“Sudah berapa tahun kalian menikah, tapi, kenapa sampai sekarang kamu belum juga hamil? Apa gunanya kamu jadi istri?” ucap Farida dengan suara dingin dan ketus. Matanya menyipit, menatap tajam perut Rina seolah menunggu jawaban yang sudah lama diinginkannya.
Mendengar ucapan sang mertua membuat wajah Rina mendadak tegang. Meskipun di hadapannya tersedia berbagai makanan lezat, namun tak ada sedikit pun rasa lapar dalam dirinya. Sementara, Arya, suaminya, duduk dengan tenang tanpa peduli ocehan sang mama. Malam ini adalah malam yang selalu dihindari oleh Rina—makan malam di rumah mertua, di bawah tatapan tajam Farida, ibu Arya. "Jawab Rina! Jangan hanya diam dan menundukkan kepala saja!" Kali ini, Farida kembali menekannya Rina menelan ludahnya kasar, merasakan tenggorokannya kering. Di sudut matanya, dia bisa melihat Arya hanya diam, tak berniat sedikit pun untuk membela. “Maaf, Ma, aku dan Mas Arya sudah berusaha, tapi mungkin memang belum diberi,” jawab Rina dengan suara pelan, mencoba menjaga nada suaranya agar tetap tenang meskipun hatinya berkecamuk. Farida tersenyum sinis, penuh ejekan. “Yakin karena belum diberi, atau karena kamu memang nggak mampu aja? Mama yakin kalau kamu itu mandul!” Farida menekankan kata terakhir dengan tajam, membuat hati Rina serasa dihantam puluhan batu. Tuduhan itu bukan pertama kalinya dilontarkan, tapi setiap kali mendengarnya, luka di hati Rina semakin dalam. Rina mencoba mengatur napas, menahan tangis yang hampir meledak di ujung matanya. “Aku sudah periksa ke dokter, Bu. Dan, dokter bilang tidak ada masalah. Kami hanya perlu bersabar,” jawabnya sambil memandang ke arah Arya, berharap suaminya memberikan sedikit saja dukungan. Namun Arya tetap diam. Wajahnya dingin, matanya terpaku pada ponsel di tangannya, sibuk dengan hal lain yang tampaknya jauh lebih menarik daripada percakapan ini. Farida menggelengkan kepalanya. “Dokter? Dokter macam apa? Kamu mungkin cuma cari dokter yang nggak becus! Kalau memang nggak mandul, kenapa sampai sekarang perutmu masih rata?” Farida berdiri dari kursinya, menatap Rina dari atas ke bawah. “Kalau sampai bulan depan kamu belum hamil, Arya akan Mama suruh menikah lagi! Anak adalah hal yang paling penting dalam keluarga kami. Kamu tahu itu, kan?” Rina terdiam, tangan gemetar di bawah meja. Sakit hati dan ketidakadilan ini terlalu banyak untuk ditahannya. Dia menatap piring di depannya, makanan yang terlihat lezat tetapi tak mampu membuat dirinya merasa lapar. “Aku... aku akan terus berusaha, Bu,” jawab Rina lirih, merasa tak ada pilihan lain selain menundukkan kepala dan menerima perlakuan ini. Di tengah suasana yang mencekam, salah satu saudara Arya, Sinta, yang duduk di sisi Farida, ikut angkat bicara. “Rina, kamu tahu kan, Arya itu laki-laki yang diinginkan banyak wanita? Kalau kamu tidak bisa memberikan keturunan, jangan salahkan kalau dia mencari kehangatan di tempat lain. Banyak perempuan di luar sana yang mau memberikan Arya apa yang dia butuhkan.” Rina merasa semakin terpojok. Namun Arya sedikitpun tak peduli padanya. Lelaki itu hanya sibuk berbalas pesan yang Rina sendiri takntahu itu siapa. Sementara itu, Arya terus sibuk Setelah makan malam yang penuh ketegangan itu, Rina dan Arya akhirnya pamit pulang. Sepanjang perjalanan di dalam mobil, suasana begitu sunyi. Arya tetap sibuk dengan ponselnya, sesekali tertawa kecil, membuat Rina semakin merasa terasing. Rina hanya bisa menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu—bagaimana semua ini dimulai. *** Tiga tahun lalu, pernikahan Rina dan Arya terjadi bukan karena cinta. Arya tidak pernah benar-benar mencintainya. Pernikahan itu terjadi karena Andre, ayah Arya yang menjodohkan Rina dengan putranya hanya karena ingin balas budi. Andre yang kala itu tergeletak di jalan karena kecelakaan dibawa Rina ke rumah sakit, tak hamya itu, Rina juga merawat lelaki itu hingga sadar dari koma. Hal itulah yang membuat Andre kekeh ingin menjadikan Rina menantunya. Namun, semenjak Andre meninggal, Farida mulai menekan Rina untuk segera memberinya momongan yang sebenarnya, itu hanyalah salah satu triknya agar Rina pergi dengan sendirinya. Dalam tiga tahun pernikahan, Arya hanya beberapa kali menuntut haknya sebagai suami. Dan setiap kali, melakukan itu tidak pernah ada rasa cinta dan kasih sayang disana. Bahkan Arya selalu meninggalkan Rina setelah hasratnya terpenuhi. Tak jarang Farida kerap kali menghina Rina hanya karena status sosialnya. Karena Farida menginginkan Arya mendapatkan istri dari keluarga kaya dan terpandang. Bukan wanita miskin seperti Rina. *** Suara Arya yang menggerutu memecah keheningan di dalam mobil. “Kenapa sih,kamu selalu bikin Mama marah? Kamu tahu kan, dia itu pengen banget punya cucu." Rina menatap Arya dengan tatapan penuh luka. “Kita kan sudah berusaha, Mas. Dan kenapa juga, Mama selalu menekanku? Yang ada bukannya hamil malah stres." Arya mendengus. “Ya, kalau memang kamu nggak mandul, kenapa sampai sekarang kamu belum hamil? Banyak teman-temanku yang baru nikah sebentar udah langsung hamil. Jangan-jangan, apa yang dikatakan Mama memang benar.” Kata-kata itu menusuk hati Rina seperti pisau. Matanya memanas, tapi dia menahan air mata yang hendak tumpah. “Aku sudah berusaha, Mas. Bahkan aku sudah pergi ke dokter. Tapi mungkin Tuhan belum mengizinkan kita punya anak,” ucap Rina dengan suara bergetar. Arya hanya mendengus kesal. “Ya sudah, kalau gitu kita tunggu saja. Tapi jangan salahkan kalau Mama mengambil sikap.” Rina terdiam, memilih menatap ke luar jendela daripada melanjutkan percakapan yang hanya akan memperburuk suasana. Dia merasa begitu lelah, tidak hanya fisik, tapi juga emosional. Pernikahan ini telah menguras seluruh energinya. Rina tahu, jika situasi terus seperti ini, akan sulit baginya untuk bertahan. *** Sesampainya di rumah, Arya langsung menuju kamar mandi tanpa berkata apa-apa. Rina duduk sendirian di ruang tamu, menatap ponsel Arya yang tergeletak di atas meja. Hatinya bimbang, rasa curiga yang sudah lama dia pendam kini semakin menguat. Dengan tangan bergetar, dia membuka ponsel itu dan menemukan satu pesan baru dari seseorang berinisial ‘M.’ “Kita perlu bicara. Kita harus bertemu secepatnya.” Jantung Rina berdetak cepat. Pesan dari ‘M’ itu sudah sering dia lihat. Bukan pertama kalinya dia menemukannya, tapi kali ini, firasat buruknya terlalu kuat. Dia menatap pintu kamar mandi, memastikan Arya masih di dalam. Dengan cepat, Rina menggeser beberapa pesan lainnya, menemukan lebih banyak pesan dari ‘M,’ semuanya penuh dengan janji pertemuan. Arya keluar dari kamar mandi dengan wajah santai. Melihat Rina yang masih terdiam di ruang tamu, Arya berkata, “Daripada kamu bengong di situ, mending tidur duluan. Aku masih ada kerjaan.” Dia meraih ponselnya dari meja dan membaca pesan dari ‘M,’ senyum tipis terukir di wajahnya. Rina menahan napas, dada terasa sesak. Siapa sebenarnya ‘M’? Dan kenapa Arya selalu tersenyum setiap kali membaca pesan dari orang itu? Rasa curiga memenuhi relung hatinya. Dan Rina bertekad akan menyelidiki masalah ini. “Kalau sampai kamu mengkhianatiku, Mas,” bisik Rina dalam hati, “kamu akan tahu siapa aku sebenarnya.”Adzan subuh sudah berkumandang, seperti biasa, Rina bangun lebih dulu. Saat dia membuka mata, suami tampannya sudah ada disebelahnya. "Jam berapa kamu pulang, Mas? Aku menunggumu hingga pukul 12, tapi kamu masih belum datang," gumam Rina sambil menatap wajah tampan suaminya. Wajah yang dulu menenangkan, tetapi sekarang, entah kemana semua itu?Sejak beberapa bulan yang lalu, sikap Arya mulai berubah. Meski Arya jarang memperhatikannya, tapi Arya tidak pernah bersikap dingin dan acuh. Namun kini, semua berbeda. Setiap pulang, lelaki itu pasti akan selalu sibuk dengan handphone-nya. Pernah Rina melirik, pesan dari seseorang berinisial 'M' sering terlihat olehnya. Hal ini membuat Rina curiga.Saat Arya bangun, Rina mencoba menata dirinya agar tidak tampak mencurigakan. Namun pikiran-pikiran tentang pesan misterius itu terus menghantui. "Dimana sarapannya, Rina?" Sentak Arya membuat Rina melonjak kaget."Ada di meja," balas Rina singkat, mencoba tersenyum, meski ada beban di hatinya. Ia
Rina memandang dirinya di cermin kamar, wajahnya tampak pucat dengan mata sembap karena kurang tidur. Sudah berhari-hari ia dihantui perasaan tidak tenang karena memikirkan pesan misterius yang ada di handphone sang suami, Namun pagi ini, firasat buruk itu terasa lebih kuat karena kedatangan Farida, ibu mertuanya yang dengan tiba-tiba mengajaknya pergi. Rina memoleskan bedak tipis di wajahnya kemudian lipstik berwarna nude di bibirnya. Setelah melihat dia sudah tampil rapi, wanita itu pun keluar dari kamarnya sebelum sang mertua mengomel tidak jelas padanya. Begitu keluar dari kamar, ia sudah melihat Farida duduk di ruang tamu, wajahnya keras seperti biasa. Tanpa basa-basi, Farida melontarkan sindiran, "Kenapa lama sekali? Mau dandan setebal apa juga mukamu gitu-gitu aja! Sudah tidak bisa bikin anak, malah bikin kesel aja!" Rina menahan rasa sakit yang menyusup di hatinya. Perkataan seperti itu bukan hal baru baginya, tapi pagi ini, setiap kata terasa lebih tajam, lebih menyakitka
Rina berjalan menuju mobilnya dengan langkah gemetar. Tangannya seolah tak memiliki tenaga untuk membuka pintu mobil. Dia pun menjatuhkan tubuhnya di kursi mobil dengan air mata yang terus mengalir di pipinya. Dia teringat kata-kata Arya yang begitu dingin. Seolah tak ada beban saat mengucapkan kalimat talak itu. Dia mencoba menyeka air matanya, tetapi tak kuasa menghentikan tangisannya. "Semoga kamu tidak menyesali keputusanmu, Arya. Dan jika saat itu tiba, aku tidak akan mau memberikan maafku!" lirihnya. Setelah menghela napas panjang, Rina menyalakan mesin mobil. Namun, isak tangisnya tak kunjung reda, yang ada hatinya semakin perih mengingat semua perlakuan Arya tadi. Jalanan di depannya terlihat kabur akibat air mata yang terus mengalir. Berulang kali, dia hampir menabrak pengendara motor di depannya. "Hei, kalau tidak bisa menyetir jangan bawa mobil!" teriak pengendara motor yang hampir dia tabrak. "Maaf-maaf, lain kali saya akan hati-hati." ucap Rina sambil menakupkan t
"Baiklah, Nona. Kartu namamu aku pegang. Nanti malam, aku tunggu di hotel X. Jika kamu tidak datang, jangan salahkan aku jika besok aku akan datang di kantormu dan membuat kamu membayar ganti rugi ini dengan caraku. Selamat tinggal, Nona." Senyum smirk terbit di bibir lelaki tampan itu.' Rina menutup pintu mobilnya dengan penuh kekesalan. Setelah kejadian yang menyakitkan dengan Arya, dia berusaha mengumpulkan kembali hidupnya. Naas, dia justru malah menabrak mobil orang. "Sial, kenapa aku harus bertemu dengan pemuda slengean dan mesum seperti dia!” gerutu Rina sambil mengendarai mobilnya.Namun, pikirannya tak bisa lepas dari wajah pria tersebut. Di balik sifatnya yang begitu ia benci, Rina tak dapat memungkiri kalau wajah pria itu jauh lebih tampan dari Arya.Selang beberapa menit kemudian, Rina sudah sampai di rumah orang tua angkatnya. Selama ini, Arya tidak pernah tahu, jika Rina adalah anak angkat dari pengusaha kaya bernama Claudia. Rina pun merebahkan tubuhnya di kamar
Pandangan Arya tak bisa beralih dari wajah Rina. Wanita yang menemaninya hampir tiga tahun ini. Namun tak pernah sedikitpun dia lihat. Dan kini, wanita itu ada di hadapannya. Rina seolah menjelma menjadi cinderella saat ini.Selama ini, Rina memang selalu berpenampilan sederhana. Jika di rumah, wanita itu selalu memakai daster seperti ibu-ibu yang beranak lima. Namun sekarang, tubuhnya dibalut dengan gaun hitam dan hijab pasmina membuat kecantikan wanita itu meningkat berkali-kali lipat. "Rina?" suara Arya terdengar parau, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Arya memegang dadanya yang tiba-tiba saja bergetar hebat. Tak hanya Arya yang kaget, Hana pun sama kagetnya melihat mantan istri suaminya ada di acara sebesar ini. Namun, untuk bicara, wanita itu tidak berani. Rina tersenyum tipis, senyum yang penuh rahasia. Arya ingin bertanya lebih banyak, tapi Rian sudah mendahuluinya dengan mengulurkan tangannya. "Rian, teman dekat Rina. Senang bisa bertemu denganmu, Arya." Rian
Hana yang tidak tahan melihat perhatian Arya yang terus tertuju pada Rina langsung menarik lengan Arya. "Arya, sampai kapan kamu terus terpaku pada wanita itu? Dia sudah tidak ada hubungannya denganmu. Apa kamu tidak ingat kenapa kamu meninggalkannya?" Arya hanya diam, matanya tetap terarah pada punggung Rina yang semakin menjauh. "Kamu tidak usah ikut campur urusanku," jawabnya dengan nada dingin. Hana pun tersulut emosinya. "Apa maksudmu, Arya? Apa hanya karena sekarang dia tampak berbeda, kamu jadi lupa semua yang sudah kamu lakukan padanya? Kamu sudah menceraikannya dan memilihku! Dan sekarang, kamu berdiri di sini seolah kamu menyesali keputusanmu?" "Aku tidak butuh ceramah darimu, Hana," potong Arya, matanya tajam menatap wanita itu. "Kamu tidak pernah mengerti apapun tentang Rina. Kamu hanya tahu apa yang ingin kamu lihat." Hana merasa terhina dan marah. "Jadi ini semua salahku, ya? Setelah semua yang aku lakukan untukmu, kamu malah mengabaikanku begitu saja?" Arya me
Setelah pertengkarannya dengan Hana tadi, Arya memutuskan untuk pulang. Dia tidak peduli dengan Hana. Paling juga nanti dia pulang sendiri, begitu pikirnya.Pikiran Arya saat ini masih tertuju pada Rina. Entahlah, sejak melihat dengan sosok yang baru, Arya merasa sesuatu dalam dirinya yang dia sendiri tidak mengerti. Dia seolah tidak rela melepas Rina begitu saja.Saat Arya tiba di rumah, Farida sudah menunggunya di ruang tamu. "Ma, belum tidur," sapa Arya. Farida menatap putranya dengan tatapan tajam. "Arya, kamu pulang sendiri? Mana Hana?" Arya menghela napas panjang, mencoba menjawab dengan suara yang tenang. "Hana… dia tadi pulang sendiri, Ma. Kami… kami tadi sedikit bertengkar." Farida berdiri dari sofa dan menatap Arya dengan marah. "Bertengkar? Arya, kamu sadar nggak kalau Hana itu sedang hamil? Dia hamil cucu Mama! Kamu nggak boleh ninggalin dia begitu saja, kalau sampai terjadi sesuatu sama dia, bagaimana?" Arya hanya menunduk, merasa bersalah, namun tetap tidak bisa mene
"Kamu harus segera menceraikan wanita mandul itu Arya, dan nikahi Hana secara resmi. Mama tidak ingin anak itu lahir tanpa status yang jelas." Arya berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya, rasa kesal dan frustasi memenuhi pikirannya. Desakan Farida, ibunya, untuk menceraikan Rina terus terngiang-ngiang di telinganya. Setelah Rina pergi dari rumah, Farida langsung memanggil penghulu untuk menikahkan Arya dan Hana secara agama. Farida tidak ingin ada berita buruk tentang keluarganya jika sampai para tetangga tahu putranya menghamili wanita lain. Sementara Arya, sejak pertemuannya dengan Rina kemarin. Perasaan Arya tiba-tiba berubah. Dia yang semula acuh mendadak peduli. Apalagi, saat melihat perubahan Rina yang begitu drastis membuat lelaki itu seolah tak rela melepas Rina begitu saja. "Kenapa dia bisa berubah secepat itu? Siapa dia sebenarnya?" Pikiran itu terus saja berputar di kepalanya. "Aku harus tahu tentang siapa Rina sebenarnya," gumam Arya. "Jika dia benar-benar kaya,