Kedua mata pria itu perlahan terbuka penuh setelah beberapa kali mengerjap. Kelopaknya membesar dan mengecil—menyesuaikan intensitas cahaya yang memasuki retinanya.
Setelah pandangannya jelas, alam bawah sadarnya ikut aktif menganalisa sekitarnya. Sedetik, dua detik...
Teeett!! Teeett!
Alarm peringatan di otaknya menyala. Menyiarkan peringatan bahwa langit-langit berwarna putih tulang yang ia lihat saat ini sangat asing untuknya.
Pria itu sontak bangun, mengubah posisinya menjadi duduk.
Pergerakan tiba-tibanya itu membuat kepalanya pening– perasaan yang sama ketika ia habis minum-minum bersama teman-temannya.
“Ahh...” dia meringis kesakitan. Sumpah, kepalanya benar-benar ngilu luar biasa. Dia juga tidak bisa mengingat kenapa ia bisa terbaring di kamar yang tidak ia kenali ini.
Seingatnya, dia tidak habis minum alkohol...
Ah, apa dia sudah mati? Dan ini adalah alam akhirat yang disebut-sebut oleh orang-orang? Kalau iya, kenapa... rasanya senyaman ini? Jika memang ini akhirat, sepantasnya ia berada di neraka. Bukan di tempat yang semewah ini.
Apa jangan-jangan Tuhan juga menghitung popularitas dan ketampanan sebagai poin untuk memasukan manusia ke surga?
‘Ah, aku pasti sudah gila.’ Ia meruntuki pemikirannya sendiri yang konyol dan tidak masuk akal.
Pertama, tempat ini jelas seperti tempat tinggal seseorang, jadi dia tidak mungkin sudah meninggal dunia. Tapi yang jadi masalah, dia sama sekali tidak tahu tempat apa ini? Dan bagaimana bisa ia bisa sampai berada disini?
“Argh, sebenarnya aku ada dimana?!”
“Kamu di rumahku.”
Suara seorang perempuan menyahutinya membuat sekujur tubuhnya terlonjak kaget. Ia berjengit sekali lagi saat mendapati seorang gadis duduk bertopang dagu di sebelah ranjang dengan kedua mata yang tak berkedip.
Mata lelaki itu membulat tak percaya. Jadi, dari tadi dia sedang tak sadarkan diri dan disaksikan oleh seseorang yang menatapnya dengan lekat-lekat seperti ini?
“Kamu siapa? Tidak, apa kamu mengenalku? Kamu tahu aku siapa, kan?”
“Tentu saja aku kenal kamu,” gadis itu menjawab dengan bahasa cina-nya yang cukup fasih.
Lelaki yang baru siuman itu menghela napas lega sejenak. Kalau begitu, dia pasti tahu kalau dirinya adalah aktor dari China yang terkenal kan? Apa mungkin gadis ini menyelamatkannya setelah ia tidak sengaja pingsan di suatu tempat?
Wajah cewek ini tidak begitu terlihat seperti orang China, tapi...
“Selamat datang ... suamiku!”
“Hah? Suami?!?!”
Gadis bertubuh kelewat kurus dan berkulit pucat itu mengangguk. Ia mengukir seringai lebar. Terlihat seolah kedua ujung bibirnya akan mencapai telinganya. Pria itu merinding. Seketika itu juga ia menelan salivanya paksa.
Ini... rasanya seperti melihat malaikat kematian. Sekarang dia yakin kalau dia memang sudah di akhirat. Ya, sudah pasti itu.
Kamar luas bernuansa putih yang menyerupai bangunan di negeri dongeng ini pasti sebuah jebakan. Ini adalah neraka khusus yang dirancang untuk menipu para pendosa yang dijebloskan kesini.
Kalau tidak begitu, bagaimana bisa dia tiba-tiba memiliki istri seorang bocah yang sekujur tubuhnya putih seperti mayat yang diformalin?
* * *
[Satu minggu sebelumnya…]
Weibo: Trending topic nomor satu di twitter! Aktor naik daun, Wang Jun, dikabarkan akan melakukan fanmeeting di Indonesia. Simak antusiasme penggemar...
LED TV berukuran raksasa itu langsung dimatikan dengan tergesa. Sharon menoleh, menatap Kai dengan tatapan nanar. Gadis itu masih mencoba mencerna informasi barusan dilihatnya.
Sementara pemuda berusia dua puluh satu tahun itu sudah pucat pasi. Ia mengutuk kecerobohannya sendiri yang lupa menutup tab sebelum menyambungkan laptopnya ke televisi.
Peraturan nomor satu yang harus dipatuhinya ketika bekerja menjadi bodyguard Wang Sharon, putri majikannya, yaitu tidak boleh mempergunakan internet di dekat gadis itu.
Dia tidak boleh memancing rasa penasaran Sharon. Jika Sharon mengenal internet dan dunia maya, gadis itu pasti akan merengek pada ayahnya untuk bisa keluar dari mansion mewahnya. Sementara Tuan Wang Richard tidak ingin hal itu terjadi.
Bisa dibilang, Sharon adalah ‘rapunzel era sekarang’. Dia sudah empat belas tahun menghabiskan hidupnya terkurung di mansion karena kondisinya yang lemah.
Tapi sekarang... semua sudah terlambat. Hanya melihat binar mata Sharon yang menggebu-gebu, Kai sudah tahu apa yang akan dikatakan gadis sembilan belas tahun itu.
“Apa itu yang barusan? Kau pasti paham kan?”
“Apa? Memangnya ada apa?”
Sharon mencebikkan bibir. “Tidak usah berpura-pura bodoh! Aku tahu kau tahu maksudku.”
Gadis itu menyerongkan badannya. Ia mendekat ke arah Kai yang sudah bekeringat dingin tanpa sadar.
Sesungguhnya, pemuda itu lebih tua tiga tahun dari Sharon, tapi ia tidak bisa memungkiri kalau Nona-nya tak kalah menyeramkan dari Tuan Besarnya.
“Jelaskan padaku,” pintanya, dengan pupil mata yang membesar dua kali lipat. Sebuah gestur yang hanya ia tunjukan ketika ia benar-benar penasaran terhadap suatu hal.
“Apa itu fan... fanmeet? Kenapa orang-orang menantikannya?”
Kai menghela napasnya keras. Ia jadi serba salah. Pemuda itu tahu, apapun pilihan yang ia ambil – baik menjawabnya atau berkelit, ia tetap akan disalahkan.
Yasudahlah, dia sudah terlanjur basah. Mau bagaimana lagi?
“Fanmeet itu artinya jumpa penggemar, Nona. Untuk ikut serta, beberapa orang—penggemar artis itu, harus mengeluarkan uang agar bisa bertemu dengan idola mereka untuk beberapa menit.”
“Oh ya?” Sharon terlihat berpikir sejenak. “Kalau begitu aku juga bisa ikut kan?”
Pertanyaan itu sukses membuat Kai terbungkam.
Jawabannya? Seratus persen tidak bisa. Tuan Richard tidak akan membiarkannya keluar dari mansion. Apa gadis ini lupa kalau dia sudah dikurung di bangunan megah lima lantai itu selama lebih dari satu dekade?
“Kenapa kau diam saja? Apa kau berpikir aku tidak bisa?”
“Tentang itu, Nona Sharon, sepertinya agak sulit...”
“Kenapa? Memangnya biayanya semahal apa?” Gadis itu bertanya, memasang ekspresi polosnya.
Kai hampir meringis mendengar pertanyaan naif itu.Tidak, tentu saja bukan itu alasannya. Harta keluarga Wang tidak terhitung jumlahnya. Ayah Sharon, Wang Richard memiliki julukan ‘Singa Liar’ semasa mudanya. Dia adalah pemimpin organisasi mafia terbesar di tanah kelahirannya itu. Sebelum akhirnya dia memutuskan untuk pensiun dari jabatan tersebut karena suatu sebab dan berimigrasi ke Indonesia.
Jangankan tiket fanmeeting, pria itu bahkan bisa saja membawa Pria Idaman Nona-nya itu ke mansion ini jika mau.
Tapi di sisi lain, itu adalah hal yang mustahil. Richard memang sangat memanjakan Sharon, tapi apa mungkin rasa cintanya sampai membuatnya berbuat hal nekad dan tidak masuk akal seperti itu?
Mengundang seorang pesohor besar dari negeri tirai bambu itu pasti akan membuat Sharon dan mansion ini tersorot media. Musuh-musuhnya di luar sana bisa menyadari keberadaannya. Hal itu terlalu beresiko.
Satu-satunya pilihan adalah Sharon mendatangi lokasi acara itu sendiri, tapi...
“Acara fanmeeting-nya diadakan di luar mansion, Nona. Nona juga harus bertemu dengan banyak orang. Pasti nona tidak menginginkan itu, kan?”
Sharon terdiam menggigit bibir bawahnya sebentar.
“Kenapa harus diluar? Memangnya tidak bisa, ya, dia ke sini? Ayahku kan kaya. Tinggal bayar saja kan?”
Kai membelalakan mata mendengar pertanyaan polos yang terucap ringan itu. Detik berikutnya wajahnya sudah kembali seperti biasa. Ia bisa memaklumi kalimat-kalimat ajaib dan pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulut cewek itu.
Sharon memang biasanya selalu seperti ini. Gadis itu sangat naif karena terisolasi dari dunia luar.
Bahkan sedari kecil pun ia selalu sendirian dan tidak memiliki teman seumuran sama sekali. Seumur hidupnya dihabiskan di bangunan dengan cat putih susu yang memiliki banyak pintu layaknya sebuah istana megah.
Sekilas ia terlihat bahagia karena bergelimang harta dan tak perlu mengkhawatirkan apapun, tapi Kai tahu gadis ini sebenarnya sering merasa kesepian. Mungkin, itu jugalah yang menjadi alasan awal mulanya ia menjadi pencandu C-Drama dan menyerahkan segenap hatinya kepada pria tampan yang dilihatnya setiap hari di TV.
“Tentu saja itu tidak mungkin, Nona,” jawabnya dengan sopan. “Wang Jun bukan merch atau paket skincare atau merch yang bisa dipesan ketika anda menginginkannya. Dia manusia dan dia seorang aktor populer.
“Sekalipun Tuan Richard menawarinya uang, belum tentu dia bersedia menemui anda disini.”
“Hah? Tapi kenapa?!” ia memekik—seolah itu adalah berita yang sangat mengejutkan baginya. Namun, dibanding amarah atau kekesalan, raut wajahnya lebih menunjukkan kekecewaan.
Kai semakin merasa gamang. Ia jadi tidak tega. Tapi, memangnya apa yang bisa diperbuatnya? Dia hanya seorang bawahan.
Saat Kai mendongakkan dagunya, berniat menghibur Nona Muda-nya yang malang, dia justru melihat Sharon sudah tersenyum-senyum sendiri.
Lambat laun, suara kekehan menyeramkan keluar dari mulut gadis itu. Kai bergidik. Suara tawa Sharon semakin keras, dengan bola mata yang menerawang ke langit ruangan – seakan sedang merancang rencana licik di dalam kepala mungilnya.
Cewek yang tingginya hanya mencapai dagunya lebih sedikit itu kemudian berlalu ke luar ruangan. Saat di ambang pintu, ia kembali menoleh melihat Kai.
“Ayo, ikut aku! Kau harus membantuku!”
Detik itu juga perasaan Kai menjadi tidak enak. Kira-kira, apa yang direncanakan oleh Nona-nya itu?
Hai, perkenalkan aku Natasha Lee. Selamat datang di cerita pertama aku di GoodNovel. Terimakasih sudah mampir dan baca cerita ini. Semoga kalian betah dan ngikutin terus kisah Sharon dan Jun. Insyaallah cerita ini akan di update rutin dua kali seminggu setiap hari Rabu dan Sabtu. Buat yang mau keep in touch atau mau cari teman mutual boleh follow instagram aku di @_97natashalee dan DM. Nanti aku follback kok. Salam Hangat, Natasha
“AKU TIDAK MAU TAHU! POKOKNYA AKU MAU KETEMU JUN GĒ!” Teriakan itu memenuhi di ruangan berukuran sedang dengan desain interior yang minimalis itu. Suara itu, suara siapa lagi kalau bukan Tuan Putri yang dimanjakan ayahnya—Wang Sharon. Barangkali di mansion ini hanya Sharon seorang yang mampu meneriaki Richard dengan semena-mena seperti itu Di sisi lain ruangan, Kai menelan salivanya melihat Sang Nona yang menghardik ayahnya dengan pandangan berapi-api tanpa gentar sedikitpun. Kedua ayah dan anak itu saling melempar tatapan sengit. Sama-sama keras kepala. Tidak ada yang mau mengalah. “AKU MAU BERTEMU DIA, YAH! IJINKAN AKU BERTEMU DIA!!” Gadis itu lagi-lagi merengek. Masih dengan suaranya yang sepertinya dikeluarkan menggunakan tenaga dalam. Jika tidak, bagaimana bisa keluar suara yang sangat keras dan sangat memekakan telinga dari kerongkongannya yang sekecil itu bisa? “Ayah bilang tidak, Wang Sharon. Kau bisa meminta apapun. Apapun selain pergi dari mansi
Raut wajah Sharon terlihat jelas mengharapkan berita baik. Kedua pupilnya membesar antusias. Namun Kai terlihat semakin muram saat memandang Nona Sharon. Mulutnya terkatup, meski ia terlihat ingin menjawab. “Kai, bagaimana? Ayah mengijinkan aku, kan?” Desak Sharon tak sabar. Lelaki muda itu menggelengkan kepalanya dengan raut pahit. Sharon melemas. Hilang sudah harapannya untuk bertemu hubbynya. * * * “AAAAAA!!!” Suara teriakan perempuan yang melengking di tengah kesunyian malam itu seolah mampu menggetarkan pondasi rumah megah bergaya kolonial itu. Secara serentak seluruh penghuni mansion itu terbangun. Terutama, Richard yang dengan wajah was-was berlari menuju kamar Sharon. Ia mengenali suara itu sebagai suara putri semata wayangnya. “Sharon! Ada apa? Apa yang terjadi?!” Richard terperangah. Sharon tengah berdiri di atas kusen jendela kamarnya yang daunnya terbuka lebar. Satu tangannya memegang sisi kanan kusen. Angin yang berhembus
Hari demi hari berlalu, berganti bulan. Tiba juga hari di mana acara fan meeting Jun diadakan. Para fans mengantri sejak pagi buta. Gedung tempat fanmeeting diadakan itu dibanjiri antusias penggemar Jun yang kebanyakan gadis-gadis belia. Beberapa jurnalis dan kameramen lokal serta mancanegara juga sudah menyebar di banyak titik, memastikan untuk menangkap potret dan momen terbaik. “Wang Jun!” Di ruangan ber-ac yang penuh baju itu, pria berwajah mungil rupawan menoleh setelah mendengar namanya dipanggil. “Iya, Kak!” “Kemarilah, aku mau mem-briefing-mu untuk sesi dua. Ada sedikit perubahan dari rundown kemarin setelah aku menyampaikan keluhanmu pada promotor soal jeda yang terlalu singkat.” Jun menatap MUA-nya yang masih memoles make up di wajah mulusnya yang tampak seperti boneka hidup. “Oh, oke, sebentar! Jiě jiě, maaf, bisa lebih cepat sedikit? Aku dipanggil.” Lelaki itu menyengir kuda memandang stylish-nya. Tinggi, tampan, berkarisma,
“Nona, tenanglah. Dia tidak akan mati semudah itu. Tuan Jun hanya terlalu shock hingga tidak sadarkan diri.” Suara sesegukan yang memenuhi ruangan itu terhenti sejenak, berganti oleh bentakan kasar. “Siapa yang bisa menjamin dia tidak mati, hah?! Memangnya kau itu Tuhan? Bagaimana kalau semisalnya dia tersungkur terlalu keras lalu mengalami pendarahan dalam?!?! Kalau sampai Jun gē mati, kau juga harus mati!!” Kai tertohok keras. Dia menelan salivanya dalam diam. Tak berani menjawab atau menepis ucapan Sharon yang sedang sangat emosional itu. Meski ini bukan pertama kalinya ia menerima ancaman kematian dari gadis itu, tetap saja, rasanya sangat tidak enak. Sharon masih saja menangisi Jun yang belum siuman setelah pingsan untuk kedua kalinya. Lalu ia mulai merengek kesal kepada Kai yang diam di pojok ruangan layaknya sebuah patung manekin. “Mana dokternya, sih? Kau bilang sedang dalam perjalanan kesini, kenapa lama sekali?! Apa kau tidak bilang kalau p
Berbeda dari ruangan-ruangan lain yang dilihatnya—yang penuh dengan warna putih bagaikan sedang berada di sebuah istana negeri dongeng, ruangan yang ia masuki kini justru bernuansa gelap. Temboknya dicat berwarna hitam. Tidak hanya itu, nyaris semua furnitur dan barang-barang disini berwarna senada. Jika harus memilih satu kata untuk mendefiniskan apa yang dilihatnya saat ini, Jun akan memilih kata ‘sederhana.’ Patut diakui, ruangan ini benar-benar telihat seperti berada di dunia lain. Seakan tempat ini sengaja dibuat sangat kontras dan berbeda. Sama sekali tidak ada keglamouran dan kemewahan. Hanya ada dua buah sofa panjang yang berhadapan, sebuah meja, dan sebuah sofa tunggal yang berada diantara kedua sofa tersebut. Ada lemari yang kacanya terlihat gelap dari luar, entah menyimpan barang apa; sebuah lukisan pemandangan biasa yang sama sekali tidak terlihat mahal; dan dua buah senapan buru yang digantung di tembok. Jun menelan salivanya. Berusaha untuk
Seorang pria berusia 40 tahunan memasuki ruangan. Garis wajahnya sangar dan serius. Belum lagi bekas luka memanjang terlihat di pipi dan keningnya semakin meninggalkan kesan menakutkan. Penampilannya sebelas dua belas dengan orang yang ada di depannya sekarang. Hanya saja, caranya berpakaiannya yang terlihat lebih rapih seperti menegaskan posisinya sebagai seorang bawahan. “Silahkan, Tuan,” pria itu meletakkan selembar kertas di hadapan mereka. Dia tidak langsung keluar ruangan. Justru malah menoleh dan memandangi Jun tepat di mata. Tajam dan mengintimidasi. Pemuda itu seketika tersentak. Tatapannya sukses membuat Jun membeku, bertanya-tanya, dosa besar apa yang baru saja ia lakukan. “Perkenalkan, saya adalah Huang Arthur. Saya adalah mantan ajudan di Organisasi Mafia ‘Triangle’. Saya sudah pensiun dan beralih menjadi tangan kanan Tuan Richard.” Tunggu… tunggu sebentar, apa tadi katanya? M-mafia? Maksudnya sejenis gangster… yang hanya pernah dilihat Jun
-Hari pertama- “JUN GĒ!” Suara cempreng perempuan itu membuka pagi harinya yang suram. Belum apa-apa Wang Jun sudah merasa kelelahan dan ingin menyerah. Ia masih berharap semua ini tidak nyata. Tak lama, terdengar suara langkah yang tergesa-gesa. BRAK! Pintu kamar itu dibanting kencang. Muncullah sosok perempuan yang mengenakan gaun berwarna merah muda dengan renda yang heboh. Belum lagi rambutnya yang terlihat sengaja di-curly. Sebuah hair pin ber-hiaskan tiga bunga pun terpasang di kepalanya. Penampilannya boleh terlihat feminin, tapi tidak dengan tingkahnya. Gadis yang terlalu excited itu sudah duduk di tepi ranjang dalam satu kejapan mata. Jun yang baru saja bangun seketika mendudukan diri. “PAGIIIII!!” Wajahnya berbinar dengan senyum lebar memamerkan barisan giginya.Perempuan yang tidak peka itu terlihat terlalu ceria, seakan tak bisa melihat keputusasaan Jun dan bagaimana kantong matanya menghitam dalam satu malam saja. Pria itu nyaris ti
-Hari pertama- “JUN GĒ!” Suara cempreng perempuan itu membuka pagi harinya yang suram. Belum apa-apa Wang Jun sudah merasa kelelahan dan ingin menyerah. Ia masih berharap semua ini tidak nyata. Tak lama, terdengar suara langkah yang tergesa-gesa. BRAK! Pintu kamar itu dibanting kencang. Muncullah sosok perempuan yang mengenakan gaun berwarna merah muda dengan renda yang heboh. Belum lagi rambutnya yang terlihat sengaja di-curly. Sebuah hair pin ber-hiaskan tiga bunga pun terpasang di kepalanya. Penampilannya boleh terlihat feminin, tapi tidak dengan tingkahnya. Gadis yang terlalu excited itu sudah duduk di tepi ranjang dalam satu kejapan mata. Jun yang baru saja bangun seketika mendudukan diri. “PAGIIIII!!” Wajahnya berbinar dengan senyum lebar memamerkan barisan giginya.Perempuan yang tidak peka itu terlihat terlalu ceria, seakan tak bisa melihat keputusasaan Jun dan bagaimana kantong matanya menghitam dalam satu malam saja. Pria itu nyaris ti
Seorang pria berusia 40 tahunan memasuki ruangan. Garis wajahnya sangar dan serius. Belum lagi bekas luka memanjang terlihat di pipi dan keningnya semakin meninggalkan kesan menakutkan. Penampilannya sebelas dua belas dengan orang yang ada di depannya sekarang. Hanya saja, caranya berpakaiannya yang terlihat lebih rapih seperti menegaskan posisinya sebagai seorang bawahan. “Silahkan, Tuan,” pria itu meletakkan selembar kertas di hadapan mereka. Dia tidak langsung keluar ruangan. Justru malah menoleh dan memandangi Jun tepat di mata. Tajam dan mengintimidasi. Pemuda itu seketika tersentak. Tatapannya sukses membuat Jun membeku, bertanya-tanya, dosa besar apa yang baru saja ia lakukan. “Perkenalkan, saya adalah Huang Arthur. Saya adalah mantan ajudan di Organisasi Mafia ‘Triangle’. Saya sudah pensiun dan beralih menjadi tangan kanan Tuan Richard.” Tunggu… tunggu sebentar, apa tadi katanya? M-mafia? Maksudnya sejenis gangster… yang hanya pernah dilihat Jun
Berbeda dari ruangan-ruangan lain yang dilihatnya—yang penuh dengan warna putih bagaikan sedang berada di sebuah istana negeri dongeng, ruangan yang ia masuki kini justru bernuansa gelap. Temboknya dicat berwarna hitam. Tidak hanya itu, nyaris semua furnitur dan barang-barang disini berwarna senada. Jika harus memilih satu kata untuk mendefiniskan apa yang dilihatnya saat ini, Jun akan memilih kata ‘sederhana.’ Patut diakui, ruangan ini benar-benar telihat seperti berada di dunia lain. Seakan tempat ini sengaja dibuat sangat kontras dan berbeda. Sama sekali tidak ada keglamouran dan kemewahan. Hanya ada dua buah sofa panjang yang berhadapan, sebuah meja, dan sebuah sofa tunggal yang berada diantara kedua sofa tersebut. Ada lemari yang kacanya terlihat gelap dari luar, entah menyimpan barang apa; sebuah lukisan pemandangan biasa yang sama sekali tidak terlihat mahal; dan dua buah senapan buru yang digantung di tembok. Jun menelan salivanya. Berusaha untuk
“Nona, tenanglah. Dia tidak akan mati semudah itu. Tuan Jun hanya terlalu shock hingga tidak sadarkan diri.” Suara sesegukan yang memenuhi ruangan itu terhenti sejenak, berganti oleh bentakan kasar. “Siapa yang bisa menjamin dia tidak mati, hah?! Memangnya kau itu Tuhan? Bagaimana kalau semisalnya dia tersungkur terlalu keras lalu mengalami pendarahan dalam?!?! Kalau sampai Jun gē mati, kau juga harus mati!!” Kai tertohok keras. Dia menelan salivanya dalam diam. Tak berani menjawab atau menepis ucapan Sharon yang sedang sangat emosional itu. Meski ini bukan pertama kalinya ia menerima ancaman kematian dari gadis itu, tetap saja, rasanya sangat tidak enak. Sharon masih saja menangisi Jun yang belum siuman setelah pingsan untuk kedua kalinya. Lalu ia mulai merengek kesal kepada Kai yang diam di pojok ruangan layaknya sebuah patung manekin. “Mana dokternya, sih? Kau bilang sedang dalam perjalanan kesini, kenapa lama sekali?! Apa kau tidak bilang kalau p
Hari demi hari berlalu, berganti bulan. Tiba juga hari di mana acara fan meeting Jun diadakan. Para fans mengantri sejak pagi buta. Gedung tempat fanmeeting diadakan itu dibanjiri antusias penggemar Jun yang kebanyakan gadis-gadis belia. Beberapa jurnalis dan kameramen lokal serta mancanegara juga sudah menyebar di banyak titik, memastikan untuk menangkap potret dan momen terbaik. “Wang Jun!” Di ruangan ber-ac yang penuh baju itu, pria berwajah mungil rupawan menoleh setelah mendengar namanya dipanggil. “Iya, Kak!” “Kemarilah, aku mau mem-briefing-mu untuk sesi dua. Ada sedikit perubahan dari rundown kemarin setelah aku menyampaikan keluhanmu pada promotor soal jeda yang terlalu singkat.” Jun menatap MUA-nya yang masih memoles make up di wajah mulusnya yang tampak seperti boneka hidup. “Oh, oke, sebentar! Jiě jiě, maaf, bisa lebih cepat sedikit? Aku dipanggil.” Lelaki itu menyengir kuda memandang stylish-nya. Tinggi, tampan, berkarisma,
Raut wajah Sharon terlihat jelas mengharapkan berita baik. Kedua pupilnya membesar antusias. Namun Kai terlihat semakin muram saat memandang Nona Sharon. Mulutnya terkatup, meski ia terlihat ingin menjawab. “Kai, bagaimana? Ayah mengijinkan aku, kan?” Desak Sharon tak sabar. Lelaki muda itu menggelengkan kepalanya dengan raut pahit. Sharon melemas. Hilang sudah harapannya untuk bertemu hubbynya. * * * “AAAAAA!!!” Suara teriakan perempuan yang melengking di tengah kesunyian malam itu seolah mampu menggetarkan pondasi rumah megah bergaya kolonial itu. Secara serentak seluruh penghuni mansion itu terbangun. Terutama, Richard yang dengan wajah was-was berlari menuju kamar Sharon. Ia mengenali suara itu sebagai suara putri semata wayangnya. “Sharon! Ada apa? Apa yang terjadi?!” Richard terperangah. Sharon tengah berdiri di atas kusen jendela kamarnya yang daunnya terbuka lebar. Satu tangannya memegang sisi kanan kusen. Angin yang berhembus
“AKU TIDAK MAU TAHU! POKOKNYA AKU MAU KETEMU JUN GĒ!” Teriakan itu memenuhi di ruangan berukuran sedang dengan desain interior yang minimalis itu. Suara itu, suara siapa lagi kalau bukan Tuan Putri yang dimanjakan ayahnya—Wang Sharon. Barangkali di mansion ini hanya Sharon seorang yang mampu meneriaki Richard dengan semena-mena seperti itu Di sisi lain ruangan, Kai menelan salivanya melihat Sang Nona yang menghardik ayahnya dengan pandangan berapi-api tanpa gentar sedikitpun. Kedua ayah dan anak itu saling melempar tatapan sengit. Sama-sama keras kepala. Tidak ada yang mau mengalah. “AKU MAU BERTEMU DIA, YAH! IJINKAN AKU BERTEMU DIA!!” Gadis itu lagi-lagi merengek. Masih dengan suaranya yang sepertinya dikeluarkan menggunakan tenaga dalam. Jika tidak, bagaimana bisa keluar suara yang sangat keras dan sangat memekakan telinga dari kerongkongannya yang sekecil itu bisa? “Ayah bilang tidak, Wang Sharon. Kau bisa meminta apapun. Apapun selain pergi dari mansi
Kedua mata pria itu perlahan terbuka penuh setelah beberapa kali mengerjap. Kelopaknya membesar dan mengecil—menyesuaikan intensitas cahaya yang memasuki retinanya. Setelah pandangannya jelas, alam bawah sadarnya ikut aktif menganalisa sekitarnya. Sedetik, dua detik... Teeett!! Teeett! Alarm peringatan di otaknya menyala. Menyiarkan peringatan bahwa langit-langit berwarna putih tulang yang ia lihat saat ini sangat asing untuknya. Pria itu sontak bangun, mengubah posisinya menjadi duduk. Pergerakan tiba-tibanya itu membuat kepalanya pening– perasaan yang sama ketika ia habis minum-minum bersama teman-temannya. “Ahh...” dia meringis kesakitan. Sumpah, kepalanya benar-benar ngilu luar biasa. Dia juga tidak bisa mengingat kenapa ia bisa terbaring di kamar yang tidak ia kenali ini. Seingatnya, dia tidak habis minum alkohol... Ah, apa dia sudah mati? Dan ini adalah alam akhirat yang disebut-sebut oleh orang-orang? Kalau iya, kenapa... rasanya