Aryesta membelalakkan mata tak percaya atas apa yang dia dengar. Sumpah, demi apa pun dia tak pernah menyangka Aleandra tega mengatakan itu padanya.
“Apa?” Mata Aryesta membesar, lalu menyipit dengan gigi-gigi yang saling bergesekan saking bencinya pada Aleandra. “Coba kamu ulangi sekali lagi, sialan!”
Aleandra tertawa menjengkelkan. Sambil memiringkan kepala, dia mainkan kedua alis untuk menggoda. “Kamu mendengar apa yang kukatakan, Aryesta. Oh, ayolah ... atau kamu layanin aku dulu, hmh?"
Amarah dalam dada Aryesta membuncah. Napasnya tampak putus-putus. Sungguh, dia sangat-sangat tak menyangka, Aleandra akan meminta hal itu untuk ditukar dengan alamat hotel tempat Dion dan Dinda sekarang.
“Kamu sudah gila?” Aryesta mendesis. “Kamu pikir aku ini apa? Perempuan penghibur, hah?!”
Aleandra mengedikkan bahu. “Terserah. Pilihan ada di tangan kamu. Kamu mau, aku akan kasih informasi di mana adik tiri dan suami kamu itu sekarang. Kalau pun tidak, aku enggak akan rugi.” Dia bersiap membalik badan. “Pilihan ada di tangan kamu.”
Aryesta terdiam dengan rasa tak terima. Buku-buku jarinya memutih sebab tanpa sadar terkepal di masing-masing tubuh. Napasnya masih memburu kasar. Dia ingin mengumpati laki-laki yang melenggang santai.
“Baiklah,” ucapnya pelan sambil menundukkan kepala. Seingin apa pun dia ingin melenyapkan Aleandra, Aryesta tak punya pilihan lain. Dia harus bergegas, membuktikan kebenaran tentang suaminya. Atau dia akan kehabisan waktu. “Aku mau melakukan apa yang kamu mau, tapi tolong setelahnya beri apa yang kamu janjikan.”
“Wah, jadi kamu seriusan, nih?” Aleandra berbalik badan penuh sebelum tertawa mengejek. “Cepat lakukan kalau begitu!” tantangnya kemudian.
Aryesta perlahan mengangkat wajahnya. Rahangnya mengetat. Namun, tangannya menarik pelan cardigan yang masih dia kenakan. Kedua maniknya memanas. Seumur hidupnya, ini kali pertama dia merendahkan diri.
Memejamkan mata, Aryesta menarik lepas cardigan tersebut dengan perasaan campur aduk. Menyisakan blush tanpa lengan. Lalu, dia telan ludah sebelum jari-jari lentiknya membuka satu per satu kancing blush berwarna putih itu.
Sementara itu, di depannya, Aleandra melebarkan mata marah. Matanya tak beralih pada jari-jari Aryesta yang melepas satu per satu kancing bajunya. Rahang laki-laki tampan itu mengetat keras. Manik tajam itu kian membola saat Aryesta benar-benar menanggalkan blush hingga pakaian itu teronggok di dekat kakinya.
“Kamu gila, hah!” teriak Aleandra kencang. Dia buka jas dengan cepat, lalu melemparkannya pada Aryesta. “Pakai!” titahnya tak kalah kencang. Kaki-kakinya melangkah lebar dengan tak sabar. Lalu dia pakaikan sendiri jas itu pada Aryesta.
“Dasar perempuan murahan!” bisik Aleandra setelah selesai memakaikan jasnya di tubuh Aryesta yang mematung.
Aryesta menatap marah pada Aleandra, sekaligus tak percaya dan sakit hati. Bukankah tadi laki-laki itu yang memintanya begini? Lalu, sekarang justru mengumpatinya. Sebenarnya apa yang Aleandra inginkan. Harusnya Aryesta-lah yang marah.
“Ikut aku sekarang!” Aleandra mencengkeram tangan Aryesta. Menariknya hingga keduanya sampai pada private room yang memang tersedia di dalam ruangan CEO itu. “Gantilah bajumu!” Setengah tak sabar, dia menghempaskan tangan Aryesta setelah keduanya berada di dalam kamar.
Laki-laki itu membuka semua pintu lemari. “Apa yang sedang kamu lihat, hah!” sentak Aleandra yang melihat Aryesta masih terdiam menatap isi lemari yang penuh dengan pakaian perempuan.
Mengingat kenekatan Aryesta membuka baju tadi, dia semakin kesal. Laki-laki itu terus mengumpati Aryesta dalam hati. Hanya demi sebuah informasi, Aryesta mau memperlihatkan tubuh di depan laki-laki asing tadi.
Sial! Dia harus memastikan dua temannya tadi tak sempat melihat tubuh Aryesta. Beruntungnya rambut Aryesta tergerai, Alaendra rasa kedua temannya belum sempat melihat jelas.
“Cepat ganti bajumu, hei!” suruh Aleandra, lalu pergi dari sana dengan pintu yang ditutup rapat setelah mengatakan alamat hotel pada Aryesta sesuai janjinya tadi.
Aryesta masih memandangi pintu yang tertutup. Dia menggeleng. Merasa sangat aneh dengan sikap Aleandra. Lelaki itu yang memintanya membuka pakaian, dan sekarang justru tampak begitu marah.
“Dasar aneh!” gumam Aryesta. Matanya kemudian memindai seisi ruangan sambil berjalan. Lalu, maniknya berhenti tepat pada isi lemari. “Semuanya pakaian perempuan.” Dia menggeser-geser baju yang digantung. “Hah, ada dalaman juga. Apa dia sering bawa perempuan ke sini?” tanyanya masih dengan menggumam. Lalu, tiba-tiba saja Aryesta merasa kesal sendiri.
Aryesta mengambil satu blush berwarna peach yang tampak cantik. Dia menyentuh bandrol yang masih terpasang di sana. Dia lalu mengambil pakaian lainnya untuk memilih. Dari merek yang tertera di sana, Aryesta tahu bahwa pakaian itu memiliki harga yang sangat mahal.
Memilih blush peach yang akan dia pakai, Aryesta meletakkan pakaian lain ke tempatnya. Dia kenakan pakaian dengan cepat. Lalu, bergeser ke arah cermin.
Di meja rias itu dia temukan perlengkapan perempuan cukup lengkap. Tak ingin pikirannya meliar ke mana-mana, dan jadi kian kesal, Aryesta merapikan rambutnya saja agar segera selesai.
Selesai menyisir rambut, Aryesta tak sengaja menatap satu pigura. Dalam foto itu, ada Aleandra bersama perempuan. Jika Aleandra menatap ke arah kamera, perempuan yang menyandarkan kepala justru membelakangi kamera.
Menyentuh bingkai foto, Aryesta merasa tak asing dengan sosok yang hanya tampak belakang. Matanya sedikit menyipit, lalu membesar lagi. Sayang, meski tak asing, tak dia temukan ingatan tentang foto tersebut.
Aryesta membolak-balik pigura tersebut. Menimbang sebentar, tangannya hendak membuka bagian belakang. Namun, tiba-tiba foto dari tangannya ditarik. Aryesta terkesiap.
“Apa yang kamu lakukan, hah?!” Aleandra mendesis. “Lancang sekali kamu menyentuh barang-barang pribadiku!"
Aryesta meneguk ludah kesal. "Aku hanya melihat fotonya saja! Bukan barang berharga! Dasar menyebalkan!" Dia entakkan kaki, lalu pergi dari sana.
Kembali ke ruangan tadi, tak dia temukan dua laki-laki tadi. Aryesta sempat heran, kenapa dua lelaki itu tak ada. Menggeleng tak peduli, Aryesta membawa dirinya ke hotel.
Sementara itu. Di dalam ruangan, Aleandra duduk di tepi kasur. Matanya memandangi potret di tangannya. “Ini belum seberapa dengan apa yang kamu lakukan dulu, Aryesta,” bisiknya dengan tatapan tajam penuh dendam dengan ingatan-ingatan yang mulai melanglang buana pada lima tahun lalu.
*
*
Sementara itu lima belas menit kemudian, Aryesta telah berada di hotel yang Aleandra maksud. Ada getar ragu untuk melanjutkan langkah. Biar bagaimana pun, Aryesta masih tak percaya jika Dion berselingkuh dengan adik tirinya hari ini.
Rasa penasaran, pada akhirnya membuat Aryesta mendekat. Dia berjalan di lorong hotel menuju kamar dengan nomor yang sesuai. Sampai di kamar yang dimaksud, dia mengerutkan kening, saat melihat pintu itu tak tertutup rapat.
Pelan-pelan, Aryesta buka pintu lalu menutupnya pelan. Saat dia berbalik dan berjalan, dia temukan pakaian yang tercecer tak beraturan. Seketika, jantungnya berdentam tak beraturan.
Melangkah lebih dekat, Aryesta memejamkan mata. Kakinya berhenti seketika. Suara desah dua orang saling bersahutan kian menambah getar dalam tubuhnya.
Aryesta menggeleng demi menyangkal. “Enggak mungkin Mas Dion mengkhianatiku,” bisiknya pada diri sendiri. Dia ingin berhenti mencari tahu. Namun, kaki-kakinya justru membawanya hingga ke dapur.
Aryesta menutup mulutnya dengan kedua tangan. Pemandangan dua orang saling memagut, juga tubuh saling menempel dengan salah satunya bergerak pelan, adalah yang membuat tubuhnya lemas.
Menggeleng tak percaya pada apa yang dia lihat, Aryesta mundur. Tubuhnya limbung hingga dia tak sengaja menyenggol vas bunga. Vas bunga yang terbuat dari kaca itu jatuh, menimbulkan bunyi pecahan nyaring hingga dua sejoli yang sedang saling mencari kepuasan praktis menghentikan aktivitas percintaan mereka.
“Aryesta?” Dion terkejut. Dia menjauhkan tubuhnya dengan rasa gugup seolah tertangkap basah sedang berselingkuh. “I–ini enggak seperti yang kamu pikirkan, Sayang!"
Aryesta tertawa miris. Dia tak menjawab pertanyaan suaminya. Dia lebih tertarik pada Dinda yang menyunggingkan senyum penuh kemenangan.
“Jadi, ini kelakuan kalian di belakang aku, Mas!” teriak Aryesta yang seketika itu juga hatinya hancur berkeping-keping.
"Enggak Sayang! Aku bisa jelasin semuanya!" jawab Dion yang seketika matanya membulat kala melihat ke arah Aryesta yang sedang mengangkat pecahan vas bunga
Aryesta mengetatkan rahang. Dadanya turun naik menahan rasa marah dan sakit hati. Luar biasa sakit jika Aryesta boleh menambahkan. Dikhianati oleh suami dan adik sendiri tak pernah dia bayangkan akan merasakannya.Aryesta memundurkan langkah. Dia menggeleng. Rasanya masih tak percaya Dion bisa melakukan hal ini padanya. Berkhianat di pernikahan mereka dalam hitungan jam.Tak sengaja menginjak pecahan vas bunga, Aryesta menunduk. Rasa sakit buatnya seketika putus asa. Dia berjongkok, lalu mengambil pecahan dengan ujung runcing.“Lepaskan itu, Aryesta!” teriak Dion. Dia mendekat dengan langkah waspada kalau-kalau perempuan yang masih berstatus istrinya itu nekat melukainya atau Dinda, atau malah diri Aryesta sendiri. “Lepas, Aryesta.”Aryesta menyeringai melihat riak ketakutan di wajah Dion. Dia yang awalnya ingin menggores lengan sendiri, berubah pikiran. Kenapa dia harus menyakiti diri sendiri? Sementara Dinda dan Dion justru pasti akan tertawa di atas penderitaannya.“Kenapa?” Aryesta
Aryesta masuk ke dalam mobil dengan perasaan yang tak bisa dia jelaskan. Hancur lebur, bukan lagi kata yang bisa mewakili keadaan hatinya kini.Bagai jatuh tertimpa tangga, dia dipermalukan oleh orang yang tak tahu apa maksudnya, mengalami kekerasan, lalu ditalak di malam pengantin.Seolah-olah takdir belum puas mengujinya, masih di hari yang sama, dia mendapati suami dan adik tirinya bercumbu mesra. Lagi, belum cukup, Tuhan ingin mengujinya. Dion, bukannya meminta maaf atas kesalahan justru menjanjikan perpisahan.Pembelaan Dion terhadap Dinda adalah yang paling menyakitkan. Dia hanya korban keegoisan seseorang, tetapi dunia menatapnya hina.Memejamkan mata, Aryesta merasai luka dalam hatinya, sungguh terasa nyeri. Dia bisa mendengar raungan sanubarinya. Dia kepalan tangan saat mengingat bagaimana Dion melindungi Dinda tadi. Kepalan itu dia pukulkan pada bantalan duduk.Aryesta membuka mata saat dering ponselnya terdengar lagi. Sudah beberapa kali dia mengabaikan, tetapi entah siapa y
"Keterlaluan kamu, Aryesta! Di mana pikiranmu. Inikah hasil belajarmu di luar negeri sana, hah!" Surya, kakek Aryesta itu menggemeletukkan gigi. Dia pandangi cucunya dengan perasaan kecewa. "Kakek benar-benar enggak menyangka kamu bisa melakukan hal rendah seperti itu!"Aryesta menggeleng. "Kakek lagi bicara apa? Aryesta bisa jelasin semuanya, Kek."Dengan lirih Aryesta berusaha mendekati sang kakek yang masih mengeraskan rahangnya. Namun, siapa sangka ada sosok perempuan paruh baya yang saat ini sedang melipat tangan di dada dan berjalan ke samping Kakek Surya. Dialah Denia ibu tiri yang memiliki anak bernama Dinda.'Ya Tuhan ... aku sungguh enggak akan sanggup kalau terus mengingat kejadian menjijikan di hotel tadi antara suami dan adik tiriku,' batin Aryesta seraya memejamkan matanya dan menarik napas, lalu mulai melangkah semakin mendekati Kakek Surya."Kek, Kakek enggak mungkin percaya sama berita murahan itu, kan?" Sungguh harap-harap cemas Aryesta saat mengatakannya."Halah, kam
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, tubuh Aryesta membatu dengan mata terbelalak melihat Kakek Surya yang baru saja menyampaikan ultimatumnya.Dengan tangan mengepal kencang dan air mata yang sudah tak mampu Aryesta bendung lagi, kini perempuan malang itu merangkak dan meraih kaki sang Kakek dengan tatapan penuh lukanya."K–kakek enggak serius kan, Kek? Aku masih cucuk Kakek, kan? Enggak mungkin Kakek percaya sama berita murahan itu, kan?" lirih Aryesta dengan tubuh bergetar menahan isak tangis yang sudah mulai terdengar.Lagi, Aryesta menatap ke atas. Berharap mendapatkan empatik dari sang kakek yang selama ini selalu berpihak padanya, tetapi yang Aryesta lihat hanya tatapan datar nan dingin. Sebuah tatapan yang belum pernah Aryesta dapatkan dari Kakek Surya selama hidupnya, kini justru tatapan penuh kecewa dan terluka itu ditunjukkan padanya.Sekali lagi, Aryesta menarik lembut celana kakeknya. "Aku akan buktiin sama Kakek, kalau semua berita itu bohong, Kek. Aku bakalan bawa o
Selepas meninggalkan kediaman keluarga, kini Aryesta terus berjalan tanpa arah dan tujuan. Apalagi perempuan yang diceraikan saat malam pertama pernikahannya ini tak memiliki satu orang teman pun di Indonesia.Sekolah di luar negri selama bertahun-tahun, membuat Aryesta sendirian ketika berada di kota kelahirannya ini.Kakinya terus melangkah dan bingung harus pergi ke mana lagi, hingga akhirnya Aryesta mengingat jika dirinya masih memiliki ponsel.Aryesta rogoh ponsel yang berada di saku, lalu tatapannya menengadah pada sebuah konter HP yang berada di seberang jalan.Ada helaan napas yang keluar dari bibir pink alami itu, sebelum akhirnya Aryesta putuskan untuk mendekati salah satu ruko dengan merek ternama itu.Meskipun ragu, tetapi dirinya sungguh tak memiliki pilihan lain, selain menjual handphone yang dia beli lebih dari lima tahun lalu ini."Maaf, Mbak. Kalau aku jual HP ini, kira-kira laku berapa, ya?" tanya Aryesta dengan hati tak rela.Sang penjual konter yang ternyata seorang
"Dasar laki-laki gila!" maki Aryesta ketika mendengar apa yang baru saja Aleandra katakan di dalam kondisi setengah sadarnya itu.Dengan tatapan memicing penuh kesal pada laki-laki yang masih memejamkan matanya, kini Aryesta bangkit dan menepuk-nepuk pakaiannya yang mungkin saja terkena debu jalanan."Rugi aku sempat khawatir sama laki-laki kurang waras kayak kamu! Tahu gitu, aku tinggal aja dari tadi!" kesalnya. Kali ini Aryesta berbalik badan dan mulai melangkah.Sempat terdiam dan berhenti melangkah saat tak terdengar pergerakan apa-apa dari Aleandra. Entah kenapa rasa khawatir berlebihannya perlahan muncul ke permukaan dan secepat kilat menoleh ke arah Aleandra yang sepertinya pingsan.Menarik napasnya dalam-dalam lalu memutar tubuh, dan kembali melangkah mendekati Aleandra, yang masih terkapar, dengan luka di dahinya akibat membentur aspal, karena keserempet pengendara motor tadi."Heh, bangun! Jangan coba-coba main-main sama aku, yah! Kutendang anumu itu nanti!" ancam Aryesta, s
Dukh!"Argh!" pekik Aryesta saat puncak kepalanya membentur dagu Aleandra.Dengan perasaan dongkol luar biasa, Aryesta akan menyemburkan segala sumpah serapahnya pada Aleandra, hingga pada detik matanya mendongak dan menatap wajah di depannya, saat itu juga emosinya perlahan sirna."Apakah kepalaku begitu keras, sampai-sampai bikin dia pingsan lagi?" lirih Aryesta dengan perasaan tak enaknya karena Aleandra yang kembali pingsan.Akan tetapi, jauh di lubuk hati yang paling dalam, Aryesta merasa inilah keberuntungannya, karena dia tak harus berdebat dengan laki-laki setengah mabuk itu.Entah apa yang terjadi hingga membuat Aleandra mabuk sedemikian rupa, dan hal itu membawa ingatan Aryesta pada kejadian lima tahun lalu, tepatnya saat keduanya pernah dekat."Kenapa kamu begitu banyak berubah, Al?" bisik Aryesta yang sungguh menyayangkan segala sikap kurang ajar Aleandra.Padahal, keduanya tak memiliki dendam apa-apa, tetapi kenapa Aleandra terlihat sangat membenci dirinya, sungguh demi a
Entah apa yang terjadi pada Aryesta, ketika dirinya merasa ada sinar matahari yang masuk melalui celah gorden, dan dirinya pun mendengar suara berisik yang entah dari mana datangnya."Aduh, apaan sih? Berisik banget, deh!" gumam Aryesta yang matanya masih terpejam karena belum sepenuhnya sadar.Aryesta pun merenggangkan tangannya, tetapi kok tubuhnya terasa dingin seolah-seolah tak ada pakaian yang dia kenakan?Aryesta perlahan membuka kedua matanya dan betapa terkejutnya dia saat melihat banyaknya orang sedang menatap dirinya yang seketika itu juga langsung memalingkan pandangan mereka."Bangunlah Aleandra!" teriak laki-laki yang duduk di kursi roda serta melemparkan bantal ke wajah Aleandra yang baru saja mengerjapkan kedua matanya bingung.Aleandra baru saja terbangun dan langsung mendapat hadiah bantal yang dilemparkan oleh ayahnya, tentu saja sedikit membuat dirinya terkejut dan bingung.Sementara laki-laki yang tak lain dan tak bukan adalah ayah kandungnya yang bernama Randy Alen
Setelah pembicaran panjang kali lebar bersama kakak sepupunya, kini Aryesta berada di ruang perawatan, karena ternyata Dion sudah bangun dari masa kritisnya.Dion sudah sadar dua jam yang lalu, tanpa sepengetahuannya, karena bercerita dengan Derren tak pernah sebentar.Saat ini Dion sedang tersenyum manis ke arah Aryesta yang sibuk menyuapinya bubur."Aku senang kamu baik-baik aja, Sayang."Aryesta tersenyum kecil dan menyelesaikan suapan terkahir untuk Dion, sebelum akhinrya memberikan air mineral. Sesi makan pun selesai."Kenapa kamu lakuin semua itu, Mas? Apa kamu sengaja pengen buat aku semakin hutang budi sama kamu?"Perkataan yang keluar dari mulut Aryesta, membuat dada Dion berdebar kencang, karena takut kebusukannya terbongkar.Namun, Dion rasa mustahil."Enggak mungkin Aryesta punya kemampuan melacak semua bukti, yang udah aku hilangkan itu, kan? Aku tahu dia tidak semahir itu untuk melacak kejadian kemarin," pikir Dion yang hanya bisa dia utarakan di dalam hatinya saja.Aryes
"Al itu cuman senior aku yang sering bantuin aku selama di sini, Kak! Enggak lebih dari itu!"Derren memicingkan matanya tak percaya, karena dari mata Aryesta jelas menyiratkan lebih dari sekadar itu."Jujur sama Kakak, atau perlu Kakak buat hancur perusahaan keluarganya!" Ancaman mematikan yang selalu sukses membuat Aryesta menyerah, berujung membuka mulutnya."Oke fine aku jujur! Aku emang suka dan kagum sama dia. Dia yang selalu bantuin semua tugas-tugas aku yang enggak bisa dilakuin sama Mas Dion. Tapi ya udah. Cuman sebatas itu aja, Kak!""Sebatas itu apanya?! Kamu bahkan sering menginap di apartemen Aleandra setelah mengerjakan tugas. Dan dari alat pelacak yang Kakak akses, kalian selalu tidur satu kamar dari tiga Minggu yang lalu! Kamu kenapa sangat murahan tidur dengan laki-laki yang belum menjadi suamimu, hah?!" murka Derren yang memang sedari kecil sudah meng-klaim adik sepupunya itu adalah miliknya.Namun, Aryesta adalah perempuan liar yang sangat sulit diatur, menuruti semu
Lima tahun yang lalu, di ibu kota London, ada sosok perempuan yang sedang terduduk menangis di depan ruangan ICU, dengan kepala menunduk.Hingga suara langkah kaki dan juga aroma parfum yang sangat dia kenali menyapa indera penciumannya itu semakin mendekat.Sosok berpakaian serba hitam, kaca mata juga masker hitam yang hampir tak pernah laki-laki itu lepaskan, seolah-olah menjadi identitas dirinya ketika berada di luar."Jangan bersikap bodoh seperti ini Aryesta! Kakak sudah tahu penyebab kecelakaan yang kalian alami."Mendengar sapaan itu, Aryesta yang semula menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut pun seketika juga mendongakkan wajahnya, yang masih berderai air mata."A–apa itu? Apa yang Kakak temuin? Tolong bantu kasih hukuman sama orang yang udah bikin Mas Dion kayak gini, Kak!" titah Aryesta dengan suara paraunya, karena terlalu lama menangisi keadaan Dion, yang masih dalam keadaan kritis, setelah mengalami kecelakaan.Beruntungnya, Aryesta tak tertabrak oleh kendaraan besa
Tubuh Aryesta menegang sempurna, ketika mencium parfum maskulin yang bercampur aroma tubuh seseorang di belakangnya.Napas yang sebelumnya sudah lega, kini menjadi sesak kembali oleh lilitan sepasang lengan kokoh, yang di punggung tangannya terdapat tato kepala burung elang itu semakin memeluknya erat."Kenapa kamu diam saja, Baby? Apakah kamu tidak merindukanku, hmh?" bisik laki-laki itu di samping telinga Aryesta, yang semakin membuat tubuhnya bergetar karena takut.Melihat pujaan hatinya tak bisa berkutik, tentu saja membuat laki-laki yang tengah memeluk tubuh mungil itu semakin merasa gemas.Saking gemasnya, dia mendaratkan hidung bangirnya di leher Aryesta yang tak terhalang oleh rambut hitam bergelombangnya."K–kak D. Apa kabar?" tanya Aryesta yang berusaha menguatkan dirinya sendiri dari godaan setan berwujud manusia, yang sialnya sangat tampan itu."Bukannya aku sudah bilang, kalau aku tidak suka jika kamu memanggilku Tuan D?!""A–aku kan manggilmu Kakak. Bukan Tuan," elak Arye
"Itu bukan urusanmu! Dan berhenti ikut campur urusan kami! Kalau kamu masih ingin banyak bicara, lebih baik turun dari mobil ini sekarang juga!"geram Aleandra yang sudah sangat emosi.Apakah keputusan Aleandra menikah siri dengan Tisya adalah keputusan yang benar?Atau bahkan keputusannya keliru?Saat ini laki-laki itu merasa terjebak oleh rencananya sendiri, dan hal tersebut membuatnya sangat kesal.Melihat Tisya yang akhirnya diam dan tak melakukan protes pada dirinya lagi, kini Aleandra langsung memacu kendaraannya kembali.Hingga teleponnya berdering dan langsung dia angkat menggunakan earpiece di telinga kanannya."Istri Anda baru saja tiba di bandara, dan mereka bertiga langsung naik pesawat, yang sudah dipesan oleh Dion sebelumnya, Tuan," adu ajudan Aleandra di seberang telepon sana."Lalu?" Aleandra bertanya singkat."Saya baru saja cek, dan ternyata keberangkatan mereka menuju Jakarta. Mungkin ada masalah dengan keluarga istri Anda Tuan. Makanya mereka terlihat sangat terburu-
Aryesta masih menunggu penjelasan dari mantan suaminya. Sementara itu, Dinda adik tirinya sudah mulai kesal pun berkata, "Ini sebenarnya kalian mau sampai kapan ngedrama kayak gini, sih? Aku udah muak, yah!"Mendengar perkataan adik tirinya, membuat Aryesta menoleh ke belakang dan memandangnya malas."Kalau emang kamu muak, ya udah sana pergi! Lagian enggak ada yang nyuruh kamu datang ke sini juga, kok. Kamunya aja yang kayak jalangkung." Memandang rendah sang adik tiri ketika mengatakan kalimat tersebut.Tak lupa juga tangan yang Aryesta lipat di bawah dadanya dengan tatapan sinis.Melihat situasi yang sudah tidak kondusif lagi, Dion pun akhirnya menjelaskan, "Kami mau pulang ke Jakarta sekarang juga. Dan mau enggak mau kamu harus ikut bareng kami.""Kenapa aku harus ikut sama kalian?" tolak Aryesta yang merasa kurang nyaman berada di tengah-tengah mereka. Dion menggendikan kedua bahunya, dan mulai menjalankan roda empat itu kembali menuju bandara. "Tadi Kakek Surya telepon dan sur
"Enggk usah banyak drama yah kamu! Aku paling benci sama air mata perempuan!" peringat Aleandra dengan nada kejamnya.Hal itu membuat Tisya mengusap pelan air mata di pipinya dan mencoba menghentikan isakannya."Aku masih bingung kenapa kamu begitu terobsesi untuk menikah denganku?" Bingung Aleandra dengan jalan pikiran istrinya ini.Bagaimana mungkin seorang perempuan begitu memuja seorang laki-laki yang tak pernah menganggap keberadaannya, kan?"Itu juga yang jadi pertanyaan aku, kenapa kamu obses banget sama Aryesta? Ada apa? Aku aja sampe enggak paham dengan semua rencana anehmu ini." Balasan Tisya terjeda sedikit, hanya untuk melihat respon suaminya."Padahal kalau emang kamu obses milikin dia, kenapa nikahin aku dan obses juga buat nyakitin dia? Kamu yang jauh lebih aneh tahu, Mas. Aku enggak ngerti sama semua yang ada di dalam pikiran kamu."Terlihat wajah Aleandra semakin dingin tak tersentuh, yang hanya menyeringai, tanpa berniat memberi jawaban apa pun.Aleandra pun berbalik
"Kayaknya enggak perlu nunggu malam, deh."Mendengar jawaban dari mulut suaminya, membuat tubuh Tisya seketika tersentak dan sedikit mundur.Bagaimana tidak mundur, jika suaminya sudah melangkah dan semakin mengikis jarak dengannya.Sebuah jarak yang selama ini Aleandra jaga, kini semakin tak berjarak.Bahkan tubuh besar suaminya sudah berhasil mengungkung tubuh semampai Tisya di balik dinding jendela kaca teras vila."M–maksud Mas, apa?" gagap Tisya yang merasa jika mungkin suaminya hanya ingin mengujinya saja.Apalagi Tisya sangat mengingat perjanjian yang keduanya sepakati untuk tidak saling menyentuh satu sama lain.Lalu, jika dalam perjanjian saja mereka dilarang saling menyentuh, kenapa pula Aleandra meminta sesuatu yang sepertinya menjurus ke arah sana?Aduh!Kepala Tisya semakin pusing saja.Ditambah lagi Aleandra yany kian mendekatkan wajah keduanya, hingga napas mereka saling bersahutan, saking dekatnya."Aku lagi pusing ... dan aku lagi butuh pelampiasan. Bukannya sangat efe
"Kamu jangan coba-coba bohongin aku, berengsek!" hardik Aleandra yang saat ini sudah bangun, dan berdiri dengan tatapan mata setajam pisaunya.Tisya membuang napas kesal sekaligus sakit hati, karena ternyata kesialannya akan dimulai hari ini.Dirinya pikir akan ada momen bahagianya walau secuil dari pernikahan mereka, tetapi ternyata nihil. Tidak sama sekali.Karena kesal dan tak kunjung membuka suara, Aleandra kembali bertanya, "Cepat katakan di mana istriku, sialan!""Aku juga istrimu, Mas! Bukan hanya dia aja!" Tisya berteriak dan tak terima dimaki sedemikian rupa oleh suaminya.Apalagi hanya karena mendengar ucapannya, yang mengatakan jika Aryesta pergi dengan mantan suaminya. Dia pikir Aleandra tak akan semurka ini. Nyatanya feeling-nya jauh meleset.Karena tak ingin disalahkan dengan hal yang bukan ulahnya, Tisya pun kembali berujar, "Seenggaknya aku ini juga istrimu, Mas! Tolong hargain aku di sini meski sedikit! Jangan apa-apa hanya Aryesta dan Aryesta aja! Aku juga punya hak y