Mendengar suara yang terdengar nyaman di telinga, membuat Wina mendongak. Terlihat raut muka lelaki bernama Sagara sangat rupawan dengan model rambut yang serasi. Badannya pun lebih gagah dari Dewa.Wina langsung mengucap istighfar dalam hati, merutuki dirinya sendiri, 'Bisa-bisanya aku membandingkan suamiku dengan lelaki lain!'“Usia berapa kamu, Nak?” tanya Wulan pada putra Herman."Tahun ini 26, Tante.""Wah, sama dong. Bedanya aku sudah punya anak. Ini!" sahut Ria sambil menyomot pipi Asya yang chubby. Semua tertawa. Asya langsung menepuk pipinya, tak rela ditarik mamanya."Oya, Nak Sagara. Bapak ingin memperkenalkanmu dengan putriku. Wina, sini, Nak," panggil Fahri.Mau tak mau Wina bangkit dan mendekat ke sisi kasur Fahri.“Nak, kenalkan ini Sagara, putra pak Herman, sahabat ayah,” ucap Fahri tersenyum ke putrinya.Wina melihat ke arah Sagara. Begitu pun Sagara. Wajah perempuan di hadapannya sudah mengalihkan perhatiannya sejak tadi.Tangan Wina terulur, "Wina Santika. Panggil a
Wina menoleh. Ucapan pria itu begitu mengejutkan. "Apa maksudmu?" desisnya."Kau tak perlu tahu. Aku paham situasimu sekarang," ucap Sagara, lalu melenggang pergi begitu saja meninggalkan Wina seorang diri di taman.Memandang langkah lelaki itu semakin menjauh, belum membuat Wina sepenuhnya tersadar. Embusan anginlah yang membuatnya mengedipkan mata lalu tersadar jika Sagara sudah menghilang dari pandangan. "Sagara, tunggu!"Wina melangkah cepat kembali ke kamar Fahri, sampai-sampai tak ingat dirinya sedang hamil. Rasa khawatir menguasainya bilamana Sagara memberitahu ayahnya akan apa yang sudah ia katakan tadi. 'Tidak mungkin Sagara bilang ke ayah. Jangan sampai ia melakukannya!'Ia merasa salah, terlalu terbuka pada orang baru. Harusnya ia mengenal sifat Sagara lebih dulu. Begitu sampai di kamar Fahri, Wina membuka pintu dengan tergesa. Semua orang di dalam kamar sampai menoleh ke arahnya, tak terkecuali Sagara."Ada apa sih, Win?" tanya Ria heran."Oh, kamu cari Sagara. Jangan khaw
"Tak percaya bagaimana, Bu? Sungguh, saya tak mengerti," jawab Wina bingung."Halah, pura-pura tak tau." Lestari mengibaskan tangan. "Karena kehilangan kau pagi tadi, Dewa menuduhku yang tidak-tidak. Dia mengira aku yang menyuruhmu keluar belanja dan sebagainya. Kau pikir kau ini siapa?" berangnya sambil menunjuk muka menantunya.Wina jadi paham situasi rumah, sejak dirinya keluar ke rumah sakit tadi pagi. Pantas saja, Dewa begitu marah di telepon. Ia tak mengira tindakannya bisa berakibat fatal seperti ini. "Maafkan Wina, Bu. Saya salah tidak pamit pada Ibu. Lain kali saya janji tak akan mengulanginya lagi.""Enak sekali ya tinggal minta maaf. Kau harus menebus tindakanmu ini!" Lestari masih sangat kesal karena pagi tadi Dewa sampai membentak dan tak percaya padanya gara-gara ulah Wina.Wina menahan napas. Tak menyangka ibu mertuanya begitu marah. Bahkan mata beliau sampai melotot kemerahan seakan hendak melumat dirinya. Tak dapat dibayangkan, apa yang harus ia tebus untuk meredakan
Mona terkejut dengan usul yang dilontarkan Dewa. Karena dari dulu hanya Ratih yang mampu melobi para investor dan hasilnya memuaskan. Tapi Dewa? Apakah ia bisa? Mona harus mempertimbangkan masak-masak usul kekasihnya itu karena berkenaan dengan kepentingan perusahaan."Kau ragu padaku, Mon?" tanya Dewa penasaran karena heningnya pembicaraan mereka berdua."Bukan begitu. Tapi klien besok tidak bisa dianggap remeh dan juga--""Itu tandanya kau tak percaya denganku," potong Dewa merasa tersinggung."Bukan begitu, Dewa. Aku harap kau mengerti apa maksudku." Mona khawatir dengan suara di seberang telepon yang mulai terdengar emosi."Kau ragu kalau aku mampu?" Dewa menahan emosi.Mona mengembuskan napas panjang. Saat ini ia harus memutuskan sesuatu yang penting bagi kelanjutan perusahaannya. Berpikir tepat itulah yang harus dilakukan sekarang. "Baiklah. Kuberi kau kesempatan. Tapi ingat, buat aku puas dengan pencapaianmu."Dewa langsung tersenyum lebar, tak menyangka akhirnya keinginannya t
"Win, gimana perutmu? Masih mual?" tanya Dewa di pintu kamar mandi sambil memijat bahu istrinya.“Entahlah, dari dalam perut rasanya masih mau keluar,” sahut Wina sambil menahan hidungnya yang terasa perih.Dewa berusaha mencari cara agar bisa segera berangkat kerja. Tak mungkin menunggui Wina yang tak pasti kapan mualnya akan berakhir."Win, aku sudah ada janji dengan klien. Jika aku berangkat sekarang, bagaimana?" pinta Dewa mengusap halus punggung istrinya. Berharap lawan bicaranya bisa memahami.Wina menghela napas. Mau tak mau ia harus mengizinkan suaminya berangkat. Apalagi mendengar kata klien, ingatannya langsung meloncat ke kenangan saat terakhir dipecat oleh bosnya. Benar-benar pengalaman yang buruk. Tanpa menoleh pada Dewa, ia mengangguk perlahan, mengiyakan permintaan suaminya.Dewa tersenyum cerah. Ia mencium ujung rambut Wina dari belakang. "Jaga dirimu baik-baik." Terdengar suara pintu kamar ditutup. Suasana kamar terasa hening. Wina merasakan kembali sendiri dan asing
Mona belum menyadari sikapnya yang terlalu bersukacita akan pencapaian lelaki yang dicintainya.Dewa yang jengah dengan tatapan Ratih, membisikkan sesuatu di telinga bos cantiknya itu. "Ada Ratih."Sontak, Mona langsung melepas pelukan dan menoleh gugup ke arah Ratih."Ups, maaf," ucap Mona gugup dan bergegas kembali ke dalam ruangan. Sudut matanya masih menangkap sosok Ratih yang terpana melihat pemandangan tadi.Begitu Mona menutup pintu, yang tersisa hanya kecanggungan di diri Dewa. Ia berpura-pura membetulkan kerah akibat pelukan tadi dan mengibas-ngibaskan kedua tangannya di kemeja, seakan dirinya tak tergoda oleh sikap bosnya."Sepertinya bu Mona terlalu gembira," ucap Dewa datar menatap ke arah Ratih sekilas.Ratih langsung mengubah raut wajahnya. Terlihat percaya akan ucapan Dewa. Jujur, ini kali pertama melihat Nona Besar memeluk lawan jenis. Dan lebih mencengangkan lagi yang dipeluk adalah sekretaris laki-lakinya. Sedikit banyak rumor kedekatan Mona dengan Dewa memang sudah
Semilir angin membuat dedaunan pohon tanjung bergoyang kencang. Mentari yang bergulir ke barat tak kuasa menunjukkan sengatnya. Awan bergumul menyaring cahaya membuat mata bebas memandang bumantara. Gemericik air sungai di bawah jembatan kecil membuat suasana semakin sendu.Dewa berpegangan pada jembatan yang terbuat dari kayu. Matanya menatap langit sambil menghirup udara bebas. Sesekali ia melempar pandangan ke sungai melihat ikan-ikan kecil berenang bebas di sana. Ia tiba di lokasi taman pinggir kota, atas perintah Mona. Taman luas itu berada di tengah villa yang mengelilinginya. Bos cantiknya itu mengajak bertemu. Ia menduga pasti ada hubungannya dengan keberhasilannya melobi investor tadi pagi.Masih terbayang kejadian tadi pagi waktu Mona memeluknya di depan Ratih. Dewa tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia tak habis pikir Mona tak sadar melakukannya. Jika sampai rekan kerja satu ruangnya itu mencurigai mereka berdua, bisa-bisa dirinya jadi bahan perbincangan menarik di peru
Wina yakin indra penciumannya tak salah. Selama hamil, dirinya sangat peka pada aroma apapun yang masuk ke hidung. Wangi ini pernah tercium olehnya. Ya ... ini wangi di kemeja Dewa saat dulu pulang larut malam. Harum yang menempel, masih melekat kuat di ingatannya. Tak salah. Pasti dari orang yang sama."Ayo, kita ke atas," bisik Dewa tersenyum manis.Wina bagai tersihir. Mengangguk dan melangkah naik tangga dengan tangan memegang lengan Dewa. Sampai di kamar, ia hanya berdiri termenung memikirkan wangi yang baru diciumnya. Tiba-tiba, rasa mual timbul. Rupanya jabang bayi tak suka akan wangi itu. Beda dengan wangi parfum milik Dewa yang tak menimbulkan mual sama sekali. Ia langsung meletakkan bungkusan nasi goreng dan bergegas ke kamar mandi.Dewa yang sedang di depan pintu kamar mandi hendak membuka kemeja, langsung menepi begitu Wina masuk ke dalam mengeluarkan asupan yang sudah ditelannya tadi. Makanan yang diberi Sagara keluar semua. Bulir air mata sampai menetes karena desakan ya
"Bagaimana kabarmu, Wina Santika?" Sapaan itu tanpa sadar membuat Wina perlahan bangun dari hamparan rumput. Matanya terpana melihat sosok yang lama tak dijumpainya. Di sudut matanya mulai terbit titik air. Bibirnya mengembang seraya bergetar. "Baik." Wina membalas canggung sapaan itu. "Kamu?""Seperti yang kau lihat. Aku sehat.""Bundaa, ayo kita pulang. Katanya kalau ada tamu, harus duduk di ruang tamu," ucap Kirei dengan cadelnya.Celotehan itu membuat dua insan yang mendengar tersenyum. Bagai mendapat perintah, Wina melangkah lebih dulu, lalu menengok sekilas ke belakang, meminta sosok pria itu untuk mengikutinya."Silakan duduk di dalam," tawar Wina mempersilakan tamu spesialnya begitu sampai di depan teras rumah."Pemandangan di sini sangat indah. Bolehkan aku duduk di bangku teras ini saja?" Sofa empuk di teras menghadap ke halaman yang penuh dengan berbagai macam tanaman bunga dan juga kolam ikan koi. Memberi kesejukan mata bagi siapapun yang memandangnya.Wina hanya bisa
Lima tahun kemudian.“Saya tidak dapat menjalankan rencana ini tanpa persetujuan Nona Besar, Tuan. Menunggu beliau pulang dari Kanada adalah solusi terbaik.” Ratih menghela napas panjang. Sudah berapa kali ia menolak permintaan yang dirasa tak patut dijalankan. Karena ia tahu siapa tuannya sebelum menikahi Nona Besar.“Jadi kamu mau membangkang lagi?!”“Bukan, Tuan. Tapi Nona Besar sudah berpesan berulang kali kalau segala sesuatu harus melalui izin beliau. Saya tak bisa membantahnya.”“Kauuu!” Dewa menutup percakapan di telepon dengan kasar.Sudah berbagai upaya dilakukan agar Ratih menurut padanya, tapi tak sedikit pun celah berpihak padanya. Sejak menikahi atasannya lima tahun lalu, Dewa merasa dirinya berada dalam aturan yang tak pernah sejalan dengan pemikirannya. Momen di mana Mona sering melewatkan waktu di luar negeri untuk menjalankan usaha, sebenarnya merupakan waktu yang apik baginya untuk ikut mengatur cabang lain demi mendapatkan benefit untuk dirinya sendiri. Tapi bagaik
Duduk di tepi pantai di dalam saung bambu beratapkan daun rumbia, menjadi pilihan Sagara makan siang bersama Wina. Menu ikan bakar, udang saus manis, cumi tepung krispi, dan dua buah kelapa muda, menerbitkan selera Wina tanpa bisa dicegah. Sagara sampai tak berkedip melihat kalapnya perempuan yang ngidam itu hampir menghabiskan porsi yang ada."Ga, ayo makan. Keburu abis," ajak Wina sambil terus mengunyah. Sama sekali tak terusik walau jarinya sudah belepotan sambal. Keringat mengalir pelan di keningnya. "Aku sudah kenyang lihat kamu makan," celetuk Sagara memilih minum kelapa muda. Tangannya mengambil tisu dan mengusap lembut kening Wina."Aku pesankan lagi ya menunya?" timpal Wina dengan raut muka bersalah karena sudah begitu kalapnya menghabiskan semua menu.Sagara tertawa renyah. "Nggak usah. Kamu tahu nggak, apa yang membuatku bahagia saat ini?" "Apa?""Anakmu ternyata satu selera sama aku," jawab Sagara, tersenyum lebar.Pipi Wina bersemu merah. Kepalanya menunduk demi mengal
"Apakah tak dipikirkan lagi keputusanmu, Nak?" tanya Fahri untuk kedua kalinya, saat putrinya sedang berkemas di dalam kamar.Wina yang sedang mengemasi baju ke dalam koper, berbalik dan tersenyum ke arah ayahnya. "Seperti yang kuutarakan kemarin, Yah. Aku tak mau nantinya jadi bahan gosip tetangga, yang akhirnya sampai ke telinga Ayah dan Ibu. Kehamilanku sudah masuk trimester dua, aku tak mau mereka menuduhku hamil di luar nikah. Atau bahkan, mengataiku wanita yang dicampakkan suaminya." Dengan berusaha tersenyum, kelihatan sekali bibir Wina menahan untuk tidak menangis. "Selain itu, aku takut omongan mereka nanti berimbas pada perkembangan anakku."Fahri hanya bisa tercenung, tak punya daya untuk mempertahankan putrinya di rumah ini. Apalagi kemarin Wina juga beralasan ingin mengembangkan usaha online-nya dengan mendirikan toko di kota asal mbak Siti, asisten toko Ria yang sudah menjadi anak buah Wina selama ini. Siti bahkan sudah pulang kampung lebih dulu demi mencarikan tempat k
Fahri dan Wulan meraba bahwa apa yang didengarnya tidak salah. Lelaki yang sudah berani menikahi putrinya, ternyata meninggalkan begitu saja demi wanita lain? Sagara sebenarnya sungkan menjelaskan, tapi berusaha keras demi Wina. "Dewa telah menjalin cinta dengan atasannya. Dan Wina telah diusir dari rumah mertuanya.""Astaghfirullah." Tubuh Wulan menghempas ke sandaran kursi. Tak dapat membayangkan kesakitan yang dialami putrinya. Ia lalu memeluk Wina dengan penuh kasih sayang."Keluarga tak tahu diri!" geram Fahri bangkit dari kursinya.Sagara segera bangkit dan memegang pundak Fahri. "Sabar, Paman. Yang lebih penting sekarang adalah menyelamatkan kondisi Wina yang rapuh."Ucapan Sagara berhasil mengendurkan kemarahan Fahri. Tangis pun kini tumpah di wajahnya, merasa tak berdaya sebagai seorang ayah yang harusnya bisa melindungi putrinya. Perlahan ia berjalan ke arah Wina.Melihat ayahnya mendekat, Wina segera menyambut memeluknya. "Maafkan Wina, Ayah!"Fahri mengangguk dan mendekap
Air muka Wina terlihat memohon pada Sagara. Usai mengucapkannya, rasa lara dan kehilangan sosok suami seperti menguap entah ke mana. Masa krisis tersakiti dalam hubungan rumah tangga, seolah perlahan mulai ia lewati.Sagara serius menatap Wina. "Kenapa kau tiba-tiba--""Ga, aku tak mungkin bersedih terus-menerus." Wajah Wina menunduk, lalu ia melanjutkan berkata, "Sebenarnya sudah lama aku tersakiti akan tingkah Dewa. Harusnya aku tersadar sejak awal. Janji dia tidak bisa dipercaya."Kejujuran yang menyakitkan telinga Sagara, membuatnya semakin paham akan derita Wina yang dipendam selama ini. Hatinya tambah menyumpahi lelaki itu. Benar kata Ali. Tak seharusnya ia berusaha mengakurkan hubungan Wina dan Dewa. Tidak ada gunanya. Bahkan akan semakin menyakiti perempuan di hadapannya."Bagaimana dengan rasa cintamu?" Sagara bertanya lagi, meski dalam hati ia merasa bodoh menanyakan hal itu. Tapi setidaknya dia bisa mengantongi perasaan Wina terhadap Dewa."Seharusnya sejak bau parfum wanit
Hangat sinar surya pada dedaunan menerbitkan rasa nyaman mata yang memandangnya. Tetesan embun semakin menipis seiring langit berubah membiru. Kicauan burung di luar jendela kamar memecah keheningan di kamar yang berisi hanya dua orang sejak kemarin.Bibir Sagara melengkung ke atas melihat gerakan beberapa burung yang bertengger di atas dahan di luar jendela. Setidaknya makhluk kecil itu mampu menghibur hati dan pikirannya yang cemas sejak kemarin sore. Di sebelahnya, tubuh Wina masih belum sadarkan diri di atas tempat tidur. Untunglah kemarin ia berhasil menangkap tubuh ringkih itu sebelum jatuh ke lantai. Sejak kejadian itu, Wina beberapa kali mengigau tak jelas diiringi air mata yang mengalir. Karena kondisi itu, matanya tak bisa terpejam sedetik pun dari semalam. Jika kompres di dahi Wina mengering, ia dengan telaten menggantinya.Menurut dokter pribadi yang dipanggil Sagara ke rumah, keadaan Wina masih bisa teratasi. Beban pikiran yang ditanggungnya membuat raga wanita ini tidak
Perkataan Dewa masih terngiang, sangat menyakitkan menghujam jantung. Bahkan Wina berkali meyakinkan dirinya di bawah guyuran hujan, bahwa kejadian barusan bukanlah mimpi. Namun, semakin melangkah menjauh dari rumah, semakin percaya bahwa apa yang dialaminya benar-benar nyata. Ia telah diusir dari rumah itu. Tangisnya luruh bersama air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya. Kedua tangannya memeluk erat tas yang dibawa, mencari kehangatan di derasnya air langit yang menghujam tubuh. Sambil terus berjalan dan terisak, ia tak menduga harus tersisih dari sisi suaminya karena kehadiran seorang wanita yang jauh lebih segalanya darinya. Hatinya masih tak percaya jika ego suaminya telah tega mengalahkan buah hati mereka demi wanita yang baru dikenal. Langkah kakinya tak terasa semakin menjauh dari perumahan tempat tinggal lelaki yang tega menepikannya. Wina belum tahu akan melangkah ke mana. Hanya nama kakaknya yang sanggup diingat. Jika datang ke rumah Ria pun ia harus kuat menanggung malu
"Wina, ambil jemuran! Hujan bentar lagi turun!" teriak Lestari dari lantai bawah.Wina yang masih merapikan tempat tidur langsung menjawab seruan itu, agar ibu mertuanya tidak berteriak kesekian kali. Pandangannya beralih ke jendela. Rupanya di luar, mendung sudah menggantung di langit. Dengan cekatan ia segera merampungkan pekerjaannya dan bergegas turun. Sesampainya di lantai bawah, ia melihat Lestari masih asyik menonton acara televisi, sama sekali tak mempedulikan pekerjaan rumah. Namun, ia tak ambil pusing dan berjalan cepat ke halaman mengambil jemuran seprai serta selimut kepunyaan Lestari dan Diani. Tak lupa, pakaian satu rumah yang tadi dicucinya juga turut diambil dari tali jemuran. Benar saja, begitu jemuran terakhir diangkat, gerimis mulai turun.Wina meletakkan seluruh cucian kering itu di ruang setrika yang ada di sebelah dapur. Tatkala masih melipat seprai, ia mendengar mesin mobil berhenti di luar rumah. Indra pendengarannya yakin bahwa itu bukan suara mobil ayah mertu