Tak ada pilihan lain. Dewa merasa harus menebus kesalahannya dengan meluncur ke alamat Mona. Saat kencan di restoran dulu, wanita itu pernah memberikan alamatnya. Kemacetan di jam sore, membuat perjalanan memakan waktu hampir satu jam sampai di rumah bos besarnya yang berada di komplek perumahan elit di kota ini.Begitu sampai di depan sebuah rumah dengan pagar tinggi menjulang, satpam langsung membukakan pagar besi. Dewa pun melaju lurus memarkirkan motornya di garasi yang luas. Satpam tergopoh-gopoh berlari ke arahnya. "Tuan Dewa, nona Mona ada di lantai atas. Silakan masuk melalui pintu utama," pandu lelaki tua itu yang berperawakan sedang."Terima kasih, Pak."Melewati taman yang indah dan sangat terawat, satpam itu membuka pintu yang berdaun lebar dan besar. "Silakan, Tuan, lewat tangga itu," tunjuknya ke tangga mewah berlapis karpet tebal.Dewa mengangguk. Ia melangkah ke dalam dan perlahan naik ke anak tangga. Matanya menatap berkeliling, tak berkedip melihat keindahan dan kem
Mona beranjak dari sofa mendekat ke arah Dewa yang tergeletak lemas. Senyumnya mengembang."Sebentar lagi obatnya akan bekerja maksimal. Kau akan sangat membutuhkanku, Sayang," bisiknya sambil membuka kancing kemeja lelaki yang sudah ia nantikan sejak semalam. Obat bereaksi. Tiba-tiba Dewa merasakan seluruh tubuhnya sangat panas. Perlahan matanya terbuka perlahan. Di depannya nampak bayang istrinya, Wina. Sangat cantik dan menggoda. Tanpa sadar ia menarik tubuh itu dan hanyut dalam permainan panas.***Sudah jam delapan malam, Wina gelisah bukan main. Sudah berpuluh kali menelepon suaminya, tapi ponselnya tak aktif. Bahkan, pesan yang dikirimkan dari selepas Magrib belum dibalas sama sekali."Ke mana Dewa? Semoga nggak ada apa-apa di jalan," resah Wina berjalan bolak-balik di depan lemari. Ia tak berani keluar kamar, walau kunci ada di atas nakas. Ia pun tahu, Dewa yang meletakkan kunci itu karena khawatir akan perilaku ibunya saat ditinggal kerja.Dalam hati, Wina begitu bahagia den
Wina langsung menghambur memeluk suaminya. Dewa yang sedang tertidur pulas, terkejut."Sayang, semalam dari mana saja? Aku khawatir sekali!" cecar Wina sambil mengusap wajah suaminya.Senyum tersungging di bibir Dewa. Ia membalas pelukan Wina meski matanya masih berat. "Aku tadi malam ada rapat mendadak. Maaf tak sempat memberi kabar padamu. Bateraiku habis," kilahnya dengan suara serak.“Apakah jadwal rapat tidak diinformasikan dulu sebelumnya?” tanya Wina heran.“Aku sebagai bawahan hanya mampu menjalankan perintah saja, Win,” jawab Dewa menahan rasa sesak mengingat kejadian semalam. Ia sudah dijebak Mona."Ayo salat dulu, setelah itu sarapan,” ajak Wina beringsut turun dari kasur.Dewa bangun perlahan. Ia masih merasakan kepalanya begitu berat. "Rasanya hari ini aku tak masuk kerja dulu, kepalaku pusing," keluhnya. Lebih tepatnya, dirinya enggan bertemu dengan Mona.Wina menengok ke arah suaminya. Telapak tangan ditempelkan di kening. "Iya, badanmu hangat. Mungkin capek."“Ayo kita
Mendengar suara yang terdengar nyaman di telinga, membuat Wina mendongak. Terlihat raut muka lelaki bernama Sagara sangat rupawan dengan model rambut yang serasi. Badannya pun lebih gagah dari Dewa.Wina langsung mengucap istighfar dalam hati, merutuki dirinya sendiri, 'Bisa-bisanya aku membandingkan suamiku dengan lelaki lain!'“Usia berapa kamu, Nak?” tanya Wulan pada putra Herman."Tahun ini 26, Tante.""Wah, sama dong. Bedanya aku sudah punya anak. Ini!" sahut Ria sambil menyomot pipi Asya yang chubby. Semua tertawa. Asya langsung menepuk pipinya, tak rela ditarik mamanya."Oya, Nak Sagara. Bapak ingin memperkenalkanmu dengan putriku. Wina, sini, Nak," panggil Fahri.Mau tak mau Wina bangkit dan mendekat ke sisi kasur Fahri.“Nak, kenalkan ini Sagara, putra pak Herman, sahabat ayah,” ucap Fahri tersenyum ke putrinya.Wina melihat ke arah Sagara. Begitu pun Sagara. Wajah perempuan di hadapannya sudah mengalihkan perhatiannya sejak tadi.Tangan Wina terulur, "Wina Santika. Panggil a
Wina menoleh. Ucapan pria itu begitu mengejutkan. "Apa maksudmu?" desisnya."Kau tak perlu tahu. Aku paham situasimu sekarang," ucap Sagara, lalu melenggang pergi begitu saja meninggalkan Wina seorang diri di taman.Memandang langkah lelaki itu semakin menjauh, belum membuat Wina sepenuhnya tersadar. Embusan anginlah yang membuatnya mengedipkan mata lalu tersadar jika Sagara sudah menghilang dari pandangan. "Sagara, tunggu!"Wina melangkah cepat kembali ke kamar Fahri, sampai-sampai tak ingat dirinya sedang hamil. Rasa khawatir menguasainya bilamana Sagara memberitahu ayahnya akan apa yang sudah ia katakan tadi. 'Tidak mungkin Sagara bilang ke ayah. Jangan sampai ia melakukannya!'Ia merasa salah, terlalu terbuka pada orang baru. Harusnya ia mengenal sifat Sagara lebih dulu. Begitu sampai di kamar Fahri, Wina membuka pintu dengan tergesa. Semua orang di dalam kamar sampai menoleh ke arahnya, tak terkecuali Sagara."Ada apa sih, Win?" tanya Ria heran."Oh, kamu cari Sagara. Jangan khaw
"Tak percaya bagaimana, Bu? Sungguh, saya tak mengerti," jawab Wina bingung."Halah, pura-pura tak tau." Lestari mengibaskan tangan. "Karena kehilangan kau pagi tadi, Dewa menuduhku yang tidak-tidak. Dia mengira aku yang menyuruhmu keluar belanja dan sebagainya. Kau pikir kau ini siapa?" berangnya sambil menunjuk muka menantunya.Wina jadi paham situasi rumah, sejak dirinya keluar ke rumah sakit tadi pagi. Pantas saja, Dewa begitu marah di telepon. Ia tak mengira tindakannya bisa berakibat fatal seperti ini. "Maafkan Wina, Bu. Saya salah tidak pamit pada Ibu. Lain kali saya janji tak akan mengulanginya lagi.""Enak sekali ya tinggal minta maaf. Kau harus menebus tindakanmu ini!" Lestari masih sangat kesal karena pagi tadi Dewa sampai membentak dan tak percaya padanya gara-gara ulah Wina.Wina menahan napas. Tak menyangka ibu mertuanya begitu marah. Bahkan mata beliau sampai melotot kemerahan seakan hendak melumat dirinya. Tak dapat dibayangkan, apa yang harus ia tebus untuk meredakan
Mona terkejut dengan usul yang dilontarkan Dewa. Karena dari dulu hanya Ratih yang mampu melobi para investor dan hasilnya memuaskan. Tapi Dewa? Apakah ia bisa? Mona harus mempertimbangkan masak-masak usul kekasihnya itu karena berkenaan dengan kepentingan perusahaan."Kau ragu padaku, Mon?" tanya Dewa penasaran karena heningnya pembicaraan mereka berdua."Bukan begitu. Tapi klien besok tidak bisa dianggap remeh dan juga--""Itu tandanya kau tak percaya denganku," potong Dewa merasa tersinggung."Bukan begitu, Dewa. Aku harap kau mengerti apa maksudku." Mona khawatir dengan suara di seberang telepon yang mulai terdengar emosi."Kau ragu kalau aku mampu?" Dewa menahan emosi.Mona mengembuskan napas panjang. Saat ini ia harus memutuskan sesuatu yang penting bagi kelanjutan perusahaannya. Berpikir tepat itulah yang harus dilakukan sekarang. "Baiklah. Kuberi kau kesempatan. Tapi ingat, buat aku puas dengan pencapaianmu."Dewa langsung tersenyum lebar, tak menyangka akhirnya keinginannya t
"Win, gimana perutmu? Masih mual?" tanya Dewa di pintu kamar mandi sambil memijat bahu istrinya.“Entahlah, dari dalam perut rasanya masih mau keluar,” sahut Wina sambil menahan hidungnya yang terasa perih.Dewa berusaha mencari cara agar bisa segera berangkat kerja. Tak mungkin menunggui Wina yang tak pasti kapan mualnya akan berakhir."Win, aku sudah ada janji dengan klien. Jika aku berangkat sekarang, bagaimana?" pinta Dewa mengusap halus punggung istrinya. Berharap lawan bicaranya bisa memahami.Wina menghela napas. Mau tak mau ia harus mengizinkan suaminya berangkat. Apalagi mendengar kata klien, ingatannya langsung meloncat ke kenangan saat terakhir dipecat oleh bosnya. Benar-benar pengalaman yang buruk. Tanpa menoleh pada Dewa, ia mengangguk perlahan, mengiyakan permintaan suaminya.Dewa tersenyum cerah. Ia mencium ujung rambut Wina dari belakang. "Jaga dirimu baik-baik." Terdengar suara pintu kamar ditutup. Suasana kamar terasa hening. Wina merasakan kembali sendiri dan asing