Aryesta membelalakkan mata tak percaya atas apa yang dia dengar. Sumpah, demi apa pun dia tak pernah menyangka Aleandra tega mengatakan itu padanya.
“Apa?” Mata Aryesta membesar, lalu menyipit dengan gigi-gigi yang saling bergesekan saking bencinya pada Aleandra. “Coba kamu ulangi sekali lagi, sialan!”
Aleandra tertawa menjengkelkan. Sambil memiringkan kepala, dia mainkan kedua alis untuk menggoda. “Kamu mendengar apa yang kukatakan, Aryesta. Oh, ayolah ... atau kamu layanin aku dulu, hmh?"
Amarah dalam dada Aryesta membuncah. Napasnya tampak putus-putus. Sungguh, dia sangat-sangat tak menyangka, Aleandra akan meminta hal itu untuk ditukar dengan alamat hotel tempat Dion dan Dinda sekarang.
“Kamu sudah gila?” Aryesta mendesis. “Kamu pikir aku ini apa? Perempuan penghibur, hah?!”
Aleandra mengedikkan bahu. “Terserah. Pilihan ada di tangan kamu. Kamu mau, aku akan kasih informasi di mana adik tiri dan suami kamu itu sekarang. Kalau pun tidak, aku enggak akan rugi.” Dia bersiap membalik badan. “Pilihan ada di tangan kamu.”
Aryesta terdiam dengan rasa tak terima. Buku-buku jarinya memutih sebab tanpa sadar terkepal di masing-masing tubuh. Napasnya masih memburu kasar. Dia ingin mengumpati laki-laki yang melenggang santai.
“Baiklah,” ucapnya pelan sambil menundukkan kepala. Seingin apa pun dia ingin melenyapkan Aleandra, Aryesta tak punya pilihan lain. Dia harus bergegas, membuktikan kebenaran tentang suaminya. Atau dia akan kehabisan waktu. “Aku mau melakukan apa yang kamu mau, tapi tolong setelahnya beri apa yang kamu janjikan.”
“Wah, jadi kamu seriusan, nih?” Aleandra berbalik badan penuh sebelum tertawa mengejek. “Cepat lakukan kalau begitu!” tantangnya kemudian.
Aryesta perlahan mengangkat wajahnya. Rahangnya mengetat. Namun, tangannya menarik pelan cardigan yang masih dia kenakan. Kedua maniknya memanas. Seumur hidupnya, ini kali pertama dia merendahkan diri.
Memejamkan mata, Aryesta menarik lepas cardigan tersebut dengan perasaan campur aduk. Menyisakan blush tanpa lengan. Lalu, dia telan ludah sebelum jari-jari lentiknya membuka satu per satu kancing blush berwarna putih itu.
Sementara itu, di depannya, Aleandra melebarkan mata marah. Matanya tak beralih pada jari-jari Aryesta yang melepas satu per satu kancing bajunya. Rahang laki-laki tampan itu mengetat keras. Manik tajam itu kian membola saat Aryesta benar-benar menanggalkan blush hingga pakaian itu teronggok di dekat kakinya.
“Kamu gila, hah!” teriak Aleandra kencang. Dia buka jas dengan cepat, lalu melemparkannya pada Aryesta. “Pakai!” titahnya tak kalah kencang. Kaki-kakinya melangkah lebar dengan tak sabar. Lalu dia pakaikan sendiri jas itu pada Aryesta.
“Dasar perempuan murahan!” bisik Aleandra setelah selesai memakaikan jasnya di tubuh Aryesta yang mematung.
Aryesta menatap marah pada Aleandra, sekaligus tak percaya dan sakit hati. Bukankah tadi laki-laki itu yang memintanya begini? Lalu, sekarang justru mengumpatinya. Sebenarnya apa yang Aleandra inginkan. Harusnya Aryesta-lah yang marah.
“Ikut aku sekarang!” Aleandra mencengkeram tangan Aryesta. Menariknya hingga keduanya sampai pada private room yang memang tersedia di dalam ruangan CEO itu. “Gantilah bajumu!” Setengah tak sabar, dia menghempaskan tangan Aryesta setelah keduanya berada di dalam kamar.
Laki-laki itu membuka semua pintu lemari. “Apa yang sedang kamu lihat, hah!” sentak Aleandra yang melihat Aryesta masih terdiam menatap isi lemari yang penuh dengan pakaian perempuan.
Mengingat kenekatan Aryesta membuka baju tadi, dia semakin kesal. Laki-laki itu terus mengumpati Aryesta dalam hati. Hanya demi sebuah informasi, Aryesta mau memperlihatkan tubuh di depan laki-laki asing tadi.
Sial! Dia harus memastikan dua temannya tadi tak sempat melihat tubuh Aryesta. Beruntungnya rambut Aryesta tergerai, Alaendra rasa kedua temannya belum sempat melihat jelas.
“Cepat ganti bajumu, hei!” suruh Aleandra, lalu pergi dari sana dengan pintu yang ditutup rapat setelah mengatakan alamat hotel pada Aryesta sesuai janjinya tadi.
Aryesta masih memandangi pintu yang tertutup. Dia menggeleng. Merasa sangat aneh dengan sikap Aleandra. Lelaki itu yang memintanya membuka pakaian, dan sekarang justru tampak begitu marah.
“Dasar aneh!” gumam Aryesta. Matanya kemudian memindai seisi ruangan sambil berjalan. Lalu, maniknya berhenti tepat pada isi lemari. “Semuanya pakaian perempuan.” Dia menggeser-geser baju yang digantung. “Hah, ada dalaman juga. Apa dia sering bawa perempuan ke sini?” tanyanya masih dengan menggumam. Lalu, tiba-tiba saja Aryesta merasa kesal sendiri.
Aryesta mengambil satu blush berwarna peach yang tampak cantik. Dia menyentuh bandrol yang masih terpasang di sana. Dia lalu mengambil pakaian lainnya untuk memilih. Dari merek yang tertera di sana, Aryesta tahu bahwa pakaian itu memiliki harga yang sangat mahal.
Memilih blush peach yang akan dia pakai, Aryesta meletakkan pakaian lain ke tempatnya. Dia kenakan pakaian dengan cepat. Lalu, bergeser ke arah cermin.
Di meja rias itu dia temukan perlengkapan perempuan cukup lengkap. Tak ingin pikirannya meliar ke mana-mana, dan jadi kian kesal, Aryesta merapikan rambutnya saja agar segera selesai.
Selesai menyisir rambut, Aryesta tak sengaja menatap satu pigura. Dalam foto itu, ada Aleandra bersama perempuan. Jika Aleandra menatap ke arah kamera, perempuan yang menyandarkan kepala justru membelakangi kamera.
Menyentuh bingkai foto, Aryesta merasa tak asing dengan sosok yang hanya tampak belakang. Matanya sedikit menyipit, lalu membesar lagi. Sayang, meski tak asing, tak dia temukan ingatan tentang foto tersebut.
Aryesta membolak-balik pigura tersebut. Menimbang sebentar, tangannya hendak membuka bagian belakang. Namun, tiba-tiba foto dari tangannya ditarik. Aryesta terkesiap.
“Apa yang kamu lakukan, hah?!” Aleandra mendesis. “Lancang sekali kamu menyentuh barang-barang pribadiku!"
Aryesta meneguk ludah kesal. "Aku hanya melihat fotonya saja! Bukan barang berharga! Dasar menyebalkan!" Dia entakkan kaki, lalu pergi dari sana.
Kembali ke ruangan tadi, tak dia temukan dua laki-laki tadi. Aryesta sempat heran, kenapa dua lelaki itu tak ada. Menggeleng tak peduli, Aryesta membawa dirinya ke hotel.
Sementara itu. Di dalam ruangan, Aleandra duduk di tepi kasur. Matanya memandangi potret di tangannya. “Ini belum seberapa dengan apa yang kamu lakukan dulu, Aryesta,” bisiknya dengan tatapan tajam penuh dendam dengan ingatan-ingatan yang mulai melanglang buana pada lima tahun lalu.
*
*
Sementara itu lima belas menit kemudian, Aryesta telah berada di hotel yang Aleandra maksud. Ada getar ragu untuk melanjutkan langkah. Biar bagaimana pun, Aryesta masih tak percaya jika Dion berselingkuh dengan adik tirinya hari ini.
Rasa penasaran, pada akhirnya membuat Aryesta mendekat. Dia berjalan di lorong hotel menuju kamar dengan nomor yang sesuai. Sampai di kamar yang dimaksud, dia mengerutkan kening, saat melihat pintu itu tak tertutup rapat.
Pelan-pelan, Aryesta buka pintu lalu menutupnya pelan. Saat dia berbalik dan berjalan, dia temukan pakaian yang tercecer tak beraturan. Seketika, jantungnya berdentam tak beraturan.
Melangkah lebih dekat, Aryesta memejamkan mata. Kakinya berhenti seketika. Suara desah dua orang saling bersahutan kian menambah getar dalam tubuhnya.
Aryesta menggeleng demi menyangkal. “Enggak mungkin Mas Dion mengkhianatiku,” bisiknya pada diri sendiri. Dia ingin berhenti mencari tahu. Namun, kaki-kakinya justru membawanya hingga ke dapur.
Aryesta menutup mulutnya dengan kedua tangan. Pemandangan dua orang saling memagut, juga tubuh saling menempel dengan salah satunya bergerak pelan, adalah yang membuat tubuhnya lemas.
Menggeleng tak percaya pada apa yang dia lihat, Aryesta mundur. Tubuhnya limbung hingga dia tak sengaja menyenggol vas bunga. Vas bunga yang terbuat dari kaca itu jatuh, menimbulkan bunyi pecahan nyaring hingga dua sejoli yang sedang saling mencari kepuasan praktis menghentikan aktivitas percintaan mereka.
“Aryesta?” Dion terkejut. Dia menjauhkan tubuhnya dengan rasa gugup seolah tertangkap basah sedang berselingkuh. “I–ini enggak seperti yang kamu pikirkan, Sayang!"
Aryesta tertawa miris. Dia tak menjawab pertanyaan suaminya. Dia lebih tertarik pada Dinda yang menyunggingkan senyum penuh kemenangan.
“Jadi, ini kelakuan kalian di belakang aku, Mas!” teriak Aryesta yang seketika itu juga hatinya hancur berkeping-keping.
"Enggak Sayang! Aku bisa jelasin semuanya!" jawab Dion yang seketika matanya membulat kala melihat ke arah Aryesta yang sedang mengangkat pecahan vas bunga
Aryesta mengetatkan rahang. Dadanya turun naik menahan rasa marah dan sakit hati. Luar biasa sakit jika Aryesta boleh menambahkan. Dikhianati oleh suami dan adik sendiri tak pernah dia bayangkan akan merasakannya.Aryesta memundurkan langkah. Dia menggeleng. Rasanya masih tak percaya Dion bisa melakukan hal ini padanya. Berkhianat di pernikahan mereka dalam hitungan jam.Tak sengaja menginjak pecahan vas bunga, Aryesta menunduk. Rasa sakit buatnya seketika putus asa. Dia berjongkok, lalu mengambil pecahan dengan ujung runcing.“Lepaskan itu, Aryesta!” teriak Dion. Dia mendekat dengan langkah waspada kalau-kalau perempuan yang masih berstatus istrinya itu nekat melukainya atau Dinda, atau malah diri Aryesta sendiri. “Lepas, Aryesta.”Aryesta menyeringai melihat riak ketakutan di wajah Dion. Dia yang awalnya ingin menggores lengan sendiri, berubah pikiran. Kenapa dia harus menyakiti diri sendiri? Sementara Dinda dan Dion justru pasti akan tertawa di atas penderitaannya.“Kenapa?” Aryesta
Aryesta masuk ke dalam mobil dengan perasaan yang tak bisa dia jelaskan. Hancur lebur, bukan lagi kata yang bisa mewakili keadaan hatinya kini.Bagai jatuh tertimpa tangga, dia dipermalukan oleh orang yang tak tahu apa maksudnya, mengalami kekerasan, lalu ditalak di malam pengantin.Seolah-olah takdir belum puas mengujinya, masih di hari yang sama, dia mendapati suami dan adik tirinya bercumbu mesra. Lagi, belum cukup, Tuhan ingin mengujinya. Dion, bukannya meminta maaf atas kesalahan justru menjanjikan perpisahan.Pembelaan Dion terhadap Dinda adalah yang paling menyakitkan. Dia hanya korban keegoisan seseorang, tetapi dunia menatapnya hina.Memejamkan mata, Aryesta merasai luka dalam hatinya, sungguh terasa nyeri. Dia bisa mendengar raungan sanubarinya. Dia kepalan tangan saat mengingat bagaimana Dion melindungi Dinda tadi. Kepalan itu dia pukulkan pada bantalan duduk.Aryesta membuka mata saat dering ponselnya terdengar lagi. Sudah beberapa kali dia mengabaikan, tetapi entah siapa y
"Keterlaluan kamu, Aryesta! Di mana pikiranmu. Inikah hasil belajarmu di luar negeri sana, hah!" Surya, kakek Aryesta itu menggemeletukkan gigi. Dia pandangi cucunya dengan perasaan kecewa. "Kakek benar-benar enggak menyangka kamu bisa melakukan hal rendah seperti itu!"Aryesta menggeleng. "Kakek lagi bicara apa? Aryesta bisa jelasin semuanya, Kek."Dengan lirih Aryesta berusaha mendekati sang kakek yang masih mengeraskan rahangnya. Namun, siapa sangka ada sosok perempuan paruh baya yang saat ini sedang melipat tangan di dada dan berjalan ke samping Kakek Surya. Dialah Denia ibu tiri yang memiliki anak bernama Dinda.'Ya Tuhan ... aku sungguh enggak akan sanggup kalau terus mengingat kejadian menjijikan di hotel tadi antara suami dan adik tiriku,' batin Aryesta seraya memejamkan matanya dan menarik napas, lalu mulai melangkah semakin mendekati Kakek Surya."Kek, Kakek enggak mungkin percaya sama berita murahan itu, kan?" Sungguh harap-harap cemas Aryesta saat mengatakannya."Halah, kam
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, tubuh Aryesta membatu dengan mata terbelalak melihat Kakek Surya yang baru saja menyampaikan ultimatumnya.Dengan tangan mengepal kencang dan air mata yang sudah tak mampu Aryesta bendung lagi, kini perempuan malang itu merangkak dan meraih kaki sang Kakek dengan tatapan penuh lukanya."K–kakek enggak serius kan, Kek? Aku masih cucuk Kakek, kan? Enggak mungkin Kakek percaya sama berita murahan itu, kan?" lirih Aryesta dengan tubuh bergetar menahan isak tangis yang sudah mulai terdengar.Lagi, Aryesta menatap ke atas. Berharap mendapatkan empatik dari sang kakek yang selama ini selalu berpihak padanya, tetapi yang Aryesta lihat hanya tatapan datar nan dingin. Sebuah tatapan yang belum pernah Aryesta dapatkan dari Kakek Surya selama hidupnya, kini justru tatapan penuh kecewa dan terluka itu ditunjukkan padanya.Sekali lagi, Aryesta menarik lembut celana kakeknya. "Aku akan buktiin sama Kakek, kalau semua berita itu bohong, Kek. Aku bakalan bawa o
Selepas meninggalkan kediaman keluarga, kini Aryesta terus berjalan tanpa arah dan tujuan. Apalagi perempuan yang diceraikan saat malam pertama pernikahannya ini tak memiliki satu orang teman pun di Indonesia.Sekolah di luar negri selama bertahun-tahun, membuat Aryesta sendirian ketika berada di kota kelahirannya ini.Kakinya terus melangkah dan bingung harus pergi ke mana lagi, hingga akhirnya Aryesta mengingat jika dirinya masih memiliki ponsel.Aryesta rogoh ponsel yang berada di saku, lalu tatapannya menengadah pada sebuah konter HP yang berada di seberang jalan.Ada helaan napas yang keluar dari bibir pink alami itu, sebelum akhirnya Aryesta putuskan untuk mendekati salah satu ruko dengan merek ternama itu.Meskipun ragu, tetapi dirinya sungguh tak memiliki pilihan lain, selain menjual handphone yang dia beli lebih dari lima tahun lalu ini."Maaf, Mbak. Kalau aku jual HP ini, kira-kira laku berapa, ya?" tanya Aryesta dengan hati tak rela.Sang penjual konter yang ternyata seorang
"Dasar laki-laki gila!" maki Aryesta ketika mendengar apa yang baru saja Aleandra katakan di dalam kondisi setengah sadarnya itu.Dengan tatapan memicing penuh kesal pada laki-laki yang masih memejamkan matanya, kini Aryesta bangkit dan menepuk-nepuk pakaiannya yang mungkin saja terkena debu jalanan."Rugi aku sempat khawatir sama laki-laki kurang waras kayak kamu! Tahu gitu, aku tinggal aja dari tadi!" kesalnya. Kali ini Aryesta berbalik badan dan mulai melangkah.Sempat terdiam dan berhenti melangkah saat tak terdengar pergerakan apa-apa dari Aleandra. Entah kenapa rasa khawatir berlebihannya perlahan muncul ke permukaan dan secepat kilat menoleh ke arah Aleandra yang sepertinya pingsan.Menarik napasnya dalam-dalam lalu memutar tubuh, dan kembali melangkah mendekati Aleandra, yang masih terkapar, dengan luka di dahinya akibat membentur aspal, karena keserempet pengendara motor tadi."Heh, bangun! Jangan coba-coba main-main sama aku, yah! Kutendang anumu itu nanti!" ancam Aryesta, s
Dukh!"Argh!" pekik Aryesta saat puncak kepalanya membentur dagu Aleandra.Dengan perasaan dongkol luar biasa, Aryesta akan menyemburkan segala sumpah serapahnya pada Aleandra, hingga pada detik matanya mendongak dan menatap wajah di depannya, saat itu juga emosinya perlahan sirna."Apakah kepalaku begitu keras, sampai-sampai bikin dia pingsan lagi?" lirih Aryesta dengan perasaan tak enaknya karena Aleandra yang kembali pingsan.Akan tetapi, jauh di lubuk hati yang paling dalam, Aryesta merasa inilah keberuntungannya, karena dia tak harus berdebat dengan laki-laki setengah mabuk itu.Entah apa yang terjadi hingga membuat Aleandra mabuk sedemikian rupa, dan hal itu membawa ingatan Aryesta pada kejadian lima tahun lalu, tepatnya saat keduanya pernah dekat."Kenapa kamu begitu banyak berubah, Al?" bisik Aryesta yang sungguh menyayangkan segala sikap kurang ajar Aleandra.Padahal, keduanya tak memiliki dendam apa-apa, tetapi kenapa Aleandra terlihat sangat membenci dirinya, sungguh demi a
Entah apa yang terjadi pada Aryesta, ketika dirinya merasa ada sinar matahari yang masuk melalui celah gorden, dan dirinya pun mendengar suara berisik yang entah dari mana datangnya."Aduh, apaan sih? Berisik banget, deh!" gumam Aryesta yang matanya masih terpejam karena belum sepenuhnya sadar.Aryesta pun merenggangkan tangannya, tetapi kok tubuhnya terasa dingin seolah-seolah tak ada pakaian yang dia kenakan?Aryesta perlahan membuka kedua matanya dan betapa terkejutnya dia saat melihat banyaknya orang sedang menatap dirinya yang seketika itu juga langsung memalingkan pandangan mereka."Bangunlah Aleandra!" teriak laki-laki yang duduk di kursi roda serta melemparkan bantal ke wajah Aleandra yang baru saja mengerjapkan kedua matanya bingung.Aleandra baru saja terbangun dan langsung mendapat hadiah bantal yang dilemparkan oleh ayahnya, tentu saja sedikit membuat dirinya terkejut dan bingung.Sementara laki-laki yang tak lain dan tak bukan adalah ayah kandungnya yang bernama Randy Alen
Aleandra pun memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya, mengingat jika istrinya sedang mandi, inilah kesempatan untuknya agar bisa meminta jatah.Akan tetapi, angan itu langsung pupus, ketika istrinya sudah berganti pakaian, dan hendak keluar, lengkap dengan tas kecilnya.Dahi Aleandra sedikit berkerut, kemudian bertanya, "Mau pergi ke mana kamu hari ini, Ar?"Mendapatkan pertanyaan mendadak dari seseorang yang sebelumnya tak Arsyeta prediksi, tentu saja perempuan itu mengusap dadanya naik turun, lalu menatap malas netra penuh curiga dari suaminya."Aku mau pergi ke mall. Lagian untuk apa aku di sini, jika kehadiranku tak pernah dibutuhkan oleh suami dan anakku, hmh?" sinis Aryesta yang hatinya mulai dongkol, ketika harus menghadapi Aleandra juga Dean yang tantruman, dan selalu menguji kesabarannya.Sama halnya seperti sekarang, saat langkah kaki Aryesta hendak melaju, tiba-tiba terdengar teriakan balita, membuatnya menoleh dan melihat jika putranya sedang berlari mendekat ke arahnya."
Ditanya seperti itu tentu saja Beni sedikit terkejut, dan menundukan tatapannya dari sang Nyonya.Hah!Aryesta menghela napas, lalu memiringkan tubuhnya, guna memberi jalan kepada Beni agar segera keluar dari kamarnya.Beni yang paham pun mengangguk, lalu berjalan menuju pintu, hingga suara Arsyeta mengudara, dan membuatnya seketika terhenti."Aku tidak mau tahu, Ben. Tapi bagaimanapun caranya, kamu harus berhasil pengaruhin suamiku tentang hal itu. Karena aku sudah sangat muak dengan pelayan tidak tahu diri itu terus-menerus mencuri perhatian suami juga anakku!"Usai mengatakan hal itu, Aryesta langsung masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Beni yang paham dengan tugas yang diberikan oleh Aryesta padanya.Ya, selama ini keduanya memiliki misi rahasia. Tanpa ada orang yang tahu, sebuah misi menyingkirkan seseorang yang Aryesta anggap sebagai benalu di dalam rumah besarnya itu."Jangankan mempengaruhi Tuan Aleandra. Tadi saja bahas itu dengannya dia langsung salah paham padaku, Ar,"
Aryesta yang saat ini sedang menggendong Dean, sudah berjalan menuju kamar khusus putra sulungnya itu. Akan tetapi, langkahnya tiba-tiba terhenti, saat tubuh gempal Dean menggeliat meminta diturunkan.Mau tak mau, Aryesta menurunkan bocilnya itu, kemudian menggandeng tangan Dean, yang langsung ditolak oleh sang putra.Hanya bisa menghela napasnya dalam-dalam, sambil mengikuti langkah kaki Dean yang belum bisa berlari lancar, tetapi cukup pasih dalam berjalan.Langkah kaki mungil Dean terus melangkah, sampai akhirnya melihat siluet seorang pelayan sedang berjalan menuju salah satu kamar, membuat Dean berseru kegirangan.Aryesta hanya bisa menggelengkan kepalanya, melihat tingkah menggemaskan putranya itu, tetapi tatapan hangat Aryesta berubah tajam, ketika tatapannya bersirobok dengan Maria, yang hendak memasuki kamar pelayannya."Dean sayang, kita mandi dulu, ya? Nanti kamu masuk angin, yuk!" ajak Aryesta dengan nada lembutnya, memegang pundak mungil putranya.Akan tetapi, tak menyangk
Sementara, tatapan mata Aryesta begitu tajam menatap kepergian Maria, sampai ...."Hati-hati menggelinding bola matamu, Ar," kikik Aleandra dengan senyum gelinya.Apalagi saat Aryesta langsung menatap ke arahnya dengan mata memicing, kemudian meraih tubuh putranya dari dekapan Aleandra."Aku masih belum maafin kamu ya, Mas! Dan malam ini tidak ada jatah apa pun untuk kamu!" Seraya pergi dari area kolam renang menuju ke dalam mansion.Ucapan Aryesta, tentu saja dibalas umpatan kesal Aleandra, karena dirinya tak ingin jatahnya dikurangi, tetapi apa mau dikata, ketika sang nyonya rumah sudah berbicara, maka semua orang harus tunduk.Hah!Aleandra mendesahkan napasnya, lalu mengeringkan tubuhnya menggunakan handuk, kemudian masuk ke toilet di sekitar kolam, untuk mengganti celananya yang basah dengan celana bahan selutut berwarna hitam, yang tubuhnya dibiarkan tanpa baju.Kemudian Aleandra kembali ke tepi kolam renang, menikmati kopi panas dan juga sup hangat, untuk meminimalisir sensasi m
Satu tahun berlalu ....Di tepi kolam renang ada balita yang sedang mengejar bola mainan, tatapan matanya berbinar-binar ketika menyadari jika mainannya hendak dia dapatkan, hingga ....Byur!Tubuh mungil dan sedikit gempal itu meluncur bebas di dalam air, dengan tangan berusaha mencapai permukaan air.Anehnya tak ada teriakan atau tangisan dari balita itu, yang ada hanya gerakan abstrak yang mencoba mencapai balon incarannya, sampai ...."Astaghfirullah aladzim. Apa yang kamu lakuin sama Dean, Mas!" pekik Aryesta yang baru saja tiba membawa makan siang untuk putranya.Namun, saking terkejutnya makanan itu langsung dia lempar dan menerjang suaminya yang justru tengah bersantai di pinggiran kolam renang.Memukul dada bidang suaminya keras dan menangis melihat putranya sedang berjuang di dalam air, membuat Aryesta panik bukan main.Bahkan kini Aryesta sudah nyaris menceburkan dirinya ke dalam kolam renang, tetapi tangannya langsung dicekal oleh suaminya."Stop manjaain Dean, Ar. Dan jang
Deg!Lagi jantung Aleandra berdebar-debar penuh rasa sesak, mendengar dan membayangkan kejadian mengerikan yang menimpa Aryesta juga Dion.Hingga kening Aleandra mengerut bingung, lalu bertanya, "Bukankah Dion ditahan? Tapi kenapa dia bisa ada di tempat kejadian, Dok?"Bukan dokter yang menjawab, tetapi salah satu polisi berpangkat Jenderal yang menjawab semua kronologinya, hingga membuat mata Aleandra melebar sempurna, tak menyangka jika mantan mama tirinya sekejam itu."Adam, jangan biarkan perempuan sialan itu bebas dengan mudah dari balik jeruji besi." Aleandra mengepalkan tanganya kencang lalu melanjutkan, "buat dia mengerti akibatnya mengusik orang-orang di sekitarku. Dan buatlah neraka di lapas untuknya, Adam!"Nada penuh dendam membuat semua orang yang berada di sana menahan napas, hingga tak ada yang berani menjawab selain anggukan setuju dari sekretaris pribadinya.Sementara itu, Aleandra masuk ke dalam ruang perawatan dan melihat anaknya yang belum bisa menangis, kemudian di
Aryesta meraung keras hingga tak sadarkan diri, bertepatan dengan kaluarnya bayi mungil yang tak langsung menangis, akibat lilitan tali ari-ari di lehernya.Wajah bayi itu memerah dengan bibirnya membiru, membuat semua orang panik, ditambah kondisi Aryesta yang terus melemah.Semua oranh tentu saja panik, dan ambulance semakin melaju kencang, hingga tiba di sebuah rumah sakit terdekat, dan segera membawa Aryesta, bayi yang masih belum menangis, juga Dion.Sejenak suasana rumah sakit menjadi mencekam. Apalagi setelah Aryesta masuk ke dalam ruang unit gawat darurat, keadaannya semakin memburuk.Lebih dari itu, usai lilitan ari-ari terlepas, bayinya masih enggan menangis, membuat semua orang yang menyaksikan itu meneteskan air mata pilunya.Dokter yang menangani Aryesta di dalam ruang unit gawat darurat keluar dengan tatapan bersalah, bertepatan dengan datangnya dua orang yang kepalanya diperban, sementara pakaiannya robek di mana-mana dengan darah segar menempel di berbagai sudut."Bagai
Leher belakang Ranti dihantam menggunakan balok kayu, membuat kepala Ranti berputar, dan refleks menjatuhkan pistol yang sedari tadi menjadi tamengnya.Saat itulah tubuh Ranti dan Aryesta ambruk di atas tanah, tepat ketika pintu belakang terbuka lebar dan ada seorang laki-laki yang menghantam leher belakang Ranti tanpa ampun.Melihat ada celah itu, Dion berlari mendekat, kemudian meraih kepala Aryesta ke dalam pangkuannya.Ditepuknya pelan kedua pipi Aryesta yang nyaris tak sadarkan diri lalu berteriak, "Kumohon jangan menyerah dulu, Ar. Kamu harus tetap sadar. Kamu harus tetap melahirkan anakmu. Bukankah kamu sangat kesepian selama ini? Kamu ingin memiliki seorang anak supaya tidak merasa sunyi setiap kali suamimu bekerja, kan? Maka bangunlah, Ar. Demi anak kalian, kamu harus bangun. Aku ... aku sungguh mencintaimu, Ar. Kumohon bertahanlah," isak Dion yang berusaha membuat Aryesta tetap terjaga.Namun, mata lelah itu perlahan menutup, membuat Dion semakin panik, apalagi darah semakin
Tubuh Ranti menegang saat mendengar suara seseorang yang dia kenali di belakangnya.Tak hanya itu, tetapi juga suara tembakan melesat ke samping tubuhnya, sedikit membuatnya gemetar ketakutan.Menarik napasnya sangat dalam, lalu mencoba menguasi diri, kemudian dia menatap ke samping dengan tatapan sinis, tanpa mengubah posisi berjongkoknya di depan Aryesta."Oh, apakah kamu mau jadi pahlawan kesiangan untuk perempuan sialan ini?" Ada nada ejekan di bibir Ranti, yang tahu betul sosok laki-laki di belakangnya yang sedang mengacungkan senjata api menggunakan tangan kirinya."Bukankah aku sudah katakan sebelumnya, kita kembali bekerja sama, maka kamu akan mendapatkan perempuan menyedihkan ini, dan aku mendapatkan kehidupan tenang tanpa bayang-bayang semua orang, yang terus meburuku?" Penawaran Ranti bukan omong kosong belaka.Karena sebelum dia menghampiri Aryesta menggunakan taksi sewaannya, Ranti lebih dulu bertemu dengan laki-laki itu di dalam lapas, sementara Ranti? Dia menggunakan sil