Kemana? Aku membaca pesan di ponselku saat berada di samping Pak Rafli yang sedang menyetir mobil. Hari ini aku menuruti ajakannya, mengukur baju di butik langganan keluarganya. Tadinya Zoya akan kuajak, hanya saja ibu melarang. Dia beralasan khawatir Zoya akan kelelahan. Pak Rafli memberi pilihan lain, dia akan meminta pegawai di butik tersebut untuk ke rumahku dan mengukur baju untuk anak-anak dan orang tuaku. Aku tak mampu menolak. Semua itu sudah diatur dengan sangat detail oleh keluarganya. [ Vinda. Aku tidak ikhlas ketiga anakku akan punya ayah sambung]Aku memicingkan mata membaca pesan dari mantan suamiku. Apa urusannya dengan laki-laki itu? [ Maaf, Mas. Bukan urusanmu lagi ][ Benar kata orang tuaku. Lebih baik memperbaiki ikatan yang sudah rusak, daripada memulai hubungan dengan seseorang yang baru. Kumohon, pertimbangkna perasaan anak-anak. Mereka akan sakit melihat ayahnya digantikan oleh posisi orang asing ] [ Begitulah yang mereka rasakan, ketika ibunya digantikan
Aku memijit dahiku dengan keras. "Hallo, maaf. Vinda tertidur di dalam mobil. Kami sedang dalam perjalanan ke butik untuk mengukur baju pengantin yang akan kami gunakan untuk akad minggu depan. Jika Anda berkenan, silahkan datang. Lalu pastikan, apakah anak-anak terluka punya ayah baru atau tidak." Pak Rafli menjeda kalimatnya. Aku melihat alisnya yang tebal naik turun saat menjelaskan kalimat demi kalimat untuk menyadarkan mantan suamiku dari khayalannya. "Dan satu lagi. Anda bilang punya kios ikan hias di Mekarjati? Kalau boleh saya tahu, blok A atau B? Ehmm… pengelolaanya kalau tidak salah kuserahkan pada Pak Anwar ya? Maaf, saya sedikit lupa. Kalau Anda berkenan lagi, sampaikan pada Pak Anwar. Pemilik ruko di kawasan Mekarjati itu akan melangsungkan pernikahannya minggu depan. Kalau bisa datanglah ke rumah mempelai wanitanya. Akan saya kirimkan alamat pastinya," ucap Pak Rafli dengan mimik wajah serius. Suasana hening beberapa saat, hingga Mas Galih memutuskan sambungan telepo
Sah (1)Baju kebaya rancangan butik pilihan Pak Rafli membalut tubuhku dengan pas. Sudah kuminta dari awal, aku tetap mengenakan pasmina saat akad nikah nanti. Pak Rafli setuju dengan permintaanku. Tadinya sang desainer memilihkan rancangannya yang dianggap cocok dengan tubuhku. Model kebaya yang terlihat mewah dengan detail bebatuan di bagian leher yang sekilas nampak seperti kalung. Aku belum mengiyakan model pilihan tersebut. Rasanya sedikit risih membayangkan bagian dadaku tak tertutup kain. Entah kebetulan atau memang Pak Rafli tahu gelagatku yang kurang cocok, dia langsung menolak model kebaya tersebut. "Ganti, Kak Dina. Jangan yang itu. Bagian dadanya terlalu tereskpose meski Vinda tetap berkerudung. Aku ingin kebaya modern dengan bagian dada tetap tertutup." Aku melihat mimik wajahnya yang serius saat menyampaikan permintaannya pada Kak Dina, desainer yang juga pemilik butik tersebut. Kak Dina mengangguk tersenyum, dia menyanggupi permintaan Pak Rafli. Dan seperti inilah s
Sah (2)Aku mencium tangan Pak Rafli dengan takzim sesaat setelah dia mengucapkan ijab kabul di depan ayahku. Rasa haru menyeruak saat melihat ayah dengan berlinangan air mata menyerahkan putrinya pada laki-laki yang bisa dibilang asing dalam kehidupannya. Pak Rafli mencium keningku dengan lembut. Kutahan agar tak meneteskan air mata. Aku malu sekali jika dia memelukku di depan banyak orang. Dan kulihat anak-anakku, mereka menyalami ayah baru mereka dengan senyum yang sulit kugambarkan. Apalagi saat Zoya memaksa berada di gendongan Pak Rafli. Tanpa merasa enggan, suamiku itu menggendong Zoya dan mencium pucuk kepala anakku. Aku terharu, mudah-mudahan dia benar-benar menerima anak-anakku sepenuh hati. Karena memang di rumah ini hanya akan digelar akad saja, jadi tamu yang hadir memang benar-benar keluarga dekat keluarga kami berdua. Rencana untuk mengadakan resepsi sesuai keinginan ibu mertuaku akan kami bicarakan lagi nanti. "Vinda… Terima kasih banyak, Sayang… kamu membawa kebaha
Awal Bersama (1)Kedatangan beberapa keluarga dekatku ke rumah membuatku tertahan di ruang tamu hingga lepas isya. Aku hanya istirahat untuk sholat maghrib dan isya. Beberapa kali aku beradu pandang dengan Pak Rafli, rasanya aku masih tak percaya dengan keberadaan laki-laki itu di rumahku sebagai seorang suami. Rasanya aneh mendatangi tempat peraduanku yang kini sah kuhuni bersama dengan Pak Rafli. Ibu sudah memberi isyarat padaku bahwa Zoya akan tidur dengannya. Itu yang justru membuatku teramat ragu masuk ke dalam kamar. Kubuka pintu kamar, Pak Rafli tengah memegang ponselnya. Nampaknya dia tak menyadari kedatanganku. Aku masuk ke kamar mandi, kubasuh wajahku dan berkali-kali menatap wajahku di cermin. Astaga. Aku sudah seperti ABG yang hendak bertemu dengan kekasihnya. Lucu sekali aku melihat kondisi wajahku saat ini. Rasanya sulit sekali menghapus rasa gugupku dari sana. Kutekan dadaku perlahan, mencoba menetralkan debaran jantung yang luar biasa menggila. Aku memutar kenop pin
Awal Bersama (2)"Suatu ketika, saat mobilku melintas di jalanan dekat pasar, aku melihat seorang perempuan dengan menaiki motor maticnya. Motornya itu penuh dengan barang belanjaan. Kanan, kiri dan depannya penuh. Yang membuatku tak habis pikir lagi, dia membawa satu anaknya. Dia mendudukkan anaknya di atas belanjaannya itu. Aku kagum sekali. Beberapa kali aku melihatnya. Hingga suatu ketika, aku melihat perempuan itu berada di restoran ini." Aku menunggu suamiku melanjutkan kalimatnya. Kudengar dia menarik napasnya cukup dalam. "Aku terkesan sekali dengan perempuan itu. Hingga kutahu statusmu seorang single parents, aku yakin satu hal. Aku makin jatuh cinta padamu. Aku jatuh cinta pada tekadmu. Aku jatuh cinta dengan caramu menjaga diri. Aku jatuh cinta dengan caramu mempertahankan anak-anak dari mantan suamimu. Kamu bisa lembut, tetapi kamu bisa sekuat itu berhadapan dengan para penyerangmu. Aku terkesan sekali denganmu. Dan sepertinya semesta berpihak padaku. Kulihat Mbak Fatma
Awal bersama (3)"Tidurlah. Aktivitasmu sangat melelahkan hari ini. Aku tak ingin kamu makin kelelahan." Mas Rafli memelukku kemudian menjadikan lengannya sebagai bantal kepalaku. Dia mencium keningku cukup lama. Kemudian matanya terpejam. Aku makin penasaran dengan isi ponselnya. Pasti ada sesuatu yang menganggunya. Sebelum aku keluar tadi, tak ada hal aneh seperti yang sekarang terjadi. "Jangan menatapku seperti itu." Kalimatnya membuatku tersentak. Aku yang memang sedang menelisik tiap inci sebentuk wajah yang rupawan itu refleks memejamkan mata dan menenggelamkan wajahku merapat ke pelukannya. "Mas. Bisakah kamu menceritakan isi ponselmu? Apakah ada yang mengganggumu?" Mas Rafli menatapku lekat. Tangannya meraih tanganku dan mengusapnya penuh kelembutan. "Tidurlah. Aku tak ingin membuatmu tersakiti setelah melihat pesan itu." Feelingku makin kuat. Aku rasa seseorang sudah menganggu perasaannya malam ini. Mas Rafli mengeratkan pelukannya yang justru membuatku makin memberontak p
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir (75) Keributan di MinimarketAku menggeliat saat kudengar alarm dari ponsel yang biasa kusetel jam tiga pagi. Saat aku hendak beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, kulihat tangan Mas Rafli melingkar erat di pinggangku. Bahkan napasnya terasa hangat menerpa punggungku. Entah sejak kapan posisi tidurnya seperti ini. Aku mengusap lembut lengan laki-laki yang bergelar suamiku itu. Kurasakan tubuhnya bergerak dan makin mengeratkan pelukannya hingga membuatku sulit bernapas. "Mas, bangun… ." Aku berhasil melepaskan lilitan tangannya di perutku. Kutelusuri wajah di depanku. Berkali-kali aku harus meyakinkan diri, laki-laki ini memang benar suamiku sekarang. Entah keberanian dari mana, aku menyentuh hidungnya yang terbentuk sempurna. "Jam berapa, Sayang?" tanyanya yang otomatis membuat jari telunjukku buru-buru kutarik. "Jam tiga, Mas. Kita harus membersihkan diri untuk sholat tahajud. Bukankah terlalu banyak hal yang harus kita syukuri?"
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa