Home / Romansa / Diculik Putri Mafia / 06. Perjanjian Antara Penculik dan Sandera

Share

06. Perjanjian Antara Penculik dan Sandera

Author: Natasha Lee
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

     Seorang pria berusia 40 tahunan memasuki ruangan. Garis wajahnya sangar dan serius. Belum lagi bekas luka memanjang terlihat di pipi dan keningnya semakin meninggalkan kesan menakutkan.

      Penampilannya sebelas dua belas dengan orang yang ada di depannya sekarang. Hanya saja, caranya berpakaiannya yang terlihat lebih rapih seperti menegaskan posisinya sebagai seorang bawahan.

     “Silahkan, Tuan,” pria itu meletakkan selembar kertas di hadapan mereka.

     Dia tidak langsung keluar ruangan. Justru malah menoleh dan memandangi Jun tepat di mata. Tajam dan mengintimidasi. Pemuda itu seketika tersentak. Tatapannya sukses membuat Jun membeku, bertanya-tanya, dosa besar apa yang baru saja ia lakukan.

     “Perkenalkan, saya adalah Huang Arthur. Saya adalah mantan ajudan di Organisasi Mafia ‘Triangle’. Saya sudah pensiun dan beralih menjadi tangan kanan Tuan Richard.”

     Tunggu… tunggu sebentar, apa tadi katanya? M-mafia? Maksudnya sejenis gangster… yang hanya pernah dilihat Jun di film itu?

     “Jelaskan yang benar Arthur. Dia belum tahu tentang identitasku yang sebenarnya.”

     Memangnya siapa orang ini? Jika bawahannya saja pernah berada di organisasi mafia, maka… setinggi apa jabatan orang ini?

     “Tuan Wang Richard adalah pemimpin dari organisasi mafia yang pernah saya ikuti di China. Dia sudah menurunkan bisnisnya kepada penerusnya sejak sepuluh tahun yang lalu dan memutuskan untuk menjalani kehidupan orang biasa bersama putrinya di Indonesia.”

     Jun tercengang—dia tidak bisa percaya pendengarannya sendiri.

     Bukan hanya diculik… tapi ia baru saja menemukan fakta kalau penculiknya adalah seorang pemilik kartel sekaligus mantan ketua mafia!

     Kepala lelaki itu rasanya jadi sakit lagi karena dijejeli terlalu banyak informasi yang mengejutkan.

     “Apa anda sudah mengerti sekarang? Biar saya yang jelaskan kesepakatannya.”

     “…”

     Jun terpaku. Dia menggelengkan kepalanya. Matanya membelalak tidak percaya. “Tidak,” lelaki itu tersenyum manis. “Tidak mungkin… tidak mungkin, kan? Ini pasti hanya bohong, kan? Katakan padaku… kalau ini cuma bohong?!?!”

     BRUK!

     “Ah, dia pingsan lagi?” Arthur memandangi Jun dengan sedikit heran. “Anak lelaki ini lemah sekali. Apa saya harus bawa dia ke kamar lagi, Tuan?”

     Richard menggeleng sembari menggerakan tangannya. Matanya menatap tubuh Jun yang terlungkup dengan wajahnya menempel di lantai. Tangannya yang mengepal itu bergetar kecil.

     “Payah sekali, apa benar dia seorang aktor?”

     “Maaf, Tuan? Saya tidak mendengar ucapan anda.”

     Richard mengalihkan pandangannya ke arah Arthur. Ia menggelengkan kepala kecil. Seulas senyum culas tersungging di wajahnya.

     “Tidak perlu khawatir. Sebentar lagi dia juga akan bangun. Ya… itupun jika dia masih ingin hidup, tentu saja dia harus bangun.”  Dengan santai dia menginjak tumit lelaki yang terbaring di depannya itu.

     * * *

     Dikawal oleh Arthur, Jun berjalan kembali ke ‘kamarnya’. Yaitu kamar tempat pertama kali ia siuman. Kamar yang semula ia kira merupakan kamar milik gadis aneh itu… namun ternyata bukan.  Kenyataannya, kamar asing itu akan menjadi kamarnya mulai hari ini.

     “Makanan akan diantar tiga kali sehari, pukul tujuh, pukul dua belas dan pukul enam. Untuk keperluan lainnya  anda bisa mengatakan kepada saya atau asisten Nona Sharon, Kai.”

     “Pakaian sudah disediakan di lemari dan akan segera ditambah dalam waktu dekat. Sesuai kesepakatan, anda akan diperlakukan seperti ‘manusia’ selama anda disini, asalkan anda mau mematuhi peraturan.”

     Jun tidak menjawab. Dia hanya memandang nanar pria tua itu lama. Sampai akhirnya Arthur menunduk pamit dan benar-benar keluar dari ruangan itu. Tak ada sepatah kata pun yang keluar.

     Pemuda itu masih saja menatap ruang kosong tempat Arthur berdiri tadi. Jiwanya terasa melayang-layang.

     “Kau cukup menandatanganinya di sini.”

     Richard mendorong kertas itu ke arahnya. Dia masih menyunggingkan senyum oportunisnya. Di sebelahnya, berdiri Arthur yang tengah menjelaskan tentang kontrak perjanjian itu.

     Jun terpangu melihat kertas itu. Dia sudah mencoba untuk membacanya, tapi aksara-aksara mandarin yang sudah dipelajarinya sejak SD mendadak hilang dari kepalanya.

     Satu-satunya yang memandu dia memahami isi perjanjian itu hanya penjelasan Arthur.

     Pada intinya, mereka ingin dia untuk melakukan pernikahan kontrak yang dirahasiakan dari pihak “istri.” Tidak cukup sampai disitu saja, Jun juga harus memperlakukan “istri kontraknya” dengan baik jika ia ingin dibebaskan dalam waktu tiga puluh hari.

     Sangat konyol bukan? Tak bisa dipercaya, tiba juga hari dimana Jun meragukan kewarasannya sendiri. Seorang Jun—yang selalu dipuja fansnya. Sosok yang terbiasa menerima pujian atas bakat aktingnya yang disebut sebagai “berkah dari langit.”

     Entah bagaimana, dia merasa langit seperti membuangnya hari ini. Bukan hanya pujian dan kehidupan lamanya yang dirampas, ia juga lupa bagaimana cara berakting. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya dengan baik yang membuatnya terlihat sangat lemah.

     Namun persetan dengan itu, Jun benar-benar clueless. Ini pertama kali ia meras otaknya kelebihan beban setelah ia lulus dari SMA dulu. Semua masih terasa tidak nyata—namun juga nyata di saat yang sama.

     Dia tidak tahu siapa nama putri dari mafia yang menjebaknya itu. Dia tidak tahu bagaimana dia akan dikembalikan ke tempat asalnya nanti. Dia juga tidak tahu perlakuan baik macam apa yang harus dilakukannya.

     Klausa-klausa dalam kontrak itu tertulis begitu panjang dan memusingkan.  Jelas sekali situasi ini sudah diatur sedemikian rupa agar ia tidak memiliki pilihan lain selain menyetujuinya.

     Pada akhirnya ini bukan bisnis, bukan pula negosiasi. Hanya sebuah pemerasan yang disamarkan seolah bisa menguntungkan dua belah pihak.

     “Apa…” Jun menjeda sebentar, “saya benar-benar bisa selamat?”

     Lelaki muda itu menoleh memandangi Richard. Bukan berarti dia benar-benar mempercayainya. Dia hanya… putus asa, mungkin?

     Jun tidak memiliki pilihan lain selain mempercayai orang yang menawarkannya perjanjian ini.

     “Tentu saja. Aku sudah bilang, kau tidak dibawa kesini untuk dibunuh.”

     ‘Iya, benar. Kau bilang begitu. Tapi justru ucapanmulah yang membuatku semakin ragu. Seakan kau akan membunuhku jika aku tidak patuh.’

     Beruntung, Jun masih bisa mengendalikan mulutnya untuk tidak mengatakan sesuatu yang bisa membuatnya jatuh ke dalam bahaya yang lebih besar.

     “Selama kau setuju pada persyaratan yang kuberikan, kau bisa tinggal selayaknya penghuni di mansion ini. Tentu saja, seperti yang tertulis, kau tidak boleh keluar kamar jika bukan untuk menemui anakku.

     “Selain itu, jangan pernah berpikir untuk melarikan diri karena itu hanya akan memperkecil kemungkinanmu untuk bisa keluar hidup-hidup.”

     Kelereng Richard seakan menyileti selapis demi selapis nyali Jun. Dia melanjutkan, masih dengan sorot dan nada yang menusuk.

     “Mansionku ini terletak di pulau pribadi milikku. Bahkan jika ada keajaiban dan kau berhasil keluar, kau hanya akan mati konyol. Tempat ini dikelilingi laut dan hutan, tak ada siapa pun yang bisa keluar masuk tanpa seizinku. Lalu jika kau tertangkap basah sedang berusaha kabur, kau juga akan tetap mati karena melanggar perjanjian. Apa kau mengerti?”

     Seperti itulah… akhirnya, Wang Jun yang biasanya tak pernah takut apapun, meraih pena. Ia menandatanganinya tanpa mampu menegakkan wajahnya barang sekali.

Related chapters

  • Diculik Putri Mafia   07. Fangirl Gila

    -Hari pertama- “JUN GĒ!” Suara cempreng perempuan itu membuka pagi harinya yang suram. Belum apa-apa Wang Jun sudah merasa kelelahan dan ingin menyerah. Ia masih berharap semua ini tidak nyata. Tak lama, terdengar suara langkah yang tergesa-gesa. BRAK! Pintu kamar itu dibanting kencang. Muncullah sosok perempuan yang mengenakan gaun berwarna merah muda dengan renda yang heboh. Belum lagi rambutnya yang terlihat sengaja di-curly. Sebuah hair pin ber-hiaskan tiga bunga pun terpasang di kepalanya. Penampilannya boleh terlihat feminin, tapi tidak dengan tingkahnya. Gadis yang terlalu excited itu sudah duduk di tepi ranjang dalam satu kejapan mata. Jun yang baru saja bangun seketika mendudukan diri. “PAGIIIII!!” Wajahnya berbinar dengan senyum lebar memamerkan barisan giginya.Perempuan yang tidak peka itu terlihat terlalu ceria, seakan tak bisa melihat keputusasaan Jun dan bagaimana kantong matanya menghitam dalam satu malam saja. Pria itu nyaris ti

  • Diculik Putri Mafia   PROLOG

    Kedua mata pria itu perlahan terbuka penuh setelah beberapa kali mengerjap. Kelopaknya membesar dan mengecil—menyesuaikan intensitas cahaya yang memasuki retinanya. Setelah pandangannya jelas, alam bawah sadarnya ikut aktif menganalisa sekitarnya. Sedetik, dua detik... Teeett!! Teeett! Alarm peringatan di otaknya menyala. Menyiarkan peringatan bahwa langit-langit berwarna putih tulang yang ia lihat saat ini sangat asing untuknya. Pria itu sontak bangun, mengubah posisinya menjadi duduk. Pergerakan tiba-tibanya itu membuat kepalanya pening– perasaan yang sama ketika ia habis minum-minum bersama teman-temannya. “Ahh...” dia meringis kesakitan. Sumpah, kepalanya benar-benar ngilu luar biasa. Dia juga tidak bisa mengingat kenapa ia bisa terbaring di kamar yang tidak ia kenali ini. Seingatnya, dia tidak habis minum alkohol... Ah, apa dia sudah mati? Dan ini adalah alam akhirat yang disebut-sebut oleh orang-orang? Kalau iya, kenapa... rasanya

  • Diculik Putri Mafia   01. Wang Sharon, Si Tuan Putri

    “AKU TIDAK MAU TAHU! POKOKNYA AKU MAU KETEMU JUN GĒ!” Teriakan itu memenuhi di ruangan berukuran sedang dengan desain interior yang minimalis itu. Suara itu, suara siapa lagi kalau bukan Tuan Putri yang dimanjakan ayahnya—Wang Sharon. Barangkali di mansion ini hanya Sharon seorang yang mampu meneriaki Richard dengan semena-mena seperti itu Di sisi lain ruangan, Kai menelan salivanya melihat Sang Nona yang menghardik ayahnya dengan pandangan berapi-api tanpa gentar sedikitpun. Kedua ayah dan anak itu saling melempar tatapan sengit. Sama-sama keras kepala. Tidak ada yang mau mengalah. “AKU MAU BERTEMU DIA, YAH! IJINKAN AKU BERTEMU DIA!!” Gadis itu lagi-lagi merengek. Masih dengan suaranya yang sepertinya dikeluarkan menggunakan tenaga dalam. Jika tidak, bagaimana bisa keluar suara yang sangat keras dan sangat memekakan telinga dari kerongkongannya yang sekecil itu bisa? “Ayah bilang tidak, Wang Sharon. Kau bisa meminta apapun. Apapun selain pergi dari mansi

  • Diculik Putri Mafia   02. Ancaman Sharon

    Raut wajah Sharon terlihat jelas mengharapkan berita baik. Kedua pupilnya membesar antusias. Namun Kai terlihat semakin muram saat memandang Nona Sharon. Mulutnya terkatup, meski ia terlihat ingin menjawab. “Kai, bagaimana? Ayah mengijinkan aku, kan?” Desak Sharon tak sabar. Lelaki muda itu menggelengkan kepalanya dengan raut pahit. Sharon melemas. Hilang sudah harapannya untuk bertemu hubbynya. * * * “AAAAAA!!!” Suara teriakan perempuan yang melengking di tengah kesunyian malam itu seolah mampu menggetarkan pondasi rumah megah bergaya kolonial itu. Secara serentak seluruh penghuni mansion itu terbangun. Terutama, Richard yang dengan wajah was-was berlari menuju kamar Sharon. Ia mengenali suara itu sebagai suara putri semata wayangnya. “Sharon! Ada apa? Apa yang terjadi?!” Richard terperangah. Sharon tengah berdiri di atas kusen jendela kamarnya yang daunnya terbuka lebar. Satu tangannya memegang sisi kanan kusen. Angin yang berhembus

  • Diculik Putri Mafia   03.  Eksekusi Penculikan

    Hari demi hari berlalu, berganti bulan. Tiba juga hari di mana acara fan meeting Jun diadakan. Para fans mengantri sejak pagi buta. Gedung tempat fanmeeting diadakan itu dibanjiri antusias penggemar Jun yang kebanyakan gadis-gadis belia. Beberapa jurnalis dan kameramen lokal serta mancanegara juga sudah menyebar di banyak titik, memastikan untuk menangkap potret dan momen terbaik. “Wang Jun!” Di ruangan ber-ac yang penuh baju itu, pria berwajah mungil rupawan menoleh setelah mendengar namanya dipanggil. “Iya, Kak!” “Kemarilah, aku mau mem-briefing-mu untuk sesi dua. Ada sedikit perubahan dari rundown kemarin setelah aku menyampaikan keluhanmu pada promotor soal jeda yang terlalu singkat.” Jun menatap MUA-nya yang masih memoles make up di wajah mulusnya yang tampak seperti boneka hidup. “Oh, oke, sebentar! Jiě jiě, maaf, bisa lebih cepat sedikit? Aku dipanggil.” Lelaki itu menyengir kuda memandang stylish-nya. Tinggi, tampan, berkarisma,

  • Diculik Putri Mafia   04.  Bahasa Asing dan Orang Asing

    “Nona, tenanglah. Dia tidak akan mati semudah itu. Tuan Jun hanya terlalu shock hingga tidak sadarkan diri.” Suara sesegukan yang memenuhi ruangan itu terhenti sejenak, berganti oleh bentakan kasar. “Siapa yang bisa menjamin dia tidak mati, hah?! Memangnya kau itu Tuhan? Bagaimana kalau semisalnya dia tersungkur terlalu keras lalu mengalami pendarahan dalam?!?! Kalau sampai Jun gē mati, kau juga harus mati!!” Kai tertohok keras. Dia menelan salivanya dalam diam. Tak berani menjawab atau menepis ucapan Sharon yang sedang sangat emosional itu. Meski ini bukan pertama kalinya ia menerima ancaman kematian dari gadis itu, tetap saja, rasanya sangat tidak enak. Sharon masih saja menangisi Jun yang belum siuman setelah pingsan untuk kedua kalinya. Lalu ia mulai merengek kesal kepada Kai yang diam di pojok ruangan layaknya sebuah patung manekin. “Mana dokternya, sih? Kau bilang sedang dalam perjalanan kesini, kenapa lama sekali?! Apa kau tidak bilang kalau p

  • Diculik Putri Mafia   05. Menerima Fakta

    Berbeda dari ruangan-ruangan lain yang dilihatnya—yang penuh dengan warna putih bagaikan sedang berada di sebuah istana negeri dongeng, ruangan yang ia masuki kini justru bernuansa gelap. Temboknya dicat berwarna hitam. Tidak hanya itu, nyaris semua furnitur dan barang-barang disini berwarna senada. Jika harus memilih satu kata untuk mendefiniskan apa yang dilihatnya saat ini, Jun akan memilih kata ‘sederhana.’ Patut diakui, ruangan ini benar-benar telihat seperti berada di dunia lain. Seakan tempat ini sengaja dibuat sangat kontras dan berbeda. Sama sekali tidak ada keglamouran dan kemewahan. Hanya ada dua buah sofa panjang yang berhadapan, sebuah meja, dan sebuah sofa tunggal yang berada diantara kedua sofa tersebut. Ada lemari yang kacanya terlihat gelap dari luar, entah menyimpan barang apa; sebuah lukisan pemandangan biasa yang sama sekali tidak terlihat mahal; dan dua buah senapan buru yang digantung di tembok. Jun menelan salivanya. Berusaha untuk

Latest chapter

  • Diculik Putri Mafia   07. Fangirl Gila

    -Hari pertama- “JUN GĒ!” Suara cempreng perempuan itu membuka pagi harinya yang suram. Belum apa-apa Wang Jun sudah merasa kelelahan dan ingin menyerah. Ia masih berharap semua ini tidak nyata. Tak lama, terdengar suara langkah yang tergesa-gesa. BRAK! Pintu kamar itu dibanting kencang. Muncullah sosok perempuan yang mengenakan gaun berwarna merah muda dengan renda yang heboh. Belum lagi rambutnya yang terlihat sengaja di-curly. Sebuah hair pin ber-hiaskan tiga bunga pun terpasang di kepalanya. Penampilannya boleh terlihat feminin, tapi tidak dengan tingkahnya. Gadis yang terlalu excited itu sudah duduk di tepi ranjang dalam satu kejapan mata. Jun yang baru saja bangun seketika mendudukan diri. “PAGIIIII!!” Wajahnya berbinar dengan senyum lebar memamerkan barisan giginya.Perempuan yang tidak peka itu terlihat terlalu ceria, seakan tak bisa melihat keputusasaan Jun dan bagaimana kantong matanya menghitam dalam satu malam saja. Pria itu nyaris ti

  • Diculik Putri Mafia   06. Perjanjian Antara Penculik dan Sandera

    Seorang pria berusia 40 tahunan memasuki ruangan. Garis wajahnya sangar dan serius. Belum lagi bekas luka memanjang terlihat di pipi dan keningnya semakin meninggalkan kesan menakutkan. Penampilannya sebelas dua belas dengan orang yang ada di depannya sekarang. Hanya saja, caranya berpakaiannya yang terlihat lebih rapih seperti menegaskan posisinya sebagai seorang bawahan. “Silahkan, Tuan,” pria itu meletakkan selembar kertas di hadapan mereka. Dia tidak langsung keluar ruangan. Justru malah menoleh dan memandangi Jun tepat di mata. Tajam dan mengintimidasi. Pemuda itu seketika tersentak. Tatapannya sukses membuat Jun membeku, bertanya-tanya, dosa besar apa yang baru saja ia lakukan. “Perkenalkan, saya adalah Huang Arthur. Saya adalah mantan ajudan di Organisasi Mafia ‘Triangle’. Saya sudah pensiun dan beralih menjadi tangan kanan Tuan Richard.” Tunggu… tunggu sebentar, apa tadi katanya? M-mafia? Maksudnya sejenis gangster… yang hanya pernah dilihat Jun

  • Diculik Putri Mafia   05. Menerima Fakta

    Berbeda dari ruangan-ruangan lain yang dilihatnya—yang penuh dengan warna putih bagaikan sedang berada di sebuah istana negeri dongeng, ruangan yang ia masuki kini justru bernuansa gelap. Temboknya dicat berwarna hitam. Tidak hanya itu, nyaris semua furnitur dan barang-barang disini berwarna senada. Jika harus memilih satu kata untuk mendefiniskan apa yang dilihatnya saat ini, Jun akan memilih kata ‘sederhana.’ Patut diakui, ruangan ini benar-benar telihat seperti berada di dunia lain. Seakan tempat ini sengaja dibuat sangat kontras dan berbeda. Sama sekali tidak ada keglamouran dan kemewahan. Hanya ada dua buah sofa panjang yang berhadapan, sebuah meja, dan sebuah sofa tunggal yang berada diantara kedua sofa tersebut. Ada lemari yang kacanya terlihat gelap dari luar, entah menyimpan barang apa; sebuah lukisan pemandangan biasa yang sama sekali tidak terlihat mahal; dan dua buah senapan buru yang digantung di tembok. Jun menelan salivanya. Berusaha untuk

  • Diculik Putri Mafia   04.  Bahasa Asing dan Orang Asing

    “Nona, tenanglah. Dia tidak akan mati semudah itu. Tuan Jun hanya terlalu shock hingga tidak sadarkan diri.” Suara sesegukan yang memenuhi ruangan itu terhenti sejenak, berganti oleh bentakan kasar. “Siapa yang bisa menjamin dia tidak mati, hah?! Memangnya kau itu Tuhan? Bagaimana kalau semisalnya dia tersungkur terlalu keras lalu mengalami pendarahan dalam?!?! Kalau sampai Jun gē mati, kau juga harus mati!!” Kai tertohok keras. Dia menelan salivanya dalam diam. Tak berani menjawab atau menepis ucapan Sharon yang sedang sangat emosional itu. Meski ini bukan pertama kalinya ia menerima ancaman kematian dari gadis itu, tetap saja, rasanya sangat tidak enak. Sharon masih saja menangisi Jun yang belum siuman setelah pingsan untuk kedua kalinya. Lalu ia mulai merengek kesal kepada Kai yang diam di pojok ruangan layaknya sebuah patung manekin. “Mana dokternya, sih? Kau bilang sedang dalam perjalanan kesini, kenapa lama sekali?! Apa kau tidak bilang kalau p

  • Diculik Putri Mafia   03.  Eksekusi Penculikan

    Hari demi hari berlalu, berganti bulan. Tiba juga hari di mana acara fan meeting Jun diadakan. Para fans mengantri sejak pagi buta. Gedung tempat fanmeeting diadakan itu dibanjiri antusias penggemar Jun yang kebanyakan gadis-gadis belia. Beberapa jurnalis dan kameramen lokal serta mancanegara juga sudah menyebar di banyak titik, memastikan untuk menangkap potret dan momen terbaik. “Wang Jun!” Di ruangan ber-ac yang penuh baju itu, pria berwajah mungil rupawan menoleh setelah mendengar namanya dipanggil. “Iya, Kak!” “Kemarilah, aku mau mem-briefing-mu untuk sesi dua. Ada sedikit perubahan dari rundown kemarin setelah aku menyampaikan keluhanmu pada promotor soal jeda yang terlalu singkat.” Jun menatap MUA-nya yang masih memoles make up di wajah mulusnya yang tampak seperti boneka hidup. “Oh, oke, sebentar! Jiě jiě, maaf, bisa lebih cepat sedikit? Aku dipanggil.” Lelaki itu menyengir kuda memandang stylish-nya. Tinggi, tampan, berkarisma,

  • Diculik Putri Mafia   02. Ancaman Sharon

    Raut wajah Sharon terlihat jelas mengharapkan berita baik. Kedua pupilnya membesar antusias. Namun Kai terlihat semakin muram saat memandang Nona Sharon. Mulutnya terkatup, meski ia terlihat ingin menjawab. “Kai, bagaimana? Ayah mengijinkan aku, kan?” Desak Sharon tak sabar. Lelaki muda itu menggelengkan kepalanya dengan raut pahit. Sharon melemas. Hilang sudah harapannya untuk bertemu hubbynya. * * * “AAAAAA!!!” Suara teriakan perempuan yang melengking di tengah kesunyian malam itu seolah mampu menggetarkan pondasi rumah megah bergaya kolonial itu. Secara serentak seluruh penghuni mansion itu terbangun. Terutama, Richard yang dengan wajah was-was berlari menuju kamar Sharon. Ia mengenali suara itu sebagai suara putri semata wayangnya. “Sharon! Ada apa? Apa yang terjadi?!” Richard terperangah. Sharon tengah berdiri di atas kusen jendela kamarnya yang daunnya terbuka lebar. Satu tangannya memegang sisi kanan kusen. Angin yang berhembus

  • Diculik Putri Mafia   01. Wang Sharon, Si Tuan Putri

    “AKU TIDAK MAU TAHU! POKOKNYA AKU MAU KETEMU JUN GĒ!” Teriakan itu memenuhi di ruangan berukuran sedang dengan desain interior yang minimalis itu. Suara itu, suara siapa lagi kalau bukan Tuan Putri yang dimanjakan ayahnya—Wang Sharon. Barangkali di mansion ini hanya Sharon seorang yang mampu meneriaki Richard dengan semena-mena seperti itu Di sisi lain ruangan, Kai menelan salivanya melihat Sang Nona yang menghardik ayahnya dengan pandangan berapi-api tanpa gentar sedikitpun. Kedua ayah dan anak itu saling melempar tatapan sengit. Sama-sama keras kepala. Tidak ada yang mau mengalah. “AKU MAU BERTEMU DIA, YAH! IJINKAN AKU BERTEMU DIA!!” Gadis itu lagi-lagi merengek. Masih dengan suaranya yang sepertinya dikeluarkan menggunakan tenaga dalam. Jika tidak, bagaimana bisa keluar suara yang sangat keras dan sangat memekakan telinga dari kerongkongannya yang sekecil itu bisa? “Ayah bilang tidak, Wang Sharon. Kau bisa meminta apapun. Apapun selain pergi dari mansi

  • Diculik Putri Mafia   PROLOG

    Kedua mata pria itu perlahan terbuka penuh setelah beberapa kali mengerjap. Kelopaknya membesar dan mengecil—menyesuaikan intensitas cahaya yang memasuki retinanya. Setelah pandangannya jelas, alam bawah sadarnya ikut aktif menganalisa sekitarnya. Sedetik, dua detik... Teeett!! Teeett! Alarm peringatan di otaknya menyala. Menyiarkan peringatan bahwa langit-langit berwarna putih tulang yang ia lihat saat ini sangat asing untuknya. Pria itu sontak bangun, mengubah posisinya menjadi duduk. Pergerakan tiba-tibanya itu membuat kepalanya pening– perasaan yang sama ketika ia habis minum-minum bersama teman-temannya. “Ahh...” dia meringis kesakitan. Sumpah, kepalanya benar-benar ngilu luar biasa. Dia juga tidak bisa mengingat kenapa ia bisa terbaring di kamar yang tidak ia kenali ini. Seingatnya, dia tidak habis minum alkohol... Ah, apa dia sudah mati? Dan ini adalah alam akhirat yang disebut-sebut oleh orang-orang? Kalau iya, kenapa... rasanya

DMCA.com Protection Status