Tak ada yang berubah sejak hari itu, suasana dalam rumah tetaplah sama. Kopi masih tersedia, makanan, begitu juga dengan kebutuhan Azzam lainnya. Tak hanya memastikan rumah selalu dalam keadaan rapi dan bersih, Chava juga memastikan untuk selalu memenuhi kebutuhan suaminya.
Kebekuan yang biasa terjadi di meja makan, Azzam sibuk melahap makanannya tanpa mengeluarkan sepatah kata, pun dengan Chava. Sudah biasa. Memang begitulah kondisi rumah tangga yang mereka jalani. Tak ada gelak tawa apalagi canda. Jangankan duduk bersama sambil berbagi cerita di penghujung senja, atau ketika akhir pekan tiba. Chava dan Azzam hanya akan bicara seperlunya saja.Apa itu jalan-jalan, pergi berbelanja bersama sekadar menghabiskan waktu berdua. Chava belum pernah merasakan hal itu sejak pertama kali memasuki rumah itu sebagai istri Azzam. Tiap akhir pekan dihabiskan Azzam di luaran sana dengan berkumpul bersama teman-temannya, terkadang juga untuk urusan pekerjaan.Namun, belakangan Chava tahu kalau ternyata sang suami sibuk menghabiskan akhir pekannya bersama sang kekasih hati. Ah, batin Chava kembali menganga. Berkali-kali dia menegaskan dalam hati, tak seharusnya Chava bersedih dengan apa yang terjadi. Apalah artinya bagi Azzam, dirinya hanyalah wanita yang dipilihkan ibu dari lelaki itu dan bukannya wanita yang dicintai Azzam. Seharusnya Chava sadar diri dengan posisinya yang memang tak sebanding dengan Hana.Wanita yang didatangkan suaminya kemarin malam begitu cantik, terpelajar, wanita karir dan dengan segudang keistimewaan yang tak dimiliki Chava. Jikapun bersaing, Chava tentu kalah sebelum berperang."Kemungkinan nanti aku pulang malam, masih ada banyak hal yang harus aku urus mengingat pernikahanku dan Hana yang tinggal menghitung hari. Jangan menungguku dan pergilah makan malam lebih dulu."Chava mengangguk tanpa berniat menyahut. Bukan kali pertama Azzam pulang hingga larut malam, pernah waktu itu Chava sampai ketiduran di sofa ruang tamu demi menunggui pria itu.Bodoh!Chava akui itu, semua dia lakukan atas nama bakti seorang istri padahal seharusnya Chava tahu kalau suaminya sedang sibuk menyiapkan keperluan pernikahan keduanya sehingga pria itu lupa untuk mengabarinya. Tak seharusnya Chava membuang waktu percuma.Azzam meraih gelas dan meneguknya hingga tandas kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kerjanya."Gajiku bulan ini. Sementara masih kuberikan utuh padamu, tapi setelahnya aku mau kamu mulai membiasakan diri berbagi dengan Hana karena dia juga akan menjadi istriku," ucap pria itu mendorong amplop cokelat tebal di hadapan Chava.Posisinya di perusahaan cukup penting dengan gaji yang tentunya bisa dibilang fantastis. Chava menerima sebagian gaji Azzam, sebagiannya lagi pria itu pegang sendiri untuk berjaga-jaga dan juga ia berikan untuk ibunya yang seorang janda.Chava mengerti, baginya cukuplah uang pemberian Azzam untuk menafkahi dirinya dan menutup semua kebutuhan rumah tangga. Seringkali Sisa dari uang itu Chava sisihkan untuk ditabung meski tak banyak."Mas Azzam sedang banyak kebutuhan, kebetulan uang jatah bulan lalu masih tersisa. Lumayan." Chava mendorong kembali amplop itu. "Ambil saja, Mas. Jangan sampai ada kekurangan pada acara pentingmu nanti," imbuhnya melihat sang suami masih bergeming menatapnya penuh tanya."Ini hak kamu, ambil saja. Aku masih punya tabungan."Chava tak diberikan kesempatan untuk bicara karena setelahnya Azzam berpamitan pergi. Dipandanginya amplop cokelat yang masih tergeletak di meja, bergantian dengan punggung pria berkemeja biru muda yang kemudian lenyap di balik lorong.Chava tak pernah absen mencium punggung tangan lelaki itu setiap kali Azzam pergi ataupun kembali ke rumah, tapi tak ada kecupan di kening yang biasa seorang istri dapatkan dari suaminya sebagai timbal balik.Oh, hati. Kenapa serapuh ini?Tak ingin berlama-lama menekuri kegetiran hidupnya, Chava gegas beranjak membersihkan piring kotor. Menyelesaikan sisa pekerjaan rumah tangga yang menjadi makanannya sehari-hari."Sudah hampir dua minggu aku nggak ke rumah ibu." Chava bergumam lirih meletakkan sapu di tempatnya, mendaratkan bokong di sofa sembari mengusap perutnya yang masih rata."Dalam keadaan seperti ini, tak mungkin aku mengabarkan berita gembira ini pada ibu. Ibu juga bisa curiga kalau bertanya tentang Mas Azzam sedangkan aku takut keceplosan mengatakan perihal pernikahan kedua suamiku dengan perempuan lain."Berbagai macam ketakutan merambati hati Chava. Alih-alih takut memikirkan nasib dirinya juga bayi dalam kandungannya, Chava jauh lebih khawatir dengan kondisi kesehatan ibu mertuanya. Apa jadinya jika wanita berhati malaikat itu mengetahui kalau anak kebanggaannya menikah lagi tanpa restu darinya. Bahkan Azzam melakukannya diam-diam lantaran tak ingin ibunya mengetahui pernikahan keduanya."Apa yang harus aku lakukan Tuhan ...." Tetiba sebulir kristal bening runtuh mengaliri pipi Chava.Meskipun menjalani perjodohan dengan Azzam, tak pernah terlintas di benaknya hal ini akan terjadi. Perpisahan. Sebuah hal yang Chava takutkan. Cinta akan datang karena terbiasa, hal itu yang sering dikatakan orang, begitu juga dengan pemikiran Chava.Namun, rupanya pengabdiannya selama setahun ini seolah tak ada artinya di mata Azzam. Pria itu hanyut dalam dunianya, sementara di satu sisi Chava harus tertatih menahan luka akibat mencinta seorang diri. Berdiri di bahtera yang terombang-ambing sampai kemudian suaminya menemukan rumah yang sesungguhnya untuk kembali.Ya, rasa itu perlahan tumbuh di hati Chava, tetapi tidak dengan Azzam. Perasaan yang selama ini hanya dapat Chava pendam sendirian, nyatanya tak pernah bersambut. Kesabarannya menanti selama ini, berbuah madu yang merupakan sosok perempuan yang Chava tahu tak akan pernah sanggup baginya untuk bersaing."Eungh!" Chava melenguh, tubuhnya menggeliat hingga selimut yang menutupi sebagian tubuhnya lolos sepenuhnya.Seingatnya, Chava baru saja tidur setelah memastikan suaminya memang terlambat pulang malam ini. Sampai kemudian hawa dingin terasa membelai kulitnya yang telanjang. Sensasi geli bercampur nikmat sedikit nyeri Chava rasakan, dan betapa perempuan itu terkejut manakala melihat Azzam sedang menenggelamkan wajah di dadanya."Hm, Mas!" pekik Chava tertahan. Ekor matanya bergerak melirik ke arah mesin penunjuk waktu. Jarum jam menyentuh angka dua belas malam."Aku sedang sangat menginginkannya." Lelaki itu berujar sekilas sebelum kembali membabat habis apa yang tersaji dalam diri Chava.Begitu datar suara Azzam, tetapi matanya memancarkan kabut gairah yang menyala. Tak ada kata maaf sebagai tanda tak enak hati telah mengusik tidur si pemberi kenikmatan, lelaki itu terus bergerak liar menjajah tubuh Chava. Menyesap manis madu di setiap bagian wanita itu tanpa ada yang terlewat.Chava memalingkan wajahnya. Tak mungkin dia menolak sementara tubuhnya telah sepenuhnya berada di bawah kendali Azzam. Hanya, hatinya melara. Setahun menjadi istri lelaki itu, puluhan malam terlewati dengan saling berbagi raga, tapi tak pernah sekalipun kata cinta terucap. Tak pernah sekalipun namanya digaungkan di akhir penyatuan itu. Tak pernah terlontar kata terima kasih, dan Chava tahu alasan Azzam melakukannya tak lain semata karena demi memenuhi kewajibannya memberikan nafkah batin untuk istrinya saja.Hambar. Itu yang Chava rasakan. Tentu saja penyatuan itu berbeda dengan yang dirasakan pasangan menikah pada umumnya yang dilakukan dengan penuh cinta. Mereka hanya sebatas menjalani peran masing-masing. Azzam memberi, Chava menerima. Tak pernah lebih dari itu.Hentakan yang semakin kuat hingga tubuhnya bergerak liar menyadarkan Chava dari lamunannya. Sebentar lagi Azzam akan tiba pada puncaknya, Chava dapat merasakannya. Lalu, titik bening menyeruak begitu saja ketika Chava mendengar dengan jelas suaminya mendesahkan satu nama.Hal yang selama ini Chava nantikan, hal yang seharusnya membahagiakan seandainya saja bibir pria yang tengah merangsak di atas tubuhnya itu mendesahkan namanya. Akan tetapi sayang, karena faktanya bibir pria itu menyebut nama calon istri keduanya."Hana, oh ..."Lolongan suaminya disertai hujaman yang kuat seketika terhenti, Azzam selesai memindahkan ribuan bibit terbaiknya ke tempat yang semestinya. Telinga Chava masih berfungsi dengan baik hingga dia dapat mendengar dengan jelas. Baru saja, suaminya menyebut nama calon adik madunya di saat lelaki itu berhasil mendapatkan madu cinta darinya. Tubuh Chava yang dinikmati, tetapi nama wanita lain yang digaungkan. Bukan mustahil Azzam melakukannya dengan membayangkan Hana barusan.***"Yaah ... hujan, Zam." Hana meletakkan gelas jus jeruknya usai menandaskan cairan kekuningan itu. Ditatapnya titik air yang mulai luruh dengan deras dari langit, membuat dinding kaca di sampingnya mengembun.Sepasang sejoli yang tengah dimabuk cinta itu baru saja menghabiskan makan malam bersama usai berakhirnya kegiatan mengecek keperluan pernikahan. Persiapannya sudah rampung mengingat mereka diburu waktu. Baik Azzam maupun Hana ingin memiliki hari tenang sebelum prosesi pernikahan digelar."Tunggu reda," sahut Azzam.Biarpun mereka naik mobil, tetap saja untuk keluar dari restoran tempat mereka menghabiskan makan malam kali ini cukup jauh dengan lahan parkir, hujan deras yang melanda bisa membuat mereka basah kuyup."Tapi sudah malam, Zam. Aku takut papa nungguin.""Kan sudah pamitan. Kamu bilang kan sama papa sepulang kerja mau langsung cek persiapan pernikahan kita?""Iya, tapi kan nggak sampai malam begini juga, Zam. Sudah jam sepuluh. Sebaiknya kita pulang saja, lagi pula basah sedikit kan nggak apa-apa."Tak tahan melihat wanitanya merajuk, Azzam pun menuruti permintaan Hana. Lelaki itu meminta bill pada pelayan kemudian keduanya berlari kecil menuju tempat parkir.Azzam yang baru saja menyelinapkan tubuhnya di depan kemudi mobil tertegun melihat Hana tengah mengibaskan atasannya. Baju berwarna putih tulang yang dikenakan wanita itu basah, memperlihatkan kain penyangga warna hitam yang tak mampu membendung bongkahan padat di dalamnya. Sebagian isinya meronta seolah melambai pada Azzam untuk dijamah.Lelaki itu kepayahan meneguk salivanya. Azzam lelaki normal, melihat keindahan di depan mata tentu membuatnya dikuasai gairah. Apalagi sudah lama lelaki itu tak mendapatkan pelepasan.Cup.Hana tersentak saat tiba-tiba Azzam meraup bibirnya. Semula hanya kecupan ringan, tapi kemudian berubah menjadi liar diiringi gerakan tangan lelaki itu yang mulai merambah bagian tubuh tertentu Hana."Eumh! Zam!" Hana mendorong kekasihnya tatkala remasan tangan Azzam terasa begitu kuat di dadanya."Kita sudah sepakat untuk melakukannya setelah menikah. Hanya tinggal beberapa hari," lirih wanita itu dengan napas tersengal.Perlahan, dua raga yang sempat saling menghimpit itu terlerai. Sejujurnya, Hana pun sempat terbakar gairah ketika Azzam memancingnya dengan sentuhan-sentuhannya yang memabukkan.Namun, akal sehat wanita itu masih bertahan hingga Hana cepat-cepat menyudahi kegiatan itu sebelum keduanya benar-benar kelewat batas."Ma-maafkan aku, Han. Aku terbawa suasana." Azzam mengalihkan pandangannya, menarik diri hingga dia dan Hana kembali berjarak.Seketika rasa canggung menyelimuti keduanya. Azzam sendiri tak tahu mengapa dia begitu berani melakukan hal tadi. Selama ini, keduanya memang sudah sering berciuman, tetapi baru kali ini Azzam berani melabuhkan sentuhannya di beberapa titik sensitif Hana.Azzam meraih jaket yang selalu dia tinggalkan dia mobil kemudian membalutkan di tubuh Hana begitu ia dapat menguasai diri. Hampir saja.Setelah memastikan Hana tiba di rumah, Azzam buru-buru berpamitan pada calon mertuanya dan melajukan kereta besinya dengan kecepatan tinggi. Gairah yang sempat terbakar nyatanya masih berada di ujung dan menuntut untuk dilepaskan. Dan Azzam tahu kepada siapa dia bisa mendapatkan itu.Azzam membeku menatap punggung polos wanita yang kini tengah berbaring membelakanginya. Getaran samar yang dilihatnya membuat Azzam tahu Chava tengah menangis dalam diam. Pikirannya kosong, tetiba ada rasa yang sulit dia jelaskan setelah mendapatkan apa yang dia inginkan. Kejadian di mobil bersama Hana membuat tubuhnya panas dingin, Azzam tersiksa jika harus menahannya. Jadilah dia menindih Chava yang tengah terlelap tidur.Azzam tahu betul apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Bagaimana dia tergoda pada Hana, tetapi memintanya pada Chava. Terlebih saat teringat bagaimana beringas dan liar aksinya tadi demi memenuhi hasratnya yang terlanjur naik ke ubun-ubun. Sementara dilihatnya Chava hanya pasrah dengan tatapan entah. Lelaki itu bahkan tak menyadari tindakannya barusan begitu melukai Chava. Meremukkan harga diri wanita itu sebagai seorang istri.'Ingat baik-baik, Va. Kamu cuma istri yang dipilihkan ibu untuknya. Istri di atas kertas.' Chava membatin. Tangan mungilnya meremas selimut yang membungkus tubuh polosnya.Ibu hamil itu menggigit ujung selimut demi meredam agar suara tangisannya tak sampai terdengar telinga Azzam. Sementara bulir bening masih menganak sungai.Sakit.Sangat menyakitkan.Mengenakan masker untuk menutupi hidungnya, Chava bergelut dengan rasa mual ketika harum bawang putih yang ditumis menyeruak. Perutnya serasa diaduk, sensasi tak nyaman menjalar naik membuat kepalanya ikut pening. Akan tetapi semua itu berusaha ia tahan demi membuatkan sarapan untuk lelaki yang menjadi ayah dari jabang bayi yang tengah dikandungnya.Semenjak mengetahui hubungan istimewa yang terjalin antara Azzam dan Hana, wanita itu memang sengaja menyiapkan dua kotak bekal makan siang untuk mereka. Biarlah, orang akan beranggapan dirinya bodoh. Chava justru melakukan itu dengan harapan agar sepasang sejoli itu sedikit memikirkan perasaannya. Mungkin dengan begitu, dapat menarik perhatian Azzam lalu pria itu akan memberikan ruang hatinya untuk Chava meski hanya setitik.Chava buru-buru melepas masker dan membuangnya ke tempat sampah begitu melihat kedatangan sang suami."Tehnya sudah aku taruh di meja, atau mau aku buatkan kopi?" Wanita itu bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dar
"Zam."Azzam tersentak ketika Hana menyikut lengannya. Pria itu tersenyum ramah menyambut uluran tangan para tamu yang datang memberikan do'a restu. Lelaki yang telah sah menjadikan Hana sebagai istri keduanya itu tampak sumringah. Akan tetapi tatapannya berubah sendu tiap kali bayangan Chava berkelindan di benak.Punggung yang selalu bergetar halus ketika Azzam melihatnya dari belakang, pun terlihat sama hari ini. Dari tempatnya berdiri Azzam sempat melihat kepergian istri pertamanya. Lelaki itu tak henti menyorot hingga tubuh mungil itu lenyap dari pandangan.'Dia pasti sedang menangis.' Azzam masih tenggelam dalam perasaan yang tak bisa dijelaskan. Dia memang merasa bahagia telah menikahi gadis pujaan hatinya, gadis yang amat sangat dia cintai. Azzam sangat bahagia.Namun, entah mengapa hatinya basah manakala teringat akan Chava. Apalagi jika ingat tatapan mata wanita yang telah setahun membersamainya meniti hidup hingga Azzam berada di puncak tertinggi karirnya saat ini. Telaga ma
"Azzam, ih! Minggir sana!" Suara Hana terdengar manja mendayu-dayu. "Jangan harap kamu bisa lolos, Han. Aku sudah terlalu lama menunggumu jadi terima saja hukumanmu.""Jangan macam-macam, Zam. Sudah siang, kita bisa telat ke kantor!""Tidak, jika kamu bisa diajak bekerjasama."Setelahnya tak terdengar lagi percakapan dua sejoli itu. Chava mematung di depan kamar dengan gagang kain pel di tangan, niatnya untuk membersihkan kamar adik madunya tertunda. Ia pikir Azzam dengan istri barunya sudah pergi ke kantor selagi dia membereskan dapur tadi, tapi rupanya pasangan yang masih dalam masa pengantin baru itu sedang menuntaskan sesuatu yang tertunda. Suara tabu yang bahkan tak pernah Chava dengar sepanjang penyatuannya bersama Azzam, membuatnya ingin melarikan diri dari tempat itu detik ini juga. Akan tetapi kakinya seolah tertanam kuat di bumi. Chava bahkan tak sanggup sekadar menggeser tubuhnya. Ketika deru napas terdengar bersahutan dengan desahan, dua anak manusia yang sibuk mereguk m
"Apa ini, Bu?" Chava menatap selembar kertas dalam balutan map biru, pandangannya berpindah pada sosok wanita yang duduk tepat disampingnya. "Anggaplah sebagai hadiah pernikahanmu dengan Azzam." Halimah mengangguk, senyum penuh ketulusan terus tercetak di wajah tuanya yang dihiasi kerutan. Chava membuka map tersebut, membacanya sekilas. "Maaf, Bu. Tapi aku tidak bisa menerimanya.""Jangan begitu, Nak. Ambillah ini, atau Ibu dan bapak akan sangat kecewa padamu." Halimah mendorong kertas yang disodorkan Chava. "Kamu sudah menolak resepsi yang Ibu tawarkan. Kamu juga menolak seserahan yang Ibu berikan dengan alasan tak mau merepotkan, padahal ini sebagai bukti keseriusan kami memintamu menjadi istri Azzam," imbuhnya. "Bukan begitu maksudku, Bu.""Ibu tau." Wanita tua itu mengangguk. "Ibu tak salah pilih mantu." Halimah mengeratkan genggaman tangannya pada jemari Chava. 'Tapi ibu salah memilihkan istri untuk Mas Azzam. Aku tak pernah bisa membahagiakannya, bu. Mas Azzam menderita sel
Senyum di bibir Chava memudar begitu menyadari apa yang dia bayangkan tak menjadi kenyataan. Ia pikir Azzam akan berteriak antusias mendengar kabar itu, lalu memeluknya dan mengucapkan kata-kata manis. Serasa hendak terbang tetapi belum apa-apa sudah langsung dihempaskan sampai ke dasar jurang saat ketakutan itu terjadi. Azzam terpaku dengan pandangan kosong, alih-alih bahagia mendengar kabar kehamilan Chava, lelaki itu justru menatap istri mudanya. Pun sama dengan Hana yang bibirnya terkatup rapat. Tatapan keduanya saling mengunci satu sama lain, sampai akhirnya mereka sadar ada Chava di tengah-tengah mereka.Semua sudah cukup membuktikan kalau Azzam tak pernah menginginkan anak dari Chava. Betapa bodohnya Chava, kehadirannya saja tak pernah dianggap ada oleh suaminya sendiri, apalagi anaknya. "Sudah siang, Mbak. Nanti telat ke kantornya." Chava mengambil alih kotak susu di tangan Hana. "Kamu hamil, Va?" Sekali lagi Hana bertanya. Melalui ekor matanya, Chava dapat menangkap seber
Tak ada hal yang lebih menyakitkan bagi seorang istri ketika kehadirannya tak dianggap sama sekali oleh suaminya sendiri. Berkali-kali Chava mencoba bertahan dengan menekan rasa sakitnya, tetapi sesering itu juga Azzam terus menorehkan luka. Tak peduli sekeras apa perjuangan Chava, bisa apa dia kalau Azzam terus berusaha mematahkan usahanya. Segala sesuatu ada batasnya, pun dengan kesabaran Chava, dan kali ini dia telah sampai pada ambang batas kesabarannya. Cukup! Chava tak akan pernah lagi mengemis apa pun pada Azzam. Kenyataan pahit yang terus Chava telan sendirian, luka yang dia balut dengan tertatih, nyatanya kembali Azzam hadiahi dengan goresan luka baru setiap harinya. Malam dingin sepi yang Chava dekap seorang diri selama ini, tak ingin lagi dia lalui."Chava, Chava!"Mendengar namanya terus diserukan oleh orang yang selama ini mendiami relung hati nyatanya tak membuat Chava bahagia. Kini, justru kebencian itu begitu nyata. Derap langkah terdengar memburu satu sama lain, ta
Memiliki suami yang penyayang dan pengertian, anak-anak yang lucu, hidup berdampingan dengan mertua yang baik. Chava pikir hidupnya akan berakhir indah meski pernikahannya dengan Azzam dilandasi perjodohan. Namun, harapan tinggallah harapan. Mimpi indah yang dirajutnya tiap malam, do'a penuh ketulusan yang dia panjatkan dengan menyelipkan nama suami tercinta. Pengabdian tulusnya sepanjang menikah dengan lelaki itu dibalas rasa sakit tak terperi. Dalam mimpi pun, tak pernah Chava bayangkan kehidupan rumah tangganya akan semenyedihkan ini. Azzam membawakan adik madu. Hana, wanita yang membuatnya tergila-gila. Wanita yang membuatnya melupakan kalau ada sosok yang harus Azzam beri secuil perhatian juga. "Aku turut sedih dengan apa yang menimpamu, Va." Hana menarik napas panjang demi mengisi rongga dadanya yang terasa sesak. "Sejujurnya aku memang sempat iri padamu, aku juga ingin hamil. Tapi bukan berarti aku senang kamu kehilangan bayimu." Istri
"Bukankah pekerjaan Anda menyelamatkan nyawa orang, kenapa Anda tidak bisa menyelamatkan bayiku? Kembalikan bayi itu padaku, Dok. Saya mohon. Saya tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini, jika bayi saya pergi. Saya benar-benar seorang diri. Tolong, Dok. Kembalikan bayi saya." Chava meraung dengan wajah bersimbah air mata, kedua tangannya sibuk mengguncang bahu dokter yang menatapnya iba. Wanita berkacamata dengan seragam khas itu bungkam, ikut larut dalam pusaran kesedihan Chava. Pun dengan dua orang perawat yang juga berada dalam ruangan itu. Siapa tak tersentuh melihat tangis sarat kesedihan Chava yang begitu memilukan. "Hanya dia satu-satunya yang saya miliki, Dok. Kalau dia pergi, entah bagaimana saya harus melanjutkan hidup. Kenapa Tuhan tidak adil, seharusnya saya ikut pergi saja bersama bayiku," racau Chava yang masih belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa bayinya telah berpulang. "Kembalikan dia, Dok. Tolong ..."Dokter perempua
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan