Bertemu Wita (2)Setelah mengambil baju di butik Kak Dina, aku melajukan mobil lagi ke arah pusat perbelanjaan terbesar di kotaku. Ibu langsung memilih wahana bermain anak yang pasti langsung disambut baik anak-anakku. Hampir dua jam kami di sana, Anak-anak sudah keliatan puas dan mengeluh sudah lapar. Aku mengajak mereka ke food court yang terletak di lantai paling atas. Sengaja kupilih menggunakn lift agar ibu tak terlalu lelah. "Pulangnya mampir ke lantai tiga ya. Lipstik punya Ibu habis." Aku mengangguk mendengar permintaan ibu mertua. Pilihan kami di food court adalah gerai makanan Jepang. Setelah waitress menyodorkan menu, aku menawarkan beberapa makanan untuk anak-anak. Pilihan jatuh pada tempura untuk ketiga anakku. Aku dan ibu mertua sendiri memilih mie ramen yang sudah kubayangkan kelezatan kuahnya."Ibu?" seru seorang wanita dari meja yang terletak tepat di sebelah kami. Ibu terlihat kaget mendapati wanita cantik dengan setelan kerja dan blazer warna hitam tersenyum di
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir (86) Cinta Ibu Mertua 1Aku sudah mematut diri di depan cermin kamarku. Baju brukat warna toska yang ibu mertuaku pesankan dari butik Kak Dina nampak cocok di tubuhku. Mas Rafli berkali-kali memujiku. Dia berkata warna baju yang kukenakan sangat cocok dengan kulitku. "Cantik sekali istriku… ," ucapnya sambil memelukku dari belakang. Bahkan dia menenggelamkan kepalanya di pundakku. Kuusap pipinya yang sedikit kasar karena tumbuhnya jambang di sana. "Mas. Jangan mendekatiku kalau jambangmu masih begini, ya. Aku tak suka." Mas Rafli terkekeh melihat ekspresiku. "Kenapa? Bukannya wanita akan sangat tergoda saat lelakinya dalam fase tumbuh jambang seperti ini?" Dia menggelitiki pinggangku hingga aku berbalik menatap ke arahnya. Kulihat senyumnya yang sangat menawan tersungging di depanku. Luar biasa sekali ciptaan Tuhan yang satu ini! " Pokoknya jangan, Mas. Aku geli," ucapku jujur. Mas Rafli mencubit cuping hidungku hingga aku mengaduh. Meski tak
Cinta Ibu Mertua 2"Ibu tahu, Rafli tak akan membiarkan istri secantik dirimu bebas dari hadapannya dengan mudah. Sudah mandi 'kan?" Apa? Kenapa dia menyangka hingga sejauh itu? Kulihat wajah cantik Wita tersenyum dengan terpaksa. Bahkan rautnya kini berubah pias. "Ah sudahlah. Yang penting kamu sudah datang. Jadi Wita… mohon maaf, Ibu harus pergi dengan Vinda. Karena menantu Ibu ini sudah datang menjemput." Ibu menatap Wita dengan tatapan penyesalan. Wita mengangguk paham. Seketika dia terlihat kecewa. Apakah dia tadinya berniat mengantar ibu mertuaku? Wah. Dia berusaha mengambil peran yang seharusnya menjadi bagianku. "Nggak papa, Bu. Kita ketemu di sana saja," ucap Wita. Aku menatap ibu dengan bingung. Apakah artinya Wita termasuk bagian dalam arisan yang akan ibu datangi kali ini? " Jadi Wita ini dapat undangan dari Farah, dia anak yang ketempatan arisan kali ini. Kamu nggak masalah 'kan Vin? Kalau kamu keberatan Ibu bisa batal ke arisan itu. Tak masalah," ucap ibu tanpa ragu
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (88) Tak Kubiarkan Suasana arisan kalangan atas memang beda. Hidangan yang tersaji bahkan lebih layak dikatakan hidangan pesta. Ibu mertuaku menuntunku di tengah-tengah kenalannya. Beberapa orang menyipit menyaksikan tingkah ibu mertuaku. Bahkan ada yang bisik-bisik di belakang menyaksikan hal yang menurut mereka terlihat ganjil. "Mbak Pur, itu siapa yang digandeng?" tanya wanita yang berbadan gempal dengan balutan kain satin warna mint. Bibirnya yang merona merah membuatnya terkesan sedikit galak. Tatapannya memindaiku dari atas ke bawah tanpa berkedip. "Oh… perkenalkan. Ini menantu saya. Namanya Vinda. Rafli menikahinya beberapa bulan yang lalu." Ibu mertua berucap dengan nada riang di depan teman-temannya. Aku sedikit kikuk, namun kupaksakan tersenyum. "Cantik. Masih gadis?" tanya seseorang lagi. Aku menghentikan senyumanku, kemudian beralih menatap ibu. "Bukan. Dia sudah punya tiga orang anak. Hebat sekali bukan? Aku langsung punya cucu
"Tentu saja. Aku mengenal Mas Rafli sejak lama. Mas Rafli sudah menungguku sejak aku duduk di bangku SMA. Saat itu dia sudah kuliah di semester akhir. Bahkan dia rela menungguku lama hingga aku lulus kuliah dan mengejar karirku. Banyak yang bilang kami pasangan serasi. Semua orang iri dengan kebahagiaan kami." "Hebat sekali. Nyatanya semua harus berakhir," ucapku dengan senyum yang kupaksa. "Ya… kalau diingat-ingat aku menyesal menempuh jalan perceraian dengan Mas Rafli. Padahal hanya persoalan kecil saja yang menerpa kehidupan kami.""Maksudmu … keenggananmu memiliki anak itu adalah hal kecil ?" tanyaku yang membuatnya sedikit terhenyak. Dia terlihat salah tingkah dengan pertanyaanku. " Kau tahu persoalan itu?" tanyanya dengan raut wajah memerah. Kini tak terlihat lagi senyumnya yang mengembang seperti tadi. "Tahu sekali. Bahkan Mas Rafli dan ibu, mereka berdua menjelaskan segala hal berhubungan denganmu. Termasuk diam-diam meminum pil KB agar tak memiliki anak. Tadinya Mas Rafli
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (90) Benarkah Ini Karma? (1)Sesuai hasil rundingan aku dan Mas Rafli, kami memutuskan untuk pindah rumah menempati rumah Mas Rafli yang terletak di pusat perkotaan. Tentu saja sebelumnya aku meminta izin pada ayah dan ibu mengenai rencana ini. Dengan hati-hati kami menyampaikan kepindahan kami pada ayah dan ibu. Beruntungnya, mereka berdua memahami kondisi ini. Hanya saja tetap ada ketidakrelaan terpancar di wajah mereka saat harus berpisah dari cucu-cucunya. "Usahan setiap Minggu main, Vin. Ayah dan Ibu juga tak keberatan kalau harus menjemput anak-anak ke rumah kalian nantinya. Kami paham dengan kesibukan kalian." Ayah berucap sambil membantuku membereskan barang-barang kami. "Mainan tak perlu di bawa semua, bawa saja boneka lusuh milik Zoya yang ke mana-mana selalu dibawanya. Yang lain ditinggal, biar dia punya mainan saat ke rumah ini," ucap ayah yang kubalas dengan anggukan. "Vin. Zayn dan Ziyan siapa yang akan mengantar jemput mereka?"
Benarkah Karma ? (2)Kulihat dari gesture tubuhnya, mantan ibu mertuaku terlibat cekcok dengan selingkuhan anaknya. Eh… Selingkuhan? Atau sekarang sudah naik jabatan menjadi istri? Wanita muda itu terlihat mengusap perutnya yang sedikit membuncit. Benar, ternyata dia tengah hamil. Lama juga aku tak mendengar kabar keluarga itu. Setelah kabar penjemputan paksa Mas Galih ke kantor polisi, aku tak mendengar apapun lagi. Rasanya malas saja memenuhi otakku dengan kasus yang mereka hadapi saat ini. Kuamati lagi pemandangan di depanku. Bu Mirna mengambil paksa sebuah ember yang tengah dibawa Mita. Dengan kasar wanita setengah baya itu melemparnya ke halaman ruko yang mereka tempati. Aku tersentak, terlebih melihat ikan-ikan lucu itu menggelepar di atas aspal panas jalanan depan ruko. Tidak hanya itu, Bu Mirna bahkan mencengkeram lengan Mita hingga dia terlihat kesakitan. Gegas aku turun, tak ingin hal-hal buruk terjadi lagi pada Mita. Semata-mata kulakukan karena rasa empatiku untuk sesam
Gangguan dari Wita 1Aku masuk ke dalam mobil setelah berjalan cepat meninggalkan Bu Mirna dan menantunya. Meski tetap menghadapi cemoohannya, paling tidak aku mengingatkannya untuk tidak berbuat kasar pada Mita. Bagaimana mungkin dia setega itu berbuat kasar hanya karena kehilangan Soraya yang jelas-jelas tak mampu memberikannya cucu? Dan mengenai Mas Galih yang harus kehilangan pekerjaan yang selalu dibanggakannya, memang begitulah seharusnya dari dulu. Hanya saja aku tetap saja khawatir, bagaimana jika kelak anak-anakku tahu mengenai ayahnya yang seorang narapidana? Tak lama, Mas Rafli terlihat berjalan ke arah mobil dari arah lain. Sesaat setelah dia masuk, dia menatapku cukup lama. "Lain kali tak perlu menemui wanita itu lagi. Aku tak suka kamu dibentak-bentak seperti tadi," ucapnya dengan sorot mata serius. "Jangan buang-buang waktu lagi mengurusi kehidupan mereka," lanjutnya sambil menjalankan mobilnya. Aku menatap ke arah ruko yang disewa mantan suamiku itu. Di sana nampak