Aryesta masuk ke dalam mobil dengan perasaan yang tak bisa dia jelaskan. Hancur lebur, bukan lagi kata yang bisa mewakili keadaan hatinya kini.
Bagai jatuh tertimpa tangga, dia dipermalukan oleh orang yang tak tahu apa maksudnya, mengalami kekerasan, lalu ditalak di malam pengantin.
Seolah-olah takdir belum puas mengujinya, masih di hari yang sama, dia mendapati suami dan adik tirinya bercumbu mesra. Lagi, belum cukup, Tuhan ingin mengujinya. Dion, bukannya meminta maaf atas kesalahan justru menjanjikan perpisahan.
Pembelaan Dion terhadap Dinda adalah yang paling menyakitkan. Dia hanya korban keegoisan seseorang, tetapi dunia menatapnya hina.
Memejamkan mata, Aryesta merasai luka dalam hatinya, sungguh terasa nyeri. Dia bisa mendengar raungan sanubarinya. Dia kepalan tangan saat mengingat bagaimana Dion melindungi Dinda tadi. Kepalan itu dia pukulkan pada bantalan duduk.
Aryesta membuka mata saat dering ponselnya terdengar lagi. Sudah beberapa kali dia mengabaikan, tetapi entah siapa yang menghubunginya seperti tak kenal kata lelah.
Aryesta mengalah. Dia rogoh ponsel dalam tas, lalu dahinya mengernyit mendapati nomor asing yang meneleponnya.
"Halo?" sapa Aryesta. Belum apa-apa, dia ingin sekali mengumpat saat tahu Aleandra lah yang menghubunginya. "Ck, mau apa lagi kamu?"
Di seberang panggilan suara, Aleandra tertawa. "Bagaimana? Kamu udah lihat kelakuan suami bodohmu itu, kan? Dan aku enggak pernah bohongin kamu, Aryesta!"
"Kamu ...." Bicara di saat hatinya sedang tak baik-baik saja, Aryesta sungguh kesal. Dia ingin mencekik seseorang. "Sebenarnya apa sih yang kamu mau, hah? Kenapa kamu sampai tega ngelakuin ini sama aku, Aleandra Zeygan!"
"Bukankah sudah kukatakan aku ingin bermain-main?" Jawaban Aleandra sungguh menyulutkan emosi Aryesta.
Aryesta menggeram. Apa menghancurkan rumah tangga, bahkan masa depan orang lain begitu lucu hingga Aleandra menganggapnya sebagai lelucon untuk bermain?
"Aku dan kehidupanku bukan taman bermain, Aleandra!" teriak Aryesta geram. "Apa orang seperti kamu ini enggak punya kerjaan lebih peting dibanding merecoki hidup orang, ha?"
Aleandra justru tertawa dengan tudingan Aryesta. "Merecoki hidup kamu memang menyenangkan, Aryesta."
"Kamu ...." Aryesta mendesis. "Kamu menjebak suamiku, kan?" Sejak awal masalah muncul, lelaki itulah dalangnya. Jadi, bukan tak mungkin kejadian Dion dan Dinda adalah karena Aleandra juga. "Kamu pasti menjebak suamiku."
"Aku memang senang bermain denganmu, Aryesta, tapi aku tak sudi menghabiskan waktuku untuk suami bodohmu itu."
"Bohong!" bantah Aryesta. "Kamu pandai berbohong."
Aleandra terkekeh. "Mana yang kamu sebut kebohongan? Adakah informasi yang kusebutkan terselip kebohongan? Tentang suami pengkhianatmu itu?"
Aryesta menggeleng. Saat sadar Aleandra tak melihat, dia menggeram. "Akui saja, Aleandra. Entah apa alasanmu melakukan ini padaku, yang jelas apa yang terjadi pada Mas Dion pasti karna jebakanmu juga, kan?"
"Hah!" Aleandra sengaja menarik napas, lalu menghembuskannya kuat-kuat. "Dasar bodoh! Sudah kuperlihatkan kelakukan bejat suami dan adikmu, masih saja mengelak."
"Baik, kalau memang begitu. Lalu, bagaimana kamu bisa tahu semuanya? Bagaimana kamu bisa tahu mereka di sana? Bahkan, pintu kamar pun tak terkunci, Aleandra!"
Aleandra tertawa mengejek. "Kuberi tahu, mendapat informasi seperti itu hanya masalah kecil. Hal seremeh itu bukan hal sulit bagiku. Kamu yang terlalu bodoh dan naif!"
Menggeram, tetapi tak lagi mampu menimpali, sebab hati dan raganya begitu lelah, Aryesta memutus hubungan telepon begitu saja.
Perempuan dengan rambut pajang itu berkali-kali menarik napas panjang. Tatapannya terlempar pda ponsel di tangan. Dia menjadi kesal sendiri.
Aryesta baru akan menonaktifkan handphone-nya saat satu pesan masuk. Dia menyipit mengenal siapa nomor pengirim pesan itu. Siapa lgi jika bukan Aleandra yang baru saja menelpon dirinya tadi.
[Aku enggak sabar nunggu kabar seru darimu saat tiba di rumahmu nanti.]
Aryesta membaca satu per satu huruf di sana. Pesan yang dilengkapi dengan emoticon mengejek andalan Aleandra. Dahinya mengerut dalam, mencerna apa maksud dari pesan tersebut.
Menggigit ujung kuku jempol, dada Aryesta tetiba berdebar memikirkan apa lagi yang sedang Aleandra siapkan dan dia sebut sebagai permainan. Membuat pikiran perempuan itu berkelana ke man-mana.
Menggeleng, sambil meyakinkan hatinya untuk tenang, meski tak bisa Aryesta pungkiri ada hal entah apa yang dia takuti, dia mencoba untuk tak terpengaruh. Bukan tak mungkin Aleandra hanya ingin membuatnya kalut dan tak bisa konsentrasi mencari solusi.
"Kita sudah sampai, Non," ucap sopir. Ketika keduanya tiba di kediaman keluarga Aryesta.
Aryesta tergagap. Lama memikirkan pesan dari lelaki sialan bernama Aleandra, dia tak sadar mobil mereka sudah masuk ke pekarangan.
Aryesta berdeham. Dia merapikan rambut yang sedikit berantakan, sambil menarik napas panjang sebelum membuka pintu.
Dahi Aryesta mengerut. Langkah kakinya terhenti. Ludahnya tertelan pasti, dan kini jantungnya berdebar.
Di depan sana, kakeknya sedang berdiri dengan tongkat kayu. Menatapnya tanpa ekspresi. Gesture tubuh lelaki yang Aryesta panggil kakek itu seolah-olah memang sedang menunggunya.
Aryesta mengayun langkah kembali meski hatinya berdebar tak menyenangkan. Dia baru akan menyapa saat kakeknya justru lebih dulu berbicara. Ucapan yang praktis buat tubuhnya membeku.
"Kakek enggak menyangka kamu bisa melakukan hal menjijikan seperti itu dengan banyak lelaki, Aryesta!"
'Oh Tuhan ... apalagi yang akan menimpaku kali ini?' batin Aryesta saat mendengar suara Kakeknya yang begitu menggelegar.
"Keterlaluan kamu, Aryesta! Di mana pikiranmu. Inikah hasil belajarmu di luar negeri sana, hah!" Surya, kakek Aryesta itu menggemeletukkan gigi. Dia pandangi cucunya dengan perasaan kecewa. "Kakek benar-benar enggak menyangka kamu bisa melakukan hal rendah seperti itu!"Aryesta menggeleng. "Kakek lagi bicara apa? Aryesta bisa jelasin semuanya, Kek."Dengan lirih Aryesta berusaha mendekati sang kakek yang masih mengeraskan rahangnya. Namun, siapa sangka ada sosok perempuan paruh baya yang saat ini sedang melipat tangan di dada dan berjalan ke samping Kakek Surya. Dialah Denia ibu tiri yang memiliki anak bernama Dinda.'Ya Tuhan ... aku sungguh enggak akan sanggup kalau terus mengingat kejadian menjijikan di hotel tadi antara suami dan adik tiriku,' batin Aryesta seraya memejamkan matanya dan menarik napas, lalu mulai melangkah semakin mendekati Kakek Surya."Kek, Kakek enggak mungkin percaya sama berita murahan itu, kan?" Sungguh harap-harap cemas Aryesta saat mengatakannya."Halah, kam
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, tubuh Aryesta membatu dengan mata terbelalak melihat Kakek Surya yang baru saja menyampaikan ultimatumnya.Dengan tangan mengepal kencang dan air mata yang sudah tak mampu Aryesta bendung lagi, kini perempuan malang itu merangkak dan meraih kaki sang Kakek dengan tatapan penuh lukanya."K–kakek enggak serius kan, Kek? Aku masih cucuk Kakek, kan? Enggak mungkin Kakek percaya sama berita murahan itu, kan?" lirih Aryesta dengan tubuh bergetar menahan isak tangis yang sudah mulai terdengar.Lagi, Aryesta menatap ke atas. Berharap mendapatkan empatik dari sang kakek yang selama ini selalu berpihak padanya, tetapi yang Aryesta lihat hanya tatapan datar nan dingin. Sebuah tatapan yang belum pernah Aryesta dapatkan dari Kakek Surya selama hidupnya, kini justru tatapan penuh kecewa dan terluka itu ditunjukkan padanya.Sekali lagi, Aryesta menarik lembut celana kakeknya. "Aku akan buktiin sama Kakek, kalau semua berita itu bohong, Kek. Aku bakalan bawa o
Selepas meninggalkan kediaman keluarga, kini Aryesta terus berjalan tanpa arah dan tujuan. Apalagi perempuan yang diceraikan saat malam pertama pernikahannya ini tak memiliki satu orang teman pun di Indonesia.Sekolah di luar negri selama bertahun-tahun, membuat Aryesta sendirian ketika berada di kota kelahirannya ini.Kakinya terus melangkah dan bingung harus pergi ke mana lagi, hingga akhirnya Aryesta mengingat jika dirinya masih memiliki ponsel.Aryesta rogoh ponsel yang berada di saku, lalu tatapannya menengadah pada sebuah konter HP yang berada di seberang jalan.Ada helaan napas yang keluar dari bibir pink alami itu, sebelum akhirnya Aryesta putuskan untuk mendekati salah satu ruko dengan merek ternama itu.Meskipun ragu, tetapi dirinya sungguh tak memiliki pilihan lain, selain menjual handphone yang dia beli lebih dari lima tahun lalu ini."Maaf, Mbak. Kalau aku jual HP ini, kira-kira laku berapa, ya?" tanya Aryesta dengan hati tak rela.Sang penjual konter yang ternyata seorang
"Dasar laki-laki gila!" maki Aryesta ketika mendengar apa yang baru saja Aleandra katakan di dalam kondisi setengah sadarnya itu.Dengan tatapan memicing penuh kesal pada laki-laki yang masih memejamkan matanya, kini Aryesta bangkit dan menepuk-nepuk pakaiannya yang mungkin saja terkena debu jalanan."Rugi aku sempat khawatir sama laki-laki kurang waras kayak kamu! Tahu gitu, aku tinggal aja dari tadi!" kesalnya. Kali ini Aryesta berbalik badan dan mulai melangkah.Sempat terdiam dan berhenti melangkah saat tak terdengar pergerakan apa-apa dari Aleandra. Entah kenapa rasa khawatir berlebihannya perlahan muncul ke permukaan dan secepat kilat menoleh ke arah Aleandra yang sepertinya pingsan.Menarik napasnya dalam-dalam lalu memutar tubuh, dan kembali melangkah mendekati Aleandra, yang masih terkapar, dengan luka di dahinya akibat membentur aspal, karena keserempet pengendara motor tadi."Heh, bangun! Jangan coba-coba main-main sama aku, yah! Kutendang anumu itu nanti!" ancam Aryesta, s
Dukh!"Argh!" pekik Aryesta saat puncak kepalanya membentur dagu Aleandra.Dengan perasaan dongkol luar biasa, Aryesta akan menyemburkan segala sumpah serapahnya pada Aleandra, hingga pada detik matanya mendongak dan menatap wajah di depannya, saat itu juga emosinya perlahan sirna."Apakah kepalaku begitu keras, sampai-sampai bikin dia pingsan lagi?" lirih Aryesta dengan perasaan tak enaknya karena Aleandra yang kembali pingsan.Akan tetapi, jauh di lubuk hati yang paling dalam, Aryesta merasa inilah keberuntungannya, karena dia tak harus berdebat dengan laki-laki setengah mabuk itu.Entah apa yang terjadi hingga membuat Aleandra mabuk sedemikian rupa, dan hal itu membawa ingatan Aryesta pada kejadian lima tahun lalu, tepatnya saat keduanya pernah dekat."Kenapa kamu begitu banyak berubah, Al?" bisik Aryesta yang sungguh menyayangkan segala sikap kurang ajar Aleandra.Padahal, keduanya tak memiliki dendam apa-apa, tetapi kenapa Aleandra terlihat sangat membenci dirinya, sungguh demi a
Entah apa yang terjadi pada Aryesta, ketika dirinya merasa ada sinar matahari yang masuk melalui celah gorden, dan dirinya pun mendengar suara berisik yang entah dari mana datangnya."Aduh, apaan sih? Berisik banget, deh!" gumam Aryesta yang matanya masih terpejam karena belum sepenuhnya sadar.Aryesta pun merenggangkan tangannya, tetapi kok tubuhnya terasa dingin seolah-seolah tak ada pakaian yang dia kenakan?Aryesta perlahan membuka kedua matanya dan betapa terkejutnya dia saat melihat banyaknya orang sedang menatap dirinya yang seketika itu juga langsung memalingkan pandangan mereka."Bangunlah Aleandra!" teriak laki-laki yang duduk di kursi roda serta melemparkan bantal ke wajah Aleandra yang baru saja mengerjapkan kedua matanya bingung.Aleandra baru saja terbangun dan langsung mendapat hadiah bantal yang dilemparkan oleh ayahnya, tentu saja sedikit membuat dirinya terkejut dan bingung.Sementara laki-laki yang tak lain dan tak bukan adalah ayah kandungnya yang bernama Randy Alen
"Oh, apakah kamu ingin lihat cctv-nya, dan lihat betapa binalnya kamu semalam menyentuhku?"Deg!Sungguh demi apa pun, ucapan Aleandra Zeygan barusan entah kenapa membuat Aryesta semakin mengeratkan genggamannya pada selimut yang membungkus tubuh tanpa pakaian miliknya.Bagaimana mungkin Aryesta masih baik-baik saja, ketika Aleandra menantang dirinya untuk melihat cctv?Padahal harusnya Aryesta biasa saja, kan? Namun, kenapa kini perempuan itu justru ketakutan, dan entah kenapa perasaannya semakin tak tenang. Apalagi saat dia ingat jika efek air yang diminum semalam membuat tubuhnya panas.'Mungkinkah aku yang binal semalam?' batin Aryesta yang masih tak percaya dengan ucapan Aleandra.Namun, semuanya terasa masuk akal, apalagi Aryesta sering membaca novel dan menonton film, jika obat perangsang memang benar-benar ada. Dan dirinya tak ingin menotnon seberapa liar dia semalam.Akan tetapi, Aryesta pun bingung karena dia tak ingat apa-apa. Tetapi tunggu!Mata Aryesta kini membulat sempu
"Apa yang ngebuat kamu segitu dendamnya sama aku, hah?!" sentak Aryesta pada Aleandra yang kini tersenyum miring dan masih membelakanginya.Aleandra menolehkan wajahnya ke samping lalu tersenyum penuh ejekan. "Apakah kamu lupa dengan semua yang pernah kamu lakukan padaku di saat kita berdua masih di London?"Aryesta memandangi punggung tegap Aleandra dengan tatapan bingung tanpa sebuah jawaban, yang spontan membuat Aleandra mengepalkan tangannya kencang karena emosi."Enggak usah berlaga bodoh, karena hal itu semakin membuatku merasa jijik setiap melihatmu begini!"Usai mengucapkannya, Aleandra melenggang pergi menuju ke dalam kamar mandi, yang memang masih berada di dalam bilik lain yang masih satu ruangan dengan kamarnya.Meninggalkan Aryesta yang masih kebingungan. "Kenapa dia enggak pernah terus terang aja, sih. Bilang aja gitu apa salahku, sampai dia sebenci dan sedendam itu ke aku!"Memikirkan bagaimana Aleandra dan hati laki-laki itu yang tak pernah bisa Aryesta tebak, kini dia
"Ar kamu di mana?" racau Aleandra di sela tidurnya.Sejak kejadian nahaas hilangnya sang istri berserta keluarga perempuan itu dua bulan lalu, kondisi tubuh Aleandra semakin buruk.Bahkan hari ini laki-laki itu sedang berbaring dengan mengigaukan nama istri pertamanya yang hingga saat ini belum dia ketahui. Dari semua orang yang masuk dalam daftar, hanya Aryesta, Kakek Surya, Denia dan Dina yang belum juga ditemukan tubuh ataupun jasadnya.Karena itulah, Aleandra berhalusinasi jika Aryesta masih hidup entah di mana. Yang sialnya dia lupa memberikan alat pelacak pada sang istri."Aku pikir kamu tidak akan pernah ninggalin aku, Ar. Makanya aku diam saja, dan tidak memiliki niat menanamkan alat pelacak itu padamu," ucap Aleandra pelan yang matanya sudah mulai mengerjap bangun.Refleks tangannya memegangi kepalanya yang terasa sangat pusing dan mual yang tak tertahankan, bahkan sialnya lagi sekarang dia justru menginginkan mangga muda dengan bumbu rujak."Maaf, Tuan. Tapi Anda baru saja s
"Pesawat yang melakukan penerbangan ke London yang lepas landas pada pukul 13.00 WIB siang ini mengalami kecelakaan karena cuaca tiba-tiba memburuk. Berikut nama-nama penumpang yang tercatat di pembelian tiket adalah, Dinda, Aryesta Ribela, dan dua orang lainnya belum ditemukan oleh tim sar. Sekian berita siaran langsung hari ini, sampai jumpa di liputan selanjutnya."Deg!Prang!Jantung Adam berdetak sangat kencang, ketika mendengar berita siaran langsung di hadapannya. Bahkan makanan dan minuman yang berada di atas nampan itu terjatuh saking terkejutnya dengan informasi dadakan ini."B–bagaimana bisa?"Sumpah demi apa pun, dada Adam terasa sesak dan seketika itu juga lupa caranya bernapas, membuatnya tersengal-sengal.Setelah mengumpulkan kesadaran yang sempat hilang sejenak, Adam langsung berlari sekuat tenaga menuju salah satu ruangan di perusahaan itu.Namun, sialnya entah kenapa jarak dari kantin menuju ruangan sahabat sekaligus bosnya itu terasa sangat jauh, hingga beberapa kali
"Apa kamu yakin, Al?"Pertanyaan Randy membuat Aleandra yang semula melamun langsung terkejut. Menoleh ke arahnya dengan tatapan gelisah. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh putra semata wayangnya ini, Randy cukup heran. Karena tak biasanya Aleandra kurang fokus seperti ini."Kamu kenapa lagi, Al? Pusing? Mual? Atau tidak enak badan?" tanya Randy lagi, karena memang selama ini yang merasakan ngidam adalah Aleandra, bukan menantunya. Terlebih di jam makan siang seperti ini, Aleandra kerap tantrum dan butuh pijatan sang istri. Orang ngidam memang selalu aneh-aneh, dan Randy pernah merasakannya dulu, saat istrinya mengandung Aleandra.Aleandra memijat pangkal hidungnya yang mulai terasa nyut-nyutan. Tetapi tak mau dia terlihat lemah di hadapan papanya, karena dirinya sudah terbiasa selama tiga bulan ini. Meraskan tubuhnya yang tiba-tiba letoy, dan ternyata dirinya kena sindrom ngidam.Jika kebanyakan sang istri yang mengidam banyak hal, ini justru pihak suami. Itulah sebabnya Aleandra t
"Sekarang pergi ke kamar, dan jelaskan padaku, Ar!" perintah Aleandra dengan suara tegas, tetapi pelannya. Karena dia tak ingin keluarganya tahu, jika pernikahan dirinya bersama Aryesta layaknya tengah berada di ujung tanduk.Aryesta hanya mengangguk. Kemudian meminta izin pada Papa dan Mama mertuanya, tak lupa dia juga pamit dengan Tisya sang madu. Beralasan jika Aleandra meminta dipijat lagi. Ya, hanya itulah yang bisa dia gunakan sebagai alasan saat ini. Terlebih waktu sudah menunjukkan jam satu dini hari.Setelah mendapat persetujuan dari mereka, Aryesta berbalik badan. Menarik napasnya sangat dalam, lalu melangkah mengikuti jejak suaminya menuju kamar mereka.Ketika langkahnya mencapai pintu kamar, Aryesta tak lantas membukanya, dia justru terdiam sejenak, dan mencari-cari alasan yang sekiranya dapat dia berikan pada suaminya itu.Ditambah lagi, dia bingung dari mana Aleandra mengetahui jika dirinya masuk ke dalam ruang kerja Mama Ranti? Mungkinkah dirinya berada dalam pengawasan
"Apa kamu pikir, kamu bisa bebas begitu saja, setelah apa yang kamu lakukan?""Ingat, aku tidak akan tinggal diam jika kamu tidak membantunya, Ranti!" Itulah bunyi dua pesan suara yang dikirimkan oleh nomor tak dikenal padanya.Dengan tangan meremat ponsel, Ranti mengeraskan rahangnya, lalu membanting benda pipih itu ke dinding hingga menimbulkan suara keras, yang membuat Aryesta terkejut di balik gorden."Berengsek! Aku tidak bersalah! Aku tidak melakukannya! Semua ini salahnya! Tapi kenapa aku yang dapat getahnya, sialan!" desis Ranti, dengan mata penuh kebencian menatap bingkai keluarga kecilnya bersama Randy, Aleandra, juga Tisya. Sebuah foto pernikahannya bersama Randy beberapa tahun silam.Matanya semakin tajam melihat Aleandra yang terlihat malas difoto, "Gara-gara kamu melindunginya. Aku yang jadi buronan mereka, sialan! Dasar anak tiri tidak tahu diri!" pekik Ranti yang tatapannya dipenuhi dendam juga kebencian pada anak tirinya.Matanya terpejam, dan menumpukan telapak tangan
"I–itu ...."Aryesta tak bisa melanjutkan alasannya, karena jantungnya berdebar-debar tak menentu, saat mendengar seseorang memanggil, dan menanyakan perihal ucapan pelannya tadi."Aku menyesal, kenapa aku harus mengeluarkan suaraku tadi, sih. Harusnya aku ngomong dalam hati saja. Kalau begini kan, repot urusannya. Apalagi sampai ketahuan gini." Aryesta menggerutu di dalam hatinya, atas semua kebodohan dan kecerobohannya beberapa detik lalu, ketika dirinya menutup pintu kamar.Masih memunggungi seseorang, Aryesta pun meremat jari-jarinya dengan perasaan gugup. Kemudian dia memberanikan diri membalikan tubuhnya secara perlahan. Bahkan dia sudah siap jika mendapat banyak pertanyaan atau tuduhan lain dari orang itu.Bukan amarah orang itu yang Aryesta pikirkan saat ini. Namun, bagaimana dengan misinya, dan tak ada misi yang berhasil dia laksanakan. Ya Tuhan. Dirinya akan sangat malu di hadapan Derren Rynegan. Pasti Kakak sepupunya itu akan meledeknya terus-menerus.Hah! Mungkin inilah akh
Di sepanjang perjalanan pulang, Dinda tak banyak bicara, membuat Adam sesekali menoleh ke arahnya, tetapi hanya sejenak, karena laki-laki itu kembali fokus pada jalanan.Hah!Terdengar hela napas berat Dinda yang mengalihkan atensi Adam kembali, hingga dirinya yang sudah tak tahan pun bertanya, "Apakah Anda masih tidak percaya pada ucapan istrinya?"Dinda tak langsung menjawab, dan kembali mengingat ucapan dari perempuan yang mengaku sebagai istri sah Dion. Ditambah seorang anak perempuan yang mereka miliki, yang sudah berusia 5 tahun."Aku tidak menyangka saja ... kalau selama ini dia berbohong mengenai statusnya, bahkan dia sampai memanipulasi kami semua." Lagi, Dinda mengembuskan napas panjangnya. "Tapi aku benar-benar tak menyangka, dia tega melakukan ini semua hanya karena sebuah dendam."Ya, dendam. Dendam di masa lalu yang mengakibatkan dirinya dipecat dari pekerjaannya yang saat itu menjadi clining servise di sebuah perusahaan, akibat mencopet tas kerja milik Randy, yang merupa
"Lama banget sih! Ke mana lagi tuh, orang," gerutu Dinda yang jengkel duduk di salah satu kursi restaurant, yang tak jauh dari tempat keluarga Aleandra.Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, di sebuah restaurant yang cukup ramai pengunjung ini, Dinda sedang menunggu seseorang. Namun, sudah beberapa kali dia menoleh pada pintu masuk, berharap saudara tirinya tiba, tak kunjung memunculkan batang hidungnya juga.Saking kesalnya menunggu, Dinda pun meraih ponsel dan menelepon Aryesta, yang deringnya langsung terdengar dari arah belakang.Tanpa menunggu respon dan mendengar jawaban, Dinda langsung bangkit hendak memaki, tetapi justru yang datang adalah seseorang yang tak dia kenali, sedang memegang ponsel Aryesta."Siapa kamu? Dan di mana Kakak tiriku?" tanya Dinda yang matanya menatap tajam ke arah laki-laki muda tampan di depannya.Laki-laki itu tersenyum kecil lalu mengangguk sebagai sapaan. Kemudian dia putuskan untuk duduk, meski tak dipersilakan oleh Dinda. Ah masa bodo. Dirinya suda
"Dasar laki-laki aneh," gumam Aryesta setelah berhasil keluar dari kungkungan suaminya. Kini dia sudah berada di luar ruang perawatan Aleandra, dan menutup pintu itu.Terlihat ada Tisya yang sudah menunggu dirinya. Aryesta pun akhirnya berjalan mendekati dan ikut madunya menuju ruangan dokter kandungan. Yang entah kenapa tangannya terasa berkeringat dingin, saat membayangkan pemeriksaan di dalam sana.Tisya menoleh lalu berkata, "Kamu tidak usah gugup gitu, Ar."Aryesta hanya mendelik sinis, lalu bertemu dokter perempuan paruh baya yang menyambut kehadiran keduanya dengan hangat.Pemeriksaan pun berjalan hingga tiga puluh menit lamanya, mengingat yang diperiksa adalah dua orang, dengan USG dan serangkaian pertanyaan lain. Hingga hasilnya benar-benar keluar."Dari hasil pemeriksaan kalian berdua, jika yang sedang mengandung adalah Nyonya Aryesta dengan usia kandungan empat belas minggu, atau 4 bulan, terhitung dari hari pertama haid terakhir. "Bagaikan tersambar petir di siang bolong,