Mona terkejut dengan usul yang dilontarkan Dewa. Karena dari dulu hanya Ratih yang mampu melobi para investor dan hasilnya memuaskan. Tapi Dewa? Apakah ia bisa? Mona harus mempertimbangkan masak-masak usul kekasihnya itu karena berkenaan dengan kepentingan perusahaan."Kau ragu padaku, Mon?" tanya Dewa penasaran karena heningnya pembicaraan mereka berdua."Bukan begitu. Tapi klien besok tidak bisa dianggap remeh dan juga--""Itu tandanya kau tak percaya denganku," potong Dewa merasa tersinggung."Bukan begitu, Dewa. Aku harap kau mengerti apa maksudku." Mona khawatir dengan suara di seberang telepon yang mulai terdengar emosi."Kau ragu kalau aku mampu?" Dewa menahan emosi.Mona mengembuskan napas panjang. Saat ini ia harus memutuskan sesuatu yang penting bagi kelanjutan perusahaannya. Berpikir tepat itulah yang harus dilakukan sekarang. "Baiklah. Kuberi kau kesempatan. Tapi ingat, buat aku puas dengan pencapaianmu."Dewa langsung tersenyum lebar, tak menyangka akhirnya keinginannya t
"Win, gimana perutmu? Masih mual?" tanya Dewa di pintu kamar mandi sambil memijat bahu istrinya.“Entahlah, dari dalam perut rasanya masih mau keluar,” sahut Wina sambil menahan hidungnya yang terasa perih.Dewa berusaha mencari cara agar bisa segera berangkat kerja. Tak mungkin menunggui Wina yang tak pasti kapan mualnya akan berakhir."Win, aku sudah ada janji dengan klien. Jika aku berangkat sekarang, bagaimana?" pinta Dewa mengusap halus punggung istrinya. Berharap lawan bicaranya bisa memahami.Wina menghela napas. Mau tak mau ia harus mengizinkan suaminya berangkat. Apalagi mendengar kata klien, ingatannya langsung meloncat ke kenangan saat terakhir dipecat oleh bosnya. Benar-benar pengalaman yang buruk. Tanpa menoleh pada Dewa, ia mengangguk perlahan, mengiyakan permintaan suaminya.Dewa tersenyum cerah. Ia mencium ujung rambut Wina dari belakang. "Jaga dirimu baik-baik." Terdengar suara pintu kamar ditutup. Suasana kamar terasa hening. Wina merasakan kembali sendiri dan asing
Mona belum menyadari sikapnya yang terlalu bersukacita akan pencapaian lelaki yang dicintainya.Dewa yang jengah dengan tatapan Ratih, membisikkan sesuatu di telinga bos cantiknya itu. "Ada Ratih."Sontak, Mona langsung melepas pelukan dan menoleh gugup ke arah Ratih."Ups, maaf," ucap Mona gugup dan bergegas kembali ke dalam ruangan. Sudut matanya masih menangkap sosok Ratih yang terpana melihat pemandangan tadi.Begitu Mona menutup pintu, yang tersisa hanya kecanggungan di diri Dewa. Ia berpura-pura membetulkan kerah akibat pelukan tadi dan mengibas-ngibaskan kedua tangannya di kemeja, seakan dirinya tak tergoda oleh sikap bosnya."Sepertinya bu Mona terlalu gembira," ucap Dewa datar menatap ke arah Ratih sekilas.Ratih langsung mengubah raut wajahnya. Terlihat percaya akan ucapan Dewa. Jujur, ini kali pertama melihat Nona Besar memeluk lawan jenis. Dan lebih mencengangkan lagi yang dipeluk adalah sekretaris laki-lakinya. Sedikit banyak rumor kedekatan Mona dengan Dewa memang sudah
Semilir angin membuat dedaunan pohon tanjung bergoyang kencang. Mentari yang bergulir ke barat tak kuasa menunjukkan sengatnya. Awan bergumul menyaring cahaya membuat mata bebas memandang bumantara. Gemericik air sungai di bawah jembatan kecil membuat suasana semakin sendu.Dewa berpegangan pada jembatan yang terbuat dari kayu. Matanya menatap langit sambil menghirup udara bebas. Sesekali ia melempar pandangan ke sungai melihat ikan-ikan kecil berenang bebas di sana. Ia tiba di lokasi taman pinggir kota, atas perintah Mona. Taman luas itu berada di tengah villa yang mengelilinginya. Bos cantiknya itu mengajak bertemu. Ia menduga pasti ada hubungannya dengan keberhasilannya melobi investor tadi pagi.Masih terbayang kejadian tadi pagi waktu Mona memeluknya di depan Ratih. Dewa tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia tak habis pikir Mona tak sadar melakukannya. Jika sampai rekan kerja satu ruangnya itu mencurigai mereka berdua, bisa-bisa dirinya jadi bahan perbincangan menarik di peru
Wina yakin indra penciumannya tak salah. Selama hamil, dirinya sangat peka pada aroma apapun yang masuk ke hidung. Wangi ini pernah tercium olehnya. Ya ... ini wangi di kemeja Dewa saat dulu pulang larut malam. Harum yang menempel, masih melekat kuat di ingatannya. Tak salah. Pasti dari orang yang sama."Ayo, kita ke atas," bisik Dewa tersenyum manis.Wina bagai tersihir. Mengangguk dan melangkah naik tangga dengan tangan memegang lengan Dewa. Sampai di kamar, ia hanya berdiri termenung memikirkan wangi yang baru diciumnya. Tiba-tiba, rasa mual timbul. Rupanya jabang bayi tak suka akan wangi itu. Beda dengan wangi parfum milik Dewa yang tak menimbulkan mual sama sekali. Ia langsung meletakkan bungkusan nasi goreng dan bergegas ke kamar mandi.Dewa yang sedang di depan pintu kamar mandi hendak membuka kemeja, langsung menepi begitu Wina masuk ke dalam mengeluarkan asupan yang sudah ditelannya tadi. Makanan yang diberi Sagara keluar semua. Bulir air mata sampai menetes karena desakan ya
"Ka-kamu?" Wina menutup mulut, tak percaya dengan kehadiran lelaki yang ada di depan mata."Hai," sapa Sagara tersenyum manis memperlihatkan deretan gigi putih di wajah tampannya."Kenapa bisa ada di sini?" tanya Wina heran."Bisa dong. Kan rumahku tak jauh dari sini," jawab Sagara santai."Hah?!" kejut Wina dengan bibir membulat.Sagara terkekeh kecil. Dirinya merasa beruntung berjumpa dengan wanita yang selalu mengusik hatinya sejak bertemu."Rumahku tak jauh dari perumahan ini. Hanya sepuluh menit. Aku baru tau alamatmu kemarin saat mengirim makanan. Kebetulan sekali ya kita ketemu di sini," kata Sagara enteng."Sagara! Gara-gara ulahmu itu, aku hampir mati berdiri menghadapi mertuaku. Kumohon berhenti mengirimiku makanan," protes Wina dengan wajah memerah.Sagara hampir meledak tawanya melihat wajah Wina yang semakin imut bila marah."Kenapa kau malah menahan tawa seperti itu? Nggak lucu," gerundel Wina."Oke-oke. Mungkin aku tidak akan menghentikan niatku, tapi cukup mengurangi i
Bobby tertawa sinis, tak surut dengan ancaman Dewa. Mereka berdua berdiri saling menatap sengit. Wajah memerah. Rahang mengeras. Embusan napas kasar menambah suasana hati menjadi panas."Jangan suka mengancam orang tua. Apakah kamu tak diajarkan sopan santun oleh orang tuamu?" desis Bobby.Tangan Dewa kontan melayang. Dirinya paling tak suka jika nama orang tuanya disangkutpautkan dengan tindakannya.Bobby berhasil memegang kepalan tangan Dewa. Tapi ia luput jika tangan satu lawannya berhasil menonjok perutnya. Ia pun meringis. Semua orang yang ada di situ langsung melerai memegangi keduanya. Beberapa wanita menjerit ketakutan. Ratih bahkan dihalau pegawai pria lainnya agar jangan mendekat.Bobby tak terima dipukul. Ia mengibaskan tangan orang-orang yang memeganginya. Tangannya berhasil lepas. Dengan gerak cepat, ia mendorong tubuh Dewa hingga tersungkur mengenai meja dan kursi. Sebagian piring dan gelas jatuh pecah berhamburan ke lantai."Bobby, stop!" cegah Ratih. Tapi imbauan itu
Ponsel bergetar sedari tadi di laci kerja. Awalnya Wina mengacuhkan karena disangkanya getar alarm. Tapi, sudah berapa kali getar itu tak juga berhenti. Sudah peraturan di kantor, jika semua ponsel harus dalam mode getar atau silent. Kalau tidak, pasti wajah bosnya berubah jadi monster yang siap melumat siapa saja bawahannya yang tidak mengikuti aturan.Karena kesal, Wina meletakkan pulpen di meja. Mengesampingkan data manual yang harus ia selesaikan siang ini. Dalam hati penasaran kenapa ponselnya tak henti bergetar? Ditariknya laci putih itu. Terjawab sudah. Nama 'Ayah' terpampang di layar ponsel. Wina tak berkedip beberapa saat.'Aneh. Ayah jarang menghubungiku bahkan hampir tidak pernah. Sejauh ini, beliau hanya nimbrung berbicara jika ibu meneleponku.'Wina melihat suasana sekitar. Tampak lengang. Tita disebelahnya masih sibuk menginput data di laptop. “Ta, aku ke kamar mandi sebentar,” kata Wina. Tita menoleh dan melihat Wina menunjuk ponselnya tanda ia mau mengangkat telepo