Berbeda dari ruangan-ruangan lain yang dilihatnya—yang penuh dengan warna putih bagaikan sedang berada di sebuah istana negeri dongeng, ruangan yang ia masuki kini justru bernuansa gelap.
Temboknya dicat berwarna hitam. Tidak hanya itu, nyaris semua furnitur dan barang-barang disini berwarna senada.
Jika harus memilih satu kata untuk mendefiniskan apa yang dilihatnya saat ini, Jun akan memilih kata ‘sederhana.’ Patut diakui, ruangan ini benar-benar telihat seperti berada di dunia lain.
Seakan tempat ini sengaja dibuat sangat kontras dan berbeda. Sama sekali tidak ada keglamouran dan kemewahan. Hanya ada dua buah sofa panjang yang berhadapan, sebuah meja, dan sebuah sofa tunggal yang berada diantara kedua sofa tersebut.
Ada lemari yang kacanya terlihat gelap dari luar, entah menyimpan barang apa; sebuah lukisan pemandangan biasa yang sama sekali tidak terlihat mahal; dan dua buah senapan buru yang digantung di tembok.
Jun menelan salivanya. Berusaha untuk melenyapkan rasa takut yang sempat menguasainya.
“Jadi,” pemuda itu memungkas ucapannya sendiri. Ia menyerongkan tubuhnya yang duduk di sofa hingga menatap lurus pria tua yang tidak dia ketahui identitasnya itu.
“Sebenarnya kau ini siapa? Kenapa aku bisa ada di rumahmu?”
Pria itu terkekeh dalam sesaat sebelum mengangkat wajahnya. Nampak bibirnya menyunggingkan seulas senyum culas.
Bulu halus Jun berdiri. Merinding. Sumpah, dia tidak bohong, pria itu barusan terlihat seperti pembunuh kejam yang sering dilihatnya di drama atau film thriller.
Sebenarnya siapa pak tua ini, sih? Pria itu gregetan sendiri. Dia terus melihat sekelilingnya dengan waspada. Mencoba mencari letak kamera yang mungkin saja disembunyikan entah dimana.
Ya, ini pasti prank! Sudah pasti. Tidak mungkin ini kenyataan. Bagaimana bisa? Dia datang kesini untuk mengadakan fanmeeting, untuk bertemu penggemar-penggemarnya.
Jadi, bagaimana bisa dia malah berakhir di tempat asing begini jika bukan karena ulah agensinya yang sengaja mengatur ini semua?
“Apa yang kau cari?” Pria itu bertanya dengan nada yang sama sekali tidak ramah.
“Apalagi? Tentu saja kamera! Pak, jujur aja, ini adalah sebuah prank, kan?”
Jun masih sibuk menoleh kesana kemari, sebelum akhirnya berteriak keras.
“Kalian semua, keluarlah! Sudah ketahuan. Kalian gagal membodohiku! Ayo, berhenti bercada. Ini tidak lucu. Penggemarku akan marah jika melihatku dipermainkan lebih dari ini!”
“Berisik! Diamlah. Apa kau sudah gila?!”
“Gi-gila katamu? Hah. Kau pasti bisa mati jika salah seorang pengemarku mendengar ucapanmu barusan!”
Pria tua yang tidak dia ketahui namanya tersenyum mengejek. “Penggemar apanya? Disini tidak ada penggemarmu, jadi tidak usah berandai-andai yang tidak-tidak!!”
Jun memandangi wajah pria itu yang kemudian tiba-tiba berubah termenung. “Ya, secara teknis memang ada. Tapi, itu tidak akan berlangsung lama.”
Ia kemudian menancapkan padangannya kepada Jun yang bahkan tak mau repot-repot memikirkan apa maksud ucapan lelaki itu barusan.
“Sudah cukup omong kosongnya. Sekarang, dengarkan aku baik-baik!”
Lelaki tua itu kembali memasang wajah garangnya yang membuat Jun bergidik. Apa pria ini berkepribadian ganda? Dia mudah sekali mengubah ekspresi wajahnya dalam waktu singkat.
“Siapa yang duluan beromong kosong? Mohon maaf tapi aku sudah bertanya tadi, sebenarnya anda ini siapa, Pak Tua?!”
Jun menggertakan giginya kesal. Meski merasa sedikit takut, ia masih percaya pada feeling-nya yang mengatakan kalau ini semua hanya prank dan pria ini adalah seorang aktor yang dibayar untuk mengelabuinya.
Apa ini tujuan sebenarnya dia dibawa ke Indonesia? Untuk shooting acara variety show?
“Seperti yang sudah kau duga. Aku adalah penculikmu dan kau adalah sanderaku untuk saat ini!”
Jun tidak terkejut mendengarnya. Ekspresi wajahnya bahkan tidak berubah. Bola matanya tetap berada di tempat yang sama. Datar.
“Oh, ya?” dia bertanya malas.
“Kau masih belum mempercayaiku?”
Lelaki berusia dua puluh empat itu menarik senyum pesimis dan menggeleng teratur.
Lagipula ia tidak memiliki alasan untuk percaya. Ini sama sekali jauh berbeda dari skenario penculikan yang diketahuinya. Tidak ada tali, tidak ada penutup mulut, ia dibiarkan bergerak bebas. Apa itu masuk akal?
Jika ia memang diculik kenapa harus ada dokter yang memeriksa kondisinya? Akan lebih masuk akal jika ia disiksa dan diancam—bukannya diperlakukan selayaknya tamu. Bahkan sekarang ia malah diajak duduk dan berbicara. Bukankah sudah jelas ini tipuan?
“Baiklah, terserah kalau begitu,” ucap pria itu dengan nada acuh yang sialnya terdengar serius.
Jun jadi mengernyitkan kening.
Bukan seperti ini harusnya! Bukan begini acara variety show bekerja. Seharusnya, lelaki ini meyakinkan dia bukannya malah pasrah.
“Apanya yang terserah?!” Jun mulai menghardik panik.
Sekali lagi ia meraba-raba sekitarnya dengan kedua mata yang terbuka lebar. Dia masih berusaha keras mencari kamera yang diyakininya tersembunyi di suatu tempat.
“Astaga, aku masih tidak percaya kalau putriku tergila-gila dengan pria bodoh sepertimu. Kau masih belum mengerti? Kau benar-benar sudah diculik.”
“Tidak mungkin!!”
“Itu sudah terjadi. Lagipula apa ada yang tidak mungkin di dunia ini?”
“Tidak! Jangan bohong! Aku tidak mungkin diculik!!”
Jun berdiri dan mulai mengelilingi ruangan dengan tangan yang mengobrak-abrik benda di sekelilingnya. Sementara pria tua si pemilik ruangan itu hanya duduk manis dan tersenyum memandanginya.
“Lihat, kan? Sekarang sudah percaya?”
Jun tercengang. Dia sama sekali tidak menemukan satu benda elektronik pun di ruangan itu. Bahkan gadget-pun tidak ada.
Realita terasa menghantamnya dengan keras. Tubuhnya perlahan luruh ke lantai dengan lunglai.
Kepalanya kembali mereka ulang adegan demi adegan ketika ia sampai di tempat ini.
Langit-langit yang tinggi dan berwarna putih seperti kubah. Kamar seorang gadis yang rapih dan luas. Seorang anak perempuan aneh. Lorong-lorong bercabang yang memusingkan kepala. Sampai ke kemunculan seorang dokter yang berbicara dengan bahasa yang tidak dipahaminya dan lelaki di hadapannya ini.
Lelaki yang dipanggil ‘ayah’ oleh gadis yang mencuri ciumannya di pertemuan pertama mereka.
Ah, gadis aneh itu … ya! Sepertinya ini ada hubungannya dengan dia.
“Apa kau menculikku karena perempuan itu? Dia …” Jun menelan ludah sebentar.
Suara gadis itu yang memanggilnya “suami” dengan penuh semangat kembali terdengar di telinganya. Ia menelan ludah merasa ngeri.
Jun cukup yakin kalau ia tidak pernah bertemu gadis itu sebelumnya dan ia pun percaya kalau mereka tidak pernah menjalani upacara pernikahan di kehidupan yang ini. Jadi, hanya ada satu alasan kenapa gadis itu berbicara seperti itu.
“…dia itu putrimu, dan dia salah satu penggemarku, apa benar begitu?” Jun menuntaskan perkataannya sembari berharap lelaki ini akan menepis hipotesisnya itu.
Bukan bantahan, malah suara kekehan berat dan panjang yang menyambut pertanyaan Jun. Pria muda itu seketika makin merinding.
Menurutnya, tawa itu tidak bisa diterjemahkan sebagai sesuatu yang positif. Sebaliknya, ia merasa seolah harus mempersiapkan untuk jawaban terburuk yang bisa didapatnya.
“Ternyata kau tidak sebodoh itu, ya. Wajahmu juga lumayan tampan. Pantas saja Sharon sangat menyukaimu,” pria tua itu tampak menelusuri fitur wajah Jun dengan teliti. Terlihat tidak terusik meski wajah Jun sudah pucat dan tanpa senyum sama sekali.
“A-apa yang kalian inginkan dariku?”
“Nah, akhirnya kau bertanya juga. Sekarang waktunya kita berbisnis.”
Pria berpostur tinggi besar itu mengulum bibir. Jun menyadari tatapannya tidak sedang mengarah padanya lagi. Melainkan menatap ke arah pintu yang sedari tadi tertutup.
Begitu ia selesai bicara, pintu itu langsung terbuka dari luar.
Jun menutup kedua wajahnya frustasi, jika ia bisa memilih, ia berharap bisa pingsan lagi untuk ketiga kalinya.
Seorang pria berusia 40 tahunan memasuki ruangan. Garis wajahnya sangar dan serius. Belum lagi bekas luka memanjang terlihat di pipi dan keningnya semakin meninggalkan kesan menakutkan. Penampilannya sebelas dua belas dengan orang yang ada di depannya sekarang. Hanya saja, caranya berpakaiannya yang terlihat lebih rapih seperti menegaskan posisinya sebagai seorang bawahan. “Silahkan, Tuan,” pria itu meletakkan selembar kertas di hadapan mereka. Dia tidak langsung keluar ruangan. Justru malah menoleh dan memandangi Jun tepat di mata. Tajam dan mengintimidasi. Pemuda itu seketika tersentak. Tatapannya sukses membuat Jun membeku, bertanya-tanya, dosa besar apa yang baru saja ia lakukan. “Perkenalkan, saya adalah Huang Arthur. Saya adalah mantan ajudan di Organisasi Mafia ‘Triangle’. Saya sudah pensiun dan beralih menjadi tangan kanan Tuan Richard.” Tunggu… tunggu sebentar, apa tadi katanya? M-mafia? Maksudnya sejenis gangster… yang hanya pernah dilihat Jun
-Hari pertama- “JUN GĒ!” Suara cempreng perempuan itu membuka pagi harinya yang suram. Belum apa-apa Wang Jun sudah merasa kelelahan dan ingin menyerah. Ia masih berharap semua ini tidak nyata. Tak lama, terdengar suara langkah yang tergesa-gesa. BRAK! Pintu kamar itu dibanting kencang. Muncullah sosok perempuan yang mengenakan gaun berwarna merah muda dengan renda yang heboh. Belum lagi rambutnya yang terlihat sengaja di-curly. Sebuah hair pin ber-hiaskan tiga bunga pun terpasang di kepalanya. Penampilannya boleh terlihat feminin, tapi tidak dengan tingkahnya. Gadis yang terlalu excited itu sudah duduk di tepi ranjang dalam satu kejapan mata. Jun yang baru saja bangun seketika mendudukan diri. “PAGIIIII!!” Wajahnya berbinar dengan senyum lebar memamerkan barisan giginya.Perempuan yang tidak peka itu terlihat terlalu ceria, seakan tak bisa melihat keputusasaan Jun dan bagaimana kantong matanya menghitam dalam satu malam saja. Pria itu nyaris ti
Kedua mata pria itu perlahan terbuka penuh setelah beberapa kali mengerjap. Kelopaknya membesar dan mengecil—menyesuaikan intensitas cahaya yang memasuki retinanya. Setelah pandangannya jelas, alam bawah sadarnya ikut aktif menganalisa sekitarnya. Sedetik, dua detik... Teeett!! Teeett! Alarm peringatan di otaknya menyala. Menyiarkan peringatan bahwa langit-langit berwarna putih tulang yang ia lihat saat ini sangat asing untuknya. Pria itu sontak bangun, mengubah posisinya menjadi duduk. Pergerakan tiba-tibanya itu membuat kepalanya pening– perasaan yang sama ketika ia habis minum-minum bersama teman-temannya. “Ahh...” dia meringis kesakitan. Sumpah, kepalanya benar-benar ngilu luar biasa. Dia juga tidak bisa mengingat kenapa ia bisa terbaring di kamar yang tidak ia kenali ini. Seingatnya, dia tidak habis minum alkohol... Ah, apa dia sudah mati? Dan ini adalah alam akhirat yang disebut-sebut oleh orang-orang? Kalau iya, kenapa... rasanya
“AKU TIDAK MAU TAHU! POKOKNYA AKU MAU KETEMU JUN GĒ!” Teriakan itu memenuhi di ruangan berukuran sedang dengan desain interior yang minimalis itu. Suara itu, suara siapa lagi kalau bukan Tuan Putri yang dimanjakan ayahnya—Wang Sharon. Barangkali di mansion ini hanya Sharon seorang yang mampu meneriaki Richard dengan semena-mena seperti itu Di sisi lain ruangan, Kai menelan salivanya melihat Sang Nona yang menghardik ayahnya dengan pandangan berapi-api tanpa gentar sedikitpun. Kedua ayah dan anak itu saling melempar tatapan sengit. Sama-sama keras kepala. Tidak ada yang mau mengalah. “AKU MAU BERTEMU DIA, YAH! IJINKAN AKU BERTEMU DIA!!” Gadis itu lagi-lagi merengek. Masih dengan suaranya yang sepertinya dikeluarkan menggunakan tenaga dalam. Jika tidak, bagaimana bisa keluar suara yang sangat keras dan sangat memekakan telinga dari kerongkongannya yang sekecil itu bisa? “Ayah bilang tidak, Wang Sharon. Kau bisa meminta apapun. Apapun selain pergi dari mansi
Raut wajah Sharon terlihat jelas mengharapkan berita baik. Kedua pupilnya membesar antusias. Namun Kai terlihat semakin muram saat memandang Nona Sharon. Mulutnya terkatup, meski ia terlihat ingin menjawab. “Kai, bagaimana? Ayah mengijinkan aku, kan?” Desak Sharon tak sabar. Lelaki muda itu menggelengkan kepalanya dengan raut pahit. Sharon melemas. Hilang sudah harapannya untuk bertemu hubbynya. * * * “AAAAAA!!!” Suara teriakan perempuan yang melengking di tengah kesunyian malam itu seolah mampu menggetarkan pondasi rumah megah bergaya kolonial itu. Secara serentak seluruh penghuni mansion itu terbangun. Terutama, Richard yang dengan wajah was-was berlari menuju kamar Sharon. Ia mengenali suara itu sebagai suara putri semata wayangnya. “Sharon! Ada apa? Apa yang terjadi?!” Richard terperangah. Sharon tengah berdiri di atas kusen jendela kamarnya yang daunnya terbuka lebar. Satu tangannya memegang sisi kanan kusen. Angin yang berhembus
Hari demi hari berlalu, berganti bulan. Tiba juga hari di mana acara fan meeting Jun diadakan. Para fans mengantri sejak pagi buta. Gedung tempat fanmeeting diadakan itu dibanjiri antusias penggemar Jun yang kebanyakan gadis-gadis belia. Beberapa jurnalis dan kameramen lokal serta mancanegara juga sudah menyebar di banyak titik, memastikan untuk menangkap potret dan momen terbaik. “Wang Jun!” Di ruangan ber-ac yang penuh baju itu, pria berwajah mungil rupawan menoleh setelah mendengar namanya dipanggil. “Iya, Kak!” “Kemarilah, aku mau mem-briefing-mu untuk sesi dua. Ada sedikit perubahan dari rundown kemarin setelah aku menyampaikan keluhanmu pada promotor soal jeda yang terlalu singkat.” Jun menatap MUA-nya yang masih memoles make up di wajah mulusnya yang tampak seperti boneka hidup. “Oh, oke, sebentar! Jiě jiě, maaf, bisa lebih cepat sedikit? Aku dipanggil.” Lelaki itu menyengir kuda memandang stylish-nya. Tinggi, tampan, berkarisma,
“Nona, tenanglah. Dia tidak akan mati semudah itu. Tuan Jun hanya terlalu shock hingga tidak sadarkan diri.” Suara sesegukan yang memenuhi ruangan itu terhenti sejenak, berganti oleh bentakan kasar. “Siapa yang bisa menjamin dia tidak mati, hah?! Memangnya kau itu Tuhan? Bagaimana kalau semisalnya dia tersungkur terlalu keras lalu mengalami pendarahan dalam?!?! Kalau sampai Jun gē mati, kau juga harus mati!!” Kai tertohok keras. Dia menelan salivanya dalam diam. Tak berani menjawab atau menepis ucapan Sharon yang sedang sangat emosional itu. Meski ini bukan pertama kalinya ia menerima ancaman kematian dari gadis itu, tetap saja, rasanya sangat tidak enak. Sharon masih saja menangisi Jun yang belum siuman setelah pingsan untuk kedua kalinya. Lalu ia mulai merengek kesal kepada Kai yang diam di pojok ruangan layaknya sebuah patung manekin. “Mana dokternya, sih? Kau bilang sedang dalam perjalanan kesini, kenapa lama sekali?! Apa kau tidak bilang kalau p
-Hari pertama- “JUN GĒ!” Suara cempreng perempuan itu membuka pagi harinya yang suram. Belum apa-apa Wang Jun sudah merasa kelelahan dan ingin menyerah. Ia masih berharap semua ini tidak nyata. Tak lama, terdengar suara langkah yang tergesa-gesa. BRAK! Pintu kamar itu dibanting kencang. Muncullah sosok perempuan yang mengenakan gaun berwarna merah muda dengan renda yang heboh. Belum lagi rambutnya yang terlihat sengaja di-curly. Sebuah hair pin ber-hiaskan tiga bunga pun terpasang di kepalanya. Penampilannya boleh terlihat feminin, tapi tidak dengan tingkahnya. Gadis yang terlalu excited itu sudah duduk di tepi ranjang dalam satu kejapan mata. Jun yang baru saja bangun seketika mendudukan diri. “PAGIIIII!!” Wajahnya berbinar dengan senyum lebar memamerkan barisan giginya.Perempuan yang tidak peka itu terlihat terlalu ceria, seakan tak bisa melihat keputusasaan Jun dan bagaimana kantong matanya menghitam dalam satu malam saja. Pria itu nyaris ti
Seorang pria berusia 40 tahunan memasuki ruangan. Garis wajahnya sangar dan serius. Belum lagi bekas luka memanjang terlihat di pipi dan keningnya semakin meninggalkan kesan menakutkan. Penampilannya sebelas dua belas dengan orang yang ada di depannya sekarang. Hanya saja, caranya berpakaiannya yang terlihat lebih rapih seperti menegaskan posisinya sebagai seorang bawahan. “Silahkan, Tuan,” pria itu meletakkan selembar kertas di hadapan mereka. Dia tidak langsung keluar ruangan. Justru malah menoleh dan memandangi Jun tepat di mata. Tajam dan mengintimidasi. Pemuda itu seketika tersentak. Tatapannya sukses membuat Jun membeku, bertanya-tanya, dosa besar apa yang baru saja ia lakukan. “Perkenalkan, saya adalah Huang Arthur. Saya adalah mantan ajudan di Organisasi Mafia ‘Triangle’. Saya sudah pensiun dan beralih menjadi tangan kanan Tuan Richard.” Tunggu… tunggu sebentar, apa tadi katanya? M-mafia? Maksudnya sejenis gangster… yang hanya pernah dilihat Jun
Berbeda dari ruangan-ruangan lain yang dilihatnya—yang penuh dengan warna putih bagaikan sedang berada di sebuah istana negeri dongeng, ruangan yang ia masuki kini justru bernuansa gelap. Temboknya dicat berwarna hitam. Tidak hanya itu, nyaris semua furnitur dan barang-barang disini berwarna senada. Jika harus memilih satu kata untuk mendefiniskan apa yang dilihatnya saat ini, Jun akan memilih kata ‘sederhana.’ Patut diakui, ruangan ini benar-benar telihat seperti berada di dunia lain. Seakan tempat ini sengaja dibuat sangat kontras dan berbeda. Sama sekali tidak ada keglamouran dan kemewahan. Hanya ada dua buah sofa panjang yang berhadapan, sebuah meja, dan sebuah sofa tunggal yang berada diantara kedua sofa tersebut. Ada lemari yang kacanya terlihat gelap dari luar, entah menyimpan barang apa; sebuah lukisan pemandangan biasa yang sama sekali tidak terlihat mahal; dan dua buah senapan buru yang digantung di tembok. Jun menelan salivanya. Berusaha untuk
“Nona, tenanglah. Dia tidak akan mati semudah itu. Tuan Jun hanya terlalu shock hingga tidak sadarkan diri.” Suara sesegukan yang memenuhi ruangan itu terhenti sejenak, berganti oleh bentakan kasar. “Siapa yang bisa menjamin dia tidak mati, hah?! Memangnya kau itu Tuhan? Bagaimana kalau semisalnya dia tersungkur terlalu keras lalu mengalami pendarahan dalam?!?! Kalau sampai Jun gē mati, kau juga harus mati!!” Kai tertohok keras. Dia menelan salivanya dalam diam. Tak berani menjawab atau menepis ucapan Sharon yang sedang sangat emosional itu. Meski ini bukan pertama kalinya ia menerima ancaman kematian dari gadis itu, tetap saja, rasanya sangat tidak enak. Sharon masih saja menangisi Jun yang belum siuman setelah pingsan untuk kedua kalinya. Lalu ia mulai merengek kesal kepada Kai yang diam di pojok ruangan layaknya sebuah patung manekin. “Mana dokternya, sih? Kau bilang sedang dalam perjalanan kesini, kenapa lama sekali?! Apa kau tidak bilang kalau p
Hari demi hari berlalu, berganti bulan. Tiba juga hari di mana acara fan meeting Jun diadakan. Para fans mengantri sejak pagi buta. Gedung tempat fanmeeting diadakan itu dibanjiri antusias penggemar Jun yang kebanyakan gadis-gadis belia. Beberapa jurnalis dan kameramen lokal serta mancanegara juga sudah menyebar di banyak titik, memastikan untuk menangkap potret dan momen terbaik. “Wang Jun!” Di ruangan ber-ac yang penuh baju itu, pria berwajah mungil rupawan menoleh setelah mendengar namanya dipanggil. “Iya, Kak!” “Kemarilah, aku mau mem-briefing-mu untuk sesi dua. Ada sedikit perubahan dari rundown kemarin setelah aku menyampaikan keluhanmu pada promotor soal jeda yang terlalu singkat.” Jun menatap MUA-nya yang masih memoles make up di wajah mulusnya yang tampak seperti boneka hidup. “Oh, oke, sebentar! Jiě jiě, maaf, bisa lebih cepat sedikit? Aku dipanggil.” Lelaki itu menyengir kuda memandang stylish-nya. Tinggi, tampan, berkarisma,
Raut wajah Sharon terlihat jelas mengharapkan berita baik. Kedua pupilnya membesar antusias. Namun Kai terlihat semakin muram saat memandang Nona Sharon. Mulutnya terkatup, meski ia terlihat ingin menjawab. “Kai, bagaimana? Ayah mengijinkan aku, kan?” Desak Sharon tak sabar. Lelaki muda itu menggelengkan kepalanya dengan raut pahit. Sharon melemas. Hilang sudah harapannya untuk bertemu hubbynya. * * * “AAAAAA!!!” Suara teriakan perempuan yang melengking di tengah kesunyian malam itu seolah mampu menggetarkan pondasi rumah megah bergaya kolonial itu. Secara serentak seluruh penghuni mansion itu terbangun. Terutama, Richard yang dengan wajah was-was berlari menuju kamar Sharon. Ia mengenali suara itu sebagai suara putri semata wayangnya. “Sharon! Ada apa? Apa yang terjadi?!” Richard terperangah. Sharon tengah berdiri di atas kusen jendela kamarnya yang daunnya terbuka lebar. Satu tangannya memegang sisi kanan kusen. Angin yang berhembus
“AKU TIDAK MAU TAHU! POKOKNYA AKU MAU KETEMU JUN GĒ!” Teriakan itu memenuhi di ruangan berukuran sedang dengan desain interior yang minimalis itu. Suara itu, suara siapa lagi kalau bukan Tuan Putri yang dimanjakan ayahnya—Wang Sharon. Barangkali di mansion ini hanya Sharon seorang yang mampu meneriaki Richard dengan semena-mena seperti itu Di sisi lain ruangan, Kai menelan salivanya melihat Sang Nona yang menghardik ayahnya dengan pandangan berapi-api tanpa gentar sedikitpun. Kedua ayah dan anak itu saling melempar tatapan sengit. Sama-sama keras kepala. Tidak ada yang mau mengalah. “AKU MAU BERTEMU DIA, YAH! IJINKAN AKU BERTEMU DIA!!” Gadis itu lagi-lagi merengek. Masih dengan suaranya yang sepertinya dikeluarkan menggunakan tenaga dalam. Jika tidak, bagaimana bisa keluar suara yang sangat keras dan sangat memekakan telinga dari kerongkongannya yang sekecil itu bisa? “Ayah bilang tidak, Wang Sharon. Kau bisa meminta apapun. Apapun selain pergi dari mansi
Kedua mata pria itu perlahan terbuka penuh setelah beberapa kali mengerjap. Kelopaknya membesar dan mengecil—menyesuaikan intensitas cahaya yang memasuki retinanya. Setelah pandangannya jelas, alam bawah sadarnya ikut aktif menganalisa sekitarnya. Sedetik, dua detik... Teeett!! Teeett! Alarm peringatan di otaknya menyala. Menyiarkan peringatan bahwa langit-langit berwarna putih tulang yang ia lihat saat ini sangat asing untuknya. Pria itu sontak bangun, mengubah posisinya menjadi duduk. Pergerakan tiba-tibanya itu membuat kepalanya pening– perasaan yang sama ketika ia habis minum-minum bersama teman-temannya. “Ahh...” dia meringis kesakitan. Sumpah, kepalanya benar-benar ngilu luar biasa. Dia juga tidak bisa mengingat kenapa ia bisa terbaring di kamar yang tidak ia kenali ini. Seingatnya, dia tidak habis minum alkohol... Ah, apa dia sudah mati? Dan ini adalah alam akhirat yang disebut-sebut oleh orang-orang? Kalau iya, kenapa... rasanya