Aryesta mengetatkan rahang. Dadanya turun naik menahan rasa marah dan sakit hati. Luar biasa sakit jika Aryesta boleh menambahkan. Dikhianati oleh suami dan adik sendiri tak pernah dia bayangkan akan merasakannya.
Aryesta memundurkan langkah. Dia menggeleng. Rasanya masih tak percaya Dion bisa melakukan hal ini padanya. Berkhianat di pernikahan mereka dalam hitungan jam.
Tak sengaja menginjak pecahan vas bunga, Aryesta menunduk. Rasa sakit buatnya seketika putus asa. Dia berjongkok, lalu mengambil pecahan dengan ujung runcing.
“Lepaskan itu, Aryesta!” teriak Dion. Dia mendekat dengan langkah waspada kalau-kalau perempuan yang masih berstatus istrinya itu nekat melukainya atau Dinda, atau malah diri Aryesta sendiri. “Lepas, Aryesta.”
Aryesta menyeringai melihat riak ketakutan di wajah Dion. Dia yang awalnya ingin menggores lengan sendiri, berubah pikiran. Kenapa dia harus menyakiti diri sendiri? Sementara Dinda dan Dion justru pasti akan tertawa di atas penderitaannya.
“Kenapa?” Aryesta mengacungkan beling di tangannya. Dia tersenyum licik saat ide untuk main-main bersama Dion terasa menyenangkan. “Kenapa aku harus lepasin ini, Mas?” Dia maju sambil memainkan beling. “Kenapa kamu berhenti, Mas? Takut, heh?”
“Aryesta, jangan main-main!” Dion mematung karena takut. Lalu, saat Aryesta kian maju, dia mundur satu langkah. Dia telan ludah. Matanya memindai ngeri pada benda yang Aryesta acungkan. “Aryesta, lepaskan itu!”
“Kenapa?” Aryesta mengedikkan dagu. “Kenapa! Kenapa kamu tega ya, Mas khianatin aku kayak gini!” teriak Aryesta. Dia melirik pada Dinda yang mengkeret. “Tega lo makan suami kakak lo sendiri! Dasar jalang!”
“Gue bukan jalang!” bantah Dinda. “Jangan sembarangan lo kalau ngomong!”
“Lo mau dipanggil apa?” Aryesta mendesis. Dinda, sudah jelas tidur dengan Dion, tetapi masih saja mengelak. “Lo tidur sama suami gue, Setan!”
“Kami ngelakuin itu karna sama-sama suka.”
Mendengar itu, Aryesta meradang. Dengan langkah terburu, dia hampir Dinda. Adiknya itu praktis saja mundur dengan cepat, tetapi tertahan di tembok. Dia acungkan beling tepat ke wajah Dinda. Buat wanita pengkhianat itu terbelalak.
“Itu karna lo kegatelan!” Aryesta dekatkan beling. “Lo berani tidur sama suami orang, tapi takut, heh?”
“Jauhin itu, Aryesta sialan!” Dinda makin membesarkan mata saat Aryesta justru mendekatkan ujung beling pada kulit wajahnya. “Aryesta, jangan gila lo!” Dia melirik tanpa menoleh ke arah Dion. “Maaaas,” rengeknya.
“Sedikit aja kamu gores kulit Dinda, saya enggak akan segan pukul kamu, Aryesta,” ucap Dion pelan. Sepelan langlah Kemudian, saat Aryesta berbalik, dia rebut pecahan itu dengan cepat, lalu melemparnya sembarangan. “Gila, kamu!” sentaknya. Dia kemudian menarik lengan Dinda, memeluknya erat.
“Aku gila, Mas?” Seperti luka yang dikucuri oleh air jeruk, hati Aryesta terasa pedih. Dia yakin istri mana pun akan merasakan hal yang sama. “Kamu yang main gila dengan adikku sendiri, malah mengataiku gila? Dan sekarang di depan mataku, kamu malah bela perempuan jalang ini!”
“Tutup mulut kamu, Aryesta!” sentak Dion. “Dinda bukan jalang. Kami melakukannya dengan sadar dan sama-sama suka. Dia bahkan jauh lebih baik dibanding kamu! Jadi jangan bicara sembarangan.”
“Mas, dia itu pelacur!" sentak Aryesta tak terima.
“Kamu yang pelacur! Kamu bisa tidur dengan banyak pria.” Dion mendesis marah. “Dinda bahkan masih suci saat kusentuh. Dia masih perawan. Bukan seperti kamu!”
“Mas?” Aryesta menganga. Tak menyangka suaminya memilih membela wanita lain. “Kamu sadar apa yang kamu lakuin, Mas? Kamu selingkuh sama adikku sendiri. Dan bisa-bisanya kamu malah nyerang aku kayak gini!”
“Saya begini karna kamu! Kamu yang menipu saya dengan tampang polosmu itu!” sahut Dion. “Andai saya tahu kamu lebih hina dari perempuan pinggir jalan sana, saya enggak mungkin sudi menikahi kamu.”
“Aku masih perawan kalau itu yang mau kamu tahu!” balas Aryesta tak terima. “Aku masih perawan.” Meski ragu akan dirinya sendiri, Aryesta tetap mengatakan hal itu. Dia tak ingat apa-apa saat Aleandra merekamnya. “Aku suci,” ulangnya.
Dion berdecih. “Katakan hal itu sepuasmu. Kamu pikir saya akan percaya?”
“Video itu ulah seseorang, Mas. Aku berani bersumpah.” Gigi Aryesta bergemeletuk saat di depannya Dinda mengompori Dion untuk tak percaya. “Diam, Dinda sialan!”
“Kamu sudah nonton videonya kan, Mas? Mana mungkin Aryesta masih suci?” Dinda makin gencar memengaruhi Dion. “Kalau aku, kamu yang rasain sendiri. Kamu tahu, kamu yang pertama.” Dia melirik pada Aryesta, laku menyeringai. “Kalau dia, sejak dulu memang hobi berganti pacar! Papa aja sampe nyerah nasehatin anaknya sendiri. Dia pernah kok ketahuan check in saat SMA.”
“Jangan fitnah!” Aryesta maju. Lengannya hendak menarik rambut Dinda. Dia sempat menyentuh surai panjang itu. Namun, tubuhnya sudah di dorong Dion hingga dia terjengkang ke belakang. “Au!”
Mengambil kesempatan atas kemenangannya, Dinda menjerit saat rambutnya sempat tertarik. Tak sakit, tetapi kesempatan untuk bermanja dan menarik Dion lebih dalam ke pelukannya tak boleh dia lewatkan.
“Mas, sakit.” Dinda merengek bak anak kecil. “Rambutku sakit.”
Sementara Dion sibuk menenangkan Dinda, Aryesta merasakan hatinya hancur lebur. Suaminya sendiri memperlakukan dia seperti ini. Terlebih di depan Dinda.
Aryesta bangun, lalu mendesis. Dia baru sadar jarinya tergores, mungkin saat Dion menarik pecahan beling tadi. Dia menelan ludah pahit. Di depannya Dinda terus merengek.
Tak tahan dengan apa yang tersaji di depan mata, Aryesta berbalik pergi. Dia baru akan melewati ruang tamu saat suara Dion menambah perih hatinya.
“Aku enggak mau diperlakukan kayak gini lagi sama istrimu, Mas. Sekarang rambutku yang ditarik, besok atau lusa dia bisa bunuh aku. Aku pergi aja.”
“Sssttt, tenang ya. Aryesta enggak akan berani lakuin ini. Saya akan segera mengurus perceraian kami, dan setelah itu kita menikah, oke?”
Dada Aryesta berdegup sangat kencang mendengarnya dengan air mata mengalir di ambang pintu dan masih membelakangi mereka.
Aryesta masuk ke dalam mobil dengan perasaan yang tak bisa dia jelaskan. Hancur lebur, bukan lagi kata yang bisa mewakili keadaan hatinya kini.Bagai jatuh tertimpa tangga, dia dipermalukan oleh orang yang tak tahu apa maksudnya, mengalami kekerasan, lalu ditalak di malam pengantin.Seolah-olah takdir belum puas mengujinya, masih di hari yang sama, dia mendapati suami dan adik tirinya bercumbu mesra. Lagi, belum cukup, Tuhan ingin mengujinya. Dion, bukannya meminta maaf atas kesalahan justru menjanjikan perpisahan.Pembelaan Dion terhadap Dinda adalah yang paling menyakitkan. Dia hanya korban keegoisan seseorang, tetapi dunia menatapnya hina.Memejamkan mata, Aryesta merasai luka dalam hatinya, sungguh terasa nyeri. Dia bisa mendengar raungan sanubarinya. Dia kepalan tangan saat mengingat bagaimana Dion melindungi Dinda tadi. Kepalan itu dia pukulkan pada bantalan duduk.Aryesta membuka mata saat dering ponselnya terdengar lagi. Sudah beberapa kali dia mengabaikan, tetapi entah siapa y
"Keterlaluan kamu, Aryesta! Di mana pikiranmu. Inikah hasil belajarmu di luar negeri sana, hah!" Surya, kakek Aryesta itu menggemeletukkan gigi. Dia pandangi cucunya dengan perasaan kecewa. "Kakek benar-benar enggak menyangka kamu bisa melakukan hal rendah seperti itu!"Aryesta menggeleng. "Kakek lagi bicara apa? Aryesta bisa jelasin semuanya, Kek."Dengan lirih Aryesta berusaha mendekati sang kakek yang masih mengeraskan rahangnya. Namun, siapa sangka ada sosok perempuan paruh baya yang saat ini sedang melipat tangan di dada dan berjalan ke samping Kakek Surya. Dialah Denia ibu tiri yang memiliki anak bernama Dinda.'Ya Tuhan ... aku sungguh enggak akan sanggup kalau terus mengingat kejadian menjijikan di hotel tadi antara suami dan adik tiriku,' batin Aryesta seraya memejamkan matanya dan menarik napas, lalu mulai melangkah semakin mendekati Kakek Surya."Kek, Kakek enggak mungkin percaya sama berita murahan itu, kan?" Sungguh harap-harap cemas Aryesta saat mengatakannya."Halah, kam
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, tubuh Aryesta membatu dengan mata terbelalak melihat Kakek Surya yang baru saja menyampaikan ultimatumnya.Dengan tangan mengepal kencang dan air mata yang sudah tak mampu Aryesta bendung lagi, kini perempuan malang itu merangkak dan meraih kaki sang Kakek dengan tatapan penuh lukanya."K–kakek enggak serius kan, Kek? Aku masih cucuk Kakek, kan? Enggak mungkin Kakek percaya sama berita murahan itu, kan?" lirih Aryesta dengan tubuh bergetar menahan isak tangis yang sudah mulai terdengar.Lagi, Aryesta menatap ke atas. Berharap mendapatkan empatik dari sang kakek yang selama ini selalu berpihak padanya, tetapi yang Aryesta lihat hanya tatapan datar nan dingin. Sebuah tatapan yang belum pernah Aryesta dapatkan dari Kakek Surya selama hidupnya, kini justru tatapan penuh kecewa dan terluka itu ditunjukkan padanya.Sekali lagi, Aryesta menarik lembut celana kakeknya. "Aku akan buktiin sama Kakek, kalau semua berita itu bohong, Kek. Aku bakalan bawa o
Selepas meninggalkan kediaman keluarga, kini Aryesta terus berjalan tanpa arah dan tujuan. Apalagi perempuan yang diceraikan saat malam pertama pernikahannya ini tak memiliki satu orang teman pun di Indonesia.Sekolah di luar negri selama bertahun-tahun, membuat Aryesta sendirian ketika berada di kota kelahirannya ini.Kakinya terus melangkah dan bingung harus pergi ke mana lagi, hingga akhirnya Aryesta mengingat jika dirinya masih memiliki ponsel.Aryesta rogoh ponsel yang berada di saku, lalu tatapannya menengadah pada sebuah konter HP yang berada di seberang jalan.Ada helaan napas yang keluar dari bibir pink alami itu, sebelum akhirnya Aryesta putuskan untuk mendekati salah satu ruko dengan merek ternama itu.Meskipun ragu, tetapi dirinya sungguh tak memiliki pilihan lain, selain menjual handphone yang dia beli lebih dari lima tahun lalu ini."Maaf, Mbak. Kalau aku jual HP ini, kira-kira laku berapa, ya?" tanya Aryesta dengan hati tak rela.Sang penjual konter yang ternyata seorang
"Dasar laki-laki gila!" maki Aryesta ketika mendengar apa yang baru saja Aleandra katakan di dalam kondisi setengah sadarnya itu.Dengan tatapan memicing penuh kesal pada laki-laki yang masih memejamkan matanya, kini Aryesta bangkit dan menepuk-nepuk pakaiannya yang mungkin saja terkena debu jalanan."Rugi aku sempat khawatir sama laki-laki kurang waras kayak kamu! Tahu gitu, aku tinggal aja dari tadi!" kesalnya. Kali ini Aryesta berbalik badan dan mulai melangkah.Sempat terdiam dan berhenti melangkah saat tak terdengar pergerakan apa-apa dari Aleandra. Entah kenapa rasa khawatir berlebihannya perlahan muncul ke permukaan dan secepat kilat menoleh ke arah Aleandra yang sepertinya pingsan.Menarik napasnya dalam-dalam lalu memutar tubuh, dan kembali melangkah mendekati Aleandra, yang masih terkapar, dengan luka di dahinya akibat membentur aspal, karena keserempet pengendara motor tadi."Heh, bangun! Jangan coba-coba main-main sama aku, yah! Kutendang anumu itu nanti!" ancam Aryesta, s
Dukh!"Argh!" pekik Aryesta saat puncak kepalanya membentur dagu Aleandra.Dengan perasaan dongkol luar biasa, Aryesta akan menyemburkan segala sumpah serapahnya pada Aleandra, hingga pada detik matanya mendongak dan menatap wajah di depannya, saat itu juga emosinya perlahan sirna."Apakah kepalaku begitu keras, sampai-sampai bikin dia pingsan lagi?" lirih Aryesta dengan perasaan tak enaknya karena Aleandra yang kembali pingsan.Akan tetapi, jauh di lubuk hati yang paling dalam, Aryesta merasa inilah keberuntungannya, karena dia tak harus berdebat dengan laki-laki setengah mabuk itu.Entah apa yang terjadi hingga membuat Aleandra mabuk sedemikian rupa, dan hal itu membawa ingatan Aryesta pada kejadian lima tahun lalu, tepatnya saat keduanya pernah dekat."Kenapa kamu begitu banyak berubah, Al?" bisik Aryesta yang sungguh menyayangkan segala sikap kurang ajar Aleandra.Padahal, keduanya tak memiliki dendam apa-apa, tetapi kenapa Aleandra terlihat sangat membenci dirinya, sungguh demi a
Entah apa yang terjadi pada Aryesta, ketika dirinya merasa ada sinar matahari yang masuk melalui celah gorden, dan dirinya pun mendengar suara berisik yang entah dari mana datangnya."Aduh, apaan sih? Berisik banget, deh!" gumam Aryesta yang matanya masih terpejam karena belum sepenuhnya sadar.Aryesta pun merenggangkan tangannya, tetapi kok tubuhnya terasa dingin seolah-seolah tak ada pakaian yang dia kenakan?Aryesta perlahan membuka kedua matanya dan betapa terkejutnya dia saat melihat banyaknya orang sedang menatap dirinya yang seketika itu juga langsung memalingkan pandangan mereka."Bangunlah Aleandra!" teriak laki-laki yang duduk di kursi roda serta melemparkan bantal ke wajah Aleandra yang baru saja mengerjapkan kedua matanya bingung.Aleandra baru saja terbangun dan langsung mendapat hadiah bantal yang dilemparkan oleh ayahnya, tentu saja sedikit membuat dirinya terkejut dan bingung.Sementara laki-laki yang tak lain dan tak bukan adalah ayah kandungnya yang bernama Randy Alen
"Oh, apakah kamu ingin lihat cctv-nya, dan lihat betapa binalnya kamu semalam menyentuhku?"Deg!Sungguh demi apa pun, ucapan Aleandra Zeygan barusan entah kenapa membuat Aryesta semakin mengeratkan genggamannya pada selimut yang membungkus tubuh tanpa pakaian miliknya.Bagaimana mungkin Aryesta masih baik-baik saja, ketika Aleandra menantang dirinya untuk melihat cctv?Padahal harusnya Aryesta biasa saja, kan? Namun, kenapa kini perempuan itu justru ketakutan, dan entah kenapa perasaannya semakin tak tenang. Apalagi saat dia ingat jika efek air yang diminum semalam membuat tubuhnya panas.'Mungkinkah aku yang binal semalam?' batin Aryesta yang masih tak percaya dengan ucapan Aleandra.Namun, semuanya terasa masuk akal, apalagi Aryesta sering membaca novel dan menonton film, jika obat perangsang memang benar-benar ada. Dan dirinya tak ingin menotnon seberapa liar dia semalam.Akan tetapi, Aryesta pun bingung karena dia tak ingat apa-apa. Tetapi tunggu!Mata Aryesta kini membulat sempu
"Halo, Mas? Kenapa?"Pertanyaan Tisya dibalut rasa takut. Takut jika laki-laki itu akan membuangnya. Takut jika semua kekhawatirannya benar-benar terjadi.Sama halnya dengan Aryesta, yang saat ini dadanya berdebar kencang, menunggu apalagi yang akan suaminya putuskan.Entah kenapa, Aryesta cemas. Mencemaskan pilihan Aleandra, yang sering tak terduga seperti sebelumnya.Bahkan Aryesta tak pernah berpikir sebelumnya, jika dia akan dimadu oleh Aleandra dengan Tisya. Untuk itulah, ada ketakukan tersendiri yang dia rasakan.Kedua tangan Aryesta meremat gaun hamilnya di atas paha. Duduk dengan tegang, menunggu kelanjutan informasi dari suaminya.Tak berbeda jauh dengan Tisya, kini dia menelan ludahnya susah payah. Menanti keputusan.Sementara itu, di seberang telepon sana Aleandra menarik napasnya sangat dalam, kemudian mengeluarkannya secara perlahan."Dengan kesadaran penuh, aku Aleandra menjatuhkan talak 3 padamu Tisya Rhani binti Denrik, tanpa amarah dan tanpa paksaan!"Deg!Kedua jantu
"Tolong jelaskan apa maksud kamu, Aryesta, " pinta Tisya yang masih merasa kebingungan itu.Aryesta pun menarik napas panjang, lalu menyandarkan punggung pada kursi. Menatap sekitar sejenak."Aku tahu, Kak Derren tidak akan melepaskanmu. Dan mungkin saja Kak Derren mengabaikan dirimu nantinya," kata Aryesta dengan helaan napas berat."Tapi jika Kak Derren main tangan atau berbuat yang tidak-tidak padamu, kamu bisa mengadukannya padaku nanti.""Apa yang akan aku dapatkan, jika nanti aku mengadukan apa yang dia perbuat padaku?" tanya Tisya cepat, "dan keuntungan apa yang aku miliki, jika suatu saat nanti kakak sepupumu itu melakukan KDRT padaku?"Tepat sekali. Aryesta sudah menunggu pertanyaan ini, kemudian perempuan hamil itu pun perlahan menjelaskan semuanya. "Yang pertama aku akan menegurnya.""Aku rasa, menegur laki-laki seperti dia tidak akan ada gunanya, Aryesta, " sela Tisya, yang merasa poin pertama tidak menguntungkannya sama sekali.Aryesta yang mendengar itu, hanya tersenyum
Masih teringat jelas apa yang baru saja Aryesta katakan padanya di sambungan telepon, yang diputus sepihak oleh istrinya itu."Sialan! Apa yang harus aku lakukan sekarang," geram Aleandra di tengah kondisi tubuhnya yang selalu saja lemah.Ya Tuhan, Aleandra rindu pelukan hangat sang istri, dan dia juga rindu pada kondisi fisiknya yang selalu prima jika di dekat perempuan tercintanya itu.Namun, kali ini dirinya berada di sebuah pilihan paling sulit. Membuatnya mengeraskan rahang, saking kesalnya pada kesepakatan yang Aryesta berikan tadi.Kegelisahan Aleandra tentu saja membuat Adam sang sekretaris pribadi menggelengkan kepalanya, tak habis pikir."Ini yang membuatku malas menikah, Al."Ucapan Adam membuat Aleandra mendengkus dan menatap tajam ke arah sahabatnya itu."Melihat kehidupan rumah tanggamu yang seperti ini, membuatku semakin yakin untuk tidak menikah," cetus Adam dengan pandangan kosong, yang sialnya, matanya tiba-tiba menyipit, saat bayangan wajah cantik Dinda terbayang di
"Sebenernya aku itu sakit hati karena ditalak sama Mas Al tadi pagi di bandara. Tapi melihat kamu yang tidak peduli pada suamimu, kayakanya aku ada harapan untuk kembali bersamanya lagi."Entah kenapa, tiba-tiba dada Aryesta seolah terbakar, hanya karena mendengar kalimat menantang dari Tisya barusan.Matanya menatap tajam ke arah Tisya yang masih santai, meski Aryesta tahu ada kepedihan besar di dalam tatapan sendu Tisya.Mengingat semua hal yang menimpa Tisya, tentu saja Aryesta merasa prihatin dan tak bisa sepenuhnya membenci perempuan itu, karena ternyata semua yang menimpa ibunya adalah andil darinya juga, yang terlalu pembangkang kala itu.Membuat papa dari Tisya mengalami tekanan berat dalam hidupnya, sampai berujung mengakhiri hidupnya. Yang dilanjutkan dengan dendam kesumat ibunya Tisya.Namun, satu yang harus Aryesta garis bawahi, jika saja keluarganya bisa lebih peka terhadap keadaan ibunya yang sakit waktu itu, dan menyadari meminum obat yang salah, tentunya sang ibu tak mu
"Tidak mungkin," lirih Aryesta, yang bahunya langsung melemas saat mendengar pengakuan tak terduga dari mantan madunya ini.Sementara itu, Tiysa yang tak bisa berbohong pun hanya mampu menghela napasnya saja, karena sungguh demi apa pun, Tisya sangat bingung harus bagaimana sekarang.Terlebih Tisya tahu jika Aryesta pasti akan membencinya atau bahkan melaporkannya ke pihak berwajib, karena selama ini dia diam saja setelah tahu kebenarannya.Akan tetapi, Tisya tak punya pilihan selain diam. Dan sekarang Tisya tak mau lagi menutupinya. Karena itulah Tisya memutuskan untuk menceritakan semuanya sekarang.Satu tarikan napas Tisya ambil, lalu dia keluarkan, seblum akhirnya berkata, "Aku akan menjelaskan semuanya. Dan mengenai keputusanmu, aku tidak peduli lagi, meskipun nantinya kamu akan melaporkanku pada polisi."Sejenak dibalut rasa syok, Aryesta akhirnya mengalihkan perhatian dari keterkejutannya ke arah Tisya.Melihat jika lawan bicaranya sudah mulai menyimak penjelasan, Tisya pun akhi
"Aku tidak setuju kamu menikah dengan laki-laki sialan itu!" putus Aleandra pada Tisya yang terlihat sedikit ketakutan.Apalagi, Tisya mengingat jika laki-laki bernama Derren Rynegan itu sangat misterius, dan belum tahu sifat-sifatnya.Padahal, Tisya sudah sangat senang ketika dirinya hendak dijual kepada Derren saat di dalam pesawat. Tetapi sekarang, entah kenapa tiba-tiba hatinya menolak.Lebih tepatnya, saat Tisya melihat Derren yang memukuli Aleandra, dan tatapan tajam laki-laki itu padanya, yang membuat bulu kuduknya berdiri.Entah perasaan apa, tetapi yang jelas Tisya merasakan hawa negatif ketika berinteraksi bersama Derren tadi. Ya, meksipun Tisya hanya menampar dan membentaknya. Namun, dapat Tisya rasakan, jika Derren terlihat sangat berbahaya.Dengan gugup Tisya menggelengkan kepalanya, "Aku tidak mau ditukar dengan laki-laki itu, Mas!"Sungguh, demi apa pun, Tisya sangat ketakutan. Akan tetapi, Aleandra hanya mengangkat kedua bahunya lalu menjawab, "Aku juga tidak akan menuk
"Oh iya, Ar. Bukannya kamu harus ketemu sama calon kakak iparmu malam ini, ya?" Derren justru mengalihkan pembicaraan, karena tak berani mengatakan yang sebenarnya pada mereka.Aryesta tentu saja menatapnya dengan perasaan bingung pun bertanya, "Tapi kan aku janjiannya malam, Kak. Jadi enggak usah sekarang bangetlah.""Kalau malam takutnya kemalaman pulangnya. Lagi pula kamu sedang hamil, tidak baik pergi malam-malam, Ar," saran Derren yang terkesan perhatian, tetapi sesungguhnya Aryesta tahu bahwa kakak sepupunya itu hanya berusaha mengusir dirinya dari sana.Aryesta menggelengkan kepala, lalu bangkit dari sofa, "Aku juga perginya bareng 4 bodyguard, Kak. Jadi enggak usah terlalu berlebihan, oke? Aku juga capek mau istirahat dulu, Kak."Ya, tubuh Aryesta terasa sangat lemah sekarang, apalagi setelah kehamilannya, lelah itu mudah sekali datang padanya. Dan hal tersebut membuatnya jengkel bukan main.Padahal Aryesta sangat ingin menikmati kota London, tetapi karena kehamilannya, Aryesta
Derren pun tersenyum manis, lalu berkata, "Aku akan menuruti saranmu, Ar."Mendengar jika Kakak sepupunya setuju dengan idenya, tentu saja membuat Aryesta tersenyum lebar. Kemudian memeluk erat tubuh kokoh itu."Aku sangat yakin kalau Kakak enggak akan menyesal menikah dengannya. Tapi sebelum itu, aku ingin menemuinya dan bicara dari hati ke hati. Boleh, kan? Mungkin malam ini?" tanya Aryesta pada Derren yang diam saja.Karena Derren terdiam, akhirnya Aryesta melepas pelukannya dan menatap wajah rupawan laki-laki itu yang terlihat seperti tengah berpikir.Karena terlalu ingin tahu, akhirnya Aryesta pun kembali bertanya, "Apakah ada sesuatu yang mengganjal, hm?"Tatapan penuh perhatian Aryesta membuat kesadaran Derren kembali, lalu membuang napas sejenak, "Apakah kamu tidak bisa bercerai dari suamimu, dan kita tetap menikah besok?"Entah kenapa, di dalam hati Derren masih sangat berharap jika Aryesta bisa benar-benar menikah dengannya. Dan pertanyaan Derren membuat Aryesta menghela napa
"Awalnya aku takut dijual sama Mas Al untuk menukarmu denganku. Tapi maaf, Ar. Aku tidak mungkin sudi menjadi alat tukarmu demi laki-laki sialan itu. Dan perlu kamu tahu, kalau kamu memang belum resmi bercerai dengan Mas Al. Kalau punya kuasa tuh, dipake buat usut masalah. Jangan terlalu bego jadi orang," bisik Tisya tepat di telinga Aryesta yang masih berdiri mematung.Aryesta menoleh, "Aku dapat dari Papa Randy, kok. Dia yang ngasih buktinya. Dan di dokumen gugatan cerai itu ada tanda tangan Mas Al juga."Kening Aryesta mengencang setelah mengucapkan kalimat tersebut. Sementara, Tisya hanya menggelengkan kepalanya tak habis pikir."Aku enggak tahu ada masalah apa kamu sama Papa Randy, sampai-sampai dia malsuin tanda tangan Mas Aleandra. Tapi yang jelas, kami tidak mendapatkan berita apa pun tentang gugatan cerai kamu, Ar. Mungkin kamu bisa konfirmasi lagi sama Mas Al ataupun Papa Randy. Aku hanya mau bilang, kalau sampai detik ini kalian masih sah suami istri secara agama maupun nega