Share

Diceraikan Karena Madu, Suami Kembali Dengan Malu
Diceraikan Karena Madu, Suami Kembali Dengan Malu
Penulis: Emka 1979

Bab 1

“Sudah berapa tahun kalian menikah, tapi, kenapa sampai sekarang kamu belum juga hamil? Apa gunanya kamu jadi istri?” ucap Farida dengan suara dingin dan ketus. Matanya menyipit, menatap tajam perut Rina seolah menunggu jawaban yang sudah lama diinginkannya.

Mendengar ucapan sang mertua membuat wajah Rina mendadak tegang. Meskipun di hadapannya tersedia berbagai makanan lezat, namun tak ada sedikit pun rasa lapar dalam dirinya. Sementara, Arya, suaminya, duduk dengan tenang tanpa peduli ocehan sang mama. Malam ini adalah malam yang selalu dihindari oleh Rina—makan malam di rumah mertua, di bawah tatapan tajam Farida, ibu Arya.

"Jawab Rina! Jangan hanya diam dan menundukkan kepala saja!" Kali ini, Farida kembali menekannya

Rina menelan ludahnya kasar, merasakan tenggorokannya kering. Di sudut matanya, dia bisa melihat Arya hanya diam, tak berniat sedikit pun untuk membela. “Maaf, Ma, aku dan Mas Arya sudah berusaha, tapi mungkin memang belum diberi,” jawab Rina dengan suara pelan, mencoba menjaga nada suaranya agar tetap tenang meskipun hatinya berkecamuk.

Farida tersenyum sinis, penuh ejekan. “Yakin karena belum diberi, atau karena kamu memang nggak mampu aja? Mama yakin kalau kamu itu mandul!” Farida menekankan kata terakhir dengan tajam, membuat hati Rina serasa dihantam puluhan batu. Tuduhan itu bukan pertama kalinya dilontarkan, tapi setiap kali mendengarnya, luka di hati Rina semakin dalam.

Rina mencoba mengatur napas, menahan tangis yang hampir meledak di ujung matanya. “Aku sudah periksa ke dokter, Bu. Dan, dokter bilang tidak ada masalah. Kami hanya perlu bersabar,” jawabnya sambil memandang ke arah Arya, berharap suaminya memberikan sedikit saja dukungan.

Namun Arya tetap diam. Wajahnya dingin, matanya terpaku pada ponsel di tangannya, sibuk dengan hal lain yang tampaknya jauh lebih menarik daripada percakapan ini.

Farida menggelengkan kepalanya. “Dokter? Dokter macam apa? Kamu mungkin cuma cari dokter yang nggak becus! Kalau memang nggak mandul, kenapa sampai sekarang perutmu masih rata?” Farida berdiri dari kursinya, menatap Rina dari atas ke bawah. “Kalau sampai bulan depan kamu belum hamil, Arya akan Mama suruh menikah lagi! Anak adalah hal yang paling penting dalam keluarga kami. Kamu tahu itu, kan?”

Rina terdiam, tangan gemetar di bawah meja. Sakit hati dan ketidakadilan ini terlalu banyak untuk ditahannya. Dia menatap piring di depannya, makanan yang terlihat lezat tetapi tak mampu membuat dirinya merasa lapar. “Aku... aku akan terus berusaha, Bu,” jawab Rina lirih, merasa tak ada pilihan lain selain menundukkan kepala dan menerima perlakuan ini.

Di tengah suasana yang mencekam, salah satu saudara Arya, Sinta, yang duduk di sisi Farida, ikut angkat bicara. “Rina, kamu tahu kan, Arya itu laki-laki yang diinginkan banyak wanita? Kalau kamu tidak bisa memberikan keturunan, jangan salahkan kalau dia mencari kehangatan di tempat lain. Banyak perempuan di luar sana yang mau memberikan Arya apa yang dia butuhkan.”

Rina merasa semakin terpojok. Namun Arya sedikitpun tak peduli padanya. Lelaki itu hanya sibuk berbalas pesan yang Rina sendiri takntahu itu siapa.

Sementara itu, Arya terus sibuk

Setelah makan malam yang penuh ketegangan itu, Rina dan Arya akhirnya pamit pulang. Sepanjang perjalanan di dalam mobil, suasana begitu sunyi. Arya tetap sibuk dengan ponselnya, sesekali tertawa kecil, membuat Rina semakin merasa terasing. Rina hanya bisa menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu—bagaimana semua ini dimulai.

***

Tiga tahun lalu, pernikahan Rina dan Arya terjadi bukan karena cinta. Arya tidak pernah benar-benar mencintainya. Pernikahan itu terjadi karena Andre, ayah Arya yang menjodohkan Rina dengan putranya hanya karena ingin balas budi.

Andre yang kala itu tergeletak di jalan karena kecelakaan dibawa Rina ke rumah sakit, tak hamya itu, Rina juga merawat lelaki itu hingga sadar dari koma. Hal itulah yang membuat Andre kekeh ingin menjadikan Rina menantunya.

Namun, semenjak Andre meninggal, Farida mulai menekan Rina untuk segera memberinya momongan yang sebenarnya, itu hanyalah salah satu triknya agar Rina pergi dengan sendirinya.

Dalam tiga tahun pernikahan, Arya hanya beberapa kali menuntut haknya sebagai suami. Dan setiap kali, melakukan itu tidak pernah ada rasa cinta dan kasih sayang disana. Bahkan Arya selalu meninggalkan Rina setelah hasratnya terpenuhi.

Tak jarang Farida kerap kali menghina Rina hanya karena status sosialnya. Karena Farida menginginkan Arya mendapatkan istri dari keluarga kaya dan terpandang. Bukan wanita miskin seperti Rina.

***

Suara Arya yang menggerutu memecah keheningan di dalam mobil. “Kenapa sih,kamu selalu bikin Mama marah? Kamu tahu kan, dia itu pengen banget punya cucu."

Rina menatap Arya dengan tatapan penuh luka. “Kita kan sudah berusaha, Mas. Dan kenapa juga, Mama selalu menekanku? Yang ada bukannya hamil malah stres."

Arya mendengus. “Ya, kalau memang kamu nggak mandul, kenapa sampai sekarang kamu belum hamil? Banyak teman-temanku yang baru nikah sebentar udah langsung hamil. Jangan-jangan, apa yang dikatakan Mama memang benar.”

Kata-kata itu menusuk hati Rina seperti pisau. Matanya memanas, tapi dia menahan air mata yang hendak tumpah. “Aku sudah berusaha, Mas. Bahkan aku sudah pergi ke dokter. Tapi mungkin Tuhan belum mengizinkan kita punya anak,” ucap Rina dengan suara bergetar.

Arya hanya mendengus kesal. “Ya sudah, kalau gitu kita tunggu saja. Tapi jangan salahkan kalau Mama mengambil sikap.”

Rina terdiam, memilih menatap ke luar jendela daripada melanjutkan percakapan yang hanya akan memperburuk suasana. Dia merasa begitu lelah, tidak hanya fisik, tapi juga emosional. Pernikahan ini telah menguras seluruh energinya. Rina tahu, jika situasi terus seperti ini, akan sulit baginya untuk bertahan.

***

Sesampainya di rumah, Arya langsung menuju kamar mandi tanpa berkata apa-apa. Rina duduk sendirian di ruang tamu, menatap ponsel Arya yang tergeletak di atas meja. Hatinya bimbang, rasa curiga yang sudah lama dia pendam kini semakin menguat. Dengan tangan bergetar, dia membuka ponsel itu dan menemukan satu pesan baru dari seseorang berinisial ‘M.’

“Kita perlu bicara. Kita harus bertemu secepatnya.”

Jantung Rina berdetak cepat. Pesan dari ‘M’ itu sudah sering dia lihat. Bukan pertama kalinya dia menemukannya, tapi kali ini, firasat buruknya terlalu kuat. Dia menatap pintu kamar mandi, memastikan Arya masih di dalam. Dengan cepat, Rina menggeser beberapa pesan lainnya, menemukan lebih banyak pesan dari ‘M,’ semuanya penuh dengan janji pertemuan.

Arya keluar dari kamar mandi dengan wajah santai. Melihat Rina yang masih terdiam di ruang tamu, Arya berkata, “Daripada kamu bengong di situ, mending tidur duluan. Aku masih ada kerjaan.” Dia meraih ponselnya dari meja dan membaca pesan dari ‘M,’ senyum tipis terukir di wajahnya.

Rina menahan napas, dada terasa sesak. Siapa sebenarnya ‘M’? Dan kenapa Arya selalu tersenyum setiap kali membaca pesan dari orang itu?

Rasa curiga memenuhi relung hatinya. Dan Rina bertekad akan menyelidiki masalah ini.

“Kalau sampai kamu mengkhianatiku, Mas,” bisik Rina dalam hati, “kamu akan tahu siapa aku sebenarnya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status