.Chava hanya iri saat Azzam tertawa lepas memperlihatkan betapa dia dipenuhi kebahagiaan ketika bersanding dengan Hana di depan sana.'Sadar diri, Va. Sadar!' Chava melanjutkan langkah meninggalkan gedung tersebut.Sembari mengelus perutnya yang masih rata, sesekali tangannya sibuk menyeka cairan terkutuk di wajahnya. Bulir bening memalukan yang tak kunjung berhenti mengalir sekali pun telah berusaha Chava bendung mati-matian.'Maafin mama, nak. Maaf jika nantinya kehadiranmu tidak bisa diterima oleh ayahmu. Maaf jika kehadiranmu akan dianggap sebelah mata karena kamu tak mungkin menang melawan anak yang akan dilahirkan istri kedua ayahmu. Kamu mungkin akan kurang kasih sayang, tapi mama pastikan kamu akan bahagia meski hanya memiliki mama.'"Zam."Azzam tersentak ketika Hana menyikut lengannya. Pria itu tersenyum ramah menyambut uluran tangan para tamu yang datang memberikan do'a restu. Lelaki yang telah sah menjadikan Hana sebagai istri keduanya itu tampak sumringah. Akan tetapi tatapannya berubah sendu tiap kali bayangan Chava berkelindan di benak.Punggung yang selalu bergetar halus ketika Azzam melihatnya dari belakang, pun terlihat sama hari ini. Dari tempatnya berdiri Azzam sempat melihat kepergian istri pertamanya. Lelaki itu tak henti menyorot hingga tubuh mungil itu lenyap dari pandangan.'Dia pasti sedang menangis.' Azzam masih tenggelam dalam perasaan yang tak bisa dijelaskan. Dia memang merasa bahagia telah menikahi gadis pujaan hatinya, gadis yang amat sangat dia cintai. Azzam sangat bahagia.Namun, entah mengapa hatinya basah manakala teringat akan Chava. Apalagi jika ingat tatapan mata wanita yang telah setahun membersamainya meniti hidup hingga Azzam berada di puncak tertinggi karirnya saat ini. Telaga ma
"Azzam, ih! Minggir sana!" Suara Hana terdengar manja mendayu-dayu. "Jangan harap kamu bisa lolos, Han. Aku sudah terlalu lama menunggumu jadi terima saja hukumanmu.""Jangan macam-macam, Zam. Sudah siang, kita bisa telat ke kantor!""Tidak, jika kamu bisa diajak bekerjasama."Setelahnya tak terdengar lagi percakapan dua sejoli itu. Chava mematung di depan kamar dengan gagang kain pel di tangan, niatnya untuk membersihkan kamar adik madunya tertunda. Ia pikir Azzam dengan istri barunya sudah pergi ke kantor selagi dia membereskan dapur tadi, tapi rupanya pasangan yang masih dalam masa pengantin baru itu sedang menuntaskan sesuatu yang tertunda. Suara tabu yang bahkan tak pernah Chava dengar sepanjang penyatuannya bersama Azzam, membuatnya ingin melarikan diri dari tempat itu detik ini juga. Akan tetapi kakinya seolah tertanam kuat di bumi. Chava bahkan tak sanggup sekadar menggeser tubuhnya. Ketika deru napas terdengar bersahutan dengan desahan, dua anak manusia yang sibuk mereguk m
"Apa ini, Bu?" Chava menatap selembar kertas dalam balutan map biru, pandangannya berpindah pada sosok wanita yang duduk tepat disampingnya. "Anggaplah sebagai hadiah pernikahanmu dengan Azzam." Halimah mengangguk, senyum penuh ketulusan terus tercetak di wajah tuanya yang dihiasi kerutan. Chava membuka map tersebut, membacanya sekilas. "Maaf, Bu. Tapi aku tidak bisa menerimanya.""Jangan begitu, Nak. Ambillah ini, atau Ibu dan bapak akan sangat kecewa padamu." Halimah mendorong kertas yang disodorkan Chava. "Kamu sudah menolak resepsi yang Ibu tawarkan. Kamu juga menolak seserahan yang Ibu berikan dengan alasan tak mau merepotkan, padahal ini sebagai bukti keseriusan kami memintamu menjadi istri Azzam," imbuhnya. "Bukan begitu maksudku, Bu.""Ibu tau." Wanita tua itu mengangguk. "Ibu tak salah pilih mantu." Halimah mengeratkan genggaman tangannya pada jemari Chava. 'Tapi ibu salah memilihkan istri untuk Mas Azzam. Aku tak pernah bisa membahagiakannya, bu. Mas Azzam menderita sel
Senyum di bibir Chava memudar begitu menyadari apa yang dia bayangkan tak menjadi kenyataan. Ia pikir Azzam akan berteriak antusias mendengar kabar itu, lalu memeluknya dan mengucapkan kata-kata manis. Serasa hendak terbang tetapi belum apa-apa sudah langsung dihempaskan sampai ke dasar jurang saat ketakutan itu terjadi. Azzam terpaku dengan pandangan kosong, alih-alih bahagia mendengar kabar kehamilan Chava, lelaki itu justru menatap istri mudanya. Pun sama dengan Hana yang bibirnya terkatup rapat. Tatapan keduanya saling mengunci satu sama lain, sampai akhirnya mereka sadar ada Chava di tengah-tengah mereka.Semua sudah cukup membuktikan kalau Azzam tak pernah menginginkan anak dari Chava. Betapa bodohnya Chava, kehadirannya saja tak pernah dianggap ada oleh suaminya sendiri, apalagi anaknya. "Sudah siang, Mbak. Nanti telat ke kantornya." Chava mengambil alih kotak susu di tangan Hana. "Kamu hamil, Va?" Sekali lagi Hana bertanya. Melalui ekor matanya, Chava dapat menangkap seber
Tak ada hal yang lebih menyakitkan bagi seorang istri ketika kehadirannya tak dianggap sama sekali oleh suaminya sendiri. Berkali-kali Chava mencoba bertahan dengan menekan rasa sakitnya, tetapi sesering itu juga Azzam terus menorehkan luka. Tak peduli sekeras apa perjuangan Chava, bisa apa dia kalau Azzam terus berusaha mematahkan usahanya. Segala sesuatu ada batasnya, pun dengan kesabaran Chava, dan kali ini dia telah sampai pada ambang batas kesabarannya. Cukup! Chava tak akan pernah lagi mengemis apa pun pada Azzam. Kenyataan pahit yang terus Chava telan sendirian, luka yang dia balut dengan tertatih, nyatanya kembali Azzam hadiahi dengan goresan luka baru setiap harinya. Malam dingin sepi yang Chava dekap seorang diri selama ini, tak ingin lagi dia lalui."Chava, Chava!"Mendengar namanya terus diserukan oleh orang yang selama ini mendiami relung hati nyatanya tak membuat Chava bahagia. Kini, justru kebencian itu begitu nyata. Derap langkah terdengar memburu satu sama lain, ta
Memiliki suami yang penyayang dan pengertian, anak-anak yang lucu, hidup berdampingan dengan mertua yang baik. Chava pikir hidupnya akan berakhir indah meski pernikahannya dengan Azzam dilandasi perjodohan. Namun, harapan tinggallah harapan. Mimpi indah yang dirajutnya tiap malam, do'a penuh ketulusan yang dia panjatkan dengan menyelipkan nama suami tercinta. Pengabdian tulusnya sepanjang menikah dengan lelaki itu dibalas rasa sakit tak terperi. Dalam mimpi pun, tak pernah Chava bayangkan kehidupan rumah tangganya akan semenyedihkan ini. Azzam membawakan adik madu. Hana, wanita yang membuatnya tergila-gila. Wanita yang membuatnya melupakan kalau ada sosok yang harus Azzam beri secuil perhatian juga. "Aku turut sedih dengan apa yang menimpamu, Va." Hana menarik napas panjang demi mengisi rongga dadanya yang terasa sesak. "Sejujurnya aku memang sempat iri padamu, aku juga ingin hamil. Tapi bukan berarti aku senang kamu kehilangan bayimu." Istri
"Bukankah pekerjaan Anda menyelamatkan nyawa orang, kenapa Anda tidak bisa menyelamatkan bayiku? Kembalikan bayi itu padaku, Dok. Saya mohon. Saya tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini, jika bayi saya pergi. Saya benar-benar seorang diri. Tolong, Dok. Kembalikan bayi saya." Chava meraung dengan wajah bersimbah air mata, kedua tangannya sibuk mengguncang bahu dokter yang menatapnya iba. Wanita berkacamata dengan seragam khas itu bungkam, ikut larut dalam pusaran kesedihan Chava. Pun dengan dua orang perawat yang juga berada dalam ruangan itu. Siapa tak tersentuh melihat tangis sarat kesedihan Chava yang begitu memilukan. "Hanya dia satu-satunya yang saya miliki, Dok. Kalau dia pergi, entah bagaimana saya harus melanjutkan hidup. Kenapa Tuhan tidak adil, seharusnya saya ikut pergi saja bersama bayiku," racau Chava yang masih belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa bayinya telah berpulang. "Kembalikan dia, Dok. Tolong ..."Dokter perempua
"Ibu!"Mengabaikan pekikan itu, Halimah kembali mengayunkan tangannya. Netra tuanya menganak sungai, amarah dan rasa kecewa yang menggunung ia tumpahkan. Tangisan terdengar riuh rendah, tak hanya sekali tapi berkali-kali Halimah mendaratkan tamparan di wajah anak lelaki semata wayangnya. Azzam yang merasa bersalah tentu tak berani melakukan perlawanan. "Ibu, saya mohon, Bu. Hentikan!" Hana bersimpuh, memegangi kedua kaki ibu mertuanya. Istri mana yang tega melihat suami yang dicintainya disakiti, biarpun oleh ibu kandungnya sendiri sekali pun. "Bu, tolong, Bu. Semuanya bisa dibicarakan baik-baik." Hana kembali mengiba.Kecamuk di benak Azzam membuatnya tak bisa berkutik. Lelaki itu bahkan dengan sadar membiarkan Hana memohon ampun demi dirinya tak terus dijadikan samsak oleh Halimah. "Anak kurang ajar! Susah payah Ibu besarkan kamu, Ibu rawat kamu dengan penuh cinta kasih. Ibu berikan yang terbaik yang Ibu punya untukmu, begini balasanmu?""Ibu ..."Tangis Hana hampir tak terdengar
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan