Share

5. Keciduk Bermain Dengan Adik Tiri

Aryesta membelalakkan mata tak percaya atas apa yang dia dengar. Sumpah, demi apa pun dia tak pernah menyangka Aleandra tega mengatakan itu padanya.

“Apa?” Mata Aryesta membesar, lalu menyipit dengan gigi-gigi yang saling bergesekan saking bencinya pada Aleandra. “Coba kamu ulangi sekali lagi, sialan!”

Aleandra tertawa menjengkelkan. Sambil memiringkan kepala, dia mainkan kedua alis untuk menggoda. “Kamu mendengar apa yang kukatakan, Aryesta. Oh, ayolah ... atau kamu layanin aku dulu, hmh?"

Amarah dalam dada Aryesta membuncah. Napasnya tampak putus-putus. Sungguh, dia sangat-sangat tak menyangka, Aleandra akan meminta hal itu untuk ditukar dengan alamat hotel tempat Dion dan Dinda sekarang.

“Kamu sudah gila?” Aryesta mendesis. “Kamu pikir aku ini apa? Perempuan penghibur, hah?!”

Aleandra mengedikkan bahu. “Terserah. Pilihan ada di tangan kamu. Kamu mau, aku akan kasih informasi di mana adik tiri dan suami kamu itu sekarang. Kalau pun tidak, aku enggak akan rugi.” Dia bersiap membalik badan. “Pilihan ada di tangan kamu.”

Aryesta terdiam dengan rasa tak terima. Buku-buku jarinya memutih sebab tanpa sadar terkepal di masing-masing tubuh. Napasnya masih memburu kasar. Dia ingin mengumpati laki-laki yang melenggang santai.

“Baiklah,” ucapnya pelan sambil menundukkan kepala. Seingin apa pun dia ingin melenyapkan Aleandra, Aryesta tak punya pilihan lain. Dia harus bergegas, membuktikan kebenaran tentang suaminya. Atau dia akan kehabisan waktu. “Aku mau melakukan apa yang kamu mau, tapi tolong setelahnya beri apa yang kamu janjikan.”

“Wah, jadi kamu seriusan, nih?” Aleandra berbalik badan penuh sebelum tertawa mengejek. “Cepat lakukan kalau begitu!” tantangnya kemudian.

Aryesta perlahan mengangkat wajahnya. Rahangnya mengetat. Namun, tangannya menarik pelan cardigan yang masih dia kenakan. Kedua maniknya memanas. Seumur hidupnya, ini kali pertama dia merendahkan diri.

Memejamkan mata, Aryesta menarik lepas cardigan tersebut dengan perasaan campur aduk. Menyisakan blush tanpa lengan. Lalu, dia telan ludah sebelum jari-jari lentiknya membuka satu per satu kancing blush berwarna putih itu.

Sementara itu, di depannya, Aleandra melebarkan mata marah. Matanya tak beralih pada jari-jari Aryesta yang melepas satu per satu kancing bajunya. Rahang laki-laki tampan itu mengetat keras. Manik tajam itu kian membola saat Aryesta benar-benar menanggalkan blush hingga pakaian itu teronggok di dekat kakinya.

“Kamu gila, hah!” teriak Aleandra kencang. Dia buka jas dengan cepat, lalu melemparkannya pada Aryesta. “Pakai!” titahnya tak kalah kencang. Kaki-kakinya melangkah lebar dengan tak sabar. Lalu dia pakaikan sendiri jas itu pada Aryesta.

“Dasar perempuan murahan!” bisik Aleandra setelah selesai memakaikan jasnya di tubuh Aryesta yang mematung.

Aryesta menatap marah pada Aleandra, sekaligus tak percaya dan sakit hati. Bukankah tadi laki-laki itu yang memintanya begini? Lalu, sekarang justru mengumpatinya. Sebenarnya apa yang Aleandra inginkan. Harusnya Aryesta-lah yang marah.

“Ikut aku sekarang!” Aleandra mencengkeram tangan Aryesta. Menariknya hingga keduanya sampai pada private room yang memang tersedia di dalam ruangan CEO itu. “Gantilah bajumu!” Setengah tak sabar, dia menghempaskan tangan Aryesta setelah keduanya berada di dalam kamar.

Laki-laki itu membuka semua pintu lemari. “Apa yang sedang kamu lihat, hah!” sentak Aleandra yang melihat Aryesta masih terdiam menatap isi lemari yang penuh dengan pakaian perempuan.

Mengingat kenekatan Aryesta membuka baju tadi, dia semakin kesal. Laki-laki itu terus mengumpati Aryesta dalam hati. Hanya demi sebuah informasi, Aryesta mau memperlihatkan tubuh di depan laki-laki asing tadi.

Sial! Dia harus memastikan dua temannya tadi tak sempat melihat tubuh Aryesta. Beruntungnya rambut Aryesta tergerai, Alaendra rasa kedua temannya belum sempat melihat jelas.

“Cepat ganti bajumu, hei!” suruh Aleandra, lalu pergi dari sana dengan pintu yang ditutup rapat setelah mengatakan alamat hotel pada Aryesta sesuai janjinya tadi.

Aryesta masih memandangi pintu yang tertutup. Dia menggeleng. Merasa sangat aneh dengan sikap Aleandra. Lelaki itu yang memintanya membuka pakaian, dan sekarang justru tampak begitu marah.

“Dasar aneh!” gumam Aryesta. Matanya kemudian memindai seisi ruangan sambil berjalan. Lalu, maniknya berhenti tepat pada isi lemari. “Semuanya pakaian perempuan.” Dia menggeser-geser baju yang digantung. “Hah, ada dalaman juga. Apa dia sering bawa perempuan ke sini?” tanyanya masih dengan menggumam. Lalu, tiba-tiba saja Aryesta merasa kesal sendiri.

Aryesta mengambil satu blush berwarna peach yang tampak cantik. Dia menyentuh bandrol yang masih terpasang di sana. Dia lalu mengambil pakaian lainnya untuk memilih. Dari merek yang tertera di sana, Aryesta tahu bahwa pakaian itu memiliki harga yang sangat mahal.

Memilih blush peach yang akan dia pakai, Aryesta meletakkan pakaian lain ke tempatnya. Dia kenakan pakaian dengan cepat. Lalu, bergeser ke arah cermin.

Di meja rias itu dia temukan perlengkapan perempuan cukup lengkap. Tak ingin pikirannya meliar ke mana-mana, dan jadi kian kesal, Aryesta merapikan rambutnya saja agar segera selesai.

Selesai menyisir rambut, Aryesta tak sengaja menatap satu pigura. Dalam foto itu, ada Aleandra bersama perempuan. Jika Aleandra menatap ke arah kamera, perempuan yang menyandarkan kepala justru membelakangi kamera.

Menyentuh bingkai foto, Aryesta merasa tak asing dengan sosok yang hanya tampak belakang. Matanya sedikit menyipit, lalu membesar lagi. Sayang, meski tak asing, tak dia temukan ingatan tentang foto tersebut.

Aryesta membolak-balik pigura tersebut. Menimbang sebentar, tangannya hendak membuka bagian belakang. Namun, tiba-tiba foto dari tangannya ditarik. Aryesta terkesiap.

“Apa yang kamu lakukan, hah?!” Aleandra mendesis. “Lancang sekali kamu menyentuh barang-barang pribadiku!"

Aryesta meneguk ludah kesal. "Aku hanya melihat fotonya saja! Bukan barang berharga! Dasar menyebalkan!" Dia entakkan kaki, lalu pergi dari sana.

Kembali ke ruangan tadi, tak dia temukan dua laki-laki tadi. Aryesta sempat heran, kenapa dua lelaki itu tak ada. Menggeleng tak peduli, Aryesta membawa dirinya ke hotel.

Sementara itu. Di dalam ruangan, Aleandra duduk di tepi kasur. Matanya memandangi potret di tangannya. “Ini belum seberapa dengan apa yang kamu lakukan dulu, Aryesta,” bisiknya dengan tatapan tajam penuh dendam dengan ingatan-ingatan yang mulai melanglang buana pada lima tahun lalu.

*

*

Sementara itu lima belas menit kemudian, Aryesta telah berada di hotel yang Aleandra maksud. Ada getar ragu untuk melanjutkan langkah. Biar bagaimana pun, Aryesta masih tak percaya  jika Dion berselingkuh dengan adik tirinya hari ini.

Rasa penasaran, pada akhirnya membuat Aryesta mendekat. Dia berjalan di lorong hotel menuju kamar dengan nomor yang sesuai. Sampai di kamar yang dimaksud, dia mengerutkan kening, saat melihat pintu itu tak tertutup rapat.

Pelan-pelan, Aryesta buka pintu lalu menutupnya pelan. Saat dia berbalik dan berjalan, dia temukan pakaian yang tercecer tak beraturan. Seketika, jantungnya berdentam tak beraturan.

Melangkah lebih dekat, Aryesta memejamkan mata. Kakinya berhenti seketika. Suara desah dua orang saling bersahutan kian menambah getar dalam tubuhnya.

Aryesta menggeleng demi menyangkal. “Enggak mungkin Mas Dion mengkhianatiku,” bisiknya pada diri sendiri. Dia ingin berhenti mencari tahu. Namun, kaki-kakinya justru membawanya hingga ke dapur.

Aryesta menutup mulutnya dengan kedua tangan. Pemandangan dua orang saling memagut, juga tubuh saling menempel dengan salah satunya bergerak pelan, adalah yang membuat tubuhnya lemas.

Menggeleng tak percaya pada apa yang dia lihat, Aryesta mundur. Tubuhnya limbung hingga dia tak sengaja menyenggol vas bunga. Vas bunga yang terbuat dari kaca itu jatuh, menimbulkan bunyi pecahan nyaring hingga dua sejoli yang sedang saling mencari kepuasan praktis menghentikan aktivitas percintaan mereka.

“Aryesta?” Dion terkejut. Dia menjauhkan tubuhnya dengan rasa gugup seolah tertangkap basah sedang berselingkuh. “I–ini enggak seperti yang kamu pikirkan, Sayang!"

Aryesta tertawa miris. Dia tak menjawab pertanyaan suaminya. Dia lebih tertarik pada Dinda yang menyunggingkan senyum penuh kemenangan.

“Jadi, ini kelakuan kalian di belakang aku, Mas!” teriak Aryesta yang seketika itu juga hatinya hancur berkeping-keping.

"Enggak Sayang! Aku bisa jelasin semuanya!" jawab Dion yang seketika matanya membulat kala melihat ke arah Aryesta yang sedang mengangkat pecahan vas bunga 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status