Aryesta membelalakkan mata. Dia menggeleng keras, lalu tertawa sumbang. âKamu berbohong!â Dion tak mungkin mengkhianatinya kan? Permasalahan mereka memang pelik, tetapi tak mungkin sampai membuat suaminya berlaku keterlaluan begitu kan? Sekali lagi, Aryesta menggeleng sebagai bantahan. âEnggak mungkin!â
Aleandra mengangkat bahu. âSilakan percaya atau tidak, tapi itulah kenyataannya.â
âEnggak mungkin kayak gitu, Aleandra!â teriak Aryesta. Belum selesai kerusuhan yang Aleandra buat tentang video syurnya semalam, laki-laki itu kini sudah membuat fitnah lain lagi.
Sungguh membuat Aryesta sangat kesal. âSuamiku enggak mungkin melakukan hal menjijikkan itu. Jadi jangan mengada-ada kamu!â
Aryesta boleh jadi tak percaya pada Dinda. Adik tiri yang selalu menatapnya tak senang. Adik tiri yang selalu menganggap dirinya adalah saingan hanya karena Kakek Surya lebih menyayanginya.
âSudah kubilang, percaya atau tidak, bukan urusanku!" Aleandra menipiskan bibir. âTapi itulah kenyataannya, Aryesta Ribela.â
Aryesta menggeram dengan gigi bergemeletuk kuat. âBohong! Jangan harap aku mempercayai kamu!â Jika menyabotase malam terkutuk di mana Aryesta mabuk saja Aleandra sanggup, maka membuat fitnah menjijikkan ini tentu sangat mudah untuk dilakukan Aleandra, kan?
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, hah! Apa salahku sampai kamu melakukan hal ini. Kamu bahkan sampai berpikir untuk memfitnah suamiku! Jangan samakan dia denganmu!â teriak Aryesta yang sudah tak mampu menahan amarahnya lagi.
Aleandra mengepalkan tangannya kencang, merasa terhina dibandingkan dengan Dion yang hanya seorang manager perusahaan. Sungguh beda jauh levelnya dengan Aleandra.
Melihat Aleandra yang hanya menatapnya dengan kilatan amarah, Aryesta pun mendesis. âUrusanmu denganku! Kamu enggak perlu membawa-bawa Mas Dion di sini. Jangan hanya karena kebencianmu padaku, kamu membawa orang lain.â Aryesta menggeleng. âAku benar-benar enggak menyangka, seorang CEO yang terkenal jenius seperti kamu bisa bersikap impulsif seperti ini.â
Aleandra mendecih dan melipat tangannya di dada. "Oh, jadi kamu mulai membela laki-laki tak tahu diri itu dibandingkan aku, hah?"
Aryesta mengernyitkan keningnya bingung dengan pertanyaan Aleandra yang dia anggap ngawur ini. Bahkan Aryesta terkekeh geli dan menggelengkan kepalanya tak percaya.
Bagaimana mungkin Aleandra bisa melakukan semua ini pada Aryesta yang tidak pernah sekalipun menyingung laki-laki itu.
"Sudah jelas aku akan membela suamiku daripada kamu, Aleandra!" tegas Aryesta dengan tatapan penuh keyakinan, yang entah kenapa sedikit melukai harga diri Aleandra saat ini.
Meski begitu, Aleandra mencoba menguasai dirinya sendiri dan mulai mengejek Aryesta dengan tawa riangnya yang terdengar sangat menyebalkan di telinga Aryesta.
Aleandra bangkit dari kursi kebesarannya, lalu berjalan. Aleandra tak memutus tatapannya dari wajah cantik Aryesta. Dia begitu menikmati raut marah Aryesta. Aleandra melangkah dengan punggung tegap hingga ketukan sepatu dan lantai terdengar nyaring.
âApakah menurutmu suami pecundangmu itu jauh lebih baik daripada aku, hmh?" Aleandra bertanya sambil mendekat ke arah Aryesta. Satu tangannya direnggangkan, sementara jari-jarinya membuka kancing lengan, untuk kemudian menggulung hingga ke siku. Dia lakukan itu juga pada lengan baju sebelahnya.
Aleandra berdiri tegak menjulang tepat di depan Aryesta. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Dia memringkan kepala. âAku bahkan tak pernah peduli jika dirimu diceraikan di malam pengantin kalian tadi malam."
Di depannya, Aryesta kesulitan meneguk ludah. âKalau memang kamu enggak peduli, kenapa semalam mengirimkan video itu, hah?! Bilang, ini hanya permainan kamu kan? Suamiku enggak mungkin bermain belakang dengan adik tiriku! Ini pasti hanya akal-akalan kamu saja!â
âUntuk apa?â Aleandra tertawa. Dia daratkan bokongnya pada meja. Lalu, bersedekap dengan wajah mengejek. Tatapan mata tajam pria tampan itu suka melihat Aryesta tampak putus asa.
âHarusnya kamu berterima kasih padaku, bukan? Aku sudah memberi informasi yang berharga.â Aleandra menggeleng. âAh, kamu memang enggak pandai berterima kasih sejak dulu.â
âKamu pikir aku akan percaya?â Aryesta membalas tatapan Aleandra.
âKalau kamu bisa memilih cara kotor untuk menghancurkanku seperti tadi malam, kamu pun bisa memfitnahnya seperti ini.â Napas Aryesta memburu. âKamu, CEO terkenal dan berpendidikan tinggi yang ternyata hanya pria rendahan, Aleandra!â
Mata Aleandra berkilat marah. Ada debar tak menyenangkan dalam dadanya. Dia tak senang Aryesta merendahkannya hanya untuk membela Dion. Dia bergerak cepat, mendorong tubuh Aryesta, mengungkung di antara dinding dan tubuhnya sendiri. âApa kamu bilang, hah?!â
Aryesta terpekik dengan gerakan tiba-tiba. Punggungnya cukup sakit karena terbentur. Dia mendesis nyeri, tetapi berusaha untuk tersenyum. âApa yang akan orang-orang dan para pemujamu di luar sana katakan, kalau mereka tahu Aleandra Zeygan nyatanya hanya pengusaha rendahan yang menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan lawan. Terlebih lawannya hanya seorang perempuan! Apakah kau tidak malu, hah?!"
âUlangi, Aryesta!â geram Aleandra dengan nada penuh ancaman. âUlangi, dan kupastikan kamu akan menyesal setelahnya.â
Mata Aryesta berkedip lambat. Entah kenapa, tatapan laki-laki yang menekan tubuhnya ini terasa menakutkan. Ada riak kebencian kentara yang tak bisa dia artikan apa maksudnya. Embusan napas memburu yang menerpa wajahnya membuat Aryesta merinding. Jantungnya berdegup kencang.
âEnggak ada keuntungan yang kudapat dari membohongimu, Aryesta.â Tanpa sadar, Aleandra mencengkeram bahu Aryesta. âKamu bisa mengeceknya sendiri. Kamu akan dapati suami dan adik tirimu tengah berbagi peluh di sebuah hotel!â
âJa-jadi ....â Jantung Aryesta kian ribut. Dia menggeleng. âMas Dion enggak mungkin ngelakuin itu.â Dia menggeliat dari kukungan Aleandra. âLepaskan aku Aleandra!"
âTenanglah Aryesta, ini hanya permulaan.â Aleandra bersumpah, ini hanya awal. Aryesta akan mendapatkan hal lain yang lebih menyenangkan nanti.
Aryesta melotot. âApa sebenarnya salahku! Kenapa kamu melakukan ini, Aleandra!â
Aleandra tersenyum kecut. âApa kamu lupa kejadian lima tahun lalu saat kita di London, Aryesta?â
Pupil Aryesta kian membesar. âLima tahun lalu,â gumamnya. Lalu, manik indah itu kian melebar kala ingatan membawa ke lima tahun lampau. Yang dia ingat, lima tahun lalu Aleandra kecelakaan. Hanya sebatas itu. Dia juga tak tahu penyebab kecelakaan itu terjadi. âKecelakaanmu enggak ada hubungannya denganku.â
Sejauh yang Aryesta ingat, lima tahun lalu hanya itu yang terjadi. Sisanya sama sekali tak penting. Jika kecelakaan itu yang sedang Aleandra kaitkan dengan hal yang pria itu lakukan padanya, sungguh tak masuk akal.
Aleandra menekan tubuh Aryesta. âGara-gara malam itu, aku harus kehilangan perempuan yang kucintai untuk selamanya, kurang ajar!" geram Aleandra. Iris matanya menghunus tepat di mata Aryesta.
âA-apa?â Aryesta tergagap. Lalu, menyentak napas. âKamu benar-benar gila! Aku dan kecelakaanmu enggak ada hubungannya sama sekali.â Dia dorong dada Aleandra. âBenar-benar enggak waras kamu!â
Aleandra menggeram. Selalu saja semua tentang Aryesta membuatnya kepayahan mengendalikan diri. Dia rapikan kemeja. Dia kembali ke mejanya. Lalu, tertawa akan pertanyaan perempuan itu.
âBukankah kamu enggak percaya?â ejek Aleandra. âLalu kenapa malah bertanya di mana suami dan adikmu menghabiskan waktu?â
âKatakan saja, Aleandra Zeygan!â Aryesta mengepalkan tangan saat laki-laki di depannya itu justru bersiul. âAleandraââ
âAkan kukatakan, tapi siapa pun tahu, di dunia ini tak ada yang gratis," sinis Aleandra dengan senyuman miringnya.
Yakin tak akan mendapat jawaban dari Aleandra, Aryesta memilih pergi. Dia akan mencari tahu di mana hotel Dion dan Dinda. Dia bersumpah akan mencari tahu kebenarannya sendiri.Berkeliling dari satu hotel ke hotel lain yang dia pikir paling berpeluang didatangi Dion, Aryesta menyerah. Dia meminta pada sopirnya agar kembali ke perusahaan Alra Gruop.
Tak seperti datang tadi, baik di resepsionis sampai di depan ruangan Aleandra, tak ada yang melarang Aryesta untuk masuk. Saat membuka pintu, dia dapati Aleandra sedang berdiskusi dengan dua laki-laki tampan. Semuanya kompak menoleh.Aleandra tertawa. âAda yang kembali rupanya?â
âKatakan, di mana mereka cek in, Aleandra!" titah Aryesta tak sabar. "Katakanlah sekarang!"
âKamu tahu informasi dariku tak gratis, bukan?â Alendra terkekeh kian kencang. Dia keluar dari mejanya. Senyum liciknya tersemat kurang ajar. âBagaimana kalau kamu layani teman-temanku sekarang, dimulai dari melepaskan pakaianmu itu? Setelahnya kuberikan alamat hotel tempat suami dan adik tirimu sekarang?â
Jantung Aryesta berdegup sangat kencang dengan kedua tangan meremat kencang cardigan yang sedang dia pakai. Entah kenapa ada perasaan aneh merayap dalam hati Aryesta saat Aleandra mengatakan hal tersebut.
Aleandra semakin mendekat dan membuka kancing teratas. "Atau ... mau mencoba bersenang-senang denganku lebih dulu, hmh?"
Aryesta membelalakkan mata tak percaya atas apa yang dia dengar. Sumpah, demi apa pun dia tak pernah menyangka Aleandra tega mengatakan itu padanya.âApa?â Mata Aryesta membesar, lalu menyipit dengan gigi-gigi yang saling bergesekan saking bencinya pada Aleandra. âCoba kamu ulangi sekali lagi, sialan!âAleandra tertawa menjengkelkan. Sambil memiringkan kepala, dia mainkan kedua alis untuk menggoda. âKamu mendengar apa yang kukatakan, Aryesta. Oh, ayolah ... atau kamu layanin aku dulu, hmh?"Amarah dalam dada Aryesta membuncah. Napasnya tampak putus-putus. Sungguh, dia sangat-sangat tak menyangka, Aleandra akan meminta hal itu untuk ditukar dengan alamat hotel tempat Dion dan Dinda sekarang.âKamu sudah gila?â Aryesta mendesis. âKamu pikir aku ini apa? Perempuan penghibur, hah?!âAleandra mengedikkan bahu. âTerserah. Pilihan ada di tangan kamu. Kamu mau, aku akan kasih informasi di mana adik tiri dan suami kamu itu sekarang. Kalau pun tidak, aku enggak akan rugi.â Dia bersiap membalik
Aryesta mengetatkan rahang. Dadanya turun naik menahan rasa marah dan sakit hati. Luar biasa sakit jika Aryesta boleh menambahkan. Dikhianati oleh suami dan adik sendiri tak pernah dia bayangkan akan merasakannya.Aryesta memundurkan langkah. Dia menggeleng. Rasanya masih tak percaya Dion bisa melakukan hal ini padanya. Berkhianat di pernikahan mereka dalam hitungan jam.Tak sengaja menginjak pecahan vas bunga, Aryesta menunduk. Rasa sakit buatnya seketika putus asa. Dia berjongkok, lalu mengambil pecahan dengan ujung runcing.âLepaskan itu, Aryesta!â teriak Dion. Dia mendekat dengan langkah waspada kalau-kalau perempuan yang masih berstatus istrinya itu nekat melukainya atau Dinda, atau malah diri Aryesta sendiri. âLepas, Aryesta.âAryesta menyeringai melihat riak ketakutan di wajah Dion. Dia yang awalnya ingin menggores lengan sendiri, berubah pikiran. Kenapa dia harus menyakiti diri sendiri? Sementara Dinda dan Dion justru pasti akan tertawa di atas penderitaannya.âKenapa?â Aryesta
Aryesta masuk ke dalam mobil dengan perasaan yang tak bisa dia jelaskan. Hancur lebur, bukan lagi kata yang bisa mewakili keadaan hatinya kini.Bagai jatuh tertimpa tangga, dia dipermalukan oleh orang yang tak tahu apa maksudnya, mengalami kekerasan, lalu ditalak di malam pengantin.Seolah-olah takdir belum puas mengujinya, masih di hari yang sama, dia mendapati suami dan adik tirinya bercumbu mesra. Lagi, belum cukup, Tuhan ingin mengujinya. Dion, bukannya meminta maaf atas kesalahan justru menjanjikan perpisahan.Pembelaan Dion terhadap Dinda adalah yang paling menyakitkan. Dia hanya korban keegoisan seseorang, tetapi dunia menatapnya hina.Memejamkan mata, Aryesta merasai luka dalam hatinya, sungguh terasa nyeri. Dia bisa mendengar raungan sanubarinya. Dia kepalan tangan saat mengingat bagaimana Dion melindungi Dinda tadi. Kepalan itu dia pukulkan pada bantalan duduk.Aryesta membuka mata saat dering ponselnya terdengar lagi. Sudah beberapa kali dia mengabaikan, tetapi entah siapa y
"Keterlaluan kamu, Aryesta! Di mana pikiranmu. Inikah hasil belajarmu di luar negeri sana, hah!" Surya, kakek Aryesta itu menggemeletukkan gigi. Dia pandangi cucunya dengan perasaan kecewa. "Kakek benar-benar enggak menyangka kamu bisa melakukan hal rendah seperti itu!"Aryesta menggeleng. "Kakek lagi bicara apa? Aryesta bisa jelasin semuanya, Kek."Dengan lirih Aryesta berusaha mendekati sang kakek yang masih mengeraskan rahangnya. Namun, siapa sangka ada sosok perempuan paruh baya yang saat ini sedang melipat tangan di dada dan berjalan ke samping Kakek Surya. Dialah Denia ibu tiri yang memiliki anak bernama Dinda.'Ya Tuhan ... aku sungguh enggak akan sanggup kalau terus mengingat kejadian menjijikan di hotel tadi antara suami dan adik tiriku,' batin Aryesta seraya memejamkan matanya dan menarik napas, lalu mulai melangkah semakin mendekati Kakek Surya."Kek, Kakek enggak mungkin percaya sama berita murahan itu, kan?" Sungguh harap-harap cemas Aryesta saat mengatakannya."Halah, kam
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, tubuh Aryesta membatu dengan mata terbelalak melihat Kakek Surya yang baru saja menyampaikan ultimatumnya.Dengan tangan mengepal kencang dan air mata yang sudah tak mampu Aryesta bendung lagi, kini perempuan malang itu merangkak dan meraih kaki sang Kakek dengan tatapan penuh lukanya."Kâkakek enggak serius kan, Kek? Aku masih cucuk Kakek, kan? Enggak mungkin Kakek percaya sama berita murahan itu, kan?" lirih Aryesta dengan tubuh bergetar menahan isak tangis yang sudah mulai terdengar.Lagi, Aryesta menatap ke atas. Berharap mendapatkan empatik dari sang kakek yang selama ini selalu berpihak padanya, tetapi yang Aryesta lihat hanya tatapan datar nan dingin. Sebuah tatapan yang belum pernah Aryesta dapatkan dari Kakek Surya selama hidupnya, kini justru tatapan penuh kecewa dan terluka itu ditunjukkan padanya.Sekali lagi, Aryesta menarik lembut celana kakeknya. "Aku akan buktiin sama Kakek, kalau semua berita itu bohong, Kek. Aku bakalan bawa o
Selepas meninggalkan kediaman keluarga, kini Aryesta terus berjalan tanpa arah dan tujuan. Apalagi perempuan yang diceraikan saat malam pertama pernikahannya ini tak memiliki satu orang teman pun di Indonesia.Sekolah di luar negri selama bertahun-tahun, membuat Aryesta sendirian ketika berada di kota kelahirannya ini.Kakinya terus melangkah dan bingung harus pergi ke mana lagi, hingga akhirnya Aryesta mengingat jika dirinya masih memiliki ponsel.Aryesta rogoh ponsel yang berada di saku, lalu tatapannya menengadah pada sebuah konter HP yang berada di seberang jalan.Ada helaan napas yang keluar dari bibir pink alami itu, sebelum akhirnya Aryesta putuskan untuk mendekati salah satu ruko dengan merek ternama itu.Meskipun ragu, tetapi dirinya sungguh tak memiliki pilihan lain, selain menjual handphone yang dia beli lebih dari lima tahun lalu ini."Maaf, Mbak. Kalau aku jual HP ini, kira-kira laku berapa, ya?" tanya Aryesta dengan hati tak rela.Sang penjual konter yang ternyata seorang
"Dasar laki-laki gila!" maki Aryesta ketika mendengar apa yang baru saja Aleandra katakan di dalam kondisi setengah sadarnya itu.Dengan tatapan memicing penuh kesal pada laki-laki yang masih memejamkan matanya, kini Aryesta bangkit dan menepuk-nepuk pakaiannya yang mungkin saja terkena debu jalanan."Rugi aku sempat khawatir sama laki-laki kurang waras kayak kamu! Tahu gitu, aku tinggal aja dari tadi!" kesalnya. Kali ini Aryesta berbalik badan dan mulai melangkah.Sempat terdiam dan berhenti melangkah saat tak terdengar pergerakan apa-apa dari Aleandra. Entah kenapa rasa khawatir berlebihannya perlahan muncul ke permukaan dan secepat kilat menoleh ke arah Aleandra yang sepertinya pingsan.Menarik napasnya dalam-dalam lalu memutar tubuh, dan kembali melangkah mendekati Aleandra, yang masih terkapar, dengan luka di dahinya akibat membentur aspal, karena keserempet pengendara motor tadi."Heh, bangun! Jangan coba-coba main-main sama aku, yah! Kutendang anumu itu nanti!" ancam Aryesta, s
Dukh!"Argh!" pekik Aryesta saat puncak kepalanya membentur dagu Aleandra.Dengan perasaan dongkol luar biasa, Aryesta akan menyemburkan segala sumpah serapahnya pada Aleandra, hingga pada detik matanya mendongak dan menatap wajah di depannya, saat itu juga emosinya perlahan sirna."Apakah kepalaku begitu keras, sampai-sampai bikin dia pingsan lagi?" lirih Aryesta dengan perasaan tak enaknya karena Aleandra yang kembali pingsan.Akan tetapi, jauh di lubuk hati yang paling dalam, Aryesta merasa inilah keberuntungannya, karena dia tak harus berdebat dengan laki-laki setengah mabuk itu.Entah apa yang terjadi hingga membuat Aleandra mabuk sedemikian rupa, dan hal itu membawa ingatan Aryesta pada kejadian lima tahun lalu, tepatnya saat keduanya pernah dekat."Kenapa kamu begitu banyak berubah, Al?" bisik Aryesta yang sungguh menyayangkan segala sikap kurang ajar Aleandra.Padahal, keduanya tak memiliki dendam apa-apa, tetapi kenapa Aleandra terlihat sangat membenci dirinya, sungguh demi a
"Ar kamu di mana?" racau Aleandra di sela tidurnya.Sejak kejadian nahaas hilangnya sang istri berserta keluarga perempuan itu dua bulan lalu, kondisi tubuh Aleandra semakin buruk.Bahkan hari ini laki-laki itu sedang berbaring dengan mengigaukan nama istri pertamanya yang hingga saat ini belum dia ketahui. Dari semua orang yang masuk dalam daftar, hanya Aryesta, Kakek Surya, Denia dan Dina yang belum juga ditemukan tubuh ataupun jasadnya.Karena itulah, Aleandra berhalusinasi jika Aryesta masih hidup entah di mana. Yang sialnya dia lupa memberikan alat pelacak pada sang istri."Aku pikir kamu tidak akan pernah ninggalin aku, Ar. Makanya aku diam saja, dan tidak memiliki niat menanamkan alat pelacak itu padamu," ucap Aleandra pelan yang matanya sudah mulai mengerjap bangun.Refleks tangannya memegangi kepalanya yang terasa sangat pusing dan mual yang tak tertahankan, bahkan sialnya lagi sekarang dia justru menginginkan mangga muda dengan bumbu rujak."Maaf, Tuan. Tapi Anda baru saja s
"Pesawat yang melakukan penerbangan ke London yang lepas landas pada pukul 13.00 WIB siang ini mengalami kecelakaan karena cuaca tiba-tiba memburuk. Berikut nama-nama penumpang yang tercatat di pembelian tiket adalah, Dinda, Aryesta Ribela, dan dua orang lainnya belum ditemukan oleh tim sar. Sekian berita siaran langsung hari ini, sampai jumpa di liputan selanjutnya."Deg!Prang!Jantung Adam berdetak sangat kencang, ketika mendengar berita siaran langsung di hadapannya. Bahkan makanan dan minuman yang berada di atas nampan itu terjatuh saking terkejutnya dengan informasi dadakan ini."Bâbagaimana bisa?"Sumpah demi apa pun, dada Adam terasa sesak dan seketika itu juga lupa caranya bernapas, membuatnya tersengal-sengal.Setelah mengumpulkan kesadaran yang sempat hilang sejenak, Adam langsung berlari sekuat tenaga menuju salah satu ruangan di perusahaan itu.Namun, sialnya entah kenapa jarak dari kantin menuju ruangan sahabat sekaligus bosnya itu terasa sangat jauh, hingga beberapa kali
"Apa kamu yakin, Al?"Pertanyaan Randy membuat Aleandra yang semula melamun langsung terkejut. Menoleh ke arahnya dengan tatapan gelisah. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh putra semata wayangnya ini, Randy cukup heran. Karena tak biasanya Aleandra kurang fokus seperti ini."Kamu kenapa lagi, Al? Pusing? Mual? Atau tidak enak badan?" tanya Randy lagi, karena memang selama ini yang merasakan ngidam adalah Aleandra, bukan menantunya. Terlebih di jam makan siang seperti ini, Aleandra kerap tantrum dan butuh pijatan sang istri. Orang ngidam memang selalu aneh-aneh, dan Randy pernah merasakannya dulu, saat istrinya mengandung Aleandra.Aleandra memijat pangkal hidungnya yang mulai terasa nyut-nyutan. Tetapi tak mau dia terlihat lemah di hadapan papanya, karena dirinya sudah terbiasa selama tiga bulan ini. Meraskan tubuhnya yang tiba-tiba letoy, dan ternyata dirinya kena sindrom ngidam.Jika kebanyakan sang istri yang mengidam banyak hal, ini justru pihak suami. Itulah sebabnya Aleandra t
"Sekarang pergi ke kamar, dan jelaskan padaku, Ar!" perintah Aleandra dengan suara tegas, tetapi pelannya. Karena dia tak ingin keluarganya tahu, jika pernikahan dirinya bersama Aryesta layaknya tengah berada di ujung tanduk.Aryesta hanya mengangguk. Kemudian meminta izin pada Papa dan Mama mertuanya, tak lupa dia juga pamit dengan Tisya sang madu. Beralasan jika Aleandra meminta dipijat lagi. Ya, hanya itulah yang bisa dia gunakan sebagai alasan saat ini. Terlebih waktu sudah menunjukkan jam satu dini hari.Setelah mendapat persetujuan dari mereka, Aryesta berbalik badan. Menarik napasnya sangat dalam, lalu melangkah mengikuti jejak suaminya menuju kamar mereka.Ketika langkahnya mencapai pintu kamar, Aryesta tak lantas membukanya, dia justru terdiam sejenak, dan mencari-cari alasan yang sekiranya dapat dia berikan pada suaminya itu.Ditambah lagi, dia bingung dari mana Aleandra mengetahui jika dirinya masuk ke dalam ruang kerja Mama Ranti? Mungkinkah dirinya berada dalam pengawasan
"Apa kamu pikir, kamu bisa bebas begitu saja, setelah apa yang kamu lakukan?""Ingat, aku tidak akan tinggal diam jika kamu tidak membantunya, Ranti!" Itulah bunyi dua pesan suara yang dikirimkan oleh nomor tak dikenal padanya.Dengan tangan meremat ponsel, Ranti mengeraskan rahangnya, lalu membanting benda pipih itu ke dinding hingga menimbulkan suara keras, yang membuat Aryesta terkejut di balik gorden."Berengsek! Aku tidak bersalah! Aku tidak melakukannya! Semua ini salahnya! Tapi kenapa aku yang dapat getahnya, sialan!" desis Ranti, dengan mata penuh kebencian menatap bingkai keluarga kecilnya bersama Randy, Aleandra, juga Tisya. Sebuah foto pernikahannya bersama Randy beberapa tahun silam.Matanya semakin tajam melihat Aleandra yang terlihat malas difoto, "Gara-gara kamu melindunginya. Aku yang jadi buronan mereka, sialan! Dasar anak tiri tidak tahu diri!" pekik Ranti yang tatapannya dipenuhi dendam juga kebencian pada anak tirinya.Matanya terpejam, dan menumpukan telapak tangan
"Iâitu ...."Aryesta tak bisa melanjutkan alasannya, karena jantungnya berdebar-debar tak menentu, saat mendengar seseorang memanggil, dan menanyakan perihal ucapan pelannya tadi."Aku menyesal, kenapa aku harus mengeluarkan suaraku tadi, sih. Harusnya aku ngomong dalam hati saja. Kalau begini kan, repot urusannya. Apalagi sampai ketahuan gini." Aryesta menggerutu di dalam hatinya, atas semua kebodohan dan kecerobohannya beberapa detik lalu, ketika dirinya menutup pintu kamar.Masih memunggungi seseorang, Aryesta pun meremat jari-jarinya dengan perasaan gugup. Kemudian dia memberanikan diri membalikan tubuhnya secara perlahan. Bahkan dia sudah siap jika mendapat banyak pertanyaan atau tuduhan lain dari orang itu.Bukan amarah orang itu yang Aryesta pikirkan saat ini. Namun, bagaimana dengan misinya, dan tak ada misi yang berhasil dia laksanakan. Ya Tuhan. Dirinya akan sangat malu di hadapan Derren Rynegan. Pasti Kakak sepupunya itu akan meledeknya terus-menerus.Hah! Mungkin inilah akh
Di sepanjang perjalanan pulang, Dinda tak banyak bicara, membuat Adam sesekali menoleh ke arahnya, tetapi hanya sejenak, karena laki-laki itu kembali fokus pada jalanan.Hah!Terdengar hela napas berat Dinda yang mengalihkan atensi Adam kembali, hingga dirinya yang sudah tak tahan pun bertanya, "Apakah Anda masih tidak percaya pada ucapan istrinya?"Dinda tak langsung menjawab, dan kembali mengingat ucapan dari perempuan yang mengaku sebagai istri sah Dion. Ditambah seorang anak perempuan yang mereka miliki, yang sudah berusia 5 tahun."Aku tidak menyangka saja ... kalau selama ini dia berbohong mengenai statusnya, bahkan dia sampai memanipulasi kami semua." Lagi, Dinda mengembuskan napas panjangnya. "Tapi aku benar-benar tak menyangka, dia tega melakukan ini semua hanya karena sebuah dendam."Ya, dendam. Dendam di masa lalu yang mengakibatkan dirinya dipecat dari pekerjaannya yang saat itu menjadi clining servise di sebuah perusahaan, akibat mencopet tas kerja milik Randy, yang merupa
"Lama banget sih! Ke mana lagi tuh, orang," gerutu Dinda yang jengkel duduk di salah satu kursi restaurant, yang tak jauh dari tempat keluarga Aleandra.Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, di sebuah restaurant yang cukup ramai pengunjung ini, Dinda sedang menunggu seseorang. Namun, sudah beberapa kali dia menoleh pada pintu masuk, berharap saudara tirinya tiba, tak kunjung memunculkan batang hidungnya juga.Saking kesalnya menunggu, Dinda pun meraih ponsel dan menelepon Aryesta, yang deringnya langsung terdengar dari arah belakang.Tanpa menunggu respon dan mendengar jawaban, Dinda langsung bangkit hendak memaki, tetapi justru yang datang adalah seseorang yang tak dia kenali, sedang memegang ponsel Aryesta."Siapa kamu? Dan di mana Kakak tiriku?" tanya Dinda yang matanya menatap tajam ke arah laki-laki muda tampan di depannya.Laki-laki itu tersenyum kecil lalu mengangguk sebagai sapaan. Kemudian dia putuskan untuk duduk, meski tak dipersilakan oleh Dinda. Ah masa bodo. Dirinya suda
"Dasar laki-laki aneh," gumam Aryesta setelah berhasil keluar dari kungkungan suaminya. Kini dia sudah berada di luar ruang perawatan Aleandra, dan menutup pintu itu.Terlihat ada Tisya yang sudah menunggu dirinya. Aryesta pun akhirnya berjalan mendekati dan ikut madunya menuju ruangan dokter kandungan. Yang entah kenapa tangannya terasa berkeringat dingin, saat membayangkan pemeriksaan di dalam sana.Tisya menoleh lalu berkata, "Kamu tidak usah gugup gitu, Ar."Aryesta hanya mendelik sinis, lalu bertemu dokter perempuan paruh baya yang menyambut kehadiran keduanya dengan hangat.Pemeriksaan pun berjalan hingga tiga puluh menit lamanya, mengingat yang diperiksa adalah dua orang, dengan USG dan serangkaian pertanyaan lain. Hingga hasilnya benar-benar keluar."Dari hasil pemeriksaan kalian berdua, jika yang sedang mengandung adalah Nyonya Aryesta dengan usia kandungan empat belas minggu, atau 4 bulan, terhitung dari hari pertama haid terakhir. "Bagaikan tersambar petir di siang bolong,