Hari demi hari berlalu, berganti bulan. Tiba juga hari di mana acara fan meeting Jun diadakan. Para fans mengantri sejak pagi buta. Gedung tempat fanmeeting diadakan itu dibanjiri antusias penggemar Jun yang kebanyakan gadis-gadis belia.
Beberapa jurnalis dan kameramen lokal serta mancanegara juga sudah menyebar di banyak titik, memastikan untuk menangkap potret dan momen terbaik.
“Wang Jun!”
Di ruangan ber-ac yang penuh baju itu, pria berwajah mungil rupawan menoleh setelah mendengar namanya dipanggil.
“Iya, Kak!”
“Kemarilah, aku mau mem-briefing-mu untuk sesi dua. Ada sedikit perubahan dari rundown kemarin setelah aku menyampaikan keluhanmu pada promotor soal jeda yang terlalu singkat.”
Jun menatap MUA-nya yang masih memoles make up di wajah mulusnya yang tampak seperti boneka hidup.
“Oh, oke, sebentar! Jiě jiě, maaf, bisa lebih cepat sedikit? Aku dipanggil.” Lelaki itu menyengir kuda memandang stylish-nya.
Tinggi, tampan, berkarisma, bertubuh atletis. Deskripsi itu bahkan masih belum cukup untuk menggambarkan pesona dari seorang Wang Jun.
Aktor berdarah China itu bukan hanya memiliki visual yang enak dipandang, tapi memiliki kemampuan akting mumpuni yang berhasil membuatnya menerima gelar sebagai aktor dengan bayaran termahal per episodenya.
Sejak debutnya tiga tahun lalu, dia tak pernah sekalipun membintangi drama dengan rating buruk. Itu juga yang membuatnya diberi gelar “Raja Rating China .”
Meski baru berusia dua puluh empat tahun, kepopuleran pria yang kerap dijuluki sebagai magnet kaum hawa itu tidak kalah beken dengan aktor kondang yang sudah merintis karir puluhan tahun.
Bahkan kali ini pun ia sudah sukses membuktikan popularitas itu melalui acara fanmeeting dan tour-nya di sejumlah negara di Asia Tenggara.
Negara ketiga dalam list kunjungannya tak lain tak bukan adalah Indonesia. Tepatnya, ia sekarang berada di kota Jakarta yang merupakan ibukota dari negara yang menduduki peringkat keempat dengan populasi terbanyak di dunia itu.
Usai melakukan briefing untuk yang terakhir kali, Jun pamit ke toilet. Masih ada dua puluh menit lagi sebelum ia naik ke panggung, tapi pria itu bisa merasakan riuh tawa dan sorak sorai dari main hall.
Ia sudah tahu bahwa para penggemarnya sedang menonton bersama drama yang pernah ia lakoni. Itu adalah agenda pertama di rundown, di mana ia bisa mematangkan persiapannya di backstage.
Papan penanda toilet pria sudah terlihat dari tempatnya, hanya bersisa beberapa langkah lagi. Namun pria itu berhenti mengayunkan kakinya dan bergeming, menatap sekitar yang tiba-tiba terasa sunyi dan sepi.
Ia merasa heran sendiri.Tak ada satu staff pun yang lewat di sepanjang koridor dari arah ruangan tunggu menuju toilet. Hanya melihat ada beberapa orang berpakaian serba hitam yang sepertinya berasal dari perusahaan jasa bodyguard yang disewa oleh penyelenggara konser.
Kemana perginya orang-orangnya?
Jun sedikit merasa ragu dan tidak nyaman untuk meneruskan langkah. Namun kandung kemihnya yang sudah penuh tak bisa diajak berkompromi. Pemuda itu pun berjalan memasuki toilet. Tak lama setelahnya, seorang pria berpakaian kasual memasuki toilet. Ia menduga kalau itu adalah salah satu staff-nya.
Jun menghembuskan napas lega.
Setidaknya, bukan hanya dia satu-satunya disini.
Setelah selesai buang air kecil, ia segera merisleting celana. Baru saja ia akan menggenapkan langkah, punggungnya terasa lemas dan mati rasa oleh jarum yang tiba-tiba ditancapkan di area lehernya.
Pasokan oksigen mendadak lenyap di udara. Sekujur tubuhnya menjadi dingin.
Pelan tapi pasti, pandangannya berangsur gelap. Sebelum sempat menarik napas lagi, ia telah kehilangan kesadarannya.
* * *
“Hosh.. hosh...”
Kedua mata itu terbuka lebar. Ia mengedarkan pandangannya. Mendapati seorang gadis yang berkulit sangat pucat menatapnya berbinar-binar. Jun menegakkan tubuhnya dan berusaha melawan rasa pening yang menyerangnya.
Sekuat tenaga, ia mencoba menekan rasa cemas dan tidak nyaman dalam benaknya. Meski nada panik masih terdengar jelas saat ia menanyakan kepada gadis itu apakah ia mengenalnya.
Sampai akhirnya gadis itu memanggilnya dengan sebutan “suami.” Saat itu tali kewarasannya yang sudah meregang jauh putus sudah. Ya, gadis yang nampak seperti remaja belasan tahun ini memanggilnya suami di pertemuan pertama mereka.
Lelaki itu langsung berjengit mundur. Ia menarik diri, menjauh dari perempuan itu. Tapi gadis itu justru mendekatinya dan meraih kedua tangannya. Memegangnya dengan erat.
“Mulai hari ini, kita resmi menjadi suami-istri!”
“TIDAK!”
Jun berteriak keras. Dia menghempas tangan gadis tak dikenalnya itu dan segera turun dari ranjang. Wajahnya shock berat.
Melihat gadis itu justru melempar pandangan inosen, membuatnya semakin risau. Ia yakin gadis ini tak beda jauh dengan gadis-gadis gila lain yang mengaku penggemarnya. Bahkan, ia mungkin lebih gila. Jika tidak, bagaimana bisa gadis sekecil ini menculiknya ke tempat ini tanpa disadari siapapun?
Dengan tatapan ngeri—ia pun memaksakan diri untuk berlari meninggalkan ruangan. Pintu kamar dibantingnya dengan pandangan yang berkunang-kunang.
Langkahnya terseok. Ia masih berupaya keras untuk kabur meski tubuhnya seperti tidak mengijinkannya pergi. Tangannya memegang tembok sebagai penuntun arah.
Telinganya mendengar suara langkah seseorang berlari menyusulnya. Ia langsung menyeret kakinya dengan lebih cepat. Meski pandangannya semakin tidak jelas saja.
“Berhenti disana! Suamiku!”
Jun berlari makin kencang Ia sudah tidak mempedulikan lagi ke mana kakinya melangkah. Yang ia tahu hanya menghindar dari suara lembut yang seperti sihir jebakan.
“Jun gē! Tolong berhenti! Kamu belum boleh belari...”
Gedubrakk!
“Argh!”
Pria itu terjatuh terjerembab setelah engkel kakinya mengeluarkan bunyi seperti ranting tak sengaja terinjak. Ia langsung mengerang keras. Napasnya terengah-engah efek baru saja berlari. Wajahnya merah. Pusing yang menderanya makin hebat.
Rasa-rasanya seperti ia akan pingsan lagi...
Tepat sebelum ia kembali disambut kegelapan tanpa ujung, ia melihat siluet seorang gadis mendekatinya. Gestur tubuhnya terlihat panik. Suara tangisan juga samar-samar masuk ke pendengarannya.
“Jun gē! Maafkan aku! Maaf! Semua gara-gara aku! Hiks. Kumohon, jangan mati!”
Lalu, suara itu menghilang dan semua jadi sunyi. Dunia mulai pekat diisi oleh warna hitam yang bisu. Sepi...
Jun mengepalkan tangan, Sebelum kesadarannya benar-benar lenyap ia membatin.
Alangkah baiknya jika ketika ini berakhir, ia benar-benar terbangun di alam akhirat. Bukan di rumah mewah—bukan pula di dunia yang dia tahu yang sebelumnya...
“Nona, tenanglah. Dia tidak akan mati semudah itu. Tuan Jun hanya terlalu shock hingga tidak sadarkan diri.” Suara sesegukan yang memenuhi ruangan itu terhenti sejenak, berganti oleh bentakan kasar. “Siapa yang bisa menjamin dia tidak mati, hah?! Memangnya kau itu Tuhan? Bagaimana kalau semisalnya dia tersungkur terlalu keras lalu mengalami pendarahan dalam?!?! Kalau sampai Jun gē mati, kau juga harus mati!!” Kai tertohok keras. Dia menelan salivanya dalam diam. Tak berani menjawab atau menepis ucapan Sharon yang sedang sangat emosional itu. Meski ini bukan pertama kalinya ia menerima ancaman kematian dari gadis itu, tetap saja, rasanya sangat tidak enak. Sharon masih saja menangisi Jun yang belum siuman setelah pingsan untuk kedua kalinya. Lalu ia mulai merengek kesal kepada Kai yang diam di pojok ruangan layaknya sebuah patung manekin. “Mana dokternya, sih? Kau bilang sedang dalam perjalanan kesini, kenapa lama sekali?! Apa kau tidak bilang kalau p
Berbeda dari ruangan-ruangan lain yang dilihatnya—yang penuh dengan warna putih bagaikan sedang berada di sebuah istana negeri dongeng, ruangan yang ia masuki kini justru bernuansa gelap. Temboknya dicat berwarna hitam. Tidak hanya itu, nyaris semua furnitur dan barang-barang disini berwarna senada. Jika harus memilih satu kata untuk mendefiniskan apa yang dilihatnya saat ini, Jun akan memilih kata ‘sederhana.’ Patut diakui, ruangan ini benar-benar telihat seperti berada di dunia lain. Seakan tempat ini sengaja dibuat sangat kontras dan berbeda. Sama sekali tidak ada keglamouran dan kemewahan. Hanya ada dua buah sofa panjang yang berhadapan, sebuah meja, dan sebuah sofa tunggal yang berada diantara kedua sofa tersebut. Ada lemari yang kacanya terlihat gelap dari luar, entah menyimpan barang apa; sebuah lukisan pemandangan biasa yang sama sekali tidak terlihat mahal; dan dua buah senapan buru yang digantung di tembok. Jun menelan salivanya. Berusaha untuk
Seorang pria berusia 40 tahunan memasuki ruangan. Garis wajahnya sangar dan serius. Belum lagi bekas luka memanjang terlihat di pipi dan keningnya semakin meninggalkan kesan menakutkan. Penampilannya sebelas dua belas dengan orang yang ada di depannya sekarang. Hanya saja, caranya berpakaiannya yang terlihat lebih rapih seperti menegaskan posisinya sebagai seorang bawahan. “Silahkan, Tuan,” pria itu meletakkan selembar kertas di hadapan mereka. Dia tidak langsung keluar ruangan. Justru malah menoleh dan memandangi Jun tepat di mata. Tajam dan mengintimidasi. Pemuda itu seketika tersentak. Tatapannya sukses membuat Jun membeku, bertanya-tanya, dosa besar apa yang baru saja ia lakukan. “Perkenalkan, saya adalah Huang Arthur. Saya adalah mantan ajudan di Organisasi Mafia ‘Triangle’. Saya sudah pensiun dan beralih menjadi tangan kanan Tuan Richard.” Tunggu… tunggu sebentar, apa tadi katanya? M-mafia? Maksudnya sejenis gangster… yang hanya pernah dilihat Jun
-Hari pertama- “JUN GĒ!” Suara cempreng perempuan itu membuka pagi harinya yang suram. Belum apa-apa Wang Jun sudah merasa kelelahan dan ingin menyerah. Ia masih berharap semua ini tidak nyata. Tak lama, terdengar suara langkah yang tergesa-gesa. BRAK! Pintu kamar itu dibanting kencang. Muncullah sosok perempuan yang mengenakan gaun berwarna merah muda dengan renda yang heboh. Belum lagi rambutnya yang terlihat sengaja di-curly. Sebuah hair pin ber-hiaskan tiga bunga pun terpasang di kepalanya. Penampilannya boleh terlihat feminin, tapi tidak dengan tingkahnya. Gadis yang terlalu excited itu sudah duduk di tepi ranjang dalam satu kejapan mata. Jun yang baru saja bangun seketika mendudukan diri. “PAGIIIII!!” Wajahnya berbinar dengan senyum lebar memamerkan barisan giginya.Perempuan yang tidak peka itu terlihat terlalu ceria, seakan tak bisa melihat keputusasaan Jun dan bagaimana kantong matanya menghitam dalam satu malam saja. Pria itu nyaris ti
Kedua mata pria itu perlahan terbuka penuh setelah beberapa kali mengerjap. Kelopaknya membesar dan mengecil—menyesuaikan intensitas cahaya yang memasuki retinanya. Setelah pandangannya jelas, alam bawah sadarnya ikut aktif menganalisa sekitarnya. Sedetik, dua detik... Teeett!! Teeett! Alarm peringatan di otaknya menyala. Menyiarkan peringatan bahwa langit-langit berwarna putih tulang yang ia lihat saat ini sangat asing untuknya. Pria itu sontak bangun, mengubah posisinya menjadi duduk. Pergerakan tiba-tibanya itu membuat kepalanya pening– perasaan yang sama ketika ia habis minum-minum bersama teman-temannya. “Ahh...” dia meringis kesakitan. Sumpah, kepalanya benar-benar ngilu luar biasa. Dia juga tidak bisa mengingat kenapa ia bisa terbaring di kamar yang tidak ia kenali ini. Seingatnya, dia tidak habis minum alkohol... Ah, apa dia sudah mati? Dan ini adalah alam akhirat yang disebut-sebut oleh orang-orang? Kalau iya, kenapa... rasanya
“AKU TIDAK MAU TAHU! POKOKNYA AKU MAU KETEMU JUN GĒ!” Teriakan itu memenuhi di ruangan berukuran sedang dengan desain interior yang minimalis itu. Suara itu, suara siapa lagi kalau bukan Tuan Putri yang dimanjakan ayahnya—Wang Sharon. Barangkali di mansion ini hanya Sharon seorang yang mampu meneriaki Richard dengan semena-mena seperti itu Di sisi lain ruangan, Kai menelan salivanya melihat Sang Nona yang menghardik ayahnya dengan pandangan berapi-api tanpa gentar sedikitpun. Kedua ayah dan anak itu saling melempar tatapan sengit. Sama-sama keras kepala. Tidak ada yang mau mengalah. “AKU MAU BERTEMU DIA, YAH! IJINKAN AKU BERTEMU DIA!!” Gadis itu lagi-lagi merengek. Masih dengan suaranya yang sepertinya dikeluarkan menggunakan tenaga dalam. Jika tidak, bagaimana bisa keluar suara yang sangat keras dan sangat memekakan telinga dari kerongkongannya yang sekecil itu bisa? “Ayah bilang tidak, Wang Sharon. Kau bisa meminta apapun. Apapun selain pergi dari mansi
Raut wajah Sharon terlihat jelas mengharapkan berita baik. Kedua pupilnya membesar antusias. Namun Kai terlihat semakin muram saat memandang Nona Sharon. Mulutnya terkatup, meski ia terlihat ingin menjawab. “Kai, bagaimana? Ayah mengijinkan aku, kan?” Desak Sharon tak sabar. Lelaki muda itu menggelengkan kepalanya dengan raut pahit. Sharon melemas. Hilang sudah harapannya untuk bertemu hubbynya. * * * “AAAAAA!!!” Suara teriakan perempuan yang melengking di tengah kesunyian malam itu seolah mampu menggetarkan pondasi rumah megah bergaya kolonial itu. Secara serentak seluruh penghuni mansion itu terbangun. Terutama, Richard yang dengan wajah was-was berlari menuju kamar Sharon. Ia mengenali suara itu sebagai suara putri semata wayangnya. “Sharon! Ada apa? Apa yang terjadi?!” Richard terperangah. Sharon tengah berdiri di atas kusen jendela kamarnya yang daunnya terbuka lebar. Satu tangannya memegang sisi kanan kusen. Angin yang berhembus
-Hari pertama- “JUN GĒ!” Suara cempreng perempuan itu membuka pagi harinya yang suram. Belum apa-apa Wang Jun sudah merasa kelelahan dan ingin menyerah. Ia masih berharap semua ini tidak nyata. Tak lama, terdengar suara langkah yang tergesa-gesa. BRAK! Pintu kamar itu dibanting kencang. Muncullah sosok perempuan yang mengenakan gaun berwarna merah muda dengan renda yang heboh. Belum lagi rambutnya yang terlihat sengaja di-curly. Sebuah hair pin ber-hiaskan tiga bunga pun terpasang di kepalanya. Penampilannya boleh terlihat feminin, tapi tidak dengan tingkahnya. Gadis yang terlalu excited itu sudah duduk di tepi ranjang dalam satu kejapan mata. Jun yang baru saja bangun seketika mendudukan diri. “PAGIIIII!!” Wajahnya berbinar dengan senyum lebar memamerkan barisan giginya.Perempuan yang tidak peka itu terlihat terlalu ceria, seakan tak bisa melihat keputusasaan Jun dan bagaimana kantong matanya menghitam dalam satu malam saja. Pria itu nyaris ti
Seorang pria berusia 40 tahunan memasuki ruangan. Garis wajahnya sangar dan serius. Belum lagi bekas luka memanjang terlihat di pipi dan keningnya semakin meninggalkan kesan menakutkan. Penampilannya sebelas dua belas dengan orang yang ada di depannya sekarang. Hanya saja, caranya berpakaiannya yang terlihat lebih rapih seperti menegaskan posisinya sebagai seorang bawahan. “Silahkan, Tuan,” pria itu meletakkan selembar kertas di hadapan mereka. Dia tidak langsung keluar ruangan. Justru malah menoleh dan memandangi Jun tepat di mata. Tajam dan mengintimidasi. Pemuda itu seketika tersentak. Tatapannya sukses membuat Jun membeku, bertanya-tanya, dosa besar apa yang baru saja ia lakukan. “Perkenalkan, saya adalah Huang Arthur. Saya adalah mantan ajudan di Organisasi Mafia ‘Triangle’. Saya sudah pensiun dan beralih menjadi tangan kanan Tuan Richard.” Tunggu… tunggu sebentar, apa tadi katanya? M-mafia? Maksudnya sejenis gangster… yang hanya pernah dilihat Jun
Berbeda dari ruangan-ruangan lain yang dilihatnya—yang penuh dengan warna putih bagaikan sedang berada di sebuah istana negeri dongeng, ruangan yang ia masuki kini justru bernuansa gelap. Temboknya dicat berwarna hitam. Tidak hanya itu, nyaris semua furnitur dan barang-barang disini berwarna senada. Jika harus memilih satu kata untuk mendefiniskan apa yang dilihatnya saat ini, Jun akan memilih kata ‘sederhana.’ Patut diakui, ruangan ini benar-benar telihat seperti berada di dunia lain. Seakan tempat ini sengaja dibuat sangat kontras dan berbeda. Sama sekali tidak ada keglamouran dan kemewahan. Hanya ada dua buah sofa panjang yang berhadapan, sebuah meja, dan sebuah sofa tunggal yang berada diantara kedua sofa tersebut. Ada lemari yang kacanya terlihat gelap dari luar, entah menyimpan barang apa; sebuah lukisan pemandangan biasa yang sama sekali tidak terlihat mahal; dan dua buah senapan buru yang digantung di tembok. Jun menelan salivanya. Berusaha untuk
“Nona, tenanglah. Dia tidak akan mati semudah itu. Tuan Jun hanya terlalu shock hingga tidak sadarkan diri.” Suara sesegukan yang memenuhi ruangan itu terhenti sejenak, berganti oleh bentakan kasar. “Siapa yang bisa menjamin dia tidak mati, hah?! Memangnya kau itu Tuhan? Bagaimana kalau semisalnya dia tersungkur terlalu keras lalu mengalami pendarahan dalam?!?! Kalau sampai Jun gē mati, kau juga harus mati!!” Kai tertohok keras. Dia menelan salivanya dalam diam. Tak berani menjawab atau menepis ucapan Sharon yang sedang sangat emosional itu. Meski ini bukan pertama kalinya ia menerima ancaman kematian dari gadis itu, tetap saja, rasanya sangat tidak enak. Sharon masih saja menangisi Jun yang belum siuman setelah pingsan untuk kedua kalinya. Lalu ia mulai merengek kesal kepada Kai yang diam di pojok ruangan layaknya sebuah patung manekin. “Mana dokternya, sih? Kau bilang sedang dalam perjalanan kesini, kenapa lama sekali?! Apa kau tidak bilang kalau p
Hari demi hari berlalu, berganti bulan. Tiba juga hari di mana acara fan meeting Jun diadakan. Para fans mengantri sejak pagi buta. Gedung tempat fanmeeting diadakan itu dibanjiri antusias penggemar Jun yang kebanyakan gadis-gadis belia. Beberapa jurnalis dan kameramen lokal serta mancanegara juga sudah menyebar di banyak titik, memastikan untuk menangkap potret dan momen terbaik. “Wang Jun!” Di ruangan ber-ac yang penuh baju itu, pria berwajah mungil rupawan menoleh setelah mendengar namanya dipanggil. “Iya, Kak!” “Kemarilah, aku mau mem-briefing-mu untuk sesi dua. Ada sedikit perubahan dari rundown kemarin setelah aku menyampaikan keluhanmu pada promotor soal jeda yang terlalu singkat.” Jun menatap MUA-nya yang masih memoles make up di wajah mulusnya yang tampak seperti boneka hidup. “Oh, oke, sebentar! Jiě jiě, maaf, bisa lebih cepat sedikit? Aku dipanggil.” Lelaki itu menyengir kuda memandang stylish-nya. Tinggi, tampan, berkarisma,
Raut wajah Sharon terlihat jelas mengharapkan berita baik. Kedua pupilnya membesar antusias. Namun Kai terlihat semakin muram saat memandang Nona Sharon. Mulutnya terkatup, meski ia terlihat ingin menjawab. “Kai, bagaimana? Ayah mengijinkan aku, kan?” Desak Sharon tak sabar. Lelaki muda itu menggelengkan kepalanya dengan raut pahit. Sharon melemas. Hilang sudah harapannya untuk bertemu hubbynya. * * * “AAAAAA!!!” Suara teriakan perempuan yang melengking di tengah kesunyian malam itu seolah mampu menggetarkan pondasi rumah megah bergaya kolonial itu. Secara serentak seluruh penghuni mansion itu terbangun. Terutama, Richard yang dengan wajah was-was berlari menuju kamar Sharon. Ia mengenali suara itu sebagai suara putri semata wayangnya. “Sharon! Ada apa? Apa yang terjadi?!” Richard terperangah. Sharon tengah berdiri di atas kusen jendela kamarnya yang daunnya terbuka lebar. Satu tangannya memegang sisi kanan kusen. Angin yang berhembus
“AKU TIDAK MAU TAHU! POKOKNYA AKU MAU KETEMU JUN GĒ!” Teriakan itu memenuhi di ruangan berukuran sedang dengan desain interior yang minimalis itu. Suara itu, suara siapa lagi kalau bukan Tuan Putri yang dimanjakan ayahnya—Wang Sharon. Barangkali di mansion ini hanya Sharon seorang yang mampu meneriaki Richard dengan semena-mena seperti itu Di sisi lain ruangan, Kai menelan salivanya melihat Sang Nona yang menghardik ayahnya dengan pandangan berapi-api tanpa gentar sedikitpun. Kedua ayah dan anak itu saling melempar tatapan sengit. Sama-sama keras kepala. Tidak ada yang mau mengalah. “AKU MAU BERTEMU DIA, YAH! IJINKAN AKU BERTEMU DIA!!” Gadis itu lagi-lagi merengek. Masih dengan suaranya yang sepertinya dikeluarkan menggunakan tenaga dalam. Jika tidak, bagaimana bisa keluar suara yang sangat keras dan sangat memekakan telinga dari kerongkongannya yang sekecil itu bisa? “Ayah bilang tidak, Wang Sharon. Kau bisa meminta apapun. Apapun selain pergi dari mansi
Kedua mata pria itu perlahan terbuka penuh setelah beberapa kali mengerjap. Kelopaknya membesar dan mengecil—menyesuaikan intensitas cahaya yang memasuki retinanya. Setelah pandangannya jelas, alam bawah sadarnya ikut aktif menganalisa sekitarnya. Sedetik, dua detik... Teeett!! Teeett! Alarm peringatan di otaknya menyala. Menyiarkan peringatan bahwa langit-langit berwarna putih tulang yang ia lihat saat ini sangat asing untuknya. Pria itu sontak bangun, mengubah posisinya menjadi duduk. Pergerakan tiba-tibanya itu membuat kepalanya pening– perasaan yang sama ketika ia habis minum-minum bersama teman-temannya. “Ahh...” dia meringis kesakitan. Sumpah, kepalanya benar-benar ngilu luar biasa. Dia juga tidak bisa mengingat kenapa ia bisa terbaring di kamar yang tidak ia kenali ini. Seingatnya, dia tidak habis minum alkohol... Ah, apa dia sudah mati? Dan ini adalah alam akhirat yang disebut-sebut oleh orang-orang? Kalau iya, kenapa... rasanya