“Nona, tenanglah. Dia tidak akan mati semudah itu. Tuan Jun hanya terlalu shock hingga tidak sadarkan diri.”
Suara sesegukan yang memenuhi ruangan itu terhenti sejenak, berganti oleh bentakan kasar.
“Siapa yang bisa menjamin dia tidak mati, hah?! Memangnya kau itu Tuhan? Bagaimana kalau semisalnya dia tersungkur terlalu keras lalu mengalami pendarahan dalam?!?! Kalau sampai Jun gē mati, kau juga harus mati!!”
Kai tertohok keras. Dia menelan salivanya dalam diam. Tak berani menjawab atau menepis ucapan Sharon yang sedang sangat emosional itu.
Meski ini bukan pertama kalinya ia menerima ancaman kematian dari gadis itu, tetap saja, rasanya sangat tidak enak.
Sharon masih saja menangisi Jun yang belum siuman setelah pingsan untuk kedua kalinya. Lalu ia mulai merengek kesal kepada Kai yang diam di pojok ruangan layaknya sebuah patung manekin.
“Mana dokternya, sih? Kau bilang sedang dalam perjalanan kesini, kenapa lama sekali?! Apa kau tidak bilang kalau pasien ini adalah pasien darurat yang butuh pertolongan secepatnya?”
Lagi-lagi, Kai hanya bisa mengelus dadanya, menahan emosinya sendiri. Melihat pandangan berkilat Sharon yang tampak ingin menerkamnya bulat-bulat, ia langsung memutar otaknya.
“Ah, apa perlu saya menunggunya di luar, Nona? Agar saya bisa langsung mengantarnya kesini saat beliau sampai.”
Sharon terdiam sebentar, lalu mengangguk.
“Cepatlah!” desaknya, yang membuat Kai langsung mempercepat langkahnya ke pintu, setengah berlari.
* * *
Sharon menatap wajah menawan Jun yang tengah terpejam layaknya sleeping beauty. Mula-mula, perasaannya memang panik dan ketakutan. Dia benar-benar takut Jun akan kenapa-napa gara-gara dirinya.
Namun, perlahan, dia justru menikmati momen itu. Saat dirinya kini hanya berduaan, dengan Jun, lelaki yang menjadi bintang nomor satu di dunia maupun di dalam hatinya.
Netranya menyapu fitur menawan itu satu per satu. Mulai dari alisnya yang tebal dan hitam, tidak kalah membahana dari alis Syahrini. Bulu matanya yang panjang dan menggetarkan jiwa. Hidung mancungnya yang terlihat seperti silikon, tapi Sharon tau itu sungguhan.
Juga... bibir merah darahnya yang terlihat seperti bulan sabit, versi over-sexy.
Ah... indah. Sungguh indah! Ini terlalu indah. Bagaimana bisa ada manusia yang seindah ini? Sangat tidak adil. Sharon mau marah rasanya.
“Buat apa kamu secakep ini kalau bukan jadi milik aku? Gak guna.”
Cewek itu mengulurkan tangannya menyentuh lembut pipi putih Jun. Tangannya lalu bergerak turun ke arah rahang tegasnya. Mulutnya terbuka kecil, terkagum.
Jemari kecilnya tanpa sadar merayap mengikuti garis jawline-nya yang maskulin.
Ia kembali ke atas, mengusap tiap inci wajah itu sambil masih terpesona. Saat tatapannya jatuh kepada bibir ranum itu, ia menyentuh bibirnya sendiri tanpa sadar. Menelan ludah.
Dengan sedikit gemetar, ia mengusapkan ibu jarinya pada bibir bawah Jun. Kenyal dan basah. Pasti enak, begitu batinnya.
‘Ah! Mungkin, jika aku menciumnya dia akan bangun!’
‘Iya! Pasti begitu. Di cerita dongeng juga diceritakan seperti itu, kok.’
Tanpa banyak berpikir lagi, dia pun mendekatkan wajahnya dengan wajah Jun. Ia mencium bibir lelaki yang tengah tidak sadarkan diri itu.
Jantungnya berpacu cepat. Selama beberapa detik, ia membiarkan bibir mereka menempel karena tidak tahu harus berbuat apa lagi. Meski demikian, ia merasa sangat bahagia. Salah satu daftar impiannya telah terkabul! Sekarang...
“HAH!”
Kedua mata yang tertutup itu terbuka. Tubuh Sharon terdorong keras—bahkan ia nyaris terjengkang dari tempat duduknya.
Lelaki itu menatap Sharon dengan tatapan shock. Sedangkan Sharon, gadis itu malah menyengir lebar tanpa dosa.
“Akhirnya kamu bangun juga! Aku sudah membuktikan kalau cerita dongeng itu nyata!”
Jun terperangah tak menjawab. Dia beringsut mundur meski tubuhnya terasa berat dan ngilu. Apa? Apa kata gadis mesum ini barusan?
“K-kamu gapapa kan? Aku khawatir banget. Lagian, kenapa kamu tiba-tiba lari gitu? Badan kamu belum boleh banyak digerakin karena efek biusnya masih—”
Pintu kamar itu dibuka, membuat ucapan Sharon terpotong disana.
“Ayah?”
Richard muncul di pintu. Dengan Kai dan Dokter James yang merupakan dokter pribadi keluarga Wang.
“Sharon,” pria itu tersenyum hangat. “Kamu keluar dulu, ya, Sayang. Biar dia diperiksa dulu.”
Sharon mengernyitkan jidat. Dia ingin protes, kenapa hanya dia yang harus menunggu diluar sedangkan ayahnya tidak? Tapi, Kai sudah lebih dulu menghampirinya dan menarik lengan gadis itu. Menuntunnya keluar dengan sedikit memaksa.
Sharon melempar tatapan curiga sekaligus mengancam kepada Kai.
“Ayah gak bakal ngapa-ngapain suamiku, kan?”
* * *
Gadis yang tak dikenalnya keluar dari kamar itu. Pemuda itu terpaku beberapa detik, mencoba mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi disini. Anehnya, semakin ia mencoba berpikir dan mengingat, semakin ia clueless.
Benar-benar aneh. Seakan ada bagian di kepalanya yang tidak bisa diaksesnya. Rasanya seperti ia telah dikendalikan dari dalam.
“Kau sudah baikan? Kudengar kau mencoba kabur tadi.”
Jun menatap wajah pria tua di depannya yang juga fasih menggunakan bahasa China. Pikirannya jadi semakin kalut. Sebenarnya dia ada dimana, sih, sekarang?
Apa dia benar-benar ada di China ? Tapi, kapan dan bagaimana caranya?
“Pasti ada banyak hal yang ingin kau tanyakan. Tapi, sebelum itu, biarkan dokter andalanku ini memeriksa kondisimu dulu. Kalau sampai ada sesuatu yang salah dengan tubuhmu, putriku pasti akan menangis histeris.”
Meski kepalanya dipenuhi serapah dan protes tidak terima, mulutnya tidak bisa mengatakan apa-apa. Aura lelaki itu terlalu kuat sampai membuatnya tak mampu berkutik.
Ia membiarkan dokter itu memeriksa jantungnya dengan stetoskop dan melihat kondisi matanya.
Selanjutnya, dokter itu terlihat sedang menjabarkan panjang lebar kondisinya dengan bahasa yang asing di telinga Jun. Tidak ada satu kata pun yang ia pahami.
Ia sepenuhnya mengabaikan Jun sebagai pasien yang diperiksanya dan hanya sibuk dengan pria tua menyeramkan itu.
Hal ini membuat kepalanya yang masih sakit dipaksanya untuk bekerja keras menghasilkan hipotesa.
Karena ingatan terakhirnya adalah dia sedang berada di kota Jakarta, di backstage, dua puluh menit sebelum ia naik panggung, maka besar kemungkinan dia masih berada di Indonesia saat ini. Bahasa aneh yang digunakan dokter itu bisa dijadikan bukti penguat dari dugaannya itu. Lalu... selebihnya, ia tidak tahu lagi.
Dia tidak tahu apakah ia masih ada di Jakarta atau ia sudah di bawa ke kota lain? Sudah berapa jam semenjak ia diculik? Siapa penculiknya dan apa tujuannya menculik dia?
Pertanyaan-pertanyaan yang terus berkelibat di kepalanya membuatnya merasa makin pusing. Perutnya ikut terasa sakit. Sepertinya, sudah lebih dari delapan jam perutnya kosong.
Setelah beberapa saat bercakap-cakap, dokter itu pun nampak mengemas kembali alat-alatnya ke dalam tas kerjanya.
Pria tua yang sepertinya pemilik mansion megah ini menatap Jun yang bengong, masih belum bisa menerima kenyataan dirinya diculik dengan lapang dada.
“Kita masih harus bicara. Apa kau kuat berjalan?”
Jun tidak menjawabnya. Ia membuang wajah acuh, berpura-pura tidak mendengar perkataan pria itu.
“Kau tidak penasaran alasanmu bisa berada disini?”
Pria muda itu langsung menoleh cepat. Ia menatap tajam orang asing di depannya.
“Katakan padaku. Kenapa kau menculikku kemari?!”
Lelaki itu tersenyum miring mengejek.
“Jika kau benar-benar ingin tahu, ikuti aku!” katanya dengan suara beratnya yang bernada tegas.
Berbeda dari ruangan-ruangan lain yang dilihatnya—yang penuh dengan warna putih bagaikan sedang berada di sebuah istana negeri dongeng, ruangan yang ia masuki kini justru bernuansa gelap. Temboknya dicat berwarna hitam. Tidak hanya itu, nyaris semua furnitur dan barang-barang disini berwarna senada. Jika harus memilih satu kata untuk mendefiniskan apa yang dilihatnya saat ini, Jun akan memilih kata ‘sederhana.’ Patut diakui, ruangan ini benar-benar telihat seperti berada di dunia lain. Seakan tempat ini sengaja dibuat sangat kontras dan berbeda. Sama sekali tidak ada keglamouran dan kemewahan. Hanya ada dua buah sofa panjang yang berhadapan, sebuah meja, dan sebuah sofa tunggal yang berada diantara kedua sofa tersebut. Ada lemari yang kacanya terlihat gelap dari luar, entah menyimpan barang apa; sebuah lukisan pemandangan biasa yang sama sekali tidak terlihat mahal; dan dua buah senapan buru yang digantung di tembok. Jun menelan salivanya. Berusaha untuk
Seorang pria berusia 40 tahunan memasuki ruangan. Garis wajahnya sangar dan serius. Belum lagi bekas luka memanjang terlihat di pipi dan keningnya semakin meninggalkan kesan menakutkan. Penampilannya sebelas dua belas dengan orang yang ada di depannya sekarang. Hanya saja, caranya berpakaiannya yang terlihat lebih rapih seperti menegaskan posisinya sebagai seorang bawahan. “Silahkan, Tuan,” pria itu meletakkan selembar kertas di hadapan mereka. Dia tidak langsung keluar ruangan. Justru malah menoleh dan memandangi Jun tepat di mata. Tajam dan mengintimidasi. Pemuda itu seketika tersentak. Tatapannya sukses membuat Jun membeku, bertanya-tanya, dosa besar apa yang baru saja ia lakukan. “Perkenalkan, saya adalah Huang Arthur. Saya adalah mantan ajudan di Organisasi Mafia ‘Triangle’. Saya sudah pensiun dan beralih menjadi tangan kanan Tuan Richard.” Tunggu… tunggu sebentar, apa tadi katanya? M-mafia? Maksudnya sejenis gangster… yang hanya pernah dilihat Jun
-Hari pertama- “JUN GĒ!” Suara cempreng perempuan itu membuka pagi harinya yang suram. Belum apa-apa Wang Jun sudah merasa kelelahan dan ingin menyerah. Ia masih berharap semua ini tidak nyata. Tak lama, terdengar suara langkah yang tergesa-gesa. BRAK! Pintu kamar itu dibanting kencang. Muncullah sosok perempuan yang mengenakan gaun berwarna merah muda dengan renda yang heboh. Belum lagi rambutnya yang terlihat sengaja di-curly. Sebuah hair pin ber-hiaskan tiga bunga pun terpasang di kepalanya. Penampilannya boleh terlihat feminin, tapi tidak dengan tingkahnya. Gadis yang terlalu excited itu sudah duduk di tepi ranjang dalam satu kejapan mata. Jun yang baru saja bangun seketika mendudukan diri. “PAGIIIII!!” Wajahnya berbinar dengan senyum lebar memamerkan barisan giginya.Perempuan yang tidak peka itu terlihat terlalu ceria, seakan tak bisa melihat keputusasaan Jun dan bagaimana kantong matanya menghitam dalam satu malam saja. Pria itu nyaris ti
Kedua mata pria itu perlahan terbuka penuh setelah beberapa kali mengerjap. Kelopaknya membesar dan mengecil—menyesuaikan intensitas cahaya yang memasuki retinanya. Setelah pandangannya jelas, alam bawah sadarnya ikut aktif menganalisa sekitarnya. Sedetik, dua detik... Teeett!! Teeett! Alarm peringatan di otaknya menyala. Menyiarkan peringatan bahwa langit-langit berwarna putih tulang yang ia lihat saat ini sangat asing untuknya. Pria itu sontak bangun, mengubah posisinya menjadi duduk. Pergerakan tiba-tibanya itu membuat kepalanya pening– perasaan yang sama ketika ia habis minum-minum bersama teman-temannya. “Ahh...” dia meringis kesakitan. Sumpah, kepalanya benar-benar ngilu luar biasa. Dia juga tidak bisa mengingat kenapa ia bisa terbaring di kamar yang tidak ia kenali ini. Seingatnya, dia tidak habis minum alkohol... Ah, apa dia sudah mati? Dan ini adalah alam akhirat yang disebut-sebut oleh orang-orang? Kalau iya, kenapa... rasanya
“AKU TIDAK MAU TAHU! POKOKNYA AKU MAU KETEMU JUN GĒ!” Teriakan itu memenuhi di ruangan berukuran sedang dengan desain interior yang minimalis itu. Suara itu, suara siapa lagi kalau bukan Tuan Putri yang dimanjakan ayahnya—Wang Sharon. Barangkali di mansion ini hanya Sharon seorang yang mampu meneriaki Richard dengan semena-mena seperti itu Di sisi lain ruangan, Kai menelan salivanya melihat Sang Nona yang menghardik ayahnya dengan pandangan berapi-api tanpa gentar sedikitpun. Kedua ayah dan anak itu saling melempar tatapan sengit. Sama-sama keras kepala. Tidak ada yang mau mengalah. “AKU MAU BERTEMU DIA, YAH! IJINKAN AKU BERTEMU DIA!!” Gadis itu lagi-lagi merengek. Masih dengan suaranya yang sepertinya dikeluarkan menggunakan tenaga dalam. Jika tidak, bagaimana bisa keluar suara yang sangat keras dan sangat memekakan telinga dari kerongkongannya yang sekecil itu bisa? “Ayah bilang tidak, Wang Sharon. Kau bisa meminta apapun. Apapun selain pergi dari mansi
Raut wajah Sharon terlihat jelas mengharapkan berita baik. Kedua pupilnya membesar antusias. Namun Kai terlihat semakin muram saat memandang Nona Sharon. Mulutnya terkatup, meski ia terlihat ingin menjawab. “Kai, bagaimana? Ayah mengijinkan aku, kan?” Desak Sharon tak sabar. Lelaki muda itu menggelengkan kepalanya dengan raut pahit. Sharon melemas. Hilang sudah harapannya untuk bertemu hubbynya. * * * “AAAAAA!!!” Suara teriakan perempuan yang melengking di tengah kesunyian malam itu seolah mampu menggetarkan pondasi rumah megah bergaya kolonial itu. Secara serentak seluruh penghuni mansion itu terbangun. Terutama, Richard yang dengan wajah was-was berlari menuju kamar Sharon. Ia mengenali suara itu sebagai suara putri semata wayangnya. “Sharon! Ada apa? Apa yang terjadi?!” Richard terperangah. Sharon tengah berdiri di atas kusen jendela kamarnya yang daunnya terbuka lebar. Satu tangannya memegang sisi kanan kusen. Angin yang berhembus
Hari demi hari berlalu, berganti bulan. Tiba juga hari di mana acara fan meeting Jun diadakan. Para fans mengantri sejak pagi buta. Gedung tempat fanmeeting diadakan itu dibanjiri antusias penggemar Jun yang kebanyakan gadis-gadis belia. Beberapa jurnalis dan kameramen lokal serta mancanegara juga sudah menyebar di banyak titik, memastikan untuk menangkap potret dan momen terbaik. “Wang Jun!” Di ruangan ber-ac yang penuh baju itu, pria berwajah mungil rupawan menoleh setelah mendengar namanya dipanggil. “Iya, Kak!” “Kemarilah, aku mau mem-briefing-mu untuk sesi dua. Ada sedikit perubahan dari rundown kemarin setelah aku menyampaikan keluhanmu pada promotor soal jeda yang terlalu singkat.” Jun menatap MUA-nya yang masih memoles make up di wajah mulusnya yang tampak seperti boneka hidup. “Oh, oke, sebentar! Jiě jiě, maaf, bisa lebih cepat sedikit? Aku dipanggil.” Lelaki itu menyengir kuda memandang stylish-nya. Tinggi, tampan, berkarisma,
-Hari pertama- “JUN GĒ!” Suara cempreng perempuan itu membuka pagi harinya yang suram. Belum apa-apa Wang Jun sudah merasa kelelahan dan ingin menyerah. Ia masih berharap semua ini tidak nyata. Tak lama, terdengar suara langkah yang tergesa-gesa. BRAK! Pintu kamar itu dibanting kencang. Muncullah sosok perempuan yang mengenakan gaun berwarna merah muda dengan renda yang heboh. Belum lagi rambutnya yang terlihat sengaja di-curly. Sebuah hair pin ber-hiaskan tiga bunga pun terpasang di kepalanya. Penampilannya boleh terlihat feminin, tapi tidak dengan tingkahnya. Gadis yang terlalu excited itu sudah duduk di tepi ranjang dalam satu kejapan mata. Jun yang baru saja bangun seketika mendudukan diri. “PAGIIIII!!” Wajahnya berbinar dengan senyum lebar memamerkan barisan giginya.Perempuan yang tidak peka itu terlihat terlalu ceria, seakan tak bisa melihat keputusasaan Jun dan bagaimana kantong matanya menghitam dalam satu malam saja. Pria itu nyaris ti
Seorang pria berusia 40 tahunan memasuki ruangan. Garis wajahnya sangar dan serius. Belum lagi bekas luka memanjang terlihat di pipi dan keningnya semakin meninggalkan kesan menakutkan. Penampilannya sebelas dua belas dengan orang yang ada di depannya sekarang. Hanya saja, caranya berpakaiannya yang terlihat lebih rapih seperti menegaskan posisinya sebagai seorang bawahan. “Silahkan, Tuan,” pria itu meletakkan selembar kertas di hadapan mereka. Dia tidak langsung keluar ruangan. Justru malah menoleh dan memandangi Jun tepat di mata. Tajam dan mengintimidasi. Pemuda itu seketika tersentak. Tatapannya sukses membuat Jun membeku, bertanya-tanya, dosa besar apa yang baru saja ia lakukan. “Perkenalkan, saya adalah Huang Arthur. Saya adalah mantan ajudan di Organisasi Mafia ‘Triangle’. Saya sudah pensiun dan beralih menjadi tangan kanan Tuan Richard.” Tunggu… tunggu sebentar, apa tadi katanya? M-mafia? Maksudnya sejenis gangster… yang hanya pernah dilihat Jun
Berbeda dari ruangan-ruangan lain yang dilihatnya—yang penuh dengan warna putih bagaikan sedang berada di sebuah istana negeri dongeng, ruangan yang ia masuki kini justru bernuansa gelap. Temboknya dicat berwarna hitam. Tidak hanya itu, nyaris semua furnitur dan barang-barang disini berwarna senada. Jika harus memilih satu kata untuk mendefiniskan apa yang dilihatnya saat ini, Jun akan memilih kata ‘sederhana.’ Patut diakui, ruangan ini benar-benar telihat seperti berada di dunia lain. Seakan tempat ini sengaja dibuat sangat kontras dan berbeda. Sama sekali tidak ada keglamouran dan kemewahan. Hanya ada dua buah sofa panjang yang berhadapan, sebuah meja, dan sebuah sofa tunggal yang berada diantara kedua sofa tersebut. Ada lemari yang kacanya terlihat gelap dari luar, entah menyimpan barang apa; sebuah lukisan pemandangan biasa yang sama sekali tidak terlihat mahal; dan dua buah senapan buru yang digantung di tembok. Jun menelan salivanya. Berusaha untuk
“Nona, tenanglah. Dia tidak akan mati semudah itu. Tuan Jun hanya terlalu shock hingga tidak sadarkan diri.” Suara sesegukan yang memenuhi ruangan itu terhenti sejenak, berganti oleh bentakan kasar. “Siapa yang bisa menjamin dia tidak mati, hah?! Memangnya kau itu Tuhan? Bagaimana kalau semisalnya dia tersungkur terlalu keras lalu mengalami pendarahan dalam?!?! Kalau sampai Jun gē mati, kau juga harus mati!!” Kai tertohok keras. Dia menelan salivanya dalam diam. Tak berani menjawab atau menepis ucapan Sharon yang sedang sangat emosional itu. Meski ini bukan pertama kalinya ia menerima ancaman kematian dari gadis itu, tetap saja, rasanya sangat tidak enak. Sharon masih saja menangisi Jun yang belum siuman setelah pingsan untuk kedua kalinya. Lalu ia mulai merengek kesal kepada Kai yang diam di pojok ruangan layaknya sebuah patung manekin. “Mana dokternya, sih? Kau bilang sedang dalam perjalanan kesini, kenapa lama sekali?! Apa kau tidak bilang kalau p
Hari demi hari berlalu, berganti bulan. Tiba juga hari di mana acara fan meeting Jun diadakan. Para fans mengantri sejak pagi buta. Gedung tempat fanmeeting diadakan itu dibanjiri antusias penggemar Jun yang kebanyakan gadis-gadis belia. Beberapa jurnalis dan kameramen lokal serta mancanegara juga sudah menyebar di banyak titik, memastikan untuk menangkap potret dan momen terbaik. “Wang Jun!” Di ruangan ber-ac yang penuh baju itu, pria berwajah mungil rupawan menoleh setelah mendengar namanya dipanggil. “Iya, Kak!” “Kemarilah, aku mau mem-briefing-mu untuk sesi dua. Ada sedikit perubahan dari rundown kemarin setelah aku menyampaikan keluhanmu pada promotor soal jeda yang terlalu singkat.” Jun menatap MUA-nya yang masih memoles make up di wajah mulusnya yang tampak seperti boneka hidup. “Oh, oke, sebentar! Jiě jiě, maaf, bisa lebih cepat sedikit? Aku dipanggil.” Lelaki itu menyengir kuda memandang stylish-nya. Tinggi, tampan, berkarisma,
Raut wajah Sharon terlihat jelas mengharapkan berita baik. Kedua pupilnya membesar antusias. Namun Kai terlihat semakin muram saat memandang Nona Sharon. Mulutnya terkatup, meski ia terlihat ingin menjawab. “Kai, bagaimana? Ayah mengijinkan aku, kan?” Desak Sharon tak sabar. Lelaki muda itu menggelengkan kepalanya dengan raut pahit. Sharon melemas. Hilang sudah harapannya untuk bertemu hubbynya. * * * “AAAAAA!!!” Suara teriakan perempuan yang melengking di tengah kesunyian malam itu seolah mampu menggetarkan pondasi rumah megah bergaya kolonial itu. Secara serentak seluruh penghuni mansion itu terbangun. Terutama, Richard yang dengan wajah was-was berlari menuju kamar Sharon. Ia mengenali suara itu sebagai suara putri semata wayangnya. “Sharon! Ada apa? Apa yang terjadi?!” Richard terperangah. Sharon tengah berdiri di atas kusen jendela kamarnya yang daunnya terbuka lebar. Satu tangannya memegang sisi kanan kusen. Angin yang berhembus
“AKU TIDAK MAU TAHU! POKOKNYA AKU MAU KETEMU JUN GĒ!” Teriakan itu memenuhi di ruangan berukuran sedang dengan desain interior yang minimalis itu. Suara itu, suara siapa lagi kalau bukan Tuan Putri yang dimanjakan ayahnya—Wang Sharon. Barangkali di mansion ini hanya Sharon seorang yang mampu meneriaki Richard dengan semena-mena seperti itu Di sisi lain ruangan, Kai menelan salivanya melihat Sang Nona yang menghardik ayahnya dengan pandangan berapi-api tanpa gentar sedikitpun. Kedua ayah dan anak itu saling melempar tatapan sengit. Sama-sama keras kepala. Tidak ada yang mau mengalah. “AKU MAU BERTEMU DIA, YAH! IJINKAN AKU BERTEMU DIA!!” Gadis itu lagi-lagi merengek. Masih dengan suaranya yang sepertinya dikeluarkan menggunakan tenaga dalam. Jika tidak, bagaimana bisa keluar suara yang sangat keras dan sangat memekakan telinga dari kerongkongannya yang sekecil itu bisa? “Ayah bilang tidak, Wang Sharon. Kau bisa meminta apapun. Apapun selain pergi dari mansi
Kedua mata pria itu perlahan terbuka penuh setelah beberapa kali mengerjap. Kelopaknya membesar dan mengecil—menyesuaikan intensitas cahaya yang memasuki retinanya. Setelah pandangannya jelas, alam bawah sadarnya ikut aktif menganalisa sekitarnya. Sedetik, dua detik... Teeett!! Teeett! Alarm peringatan di otaknya menyala. Menyiarkan peringatan bahwa langit-langit berwarna putih tulang yang ia lihat saat ini sangat asing untuknya. Pria itu sontak bangun, mengubah posisinya menjadi duduk. Pergerakan tiba-tibanya itu membuat kepalanya pening– perasaan yang sama ketika ia habis minum-minum bersama teman-temannya. “Ahh...” dia meringis kesakitan. Sumpah, kepalanya benar-benar ngilu luar biasa. Dia juga tidak bisa mengingat kenapa ia bisa terbaring di kamar yang tidak ia kenali ini. Seingatnya, dia tidak habis minum alkohol... Ah, apa dia sudah mati? Dan ini adalah alam akhirat yang disebut-sebut oleh orang-orang? Kalau iya, kenapa... rasanya