Share

3. Menemui Aleandra

Dion melangkahkan kaki dengan hentakan keras. Kedua tangannya mengepal kuat. Rahang pria itu mengeras sempurna. Dia buka mobil cepat, lalu membanting diri. Tangan yang terkepal dia pukulkan pada roda setir.

“Sialan!” Lagi, dia pukul roda kemudi. Sungguh kemarahannya tak mereda sedikit pun. Dion luar biasa kecewa. Dia tak menyangka, Aryesta bisa mengkhianatinya seperti ini. “Kurang ajar!”

Dengan dada yang naik turun, Dion memejamkan mata. Kilasan perkenalannya dengan Aryesta berkelebat. Dia yang terpana pada pandangan pertama, melihat Aryesta sebagai sosok baik-baik. Hal yang membuat Dion yakin untuk menikahi perempuan itu.

Siapa sangka, wajah cantik, tutur kata baik, sopan santun Aryesta justru kamuflase yang menutupi kebrengsekkannya.

Lima menit dalam mobil, Dion tak juga bisa meredakan rasa marah dan kecewa dalam dada. Dia mengangkat kepala dari roda kemudi. Bersiap untuk pergi. Entah ke mana. Yang jelas dia butuh pelampiasan saat ini.

Baru akan memutar kunci, seseorang yang masuk buat Dion menoleh. Pria itu mendengkus sembari melengos.

“Pergi!” usirnya pada Dinda si adik ipar. Dion menoleh saat merasa pintu mobil ditutup. Matanya membesar dia kira Dinda pergi, tetapi justru duduk di sampingnya dengan tangan menyentuh pahanya. “Pergi!” katanya lagi seraya mengempaskan tangan Dinda.

Sementara Dion bersikap ketus, di depannya Dinda justru terkekeh. Adik tiri Aryesta itu sama sekali tak tersinggung. Dia menyamankan posisi, lalu tangannya mengibaskan rambut ke belakang.

Bibir bergincu merah terang itu melengkung saat Dion kembali menusir dan menggeram. “Mas,” panggilnya manja. Dia kembali menyentuh tubuh Dion. “Aku bukan Aryesta. Walau kami bersaudara, aku enggak murahan kayak istrimu itu. Perempuan yang kamu cintai enggak lebih murahan dari perempuan pinggir jalan.”

Dion menangkap tangan Dinda, lalu seperti tadi, dia hempaskan tangan itu. “Turun,” ucapnya dingin, “cepat turun!”

Dinda tersenyum manis. Keras kepala, perempuan itu justru menyerongkan tubuh dengan gesture menggoda. “Aku tau, kamu pasti kecewa kan, Mas?” Dia berkedip lambat. “Seharusnya kamu mendengarkan aku waktu itu, tapi kamu enggak percaya.”

Tatapan Dion mengikuti jemari Dinda yang bergerak nakal menggerayangi ke arah dada. Jari-jari bercat pink nan cantik itu kini berani menyusup di antara celah kancing kemeja.

Dion mendesis sembari memejamkan mata saat ujung jari Dinda berputar-putar sebelum menekan pelan. Disusul oleh jari lain. Dia membuka kelopak perlahan, lalu dia rasakan tubuhnya panas dingin. Sialnya, Dinda justru tersenyum menggoda lengkap dengan bibir tersungging senyum sensual.

“Apa sebenernya yang kamu inginkan?” tanya Dion. Dia tahan tangan Dinda agar tak menggerayangi lebih dalam. “Keluar, saya harus pergi.”

Dinda mengedipkan mata. “Gimana kalau kita pergi bareng?” Dia dekatkan wajahnya, lalu sedikit mendongak. “Aku jamin, kamu enggak akan nyesel, Mas.”

“Kamu ....” Dion belum menggantung ucapannya. Aroma parfum dari tubuh Dinda, jarak tubuh keduanya yang terlalu dekat, juga napas wanita itu yang menempa wajahnya, menyebarkan aroma manis buat dia kesulitan bernapas. “Menjauh dariku, Sialan—“ Tak sempat mendorong, Dinda justru menempelkan bibir mereka.

Hanya menempel pada awalnya, lalu saat rasa manis terasa, Dinda yang bergerak lebih dulu, Dion tak lagi kuasa menahan diri. Dia ikut mencecap, hingga suara decapan tercipta. Dion menahan tengkuk Dinda, lalu menjadi kian panas saat Dinda bergerak ke atas pangkuan.

Dion menahan kedua tangan Dinda yang hendak membuka kancing kemejanya. “Jangan!” cegahnya. Dia kecup bibir yang mengerucut itu. “Kita ke hotel saja, ya?"

Dinda tersenyum senang. Dia balas kecupan Dion, lalu mengangguk. “Ayo,” ajaknya manja. Kali ini kecupannya berlabuh di kedua pipi Dion.

Keduanya meninggalkan kediaman dengan tergesa dengan hasrat mendesak. Sementara itu di dalam rumah, Aryesta selesai bersiap. Dia keluar dan menahan sumpah serapah pada Aleandra Zeygan. Laki-laki kurang ajar yang dia kenali.

Aryesta akan menemui laki-laki sialan itu. Dia yang belum mahir menyetir segera memanggil sopir. Lalu dia sebutkan nama perusahaan Aleandra.

Sampai di perusahaan Alra Gruop, Aryesta sampaikan tujuan kedatangannya pada resepsionis, lalu dia diarahkan ke lantai di mana ruangan CEO berada. Dia menggeram kala perempuan berblazer hitam, yang tak lain adalah sekretaris Aleandra Zeygan menghadang langkahnya.

“Saya mau bertemu Aleandra Zeygan!” ulang Aryesta. Barangkali sekretaris itu tak mendengar. “Hubungi atasan Anda sekarang.”

“Maaf, saya enggak bisa melakukan itu,” balas sang sekretaris. “Silakan pergi.”

“Kamu enggak dengar apa yang saya bilang?” kesal Aryesta yang merasa semakin geram saat ini.

Sekretaris itu pun tetap bersikukuh. “Buatlah janji temu, Nona. Pak Aleandra tak bisa ditemui jika tak melakukan janji lebih dulu.”

Aryesta menggeram. Sepertinya apa pun yang dia jelaskan sekretaris itu tetap tak mengerti. Tangan Aryesta meremat-remat jari. Lalu, tatapannya beralih pada pintu. Dia menyipit, lalu tersenyum culas membaca nama yang terpampang di depan pintu.

Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, Aryesta langsung menerjang pintu di depannya.

“Hey, Anda mau ke mana!”

Teriakan sang sekretaris itu tak didengar olehnya, Aryesta justru berlari dan menerobos hingga masuk ke dalam. Beruntung pintu ruangan CEO itu tak terkunci.

Brak!

“Pak, maaf. Saya sudah menahannya, tetapi dia memaksa masuk tanpa bisa saya cegah," ucap sekertaris itu bertepatan dengan masuknya Aryesta yang menatap penuh amarah ke arah Aleandra yang duduk membelakangi.

Aleandra tersenyum miring. Dia belum membalik badan hanya karena sedang menahan senyum kemenangan. Aryesta akhirnya datang sendiri untuk menemuinya.

Aleandra mengibaskan tangan di udara tanpa membalikan badan. “Biarkan! Kamu bisa kembali ke mejamu dan tutup pintu.”

Segera setelah bunyi pintu ditutup pelan, CEO muda yang sangat tampan sekali, bahkan jauh lebih tampan dari Dion itu pun kini membalikab badannya. “Apa kabar, Aryesta?”

Aryesta menggeram. Kakinya merangsek. “Apa yang kamu lakukan, hah!” teriaknya, “apa yang kamu inginkan? Kenapa kamu melakukan ini!”

“Santailah.” Aleandra duduk di kursinya. Senyum menyebalkannya masih bertahan. “Kamu akan kehabisan energi jika baru awal saja sudah tantrum seperti ini.”

Aryesta menggebrak meja dengan kedua tangannya. Matanya menyalak marah. “Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Aleandra?!”

“Kamu bertanya, apa mauku hmh?” Aleandra tertawa. “ Aku mau bermain. Mau menjadi teman mainku enggak, nih?”

“Jangan main-main, Aleandra!” teriak Aryesta. Dia benci melihat tawa laki-laki itu. Tak tahukah, permainan Aleandra telah menghancurkan rumah tangganya? Sungguh ini permainan yang tak lucu sama sekali. “Katakan, apa salahku?”

“Sudah kujawab, bukan?” Aleandra memiringkan wajah. “Aku hanya ingin mengajakmu bermain, Aryesta.”

Aryesta menggeram. “Kamu gila!” teriaknya makin kencang. Dada Aryesta naik turun menahan kemarahan. Mengirimkan video tak senonoh pada suaminya, di malam pertama, lalu mendapat kekerasan dan berakhir diceraikan, ini sungguh tak lucu. “Katakan, apa masalahmu. Kenapa kamu melakukan ini!”

“Aku masih punya banyak permainan. Anggaplah video tadi malam sebagai kado atas pernikahanmu.”

Aryesta membesarkan mata. “Apa maksudmu?”

Sementara itu, Aleandra makin terbahak melihat buruannya tampak tak bisa mengendalikan diri. Perlahan, tawanya mereda, berganti wajah mengejek. Namun, tangan di bawah meja terkepal kuat dengan perasaan campur aduk. Ada rasa puas melihat Aryesta begitu kacau.

“Ini belum seberapa, Aryesta! Ada hadiah lainnya yang belum kamu dapatkan! Bukankah kamu enggak tahu ... kalau saat ini suami tercintamu sedang cek in ke hotel bersama Dinda, adik tirimu itu.”

Jantung Aryesta berdebar sangat kencang mendengarnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status