Aryesta membuka mata. Lalu, mengerjap berulang kali hanya untuk merasai kepalanya nyeri. Terlebih saat mengingat kejadian semalam. Ya Tuhan, pernikahannya hancur dalam hitungan jam. Kembali memejamkan mata, Aryesta menggeleng tak percaya. Dion telah menceraikannya.
Sementara Aryesta tak menyadari bahwa Dion ada di kamar yang sama, duduk di sofa tak jauh sambil menggeram marah. Namun, di antara geraman itu, dia masih tak percaya. Hatinya masih berharap bahwa video semalam hanya editan saja. Sungguh, dia masih berharap bukan istrinya yang ada dalam video tersebut. Dia masih berharap bahwa itu hanyalah pekerjaan orang iseng saja.
“Aryesta,” panggil Dion pelan. “Bangun, dan ikut saya.”
Aryesta tersentak, praktis membuka mata. “Mas? Kamu—“
Dion berdiri. Wajahnya masih keras. Aura pria itu tampak suram. “Bangun. Bersihkan diri kamu. Ahli IT sudah menunggu kita di bawah,” ucapnya pelan. Pria itu berusaha untuk tak membentak. Dia membuang wajah. Wajah sembab dan bengkak Aryesta sungguh dia benci. Sebab artinya kejadian semalam bukan mimpi belaka.
Aryesta segera menyingkap selimut. Dia seka wajah kasar seraya berjalan mendekat. “Mas dengarkan aku. Kamu harus percaya aku. Aku istrimu. Aku enggak mungkin bertindak begitu. Bukan aku wanita di video itu! Itu editan.” Pelan, dia raih jemari Dion. “Kamu percaya aku, Mas.”
Dion menghela napas pelan. Tatapannya jatuh pada jemari yang Aryesta sentuh sebelum manik tegas itu merangkak naik. Lalu, tatapan keduanya bertaut. Pria itu menggeleng. Dia tarik tangannya.
Aryesta buru-buru menggenggam tangan Dion lebih erat. “Sumpah demi Tuhan, Mas. Itu bukan aku!”
Dion kembali menarik napas. “Kita akan tahu nanti. Maka bergegaslah.”
“Aku butuh kamu percaya, Mas!" lirih Aryesta yang masih mengharap kepercayaan dari suaminya meski hanya sedikit.
“Percaya atau tidaknya saya sekarang, enggak akan ada pengaruhnya, Aryesta. Hasil pengecekan IT-lah nanti yang menentukan sikap saya ke depannya.” Jawaban Dion langsung membuat Aryesta lemas mendengarnya.
“Mas, kamu harus percaya aku!” Aryesta menatap suaminya dengan pendar memohon. “Tolong, percayalah. Aku enggak mungkin melakukan hal keji seperti itu.”
Dion menyentak tangannya. “Saya akan percaya hanya jika video itu terbukti editan.” Dia balas tatapan sang istri. Dion menggeleng. “Enggak ada gunanya kamu mendebat begini. Sebaiknya kamu segera menyusul ke ruang keluarga di bawah.”
Aryesta menyentak napas. Tahu tak bisa mengulur waktu lebih lama, dia bergegas. Dion benar, mereka harus segera membuktikan keaslian video tersebut agar masalah mereka cepat selesai.
Turun dengan langkah tergesa, Aryesta sempat mematung sejenak. Di ruang tengah yang luas itu bukan hanya ada Dion dan seorang yang dia yakini adalah IT yang suaminya maksud, tetapi juga ada adiknya. Yaitu, Dinda dan ibu tirinya Denia.
Beralih pada Dion yang berdeham, Aryesta ikut berdeham pelan. Dia kembali mengayun langkah. Namun, tatapannya tetap tertuju pada Dinda dan Denia. Entahlah, Aryesta seperti melihat senyum kemenangan di wajah itu.
“Kalian sedang apa di sini?” tanya Aryesta begitu hendak ikut duduk bergabung Denia dan Dinda hanya tersenyum. Mengabaikan sikap tak acuh perempuan itu, Aryesta tertegun. Dia tak bisa tak tersinggung saat Dion justru memintanya duduk berseberangan.
“Mau sampai kapan kamu berdiri begitu?” tegur Dion. “Cepat duduklah.”
Aryesta mengangguk tanpa kata. Lalu, Dion meminta ahli IT segera mengecek keaslian video.
Di ruangan berpendingin itu, semuanya terdiam. Aryesta memejamkan mata saat suara video seperti semalam terdengar berulang, berpadu dengan suara ketukan jari di atas keyboard. Entah apa yang dilakukan hingga bermenit-menit yang terasa lama itu berakhir dengan Aryesta meraung tak terima.
"Sesuai bukti, video ini 99% asli tanpa adanya editan!"
Deg!
Jantung Aryesta berdebar tak menentu saat mendengar vonis suara dari IT yang baru saja menyampaikan hasil analisisnya.
“Bohong! Itu bukan aku!” sanggah Aryesta. Dia menggeleng pada Dion. “Tolong, Mas. Percaya sama aku. Aku dijebak, Mas!”
Dion bangun. Napasnya memburu marah. Sejak semalam, hatinya terus menyangkal berharap video tersebut hanya keisengan rival bisnisnya, atau orang yang tak suka padanya dan Aryesta saja. Namun, mendengar penjelasan IT itu, Dion tak bisa tak marah.
Dion menyugar rambutnya kasar. Dia berjalan agak menjauh. Lalu berteriak. Napasnya terembus patah-patah. Lampu di atas nakas dia banting.
Aryesta mendekati suaminya. Dia mencoba meraih tangan Dion setelah usahanya untuk memeluk sang suami tak berhasil.
“Mas. Tolong percaya aku. Aku enggak mungkin melakukan itu.” Aryesta masih berusaha menyentuh jemari Dion. “Aku enggak mungkin mengkhianati kamu, Mas!”
“Apa kamu mengalami penurunan pendengaran?” Dion mendesis. “Kita semua dengar, Aryesta. Video itu asli! Tanpa rekayasa! Artinya perempuan di sana memang kamu!” tunjuk Dion.
“Demi Tuhan, Mas. Kamu harus percaya aku!” kukuh Aryesta. “Aku—“
“Kamu menjijikkan!” sela Dion. “Kamu tahu? Di detik terakhir, saya masih berharap apa yang kita lihat memang salah. Saya berharap kamu enggak semenjijikkan itu!”
“Aku enggak ngelakuin itu!” teriak Aryesta yang masih syok tak terima.
“Apalagi yang mau kamu bantah, hah?!” sentak Dion. Tak tahukah Aryesta, Dion begitu kecewa? Perempuan yang dia cintai, nyatanya tak lebih dari perempuan nakal. “Bukti sudah di depan mata. Saya bahkan membawa ahli ke depan mata kamu, tapi kamu masih saja mengelak. Hebat ya, kamu!”
“Aku dijebak, Mas!” sanggahnya lagi. “Mas harus percaya aku. Aku masih suci, demi Tuhan!”
“Kalau begitu, jawab ini.” Dion memotong jarak lebih dekat. “Apakah perempuan di video itu bukan kamu?”
Bibir Aryesta bergetar. Dia kesulitan menelan ludah. “Aku ... aku ....”
“Lihat?” Dion memundurkan tubuh satu langkah. Tatapannya terhunus penuh rasa jijik pada Aryesta. Dia ingin sekali meludahi wajah bersimbah air mata buaya di depannya ini. “Kamu enggak bisa jawab, kan?”
Di depannya Aryesta menipiskan bibir. Dia tak lagi bisa menyangkal. Sakit karena ada yang melakukan hal ini padanya, tetapi jauh lebih sakit melihat suaminya sendiri, memandangnya rendah begini.
“Aku dijebak, Mas,” jawab Aryesta pelan. “Di video itu memang aku, tapi aku dijebak, Mas.”
Dion terkekeh geli. Dibanding tertawa begitu, dia lebih ingin melenyapkan seseorang. Seseorang yang mengkhianati pernikahannya sendiri.
Mengusap wajahnya kasar, Dion mengangguk satu kali. “Oke.” Sekali ini, Dion ingin mendengar penjelasan Aryesta. “Kamu dijebak, begitu?”
Aryesta mengangguk yakin. “Iya, Mas! Aku sungguh enggak berbohong!"
“Siapa yang menjebak kamu?” Dion kembalikan tatapannya pada wanita yang tak lagi ada kehormatan di matanya. “Siapa orangnya dan apa alasannya, hmh?"
Aryesta terdiam sebentar. Ada ragu yang menyusup pelan. Bukan hanya karena dia tak ingat malam itu, tetapi juga karena khawatir Dion tak akan percaya pada ucapannya.
“Aleandra Zeygan.” Aryesta mendongak. Lalu dia mengangguk yakin. “Aku dijebak oleh Aleandra Zeygan, Mas. Dia yang menjebakku.”
Dion mengerutkan kening. Rasanya nama yang Aryesta sebutkan tak asing. Dia mencoba menggali ingatan. Lalu, di detik ke tujuh, tawa Dion menggema penuh ejekan.
“Aleandra Zeygan?” tanyanya masih dengan nada mencemooh. “Kamu enggak salah menyebutkan nama?”
“Aku enggak berbohong, Mas. Dia yang sudah menjebakku.” Aryesta tetap kukuh pada asumsinya. Apalagi sebelum dia pingsan Aleandra sempat menelpon dirinya.
Dion mendesis kesal. Bisa-bisanya Aryesta menutupi kebohongan dengan cara begini. “Kamu tahu siapa yang kamu sebutkan tadi? Biar kuberi tahu, Aleandra Zeygan, CEO paling tampan sekaligus pengusaha muda terkenal dan namanya sedang naik daun di negeri ini.”
'Lalu, Aryesta menyebutkan pengusaha itu yang menjebak? Hah, perempuan itu ternyata bukan hanya murahan, tetapi juga tak waras rupanya,' pikir Dion melanjutkannya di dalam hati.
“Aku enggak bohong, Mas! Karena memang dia menjebakku!” sanggah Aryesta. “Kamu harus percaya aku. Dan aku akan buktiin, bahwa ucapanku ini benar.”
Dion mengumpat keras. “Apa yang ada dalam kepalamu itu, Aryesta?” Matanya menyalak marah. “Kamu pikir saya ini bodoh? Sampai harus merangkai kebohongan seperti ini, hah?”
Aryesta memang sangat cantik dan menarik, Dion tak akan memungkiri itu. Namun, melibatkan nama CEO perusahaan maju dan terkenal, apa bukan kebodohan namanya? Aleandra Zeygan bisa mendapatkan sepuluh atau bahkan ratusan perempuan seperti Aryesta jika mau. Bukan malah membuat skandal murahan begini.
“Aku enggak berbohong!” raung Aryesta. “Demi Tuhan, dia yang menjebakku, Mas!”
Dion menggeleng. Tak ingin lepas kendali seperti tadi malam, dia merasa harus pergi sekarang. Dia melangkah dengan kaki-kaki lebar. Tak peduli, di belakangnya Aryesta terus memanggil-manggil memintanya untuk kembali.
Aryesta tergugu. Dia kembali menanyakan keaslian video itu. “Apa Anda enggak salah menganalisis?”
“Saya profesional. Semua unsur telah dipenuhi. Video itu memang asli.” Jawaban IT profesional itu semakin membuat dada Aryesta berdegup sangat kencang dan masih tetap menyangkalnya dalam hati.
Aryesta mengepalkan tangan kuat-kuat. “Aleandra Zeygan, kurang ajar!”
Dion melangkahkan kaki dengan hentakan keras. Kedua tangannya mengepal kuat. Rahang pria itu mengeras sempurna. Dia buka mobil cepat, lalu membanting diri. Tangan yang terkepal dia pukulkan pada roda setir.“Sialan!” Lagi, dia pukul roda kemudi. Sungguh kemarahannya tak mereda sedikit pun. Dion luar biasa kecewa. Dia tak menyangka, Aryesta bisa mengkhianatinya seperti ini. “Kurang ajar!”Dengan dada yang naik turun, Dion memejamkan mata. Kilasan perkenalannya dengan Aryesta berkelebat. Dia yang terpana pada pandangan pertama, melihat Aryesta sebagai sosok baik-baik. Hal yang membuat Dion yakin untuk menikahi perempuan itu.Siapa sangka, wajah cantik, tutur kata baik, sopan santun Aryesta justru kamuflase yang menutupi kebrengsekkannya.Lima menit dalam mobil, Dion tak juga bisa meredakan rasa marah dan kecewa dalam dada. Dia mengangkat kepala dari roda kemudi. Bersiap untuk pergi. Entah ke mana. Yang jelas dia butuh pelampiasan saat ini.Baru akan memutar kunci, seseorang yang masuk b
Aryesta membelalakkan mata. Dia menggeleng keras, lalu tertawa sumbang. “Kamu berbohong!” Dion tak mungkin mengkhianatinya kan? Permasalahan mereka memang pelik, tetapi tak mungkin sampai membuat suaminya berlaku keterlaluan begitu kan? Sekali lagi, Aryesta menggeleng sebagai bantahan. “Enggak mungkin!”Aleandra mengangkat bahu. “Silakan percaya atau tidak, tapi itulah kenyataannya.”“Enggak mungkin kayak gitu, Aleandra!” teriak Aryesta. Belum selesai kerusuhan yang Aleandra buat tentang video syurnya semalam, laki-laki itu kini sudah membuat fitnah lain lagi.Sungguh membuat Aryesta sangat kesal. “Suamiku enggak mungkin melakukan hal menjijikkan itu. Jadi jangan mengada-ada kamu!”Aryesta boleh jadi tak percaya pada Dinda. Adik tiri yang selalu menatapnya tak senang. Adik tiri yang selalu menganggap dirinya adalah saingan hanya karena Kakek Surya lebih menyayanginya.“Sudah kubilang, percaya atau tidak, bukan urusanku!" Aleandra menipiskan bibir. “Tapi itulah kenyataannya, Aryesta Ri
Aryesta membelalakkan mata tak percaya atas apa yang dia dengar. Sumpah, demi apa pun dia tak pernah menyangka Aleandra tega mengatakan itu padanya.“Apa?” Mata Aryesta membesar, lalu menyipit dengan gigi-gigi yang saling bergesekan saking bencinya pada Aleandra. “Coba kamu ulangi sekali lagi, sialan!”Aleandra tertawa menjengkelkan. Sambil memiringkan kepala, dia mainkan kedua alis untuk menggoda. “Kamu mendengar apa yang kukatakan, Aryesta. Oh, ayolah ... atau kamu layanin aku dulu, hmh?"Amarah dalam dada Aryesta membuncah. Napasnya tampak putus-putus. Sungguh, dia sangat-sangat tak menyangka, Aleandra akan meminta hal itu untuk ditukar dengan alamat hotel tempat Dion dan Dinda sekarang.“Kamu sudah gila?” Aryesta mendesis. “Kamu pikir aku ini apa? Perempuan penghibur, hah?!”Aleandra mengedikkan bahu. “Terserah. Pilihan ada di tangan kamu. Kamu mau, aku akan kasih informasi di mana adik tiri dan suami kamu itu sekarang. Kalau pun tidak, aku enggak akan rugi.” Dia bersiap membalik
Aryesta mengetatkan rahang. Dadanya turun naik menahan rasa marah dan sakit hati. Luar biasa sakit jika Aryesta boleh menambahkan. Dikhianati oleh suami dan adik sendiri tak pernah dia bayangkan akan merasakannya.Aryesta memundurkan langkah. Dia menggeleng. Rasanya masih tak percaya Dion bisa melakukan hal ini padanya. Berkhianat di pernikahan mereka dalam hitungan jam.Tak sengaja menginjak pecahan vas bunga, Aryesta menunduk. Rasa sakit buatnya seketika putus asa. Dia berjongkok, lalu mengambil pecahan dengan ujung runcing.“Lepaskan itu, Aryesta!” teriak Dion. Dia mendekat dengan langkah waspada kalau-kalau perempuan yang masih berstatus istrinya itu nekat melukainya atau Dinda, atau malah diri Aryesta sendiri. “Lepas, Aryesta.”Aryesta menyeringai melihat riak ketakutan di wajah Dion. Dia yang awalnya ingin menggores lengan sendiri, berubah pikiran. Kenapa dia harus menyakiti diri sendiri? Sementara Dinda dan Dion justru pasti akan tertawa di atas penderitaannya.“Kenapa?” Aryesta
Aryesta masuk ke dalam mobil dengan perasaan yang tak bisa dia jelaskan. Hancur lebur, bukan lagi kata yang bisa mewakili keadaan hatinya kini.Bagai jatuh tertimpa tangga, dia dipermalukan oleh orang yang tak tahu apa maksudnya, mengalami kekerasan, lalu ditalak di malam pengantin.Seolah-olah takdir belum puas mengujinya, masih di hari yang sama, dia mendapati suami dan adik tirinya bercumbu mesra. Lagi, belum cukup, Tuhan ingin mengujinya. Dion, bukannya meminta maaf atas kesalahan justru menjanjikan perpisahan.Pembelaan Dion terhadap Dinda adalah yang paling menyakitkan. Dia hanya korban keegoisan seseorang, tetapi dunia menatapnya hina.Memejamkan mata, Aryesta merasai luka dalam hatinya, sungguh terasa nyeri. Dia bisa mendengar raungan sanubarinya. Dia kepalan tangan saat mengingat bagaimana Dion melindungi Dinda tadi. Kepalan itu dia pukulkan pada bantalan duduk.Aryesta membuka mata saat dering ponselnya terdengar lagi. Sudah beberapa kali dia mengabaikan, tetapi entah siapa y
"Keterlaluan kamu, Aryesta! Di mana pikiranmu. Inikah hasil belajarmu di luar negeri sana, hah!" Surya, kakek Aryesta itu menggemeletukkan gigi. Dia pandangi cucunya dengan perasaan kecewa. "Kakek benar-benar enggak menyangka kamu bisa melakukan hal rendah seperti itu!"Aryesta menggeleng. "Kakek lagi bicara apa? Aryesta bisa jelasin semuanya, Kek."Dengan lirih Aryesta berusaha mendekati sang kakek yang masih mengeraskan rahangnya. Namun, siapa sangka ada sosok perempuan paruh baya yang saat ini sedang melipat tangan di dada dan berjalan ke samping Kakek Surya. Dialah Denia ibu tiri yang memiliki anak bernama Dinda.'Ya Tuhan ... aku sungguh enggak akan sanggup kalau terus mengingat kejadian menjijikan di hotel tadi antara suami dan adik tiriku,' batin Aryesta seraya memejamkan matanya dan menarik napas, lalu mulai melangkah semakin mendekati Kakek Surya."Kek, Kakek enggak mungkin percaya sama berita murahan itu, kan?" Sungguh harap-harap cemas Aryesta saat mengatakannya."Halah, kam
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, tubuh Aryesta membatu dengan mata terbelalak melihat Kakek Surya yang baru saja menyampaikan ultimatumnya.Dengan tangan mengepal kencang dan air mata yang sudah tak mampu Aryesta bendung lagi, kini perempuan malang itu merangkak dan meraih kaki sang Kakek dengan tatapan penuh lukanya."K–kakek enggak serius kan, Kek? Aku masih cucuk Kakek, kan? Enggak mungkin Kakek percaya sama berita murahan itu, kan?" lirih Aryesta dengan tubuh bergetar menahan isak tangis yang sudah mulai terdengar.Lagi, Aryesta menatap ke atas. Berharap mendapatkan empatik dari sang kakek yang selama ini selalu berpihak padanya, tetapi yang Aryesta lihat hanya tatapan datar nan dingin. Sebuah tatapan yang belum pernah Aryesta dapatkan dari Kakek Surya selama hidupnya, kini justru tatapan penuh kecewa dan terluka itu ditunjukkan padanya.Sekali lagi, Aryesta menarik lembut celana kakeknya. "Aku akan buktiin sama Kakek, kalau semua berita itu bohong, Kek. Aku bakalan bawa o
Selepas meninggalkan kediaman keluarga, kini Aryesta terus berjalan tanpa arah dan tujuan. Apalagi perempuan yang diceraikan saat malam pertama pernikahannya ini tak memiliki satu orang teman pun di Indonesia.Sekolah di luar negri selama bertahun-tahun, membuat Aryesta sendirian ketika berada di kota kelahirannya ini.Kakinya terus melangkah dan bingung harus pergi ke mana lagi, hingga akhirnya Aryesta mengingat jika dirinya masih memiliki ponsel.Aryesta rogoh ponsel yang berada di saku, lalu tatapannya menengadah pada sebuah konter HP yang berada di seberang jalan.Ada helaan napas yang keluar dari bibir pink alami itu, sebelum akhirnya Aryesta putuskan untuk mendekati salah satu ruko dengan merek ternama itu.Meskipun ragu, tetapi dirinya sungguh tak memiliki pilihan lain, selain menjual handphone yang dia beli lebih dari lima tahun lalu ini."Maaf, Mbak. Kalau aku jual HP ini, kira-kira laku berapa, ya?" tanya Aryesta dengan hati tak rela.Sang penjual konter yang ternyata seorang
"Halo, Mas? Kenapa?"Pertanyaan Tisya dibalut rasa takut. Takut jika laki-laki itu akan membuangnya. Takut jika semua kekhawatirannya benar-benar terjadi.Sama halnya dengan Aryesta, yang saat ini dadanya berdebar kencang, menunggu apalagi yang akan suaminya putuskan.Entah kenapa, Aryesta cemas. Mencemaskan pilihan Aleandra, yang sering tak terduga seperti sebelumnya.Bahkan Aryesta tak pernah berpikir sebelumnya, jika dia akan dimadu oleh Aleandra dengan Tisya. Untuk itulah, ada ketakukan tersendiri yang dia rasakan.Kedua tangan Aryesta meremat gaun hamilnya di atas paha. Duduk dengan tegang, menunggu kelanjutan informasi dari suaminya.Tak berbeda jauh dengan Tisya, kini dia menelan ludahnya susah payah. Menanti keputusan.Sementara itu, di seberang telepon sana Aleandra menarik napasnya sangat dalam, kemudian mengeluarkannya secara perlahan."Dengan kesadaran penuh, aku Aleandra menjatuhkan talak 3 padamu Tisya Rhani binti Denrik, tanpa amarah dan tanpa paksaan!"Deg!Kedua jantu
"Tolong jelaskan apa maksud kamu, Aryesta, " pinta Tisya yang masih merasa kebingungan itu.Aryesta pun menarik napas panjang, lalu menyandarkan punggung pada kursi. Menatap sekitar sejenak."Aku tahu, Kak Derren tidak akan melepaskanmu. Dan mungkin saja Kak Derren mengabaikan dirimu nantinya," kata Aryesta dengan helaan napas berat."Tapi jika Kak Derren main tangan atau berbuat yang tidak-tidak padamu, kamu bisa mengadukannya padaku nanti.""Apa yang akan aku dapatkan, jika nanti aku mengadukan apa yang dia perbuat padaku?" tanya Tisya cepat, "dan keuntungan apa yang aku miliki, jika suatu saat nanti kakak sepupumu itu melakukan KDRT padaku?"Tepat sekali. Aryesta sudah menunggu pertanyaan ini, kemudian perempuan hamil itu pun perlahan menjelaskan semuanya. "Yang pertama aku akan menegurnya.""Aku rasa, menegur laki-laki seperti dia tidak akan ada gunanya, Aryesta, " sela Tisya, yang merasa poin pertama tidak menguntungkannya sama sekali.Aryesta yang mendengar itu, hanya tersenyum
Masih teringat jelas apa yang baru saja Aryesta katakan padanya di sambungan telepon, yang diputus sepihak oleh istrinya itu."Sialan! Apa yang harus aku lakukan sekarang," geram Aleandra di tengah kondisi tubuhnya yang selalu saja lemah.Ya Tuhan, Aleandra rindu pelukan hangat sang istri, dan dia juga rindu pada kondisi fisiknya yang selalu prima jika di dekat perempuan tercintanya itu.Namun, kali ini dirinya berada di sebuah pilihan paling sulit. Membuatnya mengeraskan rahang, saking kesalnya pada kesepakatan yang Aryesta berikan tadi.Kegelisahan Aleandra tentu saja membuat Adam sang sekretaris pribadi menggelengkan kepalanya, tak habis pikir."Ini yang membuatku malas menikah, Al."Ucapan Adam membuat Aleandra mendengkus dan menatap tajam ke arah sahabatnya itu."Melihat kehidupan rumah tanggamu yang seperti ini, membuatku semakin yakin untuk tidak menikah," cetus Adam dengan pandangan kosong, yang sialnya, matanya tiba-tiba menyipit, saat bayangan wajah cantik Dinda terbayang di
"Sebenernya aku itu sakit hati karena ditalak sama Mas Al tadi pagi di bandara. Tapi melihat kamu yang tidak peduli pada suamimu, kayakanya aku ada harapan untuk kembali bersamanya lagi."Entah kenapa, tiba-tiba dada Aryesta seolah terbakar, hanya karena mendengar kalimat menantang dari Tisya barusan.Matanya menatap tajam ke arah Tisya yang masih santai, meski Aryesta tahu ada kepedihan besar di dalam tatapan sendu Tisya.Mengingat semua hal yang menimpa Tisya, tentu saja Aryesta merasa prihatin dan tak bisa sepenuhnya membenci perempuan itu, karena ternyata semua yang menimpa ibunya adalah andil darinya juga, yang terlalu pembangkang kala itu.Membuat papa dari Tisya mengalami tekanan berat dalam hidupnya, sampai berujung mengakhiri hidupnya. Yang dilanjutkan dengan dendam kesumat ibunya Tisya.Namun, satu yang harus Aryesta garis bawahi, jika saja keluarganya bisa lebih peka terhadap keadaan ibunya yang sakit waktu itu, dan menyadari meminum obat yang salah, tentunya sang ibu tak mu
"Tidak mungkin," lirih Aryesta, yang bahunya langsung melemas saat mendengar pengakuan tak terduga dari mantan madunya ini.Sementara itu, Tiysa yang tak bisa berbohong pun hanya mampu menghela napasnya saja, karena sungguh demi apa pun, Tisya sangat bingung harus bagaimana sekarang.Terlebih Tisya tahu jika Aryesta pasti akan membencinya atau bahkan melaporkannya ke pihak berwajib, karena selama ini dia diam saja setelah tahu kebenarannya.Akan tetapi, Tisya tak punya pilihan selain diam. Dan sekarang Tisya tak mau lagi menutupinya. Karena itulah Tisya memutuskan untuk menceritakan semuanya sekarang.Satu tarikan napas Tisya ambil, lalu dia keluarkan, seblum akhirnya berkata, "Aku akan menjelaskan semuanya. Dan mengenai keputusanmu, aku tidak peduli lagi, meskipun nantinya kamu akan melaporkanku pada polisi."Sejenak dibalut rasa syok, Aryesta akhirnya mengalihkan perhatian dari keterkejutannya ke arah Tisya.Melihat jika lawan bicaranya sudah mulai menyimak penjelasan, Tisya pun akhi
"Aku tidak setuju kamu menikah dengan laki-laki sialan itu!" putus Aleandra pada Tisya yang terlihat sedikit ketakutan.Apalagi, Tisya mengingat jika laki-laki bernama Derren Rynegan itu sangat misterius, dan belum tahu sifat-sifatnya.Padahal, Tisya sudah sangat senang ketika dirinya hendak dijual kepada Derren saat di dalam pesawat. Tetapi sekarang, entah kenapa tiba-tiba hatinya menolak.Lebih tepatnya, saat Tisya melihat Derren yang memukuli Aleandra, dan tatapan tajam laki-laki itu padanya, yang membuat bulu kuduknya berdiri.Entah perasaan apa, tetapi yang jelas Tisya merasakan hawa negatif ketika berinteraksi bersama Derren tadi. Ya, meksipun Tisya hanya menampar dan membentaknya. Namun, dapat Tisya rasakan, jika Derren terlihat sangat berbahaya.Dengan gugup Tisya menggelengkan kepalanya, "Aku tidak mau ditukar dengan laki-laki itu, Mas!"Sungguh, demi apa pun, Tisya sangat ketakutan. Akan tetapi, Aleandra hanya mengangkat kedua bahunya lalu menjawab, "Aku juga tidak akan menuk
"Oh iya, Ar. Bukannya kamu harus ketemu sama calon kakak iparmu malam ini, ya?" Derren justru mengalihkan pembicaraan, karena tak berani mengatakan yang sebenarnya pada mereka.Aryesta tentu saja menatapnya dengan perasaan bingung pun bertanya, "Tapi kan aku janjiannya malam, Kak. Jadi enggak usah sekarang bangetlah.""Kalau malam takutnya kemalaman pulangnya. Lagi pula kamu sedang hamil, tidak baik pergi malam-malam, Ar," saran Derren yang terkesan perhatian, tetapi sesungguhnya Aryesta tahu bahwa kakak sepupunya itu hanya berusaha mengusir dirinya dari sana.Aryesta menggelengkan kepala, lalu bangkit dari sofa, "Aku juga perginya bareng 4 bodyguard, Kak. Jadi enggak usah terlalu berlebihan, oke? Aku juga capek mau istirahat dulu, Kak."Ya, tubuh Aryesta terasa sangat lemah sekarang, apalagi setelah kehamilannya, lelah itu mudah sekali datang padanya. Dan hal tersebut membuatnya jengkel bukan main.Padahal Aryesta sangat ingin menikmati kota London, tetapi karena kehamilannya, Aryesta
Derren pun tersenyum manis, lalu berkata, "Aku akan menuruti saranmu, Ar."Mendengar jika Kakak sepupunya setuju dengan idenya, tentu saja membuat Aryesta tersenyum lebar. Kemudian memeluk erat tubuh kokoh itu."Aku sangat yakin kalau Kakak enggak akan menyesal menikah dengannya. Tapi sebelum itu, aku ingin menemuinya dan bicara dari hati ke hati. Boleh, kan? Mungkin malam ini?" tanya Aryesta pada Derren yang diam saja.Karena Derren terdiam, akhirnya Aryesta melepas pelukannya dan menatap wajah rupawan laki-laki itu yang terlihat seperti tengah berpikir.Karena terlalu ingin tahu, akhirnya Aryesta pun kembali bertanya, "Apakah ada sesuatu yang mengganjal, hm?"Tatapan penuh perhatian Aryesta membuat kesadaran Derren kembali, lalu membuang napas sejenak, "Apakah kamu tidak bisa bercerai dari suamimu, dan kita tetap menikah besok?"Entah kenapa, di dalam hati Derren masih sangat berharap jika Aryesta bisa benar-benar menikah dengannya. Dan pertanyaan Derren membuat Aryesta menghela napa
"Awalnya aku takut dijual sama Mas Al untuk menukarmu denganku. Tapi maaf, Ar. Aku tidak mungkin sudi menjadi alat tukarmu demi laki-laki sialan itu. Dan perlu kamu tahu, kalau kamu memang belum resmi bercerai dengan Mas Al. Kalau punya kuasa tuh, dipake buat usut masalah. Jangan terlalu bego jadi orang," bisik Tisya tepat di telinga Aryesta yang masih berdiri mematung.Aryesta menoleh, "Aku dapat dari Papa Randy, kok. Dia yang ngasih buktinya. Dan di dokumen gugatan cerai itu ada tanda tangan Mas Al juga."Kening Aryesta mengencang setelah mengucapkan kalimat tersebut. Sementara, Tisya hanya menggelengkan kepalanya tak habis pikir."Aku enggak tahu ada masalah apa kamu sama Papa Randy, sampai-sampai dia malsuin tanda tangan Mas Aleandra. Tapi yang jelas, kami tidak mendapatkan berita apa pun tentang gugatan cerai kamu, Ar. Mungkin kamu bisa konfirmasi lagi sama Mas Al ataupun Papa Randy. Aku hanya mau bilang, kalau sampai detik ini kalian masih sah suami istri secara agama maupun nega