Arya menghela napas panjang, menatap kosong langit-langit kantornya. Desakan Farida yang terus menginginkannya menceraikan Rina dan menikahi Hana secara resmi membuat hatinya bergejolak. Saat ini, dia tidak mungkin melepas berlian seperti Rina hanya demi menuruti keinginan ibunya.Justru dia berharap, bisa bekerja sama dengan perusahaan Rina. Selain itu menguntungkan untuk perusahaannya, dia juga bisa kembali dekat dengan Rina.Sebagai seorang pria yang biasanya tegas, kali ini Arya merasa bimbang. Keinginannya untuk mengungkapkan kepada sang ibu siapa sebenarnya Rina terus tertahan oleh kekhawatiran akan reaksi Farida yang sangat peduli akan status dan harta."Kamu harus segera menceraikan wanita mandul itu, Arya! Nikahi Hana! Anak itu harus punya status jelas," desak Farida, mengingatkannya pada percakapan beberapa hari yang lalu.Namun, Arya punya rencana lain.---Hari ini, tawa riuh karyawan mewarnai acara ulang tahun perusahaan Arya kali ini. Arya memiliki rencana agar sang mama
Setelah Rina berjalan pergi untuk menyapa tamu lainnya, Farida masih diliputi oleh rasa tidak percaya. Pikirannya terus berputar, mencari alasan logis dari perubahan Rina yang mendadak.Tidak mungkin seorang yang dulunya lusuh dan dekil kini berubah menjadi cìnderella yang cantik dan anggun. "Pasti dia menjual diri begitu Arya menceraikannya kemarin. Dapat uang darimana dia bisa membeli gaun semahal itu?" Sambil mengatur napasnya, Farida melangkah mendekat ke sekelompok tamu yang sedang berbincang, matanya sesekali melirik ke arah Rina dengan pandangan penuh curiga. Di antara para tamu, ia melihat Ibu Laras, salah satu istri pengusaha yang terkenal suka menyebarkan gosip. "Bu Laras!" sapa Farida sambil memeluk wanita itu "Ah, Bu Farida! Lama tak jumpa!" sapa Ibu Laras dengan ramah. Farida tersenyum tipis. “Oh, ya… lama sekali. Sayangnya, malam ini ada pemandangan yang cukup… mengejutkan.” Ibu Laras mengangkat alisnya, sedikit kepo dengan ucapan Farida. "Maksud Ibu apa?" Far
Di luar ruangan pesta, Farida masih terpaku dengan pandangan marah. Tatapannya tajam, namun Arya, yang berdiri di depannya, tidak gentar. Dia menghela napas panjang, berusaha menahan emosi yang kini hampir meledak."Mama, sudah cukup. Perilaku Mama tadi sangat memalukan," ucap Arya dengan nada rendah namun penuh ketegasan."Memalukan?!" Farida mendengus, "Kamu tahu siapa wanita itu, Arya! Dia tak layak dihormati, apalagi di depan para tamu.""Mama," Arya menahan suara agar tetap tenang, "Rina sudah berubah. Dia sekarang sukses, bahkan jauh lebih sukses daripada kita. Mama mungkin tak suka, tapi itulah kenyataannya."Hana, istri Arya yang sejak tadi hanya mendengarkan dari samping, akhirnya angkat bicara. "Kenapa kamu harus membela dia, Arya? Dia kan hanya mantan istrimu. Apa pedulimu padanya?"Arya menatap Hana dengan lelah. "Ini bukan soal peduli atau tidak, Hana. Ini soal harga diri dan cara kita menghormati orang lain. Mau seburuk apa pun pandangan Mama atau kamu tentang Rina, dia
"Apa kamu gila, Arya? Kamu sudah menikahi Hana. Bagaimana mungkin kamu meminta rujuk denganku?"Arya terdiam. Dia tak mampu memberi jawaban yang pasti atas ucapan Rina tadi. Otaknya berpikir keras. Alasan apa yang masuk akal untuk membuat Rina luluh dan mau kembali padanya. Akan tetapi, sebelum Arya menjelaskan, Rina kembali memberondongnya dengan pertanyaan yang sama. "Jadi, kamu ingin rujuk denganku?" Rina berkata, suaranya datar namun menyiratkan ketidakpercayaan. "Arya, kamu pikir semudah itu aku akan percaya? Setelah semua yang kamu lakukan selama kita menikah?" Arya menarik napas panjang, mencoba menahan perasaan bersalahnya. “Aku mengerti, Rina. Mungkin, kamu tidak percaya. Apalagi, aku pernah memperlakukanmu dengan buruk dulu. Tapi percayalah, aku menyesal. Aku menyesal karena pernah memperlakukanmu dengan buruk. Dan sekarang, aku ingin memperbaikinya karena kondisinya sudah berbeda." Rina memalingkan wajah, menatap jalanan di luar jendela sambil tersenyum pahit. "Berbeda?
"Aku pulang dulu, Mama sudah menelepon. Besok, aku akan jemput kamu." Rina pun mengangguk, kemudian keluar dari mobil Arya. Wanita itu pun masuk ke dalam rumah. Arya menatap punggung Rina yang semakin menjauh. Begitu Rina menutup pintu, Arya pun melajukan mobilnya.Rina menyandarkan tubuhnya di balik pintu. Wanita itu memegang dadanya yang terus berdebar. Pikirannya berkecamuk, tak bisa dia pungkiri, rasa cinta untuk Arya masih sangat besar. Hatinya pun mulai bertanya-tanya, apakah keputusannya ini sudah benar? Sepanjang malam Rina tak bisa memejamkan mata. Wajah Arya, semua kata yang Arya ucapkan tadi terus menari-nari di pikirannya. Kebimbangan kembali hinggap di hatinya. Apakah keputusan memaafkan Arya sudah benar? Atau, Arya kembali mendekatinya karena tahu dia kaya raya? Keesokan harinya, Rina yang baru saja selesai mandi memakai bathrob sambil mengeringkan rambutnya. Suara bel yang berbunyi membuat wanita itu menghenttikan kegiatannya."Siapa yang datang pagi-pagi begini? A
Pagi itu di Depan Rumah Rina Setelah Rian berpamitan, ia membuka pintu dengan langkah ringan, tapi tak disangka, sosok Arya berdiri di sana sambil memegang buket bunga. Tatapan Arya langsung berubah saat matanya bertemu dengan Rian yang baru saja keluar dari rumah Rina. "Kamu!" seru Arya dengan nada tajam, menggenggam buket bunga dengan erat. Rian tersenyum santai, melipat kedua tangannya di dada. “Oh, pagi, Arya. Apa kamu punya janji dengan Rina juga pagi-pagi begini?” Arya menatap Rian dengan tatapan tajam. "Aku tak perlu membuat janji untuk datang ke rumah istriku." Mendengar kata ‘istriku’ yang dilontarkan Arya, Rian hanya tersenyum kecil. “Oh, jadi masih istrimu, ya? Aku pikir sudah tidak lagi.” Wajah Arya memerah. "Rina masih istriku atau tidak, itu bukan urusanmu!" katanya keras, nyaris menerjang Rian. "Kamu pikir siapa dirimu datang pagi-pagi ke rumah istri orang lain?" Rian mengangkat bahu, terlihat tenang. “Aku datang ke sini karena aku peduli padanya, tidak se
Di Mobil Rina melajukan mobilnya dengan santai. Namun, baru saja dia keluar dari gerbang perumahannya, salah satu security komplek perumahannya menelepon. "Mbak Rina, Anda dimana? Kenapa ada dua orang yang sedang bertengkar di depan rumah Mbak Rina?"Mata Rina pun membulat sempurna. Dengan perasaan marah dan kesal, Rina pun membelokkan mobilnya. Tak butuh waktu lama, Rina sudah sampai di rumahnya. Dan benar saja, dua orang it masih saja bertikai."Berhenti!" teriak Rina sambil berkacak pinggang.Kedua lelaki itu pun menoleh dan menurunkan tangannya. Rina?""Pulang sekarang, atau jangan pernah kembali ke rumah ini lagi!"Mendengar ancaman Rina, kedua lelaki itu pun pergi dengan sendirinya. Setelah memastikan dua orang itu tak kembali, Rina pun berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan, ia bergumam kesal sambil sesekali menepukkan tangannya ke kemudi. "Dua-duanya sama saja, sudah tua tapi masih saja kekanak-kanakan! Apa nggak malu sama umur?" Rina terus menggerutu, teringat bagaima
Rina tertegun. Mendengar nama "Mela" langsung membuat dadanya terasa sesak. Ingatannya beralih pada pesan dari seseorang yang berinisal 'M' yang sering menghubungi Arya saat mereka masih bersama dulu. Rina mencoba menenangkan diri. Ia tak mau menunjukkan kegugupannya di hadapan Mela. "Baik, Mela. Jadi, kamu mau bertemu denganku hanya untuk menyombongkan diri tentang hubunganmu dengan Arya? Karena kalau iya, kamu sudah membuang waktumu. Karena Arya dan aku sudah berpisah. Bahkan, dia sudah menikah lagi sekarang." Mela tersenyum sinis dan melangkah lebih dekat ke meja Rina. "Aku kesini, hanya untuk memberimu sedikit nasihat... demi kebaikanmu sendiri, tentu saja." Rina menyandarkan tubuhnya, berusaha mempertahankan sikap tenang. "Nasihat apa yang kamu maksud?" Mela melipat tangan di depan dada, lalu menatap Rina tajam. "Kamu tentu ahu, Arya itu pria yang licik. Mungkin kamu berpikir dia mencintaimu, tapi kenyataannya tidak begitu. Arya hanya mendekatimu karena perusahaanmu. Peru
"Keisha Mahendra, kau harus bertanggung jawab atas apa yang telah kau lakukan pada putraku!"Keisha mengerutkan kening. "Apa maksud Anda, Bu? Saya tidak mengerti."Wanita itu mengepalkan tangannya. "Kau menabrak anakku dua tahun lalu. Dia lumpuh! Kau pikir kami hanya akan diam saja? Hari ini, aku datang untuk meminta keadilan!"Jantung Keisha berdegup kencang. Ingatannya beralih pada kejadian dua tahun lalu. Karena mengantuk, dia tak fokus berkendara dan menabrak seorang pengendara motor. Seingat Keisha, dia sudah bertanggung jawab dengan mengobati lelaki itu sampai sembuh. Lalu, kenapa ibunya masih meminta pertanggung jawabannya. "Saya sudah memberikan kompensasi sesuai yang diminta. Bahkan biaya pengobatan dan perawatan putra Anda sudah saya tanggung sepenuhnya," ujar Keisha dengan suara yang tetap tegas.Wanita itu tertawa sinis. "Uang tidak bisa mengembalikan masa depan anakku! Dia kehilangan segalanya. Impiannya hancur! Dia kehilangan pekerjaannya, kekasihnya juga meninggalkanny
"Ma, ini udah dua tahun loh, tapi, kok si Nadin belum memulai aksinya, ya?" tanya Keisha pada sang Bunda.Rina terdiam. Dia sebenarnya juga memikirkan itu, tapi, dia mencoba berpikir positif. "Mungkin, si Nadin udah beneran tobat, Sayang. Sudahlah, kita tidak usah curiga lagi sama dia. Mendingan, kamu urusin hidup kamu yang sudah hampir kepala tiga tapi belum menikah. Apa tidak sebaiknya kamu terima saja perjodohan yang Mama tawarkan kemarin," bujuk Rina yang sebenarnya prihatin dengan nasib putrinya. "Kei pasti akan menikah, Ma. Tapi nanti, setelah anak kunyuk itu benar-benar mendapatkan istri yang baik. Dan Kei yakin, itu bukan Nadin." Wanita itu pun pergi meninggalkan ibunya.Sebenarnya, Keisha sudah muak dijodoh-jodohin sama ibunya. Entahlah, dari semua lelaki yang dijodohkan dengannya, tak ada satupun yang mengena di hatinya. Dan dia nggak mau menikah tanpa cinta.--- "Sayang, aku punya kejutan buat kamu," kata Nadin saat Arfan baru saja bangun.Lelaki itu tersenyum. "Apa?"Nad
Nadin menatap pantulan wajahnya di cermin. Wanita itu kini tampak menawan dengan riasan sederhana. Gaun warna pastel yang melekat di tubuhnya membuatnya terlihat anggun dan cantik. Sudah hampir beberapa bulan ini, dia menjalankan perannya sebagai istri yang baik untuk Arfan. Tak pernah sekalipun dia membantah ataupun melawan apa yang Arfan katakan. Dia juga selalu melayani Arfan dengan baik. Semua yang dikhawatirkan oleh Keisha tak pernah terjadi. Bahkan wanita itu, tak pernah sekalipun mencampuri urusan kantor Arfan. Dan itu membuat Keisha dan Arfan pun bingung. --- Di ruang makan rumah keluarga Mahendra, Rina, Arya, Keisha, dan Arfan tengah menikmati sarapan bersama. Keisha hanya mengaduk kopinya tanpa minat, sementara Arfan menikmati hidangan di hadapannya. Nadin datang membawa semangkuk sup hangat, lalu dengan lembut meletakkannya di depan Arfan. "Sayang, kamu harus makan yang bergizi. Kamu terlihat lelah akhir-akhir ini," ucapnya lembut. Arfan menatapnya sejenak sebelum ter
Mobil mewah berwarna hitam melaju memasuki halaman luas rumah keluarga Mahendra. Matahari mulai tenggelam, mewarnai langit dengan semburat jingga. Arfan duduk di kursi pengemudi dengan rahang mengeras, sementara di sebelahnya, Nadin tersenyum tipis. “Kau yakin ingin melakukan ini?” tanya Nadin, suaranya lembut, tapi ada nada mengejek yang terselubung. Arfan menatap lurus ke depan. “Aku tidak punya pilihan.” Nadin mengangkat bahu, “Kalau begitu, ayo masuk. Aku tidak sabar melihat reaksi mereka.” Arfan mengepalkan tangannya, tapi tak berkata apa-apa. Ia keluar dari mobil, lalu berjalan ke sisi lain untuk membuka pintu bagi Nadin. Wanita itu turun dengan anggun, mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda. Matanya berbinar penuh kemenangan. Ketika pintu rumah terbuka, mereka langsung disambut oleh seorang pelayan yang terkejut melihat siapa yang datang. “Tuan Arfan…?” Namun, sebelum pelayan itu bisa mengatakan lebih jauh, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari dalam rum
"Ugghh, dimana aku?"Arfan merasa kepalanya berat. Penglihatannya masih buram saat matanya terbuka perlahan. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada. Aroma parfum lembut menyengat hidungnya, bercampur dengan bau alkohol.Arfan melihat ke samping, tubuhnya menegang seketika saat melihat wanita yang polos tanla sehelai benang pun ada di sampingnya. Wanita itu sedang tertidur lelap dengan selimut yang membalut tubuhnya.Jantung Arfan berdegup kencang. Apa yang terjadi semalam?Ia mencoba mengingat, tapi kepalanya berdenyut nyeri.Lalu, ingatan samar-samar mulai muncul...Nadin mengajaknya makan malam di rumahnya. Ia menolak awalnya, tapi melihat ketulusan Nadin yang ingin meminta maaf, Arfan akhirnya setuju.Namun, setelah beberapa gigitan makanan, tubuhnya tiba-tiba terasa panas. Dadanya berdebar lebih cepat dari biasanya. Suhu tubuhnya meningkat dan pikirannya mulai kacau.Arfan memegang kepalanya yang terasa berat. Astaga… ada sesuatu dalam maka
"Kamu dimana, Arfan?" gumam Keisha saat teleponnya tidak diangkat oleh sang adik. Keisha khawatir, karena adiknya itu tiba-tiba menghilang sejak peristiwa di restoran malam itu. Apalagi, tak satupun pesan dan teleponnya dijawab oleh Arfan membuat wanita semakin merasa cemas. Keisha duduk di ruangannya dengan wajah masam. “Arfan benar-benar bertingkah sekarang.” Rina masuk ke kantor putrinya dengan membawa dua cangkir kopi. “Berilah dia waktu, Keisha. Luka karena kebohongan itu tidak mudah disembuhkan.” Keisha menghela napas berat. “Aku tidak suka ini, Mom. Aku takut Arfan akan kembali ke Nadin dan itu akan menjadi bencana buat kita. Apalagi, jika Nadin benar-benar menuruti kemauan ibunya untuk menghancurkan kita.” Rina menatap putrinya dengan lembut. “Cinta tidak bisa dipaksakan Keisha. Jika Arfan memang mencintai Nadin, maka kita harus mempercayainya.” Keisha menatap ibunya dengan ragu. “Tapi bagaimana kalau ini jebakan Karina?” Rina menghela napas. “Itulah yang harus
Malam ini, Arfan mengajak Nadin makan malam romantis di sebuah restoran mewah. Ia berencana melamar wanita yang dicintainya itu. “Nadin, aku ingin membangun masa depan bersamamu. Aku ingin kita menikah.” Kata Arfan sambil menatap Nadin penuh harap. Nadin terdiam. Wajahnya pucat, tangannya gemetar. Namun, sebisa mungkin, dia merubah wajahnya kembali seperti semula."Aku akan bilang sama Mama, dulu," ucapnya gugup.Arfan pun mengangguk. "Sabtu besok, kita akan bicarakan masalah ini dengan kedua orang tuamu dan ibumu. Kita bertemu di resto Gama."Malam itu, di restoran mewah di pusat kota, pertemuan dua buah keluarga telah digelar. Mereka akan membahas tentang pertunangan Arfan dan Nadin.Rina dan Arya duduk berdampingan, menatap calon menantu mereka dengan penuh rasa ingin tahu. Keisha, yang masih sedikit curiga pada Nadin, duduk dengan sikap waspada."Jadi, Nadin," Arya membuka percakapan, "bisakah kau ceritakan sedikit tentang keluargamu?"Nadin tersenyum tipis, tetapi tangannya ter
20 Tahun Kemudian"Kak, bagaimana Mahendra?" tanya Arya pada sang putri saat mereka sedang sarapan.Sebelum memjawab, wanita berusia 28 tahun itu melirik adiknya. "Sejauh ini aman sih, Pa. Hanya saja, Arfan selalu santai dalam mengerjakan apapun. Entah bagaimana proyek Arkana di tangannnya."Arya memang sangat memanjakan Arfan. Lelaki itu selalu meminta bantuam sang ayab saat melakukan kesalahan."Bagaimana, Dek? Apa proyek Arkana berjalan dengan lancar? Ingat, jangan sampai kamu melakukan kesalahan," Arya mengingatkan putra semata wayangnya."Beres, Pa. Papa tenang saja, proyek ini pasti berhasil," sahut pemuda berusia 24 tahun itu.Meski ada rasa iri di hatinya karena sang kakak yang hanya menaruhnya di perusahaan cabang, tetapi, Arfan tidak berani protes. Karena baik sang ayah maupun sang ibu tak pernah mengizinkan dia memegang kantor pusat.---Di Kantor Mahendra Corp.Keisha duduk di ruangannya, menatap laporan keuangan sambil menghela napas panjang. Ia lalu menekan tombol interk
"Sayang, kata dokter, supaya kamu cepat melahirkan, kamu harus sering-sering colek aku. Nih coba lihat video-nya dokter yang viral itu!" kata Arya sambil menunjukkan salah satu video di tok tok.Rina mengerutkan dahinya. "Bilang aja kamu lagi pengen. Pake kata dokter segala," sindir Rina.Arya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Hehehe, kamu tahu aja."Rina pun tersenyum. Lalu masuk ke dalam kamar. Dia memang sudah mempersiapkan diri, ingin memberikan suaminya servis terbaik sebelum lelaki itu harus berpuasa lama setelah dia melahirkan.Tak lama, Rina pun keluar dengan gaun satin tanpa lengan yang pendek dengan pose yang begitu menantang. "Baby, wanna play?"Arya pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Lelaki itu langsung menggendong istrinya ke kamar kemudian menaruhnya di ranjang."Mencoba menggodaku? Hhhmm?"Rina hanya tersenyum. Kemudian menarik Arya dan menyatukan bibir mereka. Tak lama, suara erangan dan desahan menggema di seluruh ruangan.Saat di tengah permainan, Rina sudah