Share

Bab 3

Rina memandang dirinya di cermin kamar, wajahnya tampak pucat dengan mata sembap karena kurang tidur. Sudah berhari-hari ia dihantui perasaan tidak tenang karena memikirkan pesan misterius yang ada di handphone sang suami, Namun pagi ini, firasat buruk itu terasa lebih kuat karena kedatangan Farida, ibu mertuanya yang dengan tiba-tiba mengajaknya pergi.

Rina memoleskan bedak tipis di wajahnya kemudian lipstik berwarna nude di bibirnya. Setelah melihat dia sudah tampil rapi, wanita itu pun keluar dari kamarnya sebelum sang mertua mengomel tidak jelas padanya.

Begitu keluar dari kamar, ia sudah melihat Farida duduk di ruang tamu, wajahnya keras seperti biasa. Tanpa basa-basi, Farida melontarkan sindiran, "Kenapa lama sekali? Mau dandan setebal apa juga mukamu gitu-gitu aja! Sudah tidak bisa bikin anak, malah bikin kesel aja!"

Rina menahan rasa sakit yang menyusup di hatinya. Perkataan seperti itu bukan hal baru baginya, tapi pagi ini, setiap kata terasa lebih tajam, lebih menyakitkan. Ia hanya mengangguk, tak ingin memperpanjang masalah.

“Kita pergi sekarang,” ucap Farida singkat, memimpin jalan menuju mobil. Sepanjang perjalanan, Rina berusaha bertanya, "Ma, sebenarnya kita ini mau ke mana?"

Namun bukan jawaban Farida yang dia dapat. mertuanya itu hanya diam membisu sambil meliriknya tajam. Setiap kali ia melirik ke arah mertuanya, jantungnya berdebar semakin cepat.

Mereka tiba di sebuah klinik. Rina tertegun melihat tempat itu. "Kenapa ke sini, Ma?" tanyanya dengan nada ragu.

Farida berhenti di depan pintu, berbalik menatap Rina dengan tatapan tajam. "Kamu pikir Arya akan terus bersabar dengan wanita yang tidak bisa memberinya keturunan seperti kamu?" Ucapan Farida berhasil menusuk hati Rina yang paling dalam.

Rina merasa hatinya teriris. Apa yang diucapkan oleh mertuanya sangat menyakiti hatinya. Dadanya terasa sesak seperti ditimppa oleh batu ribuan ton. "Ma, aku ...."

"Masuk saja, tidak usah banyak tanya!" potong Farida tak sabar. “Apa jamu bodoh hingga tidak tahu apa tujuan kita kesini?"

Di dalam klinik, dengan berat hati, Rina menjalani berbagai pemeriksaan. Jantungnya berdetak kencang. Kata-kata Farida sang mertua terus saja menari-nari di kepalanya. "Apa benar, dia adalah wanita mandul?"

Rina menghapus air matanya yang tak berhenti menetes selama menjalani pemeriksaan. Meski beberapa waktu lalu dokter mengatakan tidak ada masalah dalam rahimnya. Namun, tetap saja, dia khawatir hasil test yang dia lakukan ini tidak sesuai ekspektasinya.

---

Sejak Farida mengajak Rina pergi ke klinik, sikap Arya dan Farida pun berubah. Lelaki itu semakin jarang pulang dengan alasan menginap di rumah orang tuanya. Dia hanya pulang jika ingin mengambil berkas yang ketinggalan di rumah.

Farida pun tak lagi mengungkit-ungkit soal anak di hadapan Rina saat wanita itu main ke rumah sang mertua. Farida justru langsungpergi meninggalkannya saat seolah-olah merasa muak melihat wajah Rina.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua orang tiba-tiba berubah?" batin Rina bertanya-tanya.

Sampai sore harinya, seorang wanita cantik memakai kacamata hitam dan juga pakaian elegan berdiri di depan rumah Rina. Dia pun memencet bel berulang kali seolah tak sabar ingin bertemu dengan yang punya rumah.

Saat membuka pintu, Rina terkejut melihat wanita asing yang cantik dan seksi berdiri di hadapannya.

“Maaf, Anda siapa ya? Ada yang bisa saya bantu?” Rina bertanya, merasa ada yang ganjil melihat wanita yang ada di hadapannya.

Wanita itu tersenyum tipis. "Perkenalkan, nama saya Hana. Saya ingin bertemu Arya," katanya tanpa basa-basi.

Wajah Rina berubah bingung. Kenapa ada wanita lain yang mencari suaminya. "Maaf kalau boleh tahu, ada urusan apa, Anda mencari suami saya?"

Wanita itu menatap Rina dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seolah memandang remeh Rina. "Saya datang kesini, ingin meminta pertanggungjawaban Arya. Saya hamil, anak Arya!" ucap wanita itu sambil mengibaskan rambutnya.

"Apa? itu tidak mungkin!" pekik Rina sambil menutup mulutnya.

"Kalau tidak percaya, kamu bisa lihat hasil lab ini. Atau, kamu bisa panggil Arya."

Dengan tangan gemetar, Rina mengambil kertas itu. Air matanya pun luruh saat dia melihat kalimat positif disana. Namun sebelum ia sempat menanggapi, Arya dan Farida muncul dari ruang tamu. Arya langsung mendekati Hana, merangkulnya tanpa rasa malu sedikit pun, sementara Rina hanya bisa mengusap dada melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain.

“Mas... apa maksud semua ini?” Rina bertanya dengan suara bergetar, matanya penuh air mata yang belum jatuh.

Farida yang menjawab, "Ini Hana, calon istri baru Arya. Kalian sudah berkenalan bukan?" Nada bicaranya dingin, seolah tak ada yang salah dengan apa yang baru saja ia ucapkan.

"Sini masuk sayang," ajak Farida mengajak wanita itu masuk ke dalam rumah Rina sambil menggangdeng tangannya.

Rina tak percaya dengan apa yang didengarnya. Apalagi, sang mertua yang tampak begitu akrab dengan wanita itu. Seolah mereka sudah lama saling mengenal. Tubuhnya lemas, jantungnya terasa seperti dihimpit ribuan beban. "Mas, katakan ini tidak benar...," suaranya serak, putus asa meminta penjelasan dari Arya, namun yang ia dapat hanyalah kebisuan.

Arya menatap Rina dengan tatapan dingin, tanpa sedikit pun rasa bersalah. "Rina, aku dan Hana sudah lama bersama. Kami saling mencintai. Kalau kamu tidak bisa menerima Hana, aku akan menceraikan kamu."

Kalimat itu memecahkan pertahanan terakhir Rina. Air matanya tumpah, dan tubuhnya gemetar tak terkendali. "Kenapa, Mas? Kenapa kamu tega mengkhianatiku? Apa selama ini, aku tidak cukup baik buatmu?" isaknya, namun Arya tetap tak tergoyahkan.

Farida, tanpa belas kasih, menyela, "Rina, kamu tidak bisa memberikan Arya anak. Lalu, sampai kapan kami harus menunggu? Sampai lebaran monyet juga kamu nggak akan hamil, karena kamu itu man-dul. Kamu harus sadar diri. Ini yang terbaik untuk semuanya."

Hana melingkarkan tangannya di lengan Arya, seolah memperlihatkan kemenangan. "Arya akan menikahiku. Kami akan membangun keluarga yang seharusnya kamu berikan padanya," ucap Hana dengan nada sombong.

Rina merasakan seluruh hidupnya hancur seketika. Suami dan mertuanya tanpa memperdulikan perasaannya mengatakan akan menikahi wanita lain yang saat ini tengah hamil. Rina merasa, tak ada lagi gunanya dia bertahan dalam pernikahan semu ini.

Hanya dia yang menginginkan Arya. Sementara sang suami, tak pernah sedikitpun peduli padanya. Lelaki itu bahkan mengkhianatinya sampai membuat wanita itu hamil.

Tidak, Rina tidak bisa memaafkan semua pengkhianatan ini. Jika memang Arya tidak menginginkannya, dia akan pergi. Dia tidak akan lagi mengemis-ngemis cinta seperti yang dia lakukan selama ini.

"Baik, kalau memang kamu lebih memilih dia, talak aku sekarang. Aku tidak rela berbagi suami dengan wanita lain."

Arya menatap Rina dengan dingin. "Baik, kalau itu maumu. Rina Tri Hapsari, aku talak kamu. Mulai hari ini, kita bukan lagi suami istri. Sekarang, pergilah dari rumah ini. Dan jangan bawa apapun selain baju yang menempel di tubuhmu."

Rina hampir jatuh karena tubuhnya terasa begitu lemah. Begitu mudahnya sang suami mengucapkan kalimat talak padanya. Setidak pentingkah dirinya?

Namun, Rina tidak boleh terlihat lemah. Dia tidak ingin pelakor dan juga ibu mertuanya itu terlihat menang. Dia pun menegakkan dirinya, menatap Farida dan Hana dengan mata berkilat.

"Baik, Aku akan pergi dari sini! Aku tidak akan membawa apa-apa, kecuali harga diriku. Tapi ingat, kalian tidak akan pernah merasakan kebahagiaan yang tercipta dari luka hati seorang istri."

Ia berbalik, mengambil langkah menuju pintu keluar, meninggalkan rumah yang selama ini dianggapnya sebagai tempat penuh cinta, tapi ternyata hanya menjadi tempat penghianatan terburuk dalam hidupnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status