"Apa kamu gila, Arya? Kamu sudah menikahi Hana. Bagaimana mungkin kamu meminta rujuk denganku?"Arya terdiam. Dia tak mampu memberi jawaban yang pasti atas ucapan Rina tadi. Otaknya berpikir keras. Alasan apa yang masuk akal untuk membuat Rina luluh dan mau kembali padanya. Akan tetapi, sebelum Arya menjelaskan, Rina kembali memberondongnya dengan pertanyaan yang sama. "Jadi, kamu ingin rujuk denganku?" Rina berkata, suaranya datar namun menyiratkan ketidakpercayaan. "Arya, kamu pikir semudah itu aku akan percaya? Setelah semua yang kamu lakukan selama kita menikah?" Arya menarik napas panjang, mencoba menahan perasaan bersalahnya. “Aku mengerti, Rina. Mungkin, kamu tidak percaya. Apalagi, aku pernah memperlakukanmu dengan buruk dulu. Tapi percayalah, aku menyesal. Aku menyesal karena pernah memperlakukanmu dengan buruk. Dan sekarang, aku ingin memperbaikinya karena kondisinya sudah berbeda." Rina memalingkan wajah, menatap jalanan di luar jendela sambil tersenyum pahit. "Berbeda?
"Aku pulang dulu, Mama sudah menelepon. Besok, aku akan jemput kamu." Rina pun mengangguk, kemudian keluar dari mobil Arya. Wanita itu pun masuk ke dalam rumah. Arya menatap punggung Rina yang semakin menjauh. Begitu Rina menutup pintu, Arya pun melajukan mobilnya.Rina menyandarkan tubuhnya di balik pintu. Wanita itu memegang dadanya yang terus berdebar. Pikirannya berkecamuk, tak bisa dia pungkiri, rasa cinta untuk Arya masih sangat besar. Hatinya pun mulai bertanya-tanya, apakah keputusannya ini sudah benar? Sepanjang malam Rina tak bisa memejamkan mata. Wajah Arya, semua kata yang Arya ucapkan tadi terus menari-nari di pikirannya. Kebimbangan kembali hinggap di hatinya. Apakah keputusan memaafkan Arya sudah benar? Atau, Arya kembali mendekatinya karena tahu dia kaya raya? Keesokan harinya, Rina yang baru saja selesai mandi memakai bathrob sambil mengeringkan rambutnya. Suara bel yang berbunyi membuat wanita itu menghenttikan kegiatannya."Siapa yang datang pagi-pagi begini? A
Pagi itu di Depan Rumah Rina Setelah Rian berpamitan, ia membuka pintu dengan langkah ringan, tapi tak disangka, sosok Arya berdiri di sana sambil memegang buket bunga. Tatapan Arya langsung berubah saat matanya bertemu dengan Rian yang baru saja keluar dari rumah Rina. "Kamu!" seru Arya dengan nada tajam, menggenggam buket bunga dengan erat. Rian tersenyum santai, melipat kedua tangannya di dada. “Oh, pagi, Arya. Apa kamu punya janji dengan Rina juga pagi-pagi begini?” Arya menatap Rian dengan tatapan tajam. "Aku tak perlu membuat janji untuk datang ke rumah istriku." Mendengar kata ‘istriku’ yang dilontarkan Arya, Rian hanya tersenyum kecil. “Oh, jadi masih istrimu, ya? Aku pikir sudah tidak lagi.” Wajah Arya memerah. "Rina masih istriku atau tidak, itu bukan urusanmu!" katanya keras, nyaris menerjang Rian. "Kamu pikir siapa dirimu datang pagi-pagi ke rumah istri orang lain?" Rian mengangkat bahu, terlihat tenang. “Aku datang ke sini karena aku peduli padanya, tidak se
Di Mobil Rina melajukan mobilnya dengan santai. Namun, baru saja dia keluar dari gerbang perumahannya, salah satu security komplek perumahannya menelepon. "Mbak Rina, Anda dimana? Kenapa ada dua orang yang sedang bertengkar di depan rumah Mbak Rina?"Mata Rina pun membulat sempurna. Dengan perasaan marah dan kesal, Rina pun membelokkan mobilnya. Tak butuh waktu lama, Rina sudah sampai di rumahnya. Dan benar saja, dua orang it masih saja bertikai."Berhenti!" teriak Rina sambil berkacak pinggang.Kedua lelaki itu pun menoleh dan menurunkan tangannya. Rina?""Pulang sekarang, atau jangan pernah kembali ke rumah ini lagi!"Mendengar ancaman Rina, kedua lelaki itu pun pergi dengan sendirinya. Setelah memastikan dua orang itu tak kembali, Rina pun berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan, ia bergumam kesal sambil sesekali menepukkan tangannya ke kemudi. "Dua-duanya sama saja, sudah tua tapi masih saja kekanak-kanakan! Apa nggak malu sama umur?" Rina terus menggerutu, teringat bagaima
Rina tertegun. Mendengar nama "Mela" langsung membuat dadanya terasa sesak. Ingatannya beralih pada pesan dari seseorang yang berinisal 'M' yang sering menghubungi Arya saat mereka masih bersama dulu. Rina mencoba menenangkan diri. Ia tak mau menunjukkan kegugupannya di hadapan Mela. "Baik, Mela. Jadi, kamu mau bertemu denganku hanya untuk menyombongkan diri tentang hubunganmu dengan Arya? Karena kalau iya, kamu sudah membuang waktumu. Karena Arya dan aku sudah berpisah. Bahkan, dia sudah menikah lagi sekarang." Mela tersenyum sinis dan melangkah lebih dekat ke meja Rina. "Aku kesini, hanya untuk memberimu sedikit nasihat... demi kebaikanmu sendiri, tentu saja." Rina menyandarkan tubuhnya, berusaha mempertahankan sikap tenang. "Nasihat apa yang kamu maksud?" Mela melipat tangan di depan dada, lalu menatap Rina tajam. "Kamu tentu ahu, Arya itu pria yang licik. Mungkin kamu berpikir dia mencintaimu, tapi kenyataannya tidak begitu. Arya hanya mendekatimu karena perusahaanmu. Peru
"Aku jemput setelah pulang kantor. Aku ingin mengajakmu makan malam. TIDAK ADA PENOLAKAN!" Begitulah isi pesan dari Rian. Lelaki itu memang suka semaunya sendiri. Namun, anehnya, Rina tidak merasa kesal ataupun marah padanya.Rina dan Rian memasuki restoran berkelas. Selain untuk mendekatkan diri. Rian juga ingin merayakan keberhasilannya mendapatkan tender besar. "Silahkan Tuan Puteri yang cantik," Rian menarik kursi untuk Rina Rina tersenyum kecil sambil duduk. "Terima kasih. Kamu juga terlihat tampan malam ini." "Tentu saja! Keturunan Papi Doddy pasti tampan.""Dalam rangka apa nih, makan mewah di tempat seperti ini?" tanya Rina sambil tersenyum menatap Rian."Aku memenangkan tender besar, dan aku ingin berbagi kebahagiaan ini sama kamu," jawab Rian penuh antusias. "Dan juga, aku mau minta maaf atas kejadian kemarin. Aku merasa bodoh sudah ikut campur urusan pribadimu dengan Arya." Rina menghela napas, lalu tersenyum kecil. "Aku sudah memaafkanmu, Rian. Yang penting kamu sadar,
Hari ini, pekerjaan Rina sangat banyak. Dia tak hanya lelah fisik tapi juga lelah hayati. Bagaimana tidak, saat meeting tadi, terjadi sedikir kesalahan pada proposalnya.Sesampainya di rumah, Rina duduk termenung di ruang tamu. Tiba-tiba, ingatan tentang ucapan Mela kembali berputar di telinganya. Kedatangan Mela, dan permintaan rujuk dari Arya sedikir membuat hatinya kacau. Jujur dia masih sangat mencintai Arya. Akan tetapi, dia mulai ragu setelah melihat perlakuannya pada Hana kemarin. Tak lama kemudian, teleponnya berdering, menampilkan nama Arya di layar. Rina menghela napas panjang, lalu mengangkat panggilan tersebut. “Halo, Arya,” sapanya singkat. “Hai, Rina. Kamu sibuk?” tanya Arya dengan nada lembut. “Aku cuma mau tahu kabarmu saja.” Rina berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. “Aku baik-baik saja.” “Aku senang dengar itu,” balas Arya, terdengar sedikit lega. “Hari-harimu belakangan ini pasti cukup padat. Kudengar, kamu sedang ada kerjasama dengan perusahaan Rian.”
"Permisi, Bu. Ada tamu," kata Nadia sekretaris Rina. Rina mengertukan dahinya. Seingatnya, dia tak ada janji dengan siapapun. "Siapa, Nad?" "Tidak tahu, Bu. Wanita, katanya, dia teman lama Ibu," jawab Nadia. Rina pun mengangguk kemudian menyuruh Nadia membawa tamunya ke dalam. Saat wanita itu membuka pintu, tubuh Rina sedikit menegang saat melihat sosok yang tidak diduganya sama sekali muncul di depannya—Hana, istri Arya. Hana melangkah masuk dengan percaya diri, mengenakan gaun mahal dan riasan sempurna. Tatapan matanya tajam, tertuju langsung ke arah Rina yang masih terkejut melihatnya. Rina merasa ada yang tidak beres, namun tetap mencoba bersikap tenang. "Rina," sapa Hana dingin, suaranya rendah namun tegas. "Kita perlu bicara. Di tempat yang lebih pribadi." Rina ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk. "Kita bisa bicara disini, Hana. Nadia akan pergi setelah ini." Hana langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa yang ada di ruangan Rina. Dia bahkan membanting tasnya di meja h
"Ahh... kepalaku...!" desahnya, suaranya hampir seperti rintihan.Rina yang sedang di dapur langsung berlari ke ruang tamu. "Arya, ada apa? Kamu sakit?" tanyanya panik.Arya menggeleng lemah sambil terus memegangi kepalanya. "Entah kenapa... kepalaku tiba-tiba sakit sekali, Rina."Rina meraih lengan Arya, membantunya duduk lebih nyaman. "Tunggu di sini, aku ambilkan air putih," katanya, lalu berlari ke dapur.Setelah Arya minum, rasa sakitnya sedikit mereda. Namun, matanya masih menunjukkan kebingungan. "Rina... aku tadi melihat sesuatu," katanya pelan."Apa yang kamu lihat?" tanya Rina, duduk di sampingnya."Sebuah... tempat. Ada taman, dan aku sedang bermain dengan seorang anak kecil. Aku rasa itu Keisha... tapi aku tidak yakin. Rasanya begitu nyata," jawab Arya sambil memijit pelipisnya.Mendengar itu, hati Rina tergetar. "Arya, mungkin itu bagian dari ingatanmu yang kembali," katanya dengan suara lembut."Tapi kenapa ini terasa sangat menyakitkan? Aku seperti sedang dipaksa mengin
“Ini foto-foto kita dulu,” kata Rina dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.Rina membawa album foto lama. Ia menaruhnya di meja. Arya yang sedang duduk d ruang tamu sambil menonton televisi pun mengalihkan perhatiannya.Arya menatap album itu dengan ekspresi campur aduk. Ia membuka halaman pertama dan melihat gambar pernikahan mereka. Rina terlihat cantik dengan gaun putihnya, sementara ia—Arya—memegang tangan wanita itu dengan wajah datar.Arya menatap Rina, matanya penuh pertanyaan. “Jadi, kamu istriku?"Rina menggeleng, membuat Arya mengerutkan keningnya. "Dulu, kita memang pernah menikah selama 3 tahun. Namun setelah itu, kita bercerai," terang Rina.Arya menatap Rina. "Kenapa aku bisa menceraikan wanita sebaik kamu?”Rina terdiam. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan air mata yang menggenang di matanya. “Itu cerita yang panjang, Arya. Dan mungkin bukan saatnya kita membahasnya sekarang,” jawabnya pelan.Arya tidak memaksa. Melihat wajah sendu Rina saat dia bertanya tadi, memb
"Aku harus membantu Arya keluar, Karina tidak bisa seenaknya pada Arya hanya karena Arya tidak mengingat siapa dirinya. Tapi, aku tidak bisa melakukannya sendiri, Karina tidak akan melepaskan Arya jika aku kesana sendirian."Rina menggenggam surat yang ditulis Arya erat-erat. Dengan langkah mantap, ia memasuki kantor polisi, matanya penuh tekad.Seorang petugas yang sedang duduk di meja depan mengangkat wajahnya. "Selamat sore, Bu. Ada yang bisa kami bantu?"Rina meletakkan surat itu di atas meja. "Saya ingin melaporkan seseorang yang ditahan secara paksa. Ini surat dari korban yang berhasil menyuruh seseorang untuk membantunya keluar dari rumah tempat itu."Petugas membaca surat itu dengan seksama. Wajahnya berubah serius. "Siapa yang Anda maksud? Dan di mana lokasi penahanannya?""Namanya Arya. Dia ditahan di rumah seseorang bernama Karina. Dia adalah dokter yang merawat Arya, dan dari apa yang saya tahu, Arya dipaksa tinggal di sana tanpa keinginannya," jelas Rina dengan suara berg
Di rumah Rina, Keisha tampak sedang menggambar di ruang tamu ketika ia mendengar pembantunya, Mbak Ani, berbicara di dapur."Kasihan Mbak Rina ya, Mas Arya kayaknya nggak datang lagi. Padahal Keisha senang banget waktu dia mampir," ujar Mbak Ani sambil mencuci piring.Keisha yang penasaran segera menghampiri. "Mbak Ani, Om Arya nggak datang lagi ya?" tanyanya polos.Mbak Ani terkejut, lalu tersenyum kecil. "Keisha, mungkin Om Arya lagi sibuk. Nanti juga dia datang lagi, kok."Tapi Keisha tidak puas dengan jawaban itu. Ia tahu sesuatu sedang terjadi, tapi ia tidak tahu apa."Keisha harus cari Om Arya," gumamnya sambil kembali ke ruang tamu.---Di rumah Karina, Mbok Darmi membaca surat Arya dengan hati yang pilu. "Ya Allah, Den. Maafkan si Mbok jika belum bisa membantu Aden saat ini," ucapnya sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya.Ia tahu membantu Arya berarti melanggar perintah Karina, tapi hatinya tidak tega melihat lelaki itu terus menderita.Malam itu, ketika Karina suda
"Mama! Mama!" teriak Keisha saat Rina baru saja memarkir mobilnya. Gadis itu berlari keluar dengan wajah penuh semangat. "Mama, Om Arya tadi ke sini!" Seru Keisha sambil melompat-lompat.Rina terhenti sejenak, hatinya berdegup kencang. "Apa? Om Arya? Keisha, kamu jangan bercanda, ya," katanya dengan suara gemetar."Tapi beneran, Ma! Tadi Om Arya ke sini. Dia main sama Keisha. Om Arya juga nanya banyak hal!" seru gadis kecil itu.Rina memandang putrinya dengan mata berkaca-kaca. Ia tak ingin terlalu berharap, tapi ada getaran dalam hatinya mendengar nama Arya. "Keisha, Om Arya bilang apa saja?"Keisha mengerutkan alis, mencoba mengingat. "Hmm... Om Arya tanya soal Mama, soal rumah ini. Terus dia juga nanya apa Keisha ingat Om Arya dulu sering main sama Keisha."Rina tak bisa menahan senyumnya. Ia ingin percaya bahwa Arya mulai mengingat sesuatu. Tapi ia harus memastikan semuanya terlebih dahulu."Keisha," kata Rina sambil memegang pundak putrinya, "lain kali kalau Om Arya datang lagi,
"Mbok, Karina sudah pergi?" Tanya Arya pada Mbok Ratmi, ART di rumah Karina."Sudah, Den. Tadi Nona bilang, kalau Den butuh apa-apa. Biar Mbok aja yang belikan. Aden nggak boleh pergi sendiri," jawab Mbok Ratmi.Arya tersenyum. Wanita itu masih saja mengekangnya. Padahal, kemarin dia sudah berjanji tidak akan mengurungnya lagi."Tapi, Mbok. Kemarin aku bertemu temen, katanya aku ini sudah punya anak dan istri. Aku harus mencari tahu Mbok, apa benar yang dikatakan oleh temanku kemarin. Apa Mbok nggak kasihan dengan anak istriku kalau seandainya apa yang dikatakan oleh temanku itu benar?" Mbok Ratmi terdiam. Benar juga apa yang dikatakan oleh Arya. Kasihan anak dan istrinya kalau memang itu benar.Arya memegang lengan Mbok Ratmi. "Mbok, boleh ya? Izinkan saya keluar. Nanti saya akan kembali sebelum Nona pulang. Please?" Pinta Arya sambil mengatupkan tangan di dada.Setelah wanita paruh baya itu mengangguk. Arya pun pergi meninggalkan rumah Karina. Dia harus mencari tahu, siapa Rina dan
Setahun Kemudian"Mama, kenapa Om Arya nggak sembuh-sembuh sakitnya? Keisha kangen, pengen main sama Om Arya," rengek gadis kecil berkuncir kuda itu.Rina tersenyum lembut, lalu duduk di samping putrinya. "Keisha kan tahu, kalau Om Arya sedang sakit dan nggak ingat kita. Kita tunggu saja, ya. Mama juga nggak tahu sekarang Om Arya tinggal di mana," ujar Rina sabar.Gadis kecil itu memberengut, kemudian masuk ke kamarnya. Rina menghela napas panjang. Dalam hatinya, ia ingin mencari tahu keberadaan Arya. Tapi, untuk apa? Arya tidak mengingatnya sama sekali. Ia juga takut kehadirannya justru membuat Arya tak nyaman."Bagaimana kabarmu sekarang, Arya?" bisik Rina pada dirinya sendiri.---Di Tempat LainArya melirik ke arah pintu dengan gelisah. Ia sudah tidak tahan lagi hidup seperti ini, terkurung di rumah Karina. "Karin, aku mau beli sabun. Sabunku habis," katanya sambil mengambil jaket."Sabun apa? Biar Bibi yang beli. Kamu di rumah aja!" Karina mengawasi Arya tajam. "Kamu kan sering n
“Kenapa Rina tak pernah muncul lagi?” Arya bertanya suatu malam pada Karina, yang duduk di kursi di sudut kamar.Sudah dua minggu sejak Rina dan Keisha berhenti datang ke rumah sakit. Arya mulai menyadari ada yang hilang di hatinya. Meski dia tak ingat tentang hubungannya dengan Rina, tetapi keberadaan mereka membuat hatinya terasa nyaman. Karina menatapnya dengan senyum samar, tapi matanya menyiratkan emosi yang tertahan. “Mungkin dia merasa kamu tidak membutuhkannya lagi. Kadang, orang memilih pergi daripada melihat seseorang yang mereka sayangi menderita.”Arya mengernyit. “Tapi... aku merasa berbeda. Seolah aku membutuhkan mereka.”Karina segera menyela, menggenggam tangannya dengan lembut. “Arya, jangan paksa dirimu untuk mengingat jika itu membuat kepalamu sakit. Biarkan semua berjalan dengan perlahan. Lama-kelamaan, kamu juga ingat nanti." Karina memaksakan senyumnya. Meski dalam hati, dia merasa takut jika Arya mengingat masa lalunya. ---Beberapa hari kemudian, dokter sudah
"Pak Arya, semua sudah stabil. Setelah ini, akan ada dokter lain yang akan merawat Pak Arya. Mungkin bisa sambil rawat jalan," terang dokter laki-laki yang saat itu memeriksa Arya. Arya dan Rina mengangguk bersamaan. "Terima kasih, Dok," jawab keduanya kompak.Setelah dokter itu keluar, tak lama, ketukan pelan terdengar di pintu kamar Arya. Seorang wanita berjas putih masuk ke dalam ruangan sambil membawa beberapa dokumen medis. Rambut panjangnya terurai rapi, dan senyumnya tampak lembut namun tegas. “Selamat pagi,” sapa wanita itu sambil memandang ke arah Arya yang sedang duduk di tempat tidur, ditemani Rina dan Keisha. “Saya Dr. Karina, spesialis syaraf. Saya akan menangani perawatan lanjutan untuk Pak Arya.” Arya mengangguk sopan. “Terima kasih, Dokter.” Namun, saat itu Dr. Karina terdiam. Matanya membesar, dan tangannya bergetar saat melihat wajah Arya. Dadanya bergemuruh. Itu dia. Pria yang telah lama ia pendam di hati. Cinta pertamanya sejak SMA. ‘Arya...,’ pikirnya sambil