Di luar ruangan pesta, Farida masih terpaku dengan pandangan marah. Tatapannya tajam, namun Arya, yang berdiri di depannya, tidak gentar. Dia menghela napas panjang, berusaha menahan emosi yang kini hampir meledak."Mama, sudah cukup. Perilaku Mama tadi sangat memalukan," ucap Arya dengan nada rendah namun penuh ketegasan."Memalukan?!" Farida mendengus, "Kamu tahu siapa wanita itu, Arya! Dia tak layak dihormati, apalagi di depan para tamu.""Mama," Arya menahan suara agar tetap tenang, "Rina sudah berubah. Dia sekarang sukses, bahkan jauh lebih sukses daripada kita. Mama mungkin tak suka, tapi itulah kenyataannya."Hana, istri Arya yang sejak tadi hanya mendengarkan dari samping, akhirnya angkat bicara. "Kenapa kamu harus membela dia, Arya? Dia kan hanya mantan istrimu. Apa pedulimu padanya?"Arya menatap Hana dengan lelah. "Ini bukan soal peduli atau tidak, Hana. Ini soal harga diri dan cara kita menghormati orang lain. Mau seburuk apa pun pandangan Mama atau kamu tentang Rina, dia
"Apa kamu gila, Arya? Kamu sudah menikahi Hana. Bagaimana mungkin kamu meminta rujuk denganku?"Arya terdiam. Dia tak mampu memberi jawaban yang pasti atas ucapan Rina tadi. Otaknya berpikir keras. Alasan apa yang masuk akal untuk membuat Rina luluh dan mau kembali padanya. Akan tetapi, sebelum Arya menjelaskan, Rina kembali memberondongnya dengan pertanyaan yang sama. "Jadi, kamu ingin rujuk denganku?" Rina berkata, suaranya datar namun menyiratkan ketidakpercayaan. "Arya, kamu pikir semudah itu aku akan percaya? Setelah semua yang kamu lakukan selama kita menikah?" Arya menarik napas panjang, mencoba menahan perasaan bersalahnya. “Aku mengerti, Rina. Mungkin, kamu tidak percaya. Apalagi, aku pernah memperlakukanmu dengan buruk dulu. Tapi percayalah, aku menyesal. Aku menyesal karena pernah memperlakukanmu dengan buruk. Dan sekarang, aku ingin memperbaikinya karena kondisinya sudah berbeda." Rina memalingkan wajah, menatap jalanan di luar jendela sambil tersenyum pahit. "Berbeda?
"Aku pulang dulu, Mama sudah menelepon. Besok, aku akan jemput kamu." Rina pun mengangguk, kemudian keluar dari mobil Arya. Wanita itu pun masuk ke dalam rumah. Arya menatap punggung Rina yang semakin menjauh. Begitu Rina menutup pintu, Arya pun melajukan mobilnya.Rina menyandarkan tubuhnya di balik pintu. Wanita itu memegang dadanya yang terus berdebar. Pikirannya berkecamuk, tak bisa dia pungkiri, rasa cinta untuk Arya masih sangat besar. Hatinya pun mulai bertanya-tanya, apakah keputusannya ini sudah benar? Sepanjang malam Rina tak bisa memejamkan mata. Wajah Arya, semua kata yang Arya ucapkan tadi terus menari-nari di pikirannya. Kebimbangan kembali hinggap di hatinya. Apakah keputusan memaafkan Arya sudah benar? Atau, Arya kembali mendekatinya karena tahu dia kaya raya? Keesokan harinya, Rina yang baru saja selesai mandi memakai bathrob sambil mengeringkan rambutnya. Suara bel yang berbunyi membuat wanita itu menghenttikan kegiatannya."Siapa yang datang pagi-pagi begini? A
Pagi itu di Depan Rumah Rina Setelah Rian berpamitan, ia membuka pintu dengan langkah ringan, tapi tak disangka, sosok Arya berdiri di sana sambil memegang buket bunga. Tatapan Arya langsung berubah saat matanya bertemu dengan Rian yang baru saja keluar dari rumah Rina. "Kamu!" seru Arya dengan nada tajam, menggenggam buket bunga dengan erat. Rian tersenyum santai, melipat kedua tangannya di dada. “Oh, pagi, Arya. Apa kamu punya janji dengan Rina juga pagi-pagi begini?” Arya menatap Rian dengan tatapan tajam. "Aku tak perlu membuat janji untuk datang ke rumah istriku." Mendengar kata ‘istriku’ yang dilontarkan Arya, Rian hanya tersenyum kecil. “Oh, jadi masih istrimu, ya? Aku pikir sudah tidak lagi.” Wajah Arya memerah. "Rina masih istriku atau tidak, itu bukan urusanmu!" katanya keras, nyaris menerjang Rian. "Kamu pikir siapa dirimu datang pagi-pagi ke rumah istri orang lain?" Rian mengangkat bahu, terlihat tenang. “Aku datang ke sini karena aku peduli padanya, tidak se
Di Mobil Rina melajukan mobilnya dengan santai. Namun, baru saja dia keluar dari gerbang perumahannya, salah satu security komplek perumahannya menelepon. "Mbak Rina, Anda dimana? Kenapa ada dua orang yang sedang bertengkar di depan rumah Mbak Rina?"Mata Rina pun membulat sempurna. Dengan perasaan marah dan kesal, Rina pun membelokkan mobilnya. Tak butuh waktu lama, Rina sudah sampai di rumahnya. Dan benar saja, dua orang it masih saja bertikai."Berhenti!" teriak Rina sambil berkacak pinggang.Kedua lelaki itu pun menoleh dan menurunkan tangannya. Rina?""Pulang sekarang, atau jangan pernah kembali ke rumah ini lagi!"Mendengar ancaman Rina, kedua lelaki itu pun pergi dengan sendirinya. Setelah memastikan dua orang itu tak kembali, Rina pun berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan, ia bergumam kesal sambil sesekali menepukkan tangannya ke kemudi. "Dua-duanya sama saja, sudah tua tapi masih saja kekanak-kanakan! Apa nggak malu sama umur?" Rina terus menggerutu, teringat bagaima
Rina tertegun. Mendengar nama "Mela" langsung membuat dadanya terasa sesak. Ingatannya beralih pada pesan dari seseorang yang berinisal 'M' yang sering menghubungi Arya saat mereka masih bersama dulu. Rina mencoba menenangkan diri. Ia tak mau menunjukkan kegugupannya di hadapan Mela. "Baik, Mela. Jadi, kamu mau bertemu denganku hanya untuk menyombongkan diri tentang hubunganmu dengan Arya? Karena kalau iya, kamu sudah membuang waktumu. Karena Arya dan aku sudah berpisah. Bahkan, dia sudah menikah lagi sekarang." Mela tersenyum sinis dan melangkah lebih dekat ke meja Rina. "Aku kesini, hanya untuk memberimu sedikit nasihat... demi kebaikanmu sendiri, tentu saja." Rina menyandarkan tubuhnya, berusaha mempertahankan sikap tenang. "Nasihat apa yang kamu maksud?" Mela melipat tangan di depan dada, lalu menatap Rina tajam. "Kamu tentu ahu, Arya itu pria yang licik. Mungkin kamu berpikir dia mencintaimu, tapi kenyataannya tidak begitu. Arya hanya mendekatimu karena perusahaanmu. Peru
"Aku jemput setelah pulang kantor. Aku ingin mengajakmu makan malam. TIDAK ADA PENOLAKAN!" Begitulah isi pesan dari Rian. Lelaki itu memang suka semaunya sendiri. Namun, anehnya, Rina tidak merasa kesal ataupun marah padanya.Rina dan Rian memasuki restoran berkelas. Selain untuk mendekatkan diri. Rian juga ingin merayakan keberhasilannya mendapatkan tender besar. "Silahkan Tuan Puteri yang cantik," Rian menarik kursi untuk Rina Rina tersenyum kecil sambil duduk. "Terima kasih. Kamu juga terlihat tampan malam ini." "Tentu saja! Keturunan Papi Doddy pasti tampan.""Dalam rangka apa nih, makan mewah di tempat seperti ini?" tanya Rina sambil tersenyum menatap Rian."Aku memenangkan tender besar, dan aku ingin berbagi kebahagiaan ini sama kamu," jawab Rian penuh antusias. "Dan juga, aku mau minta maaf atas kejadian kemarin. Aku merasa bodoh sudah ikut campur urusan pribadimu dengan Arya." Rina menghela napas, lalu tersenyum kecil. "Aku sudah memaafkanmu, Rian. Yang penting kamu sadar,
Hari ini, pekerjaan Rina sangat banyak. Dia tak hanya lelah fisik tapi juga lelah hayati. Bagaimana tidak, saat meeting tadi, terjadi sedikir kesalahan pada proposalnya.Sesampainya di rumah, Rina duduk termenung di ruang tamu. Tiba-tiba, ingatan tentang ucapan Mela kembali berputar di telinganya. Kedatangan Mela, dan permintaan rujuk dari Arya sedikir membuat hatinya kacau. Jujur dia masih sangat mencintai Arya. Akan tetapi, dia mulai ragu setelah melihat perlakuannya pada Hana kemarin. Tak lama kemudian, teleponnya berdering, menampilkan nama Arya di layar. Rina menghela napas panjang, lalu mengangkat panggilan tersebut. “Halo, Arya,” sapanya singkat. “Hai, Rina. Kamu sibuk?” tanya Arya dengan nada lembut. “Aku cuma mau tahu kabarmu saja.” Rina berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. “Aku baik-baik saja.” “Aku senang dengar itu,” balas Arya, terdengar sedikit lega. “Hari-harimu belakangan ini pasti cukup padat. Kudengar, kamu sedang ada kerjasama dengan perusahaan Rian.”
"Mas, kamu belum mandi ya?" tanya Rina sambil menutup hidungnya."Sudah sayang, bahkan Mas udah dua kali loh, mandinya," protes Arya sedikit kesal saat dirinya dibilang bau oleh sang istri."Kalau gitu, aku makan di kamar saja. Aku mual kalau deket-deket kamu, Mas," kesal Rina lalu membawa makanannya ke kamar.Arya kembali duduk di ruang makan dengan wajah lesu. Sudah beberapa hari ini, Rina selalu mengeluh bau tubuhnya. Padahal, Arya selalu mandi dan memakai parfum agar Rina tidak mual. Namun, tetap saja sama. Rina tetap mual jika berdekatan dengannya. "Papa, Mama kenapa sih? Kok Mama nggak mau ketemu Papa?" tanya Keisha dengan polos.Arya menggeleng, mencoba tersenyum walau hatinya gelisah. "Mama kamu mungkin lagi butuh waktu, Sayang. Papa juga nggak tahu kenapa Mama begitu."Keisha memiringkan kepala, lalu menepuk tangan ayahnya. "Papa jangan sedih, ya. Keisha akan coba tanya Mama lagi."---Di kamar, Rina duduk di tepi ranjang sambil memegang perutnya. Air matanya mengalir tanpa
"Keisha sudah tidur?" tanya Arya saat lelaki itu masuk ke dalam kamar.Rina mengangguk. Arya menatap istrinya dengan mata berbinar. Bathrobe yang Rina kenakan sedikit tersingkap membuat dadanya sedikit terlihat. Namun, sepertinya, Rina tak menyadari hal itu.Pria iru pun merangkak naik ke ranjang dan mengungkung istrinya. "Mas, kamu mau apa?" tanya Rina yang mendadak tegang malam ini. Padahal, sebelumnya, mereka pernah melakukannya."Bolehkah aku meminta hakku malam ini, Sayang?" bisik Arya yang tanpa menunggu jawaban langsung mencium bibir merah sang istri yang sedari tadi menggodanya. Ciuman itu pun turun ke leher memberikan gelanyar aneh di tubuh Rina."Mas ...." desahnya.Arya tak bisa lagi menahan hasratnya. Lelaki itu terus menyentuh titik sensitif Rina membuat wanita itu mencengkeram sprei kamar hotel itu dengan kuat menahan hasrat.Arya yang terus menyerang setiap titik tubuh Rina membuat rasa takut seolah menghilang berganti dengan kenikmatan yang membuat Rina mendesah manja
"Kalau anak itu memang anakmu, apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu akan membiarkan Karina membesarkannya sendirian?"Arya menggeleng dengan mantap. "Aku nggak akan lepas tanggung jawab, Rina. Kalau memang anak itu anakku, aku akan menafkahinya. Aku akan memastikan dia mendapatkan apa pun yang dia butuhkan. Tapi aku nggak akan menikahi Karina."Rina mengerutkan kening, hatinya terasa berat. "Arya, aku nggak tahu apa aku bisa menerima ini. Bagaimana dengan status anak itu? Dia punya hak untuk memiliki keluarga yang utuh."Arya menatap Rina, wajahnya penuh kesungguhan. "Dengar, Rina. Kalau Karina ingin status untuk anak itu, maka aku punya solusi. Anak itu akan menjadi anak kita. Kamu dan aku akan mengadopsinya."Rina terkejut mendengar pernyataan Arya. "Adopsi? Kamu serius, Arya? Bagaimana kalau Karina tidak setuju?"Arya menghela napas panjang, tangannya meremas-remas lututnya. "Hanya ini satu-satunya cara untuk menghadapi drama gila Karina. Aku tidak akan membiarKn dia selalu memgaca
Flashback"Maafkan aku, Arya. Bukan keimginanku untuk menguringmu disini" kata Karina dengan suara lembut, "Semua aku lakukan, karena aku cuma ingin melindungimu."Arya meliriknya sekilas, wajahnya penuh dengan kemarahan yang tertahan. "Melindungiku? Kamu mengurungku di sini, Karina. Aku bukan tahananmu."Karina tersenyum kecil, seolah tak terganggu oleh nada suaranya. "Aku tahu kamu marah, tapi tolong makan dulu. Kamu pasti lapar."Arya menatap makanan itu ragu-ragu. Ia tahu Karina sangat manipulatif, tapi rasa laparnya akhirnya mengalahkan logika. Dengan enggan, ia mengambil sendok dan mulai makan makanan itu."Baiklah, setelah ini, aku berharap kamu berhenti menggangguku," gumamnya sambil menyendok nasi ke mulut.Karina hanya tersenyum dan meninggalkannya sendirian. Setelah selesai makan, Arya merasa tubuhnya semakin lemas. Matanya mulai berat, dan kesadarannya perlahan-lahan memudar.Keesokan harinya, Arya terbangun dengan perasaan aneh. Seketika itu, dia terlonjak kaget saat meli
“Siapa ya sore-sore begini?” gumam Arya sambil berjalan ke pintu.Ketika pintu terbuka, sosok Karina berdiri di sana dengan wajah penuh air mata. Arya terkejut sejenak, tetapi segera menguasai diri. Rina yang ikut melihat dari ruang tamu, langsung berdiri di samping Arya.“Karina? Apa yang kamu lakukan di sini?” Arya berkata dingin, langkahnya maju untuk menutup pintu.Namun, Rina mengangkat tangannya, memberi isyarat pada Arya untuk menahan diri. "Arya, biarkan dia masuk. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu," ucap Rina dengan sopan.Arya memandang Rina, bingung dengan keputusannya. Namun, ia memilih menurut, meski wajahnya menunjukkan ketidaksukaan.“Masuklah, Karina,” ajak Rina sambil melangkah mundur.Karina melangkah masuk dengan langkah gontai. Ia duduk di sofa, tubuhnya sedikit gemetar, air mata terus mengalir di pipinya. Arya dan Rina saling pandang, mencoba bertanya, tetapi keduanya kemudian mengedikkan bahunya bersamaan.“Karina, kenapa kamu menangis?” tanya Rina lembut s
"Aakkhhh!" Pekik Arya sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba saja berdenyut hebat saat melihat Keisha bermain boneka unicorn.Sebuah kilasan terlintas di kepalanya. Meski samar, dia masih bisa mengingatnya. Dia ingat, dulu dia sering menemani Keisha bermain boneka di lantai.Setelah beberapa saat, sakit di kepalanya pun mereda. Arya pun mendekati Keisha untuk bertanya pada gadis kecil itu.“Keisha,” panggil Arya lembut.Keisha menoleh sambil memeluk bonekanya. “Iya, Om Arya?”“Kamu suka main boneka, ya? Om Arya dulu pernah belikan kamu boneka?” tanyanya sambil mencoba mengorek sedikit informasi.Keisha mengangguk antusias. “Iya, Om Arya! Waktu Keisha ulang tahun yang keempat, Om Arya kasih boneka unicorn besar! Tapi… waktu itu Om Arya nggak sempat lihat Keisha buka hadiahnya karena Om sibuk kerja,” ujar Keisha polos.Arya terdiam, perasaan bersalah menghantam hatinya. “Om minta maaf ya, Keisha. Om nggak ingat semua itu. Tapi, Om janji kali ini Om nggak akan ninggalin kamu lagi.”Ke
"Rina, kenapa kamu masih menerima aku di sini sekarang Padahal, katamu, dulu aku samhat kejam padam?"tanya Arya saat mereka duduk santai di ruang tamu.Rina tersenyum lembut. "Karena aku tahu, di dalam hatiku, aku masih peduli padamu. Apalagi ada Keisha. Dia membutuhkan ayahnya, Arya."Arya merasa ada kehangatan di hatinya mendengar jawaban itu. Ia menoleh ke arah Rina lagi, dan untuk pertama kalinya ia merasa yakin tentang sesuatu."Rina, aku ingin mengatakan sesuatu."Rina menatapnya dengan penasaran. "Apa itu, Arya?"Arya mengulurkan tangan, menggenggam tangan Rina dengan lembut. "Aku tahu aku belum sepenuhnya mengingat masa lalu kita. Tapi aku tahu satu hal dengan pasti—aku merasa hidupku lebih berarti sejak aku di sini bersamamu dan Keisha."Rina tertegun. Ia bisa merasakan ketulusan dalam suara Arya."Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, atau bahkan terlalu cepat," lanjut Arya, "tapi aku ingin memperbaiki semua kesalahan di masa lalu. Aku ingin memulai kembali. Jadi, Rina... mau
"Ahh... kepalaku...!" desahnya, suaranya hampir seperti rintihan.Rina yang sedang di dapur langsung berlari ke ruang tamu. "Arya, ada apa? Kamu sakit?" tanyanya panik.Arya menggeleng lemah sambil terus memegangi kepalanya. "Entah kenapa... kepalaku tiba-tiba sakit sekali, Rina."Rina meraih lengan Arya, membantunya duduk lebih nyaman. "Tunggu di sini, aku ambilkan air putih," katanya, lalu berlari ke dapur.Setelah Arya minum, rasa sakitnya sedikit mereda. Namun, matanya masih menunjukkan kebingungan. "Rina... aku tadi melihat sesuatu," katanya pelan."Apa yang kamu lihat?" tanya Rina, duduk di sampingnya."Sebuah... tempat. Ada taman, dan aku sedang bermain dengan seorang anak kecil. Aku rasa itu Keisha... tapi aku tidak yakin. Rasanya begitu nyata," jawab Arya sambil memijit pelipisnya.Mendengar itu, hati Rina tergetar. "Arya, mungkin itu bagian dari ingatanmu yang kembali," katanya dengan suara lembut."Tapi kenapa ini terasa sangat menyakitkan? Aku seperti sedang dipaksa mengin
“Ini foto-foto kita dulu,” kata Rina dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.Rina membawa album foto lama. Ia menaruhnya di meja. Arya yang sedang duduk d ruang tamu sambil menonton televisi pun mengalihkan perhatiannya.Arya menatap album itu dengan ekspresi campur aduk. Ia membuka halaman pertama dan melihat gambar pernikahan mereka. Rina terlihat cantik dengan gaun putihnya, sementara ia—Arya—memegang tangan wanita itu dengan wajah datar.Arya menatap Rina, matanya penuh pertanyaan. “Jadi, kamu istriku?"Rina menggeleng, membuat Arya mengerutkan keningnya. "Dulu, kita memang pernah menikah selama 3 tahun. Namun setelah itu, kita bercerai," terang Rina.Arya menatap Rina. "Kenapa aku bisa menceraikan wanita sebaik kamu?”Rina terdiam. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan air mata yang menggenang di matanya. “Itu cerita yang panjang, Arya. Dan mungkin bukan saatnya kita membahasnya sekarang,” jawabnya pelan.Arya tidak memaksa. Melihat wajah sendu Rina saat dia bertanya tadi, memb