Bobby tertawa sinis, tak surut dengan ancaman Dewa. Mereka berdua berdiri saling menatap sengit. Wajah memerah. Rahang mengeras. Embusan napas kasar menambah suasana hati menjadi panas."Jangan suka mengancam orang tua. Apakah kamu tak diajarkan sopan santun oleh orang tuamu?" desis Bobby.Tangan Dewa kontan melayang. Dirinya paling tak suka jika nama orang tuanya disangkutpautkan dengan tindakannya.Bobby berhasil memegang kepalan tangan Dewa. Tapi ia luput jika tangan satu lawannya berhasil menonjok perutnya. Ia pun meringis. Semua orang yang ada di situ langsung melerai memegangi keduanya. Beberapa wanita menjerit ketakutan. Ratih bahkan dihalau pegawai pria lainnya agar jangan mendekat.Bobby tak terima dipukul. Ia mengibaskan tangan orang-orang yang memeganginya. Tangannya berhasil lepas. Dengan gerak cepat, ia mendorong tubuh Dewa hingga tersungkur mengenai meja dan kursi. Sebagian piring dan gelas jatuh pecah berhamburan ke lantai."Bobby, stop!" cegah Ratih. Tapi imbauan itu
Dewa meluncur keluar kantor usai menerima surat peringatan. Memasukkan lembar kertas yang tak pernah diinginkan selama bekerja. Baginya ini merupakan pencapaian yang buruk! Dan tragisnya lagi itu gara-gara ulah Bobby. 'Memalukan saja orang tua itu!' batinnya sembari mengendarai motor keluar halaman kantor.Membelah jalanan yang ramai siang hari begini, tak menyurutkan langkahnya meluncur ke rumah Mona. Perintah bosnya dan harapan besar dirinya, berbalut menjadi satu kesatuan erat. Semacam hubungan mutualisme dan tak dapat dihalau oleh siapapun. Begitu sampai di depan rumah mewah, Dewa disambut oleh satpam yang bergegas membuka gerbang besar. Senyum terkembang ke lelaki tua itu lalu lanjut memarkirkan motornya di garasi yang terletak di ujung.Setapak batu andesit membelah rumput hijau, mengantarnya ke bangunan bercat putih. Kali ini, tak perlu diarahkan satpam, Dewa seakan sudah terbiasa melangkah ke dalam. Jejak bau pembersih aroma pinus menandakan lantai marmer baru saja dipel. Kaki
Mematut sekali lagi di depan kaca kafe, Wina hampir tak mengenali dirinya sendiri. Memakai jaket lebar hingga menutup perut. Topi Dad Hat menutupi sebagian dahi, menyisakan pandangan sedikit ke depan. Tak lupa, memakai masker. Penyamaran ini dilakukan untuk bertemu Sagara. Saat keluar rumah, ia beralasan pada ibu mertuanya, kalau ada janji ketemuan dengan teman. Rupanya tak masalah bagi Lestari, asal pulang nanti membawa banyak makanan enak. Ia sudah jengah bersitegang dengan putranya. Seringkali aduannya tentang Wina tak di dengar oleh Dewa. Malahan anak lelakinya yang digadang-gadang itu akhir-akhir ini terlihat acuh. Sekarang ia membiarkan saja menantunya pamit keluar, asal ada ganti rugi akan alasannya itu.Wina sampai di kafe sepuluh menit lebih awal. Ia tak mau membiarkan orang lain menunggu apalagi Sagara meluangkan waktu siang ini di jam istirahat kerja. Pilihannya jatuh ke meja yang berada di ujung. Dari kaca samping, ia bisa melihat aktivitas jalan raya berdebu di siang ter
Wina menggeleng pelan. Tubuhnya tak punya daya. Matanya tak lepas menatap Dewa, hingga suaminya itu tak terlihat lagi. Bibirnya kelu. Sungguh tak menyangka dengan kenyataan pahit yang terlihat di hadapannya."Ayo, kuantar pulang." Sagara membimbing Wina keluar kafe. Jangan sampai pemandangan tadi membuat wanita yang ia sayangi tambah tertekan.Wina membiarkan saja tangannya digandeng Sagara hingga ke tempat parkir. Hatinya sangat sakit membawa ganjalan yang rasanya terlampau besar untuk dicerna. Ia tahu dirinya bergerak tetapi pikirannya tidak bersama langkahnya. Air matanya berlinangan tanpa diminta."Wina?" tegur Sagara pelan, kala melihat tatapan Wina kosong dengan tangis masih menganak sungai.Wina terperanjat, menoleh ke arah Sagara. Baru tersadar air matanya telah membasahi wajah. Ia langsung menghapus dengan ujung jaket."Kalau kau ingin Dewa dapat pelajaran, aku siap menghajarnya sekarang," tegas Sagara dengan rahang mengeras. Matanya mengarah ke tempat di mana suami Wina bers
Tak menyangka Dewa yang dikiranya pamit ke bawah hanya sebentar, ternyata nol besar. Wajah lelaki itu bahkan sangat nyenyak tidur dengan posisi menonton televisi yang masih menyala. Suasana di ruang tengah sangat lengang, sebagian lampu sudah dimatikan. Wina menghela napas panjang, kesabarannya benar-benar diuji. Perlahan ia turun tangga ke bawah. "Dewa? Ayo, tidur di atas," ajaknya sambil menggoyangkan pelan lengan Dewa.Terkejut, Dewa membuka matanya yang kemerahan menatap ke arah istrinya, sambil menggali kesadaran.Terbersit penyesalan di hati Wina membangunkan Dewa yang benar-benar lelap. Tapi lebih menyakitkan lagi mengingat kejadian siang tadi. "Ada apa, Win?" tanya Dewa setelah tahu sosok istrinya yang membangunkan tidurnya.Wina memandang wajah yang belum sepenuhnya sadar. "Tidurlah ke atas. Di sini dingin." Perlahan bangkit dari sofa, Dewa dengan terkantuk melangkah naik tangga. Wina melihat punggung suaminya dengan penuh kecewa. Sepertinya tidak mungkin ia menuntut jawab
"Apa maksudmu?" tanya Mona tak mengerti. Kejadian pagi ini sungguh aneh baginya, karena sekretaris lamanya itu tak mungkin salah dalam membuat laporan. Bahkan, berulang kali Ratih yang mengoreksi Mona jika ada kesalahan. Ia merasakan sesuatu yang mencurigakan.Wajah Dewa langsung berubah serius menatap Mona. "Aku sekretaris keduamu setelah Ratih. Dia sudah banyak pekerjaan. Apalagi Ratih juga seorang ibu yang tentunya sudah lelah dengan pekerjaan rumah, jadi wajar bila tak konsen meladenimu terus-menerus. Maksudku, akan lebih baik jika Ratih mengurus pekerjaanmu di kantor saja dan aku yang selalu mendampingimu saat meeting, seperti yang pernah kau janjikan termasuk membuat laporannya."Mona tercenung, menelaah kembali maksud Dewa. Batinnya mulai membenarkan, memang selama ini beban pekerjaan Ratih lebih banyak daripada job Dewa. Tapi ia lakukan karena wanita paruh baya itu lebih berpengalaman dari sekretaris barunya. Akan tetapi, menilik prestasi Dewa yang pernah menunjukkan hasil mem
Keesokan paginya, Sagara sudah berada di depan gedung bergaya arsitektur modern, yang menjadi salah satu kerajaan bisnis Mona. Profil wanita itu, ia kenali lebih dalam sejak kasusnya bersama Dewa muncul. Lebih tepatnya, muncul diantara dirinya, Wina dan Ali. Sepak terjang Mona dalam dunia usaha patut diacungi jempol. Bahkan dalam komunitas pengusaha, ia pernah mendengar nama wanita itu disebut dengan hasil inovasinya yang gemilang. Turun dari mobil, Sagara memakai kaca mata hitam. Tubuhnya berbalut jas dengan wangi maskulin menguar lembut, melangkah tegas masuk ke lobby. Ia berbicara pada resepsionis kalau sudah punya janji dengan pimpinan mereka. Setelah konfirmasi melalui sambungan telepon yang terhubung dengan sekretaris Mona, wanita muda yang berjaga di meja resepsionis mempersilakan Sagara naik ke lantai atas ke ruangan Mona berada.Sagara melangkah menuju lift khusus yang membawa dirinya ke lantai atas. Dadanya membawa bara sekaligus rasa penasaran mendalam. Misinya bukan hanya
Tangan Mona yang sedari tadi memegang ujung sofa berhasil menyelamatkannya dari ketidaksadaran sekilas yang menerpa. Badannya langsung terhempas ke sandaran sofa. Salah satu tangan menyangga dahi yang seperkian detik berubah menjadi pening. Kenyataan yang disodorkan Sagara terlalu menohok kebahagiaan hidupnya. Ia yang semula yakin akan segala kesempurnaan yang ada pada diri Dewa, berubah menjadi kecewa, hanya dalam beberapa detik! Sungguh, cinta telah membuatnya gelap mata.Tapi, ada sesuatu yang mengulik sisi sensitif Mona. "Pastinya kau sangat peduli pada istri Dewa. Langkahmu ke sini sudah mengisyaratkan itu." Mukanya menatap dingin ke arah Sagara."Wina, istri Dewa adalah putri sahabat ayahku," jawab Sagara tanpa mengubah intonasi perkataannya. Dirinya sudah mengantisipasi pertanyaan ini akan keluar dari mulut lawan bicaranya.Jawaban Sagara membuat Mona terdiam. Walau dalam hati ia tetap merasa Sagara punya perhatian khusus pada seorang Wina."Silakan, anda bisa memutuskan sendir
"Bagaimana kabarmu, Wina Santika?" Sapaan itu tanpa sadar membuat Wina perlahan bangun dari hamparan rumput. Matanya terpana melihat sosok yang lama tak dijumpainya. Di sudut matanya mulai terbit titik air. Bibirnya mengembang seraya bergetar. "Baik." Wina membalas canggung sapaan itu. "Kamu?""Seperti yang kau lihat. Aku sehat.""Bundaa, ayo kita pulang. Katanya kalau ada tamu, harus duduk di ruang tamu," ucap Kirei dengan cadelnya.Celotehan itu membuat dua insan yang mendengar tersenyum. Bagai mendapat perintah, Wina melangkah lebih dulu, lalu menengok sekilas ke belakang, meminta sosok pria itu untuk mengikutinya."Silakan duduk di dalam," tawar Wina mempersilakan tamu spesialnya begitu sampai di depan teras rumah."Pemandangan di sini sangat indah. Bolehkan aku duduk di bangku teras ini saja?" Sofa empuk di teras menghadap ke halaman yang penuh dengan berbagai macam tanaman bunga dan juga kolam ikan koi. Memberi kesejukan mata bagi siapapun yang memandangnya.Wina hanya bisa
Lima tahun kemudian.“Saya tidak dapat menjalankan rencana ini tanpa persetujuan Nona Besar, Tuan. Menunggu beliau pulang dari Kanada adalah solusi terbaik.” Ratih menghela napas panjang. Sudah berapa kali ia menolak permintaan yang dirasa tak patut dijalankan. Karena ia tahu siapa tuannya sebelum menikahi Nona Besar.“Jadi kamu mau membangkang lagi?!”“Bukan, Tuan. Tapi Nona Besar sudah berpesan berulang kali kalau segala sesuatu harus melalui izin beliau. Saya tak bisa membantahnya.”“Kauuu!” Dewa menutup percakapan di telepon dengan kasar.Sudah berbagai upaya dilakukan agar Ratih menurut padanya, tapi tak sedikit pun celah berpihak padanya. Sejak menikahi atasannya lima tahun lalu, Dewa merasa dirinya berada dalam aturan yang tak pernah sejalan dengan pemikirannya. Momen di mana Mona sering melewatkan waktu di luar negeri untuk menjalankan usaha, sebenarnya merupakan waktu yang apik baginya untuk ikut mengatur cabang lain demi mendapatkan benefit untuk dirinya sendiri. Tapi bagaik
Duduk di tepi pantai di dalam saung bambu beratapkan daun rumbia, menjadi pilihan Sagara makan siang bersama Wina. Menu ikan bakar, udang saus manis, cumi tepung krispi, dan dua buah kelapa muda, menerbitkan selera Wina tanpa bisa dicegah. Sagara sampai tak berkedip melihat kalapnya perempuan yang ngidam itu hampir menghabiskan porsi yang ada."Ga, ayo makan. Keburu abis," ajak Wina sambil terus mengunyah. Sama sekali tak terusik walau jarinya sudah belepotan sambal. Keringat mengalir pelan di keningnya. "Aku sudah kenyang lihat kamu makan," celetuk Sagara memilih minum kelapa muda. Tangannya mengambil tisu dan mengusap lembut kening Wina."Aku pesankan lagi ya menunya?" timpal Wina dengan raut muka bersalah karena sudah begitu kalapnya menghabiskan semua menu.Sagara tertawa renyah. "Nggak usah. Kamu tahu nggak, apa yang membuatku bahagia saat ini?" "Apa?""Anakmu ternyata satu selera sama aku," jawab Sagara, tersenyum lebar.Pipi Wina bersemu merah. Kepalanya menunduk demi mengal
"Apakah tak dipikirkan lagi keputusanmu, Nak?" tanya Fahri untuk kedua kalinya, saat putrinya sedang berkemas di dalam kamar.Wina yang sedang mengemasi baju ke dalam koper, berbalik dan tersenyum ke arah ayahnya. "Seperti yang kuutarakan kemarin, Yah. Aku tak mau nantinya jadi bahan gosip tetangga, yang akhirnya sampai ke telinga Ayah dan Ibu. Kehamilanku sudah masuk trimester dua, aku tak mau mereka menuduhku hamil di luar nikah. Atau bahkan, mengataiku wanita yang dicampakkan suaminya." Dengan berusaha tersenyum, kelihatan sekali bibir Wina menahan untuk tidak menangis. "Selain itu, aku takut omongan mereka nanti berimbas pada perkembangan anakku."Fahri hanya bisa tercenung, tak punya daya untuk mempertahankan putrinya di rumah ini. Apalagi kemarin Wina juga beralasan ingin mengembangkan usaha online-nya dengan mendirikan toko di kota asal mbak Siti, asisten toko Ria yang sudah menjadi anak buah Wina selama ini. Siti bahkan sudah pulang kampung lebih dulu demi mencarikan tempat k
Fahri dan Wulan meraba bahwa apa yang didengarnya tidak salah. Lelaki yang sudah berani menikahi putrinya, ternyata meninggalkan begitu saja demi wanita lain? Sagara sebenarnya sungkan menjelaskan, tapi berusaha keras demi Wina. "Dewa telah menjalin cinta dengan atasannya. Dan Wina telah diusir dari rumah mertuanya.""Astaghfirullah." Tubuh Wulan menghempas ke sandaran kursi. Tak dapat membayangkan kesakitan yang dialami putrinya. Ia lalu memeluk Wina dengan penuh kasih sayang."Keluarga tak tahu diri!" geram Fahri bangkit dari kursinya.Sagara segera bangkit dan memegang pundak Fahri. "Sabar, Paman. Yang lebih penting sekarang adalah menyelamatkan kondisi Wina yang rapuh."Ucapan Sagara berhasil mengendurkan kemarahan Fahri. Tangis pun kini tumpah di wajahnya, merasa tak berdaya sebagai seorang ayah yang harusnya bisa melindungi putrinya. Perlahan ia berjalan ke arah Wina.Melihat ayahnya mendekat, Wina segera menyambut memeluknya. "Maafkan Wina, Ayah!"Fahri mengangguk dan mendekap
Air muka Wina terlihat memohon pada Sagara. Usai mengucapkannya, rasa lara dan kehilangan sosok suami seperti menguap entah ke mana. Masa krisis tersakiti dalam hubungan rumah tangga, seolah perlahan mulai ia lewati.Sagara serius menatap Wina. "Kenapa kau tiba-tiba--""Ga, aku tak mungkin bersedih terus-menerus." Wajah Wina menunduk, lalu ia melanjutkan berkata, "Sebenarnya sudah lama aku tersakiti akan tingkah Dewa. Harusnya aku tersadar sejak awal. Janji dia tidak bisa dipercaya."Kejujuran yang menyakitkan telinga Sagara, membuatnya semakin paham akan derita Wina yang dipendam selama ini. Hatinya tambah menyumpahi lelaki itu. Benar kata Ali. Tak seharusnya ia berusaha mengakurkan hubungan Wina dan Dewa. Tidak ada gunanya. Bahkan akan semakin menyakiti perempuan di hadapannya."Bagaimana dengan rasa cintamu?" Sagara bertanya lagi, meski dalam hati ia merasa bodoh menanyakan hal itu. Tapi setidaknya dia bisa mengantongi perasaan Wina terhadap Dewa."Seharusnya sejak bau parfum wanit
Hangat sinar surya pada dedaunan menerbitkan rasa nyaman mata yang memandangnya. Tetesan embun semakin menipis seiring langit berubah membiru. Kicauan burung di luar jendela kamar memecah keheningan di kamar yang berisi hanya dua orang sejak kemarin.Bibir Sagara melengkung ke atas melihat gerakan beberapa burung yang bertengger di atas dahan di luar jendela. Setidaknya makhluk kecil itu mampu menghibur hati dan pikirannya yang cemas sejak kemarin sore. Di sebelahnya, tubuh Wina masih belum sadarkan diri di atas tempat tidur. Untunglah kemarin ia berhasil menangkap tubuh ringkih itu sebelum jatuh ke lantai. Sejak kejadian itu, Wina beberapa kali mengigau tak jelas diiringi air mata yang mengalir. Karena kondisi itu, matanya tak bisa terpejam sedetik pun dari semalam. Jika kompres di dahi Wina mengering, ia dengan telaten menggantinya.Menurut dokter pribadi yang dipanggil Sagara ke rumah, keadaan Wina masih bisa teratasi. Beban pikiran yang ditanggungnya membuat raga wanita ini tidak
Perkataan Dewa masih terngiang, sangat menyakitkan menghujam jantung. Bahkan Wina berkali meyakinkan dirinya di bawah guyuran hujan, bahwa kejadian barusan bukanlah mimpi. Namun, semakin melangkah menjauh dari rumah, semakin percaya bahwa apa yang dialaminya benar-benar nyata. Ia telah diusir dari rumah itu. Tangisnya luruh bersama air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya. Kedua tangannya memeluk erat tas yang dibawa, mencari kehangatan di derasnya air langit yang menghujam tubuh. Sambil terus berjalan dan terisak, ia tak menduga harus tersisih dari sisi suaminya karena kehadiran seorang wanita yang jauh lebih segalanya darinya. Hatinya masih tak percaya jika ego suaminya telah tega mengalahkan buah hati mereka demi wanita yang baru dikenal. Langkah kakinya tak terasa semakin menjauh dari perumahan tempat tinggal lelaki yang tega menepikannya. Wina belum tahu akan melangkah ke mana. Hanya nama kakaknya yang sanggup diingat. Jika datang ke rumah Ria pun ia harus kuat menanggung malu
"Wina, ambil jemuran! Hujan bentar lagi turun!" teriak Lestari dari lantai bawah.Wina yang masih merapikan tempat tidur langsung menjawab seruan itu, agar ibu mertuanya tidak berteriak kesekian kali. Pandangannya beralih ke jendela. Rupanya di luar, mendung sudah menggantung di langit. Dengan cekatan ia segera merampungkan pekerjaannya dan bergegas turun. Sesampainya di lantai bawah, ia melihat Lestari masih asyik menonton acara televisi, sama sekali tak mempedulikan pekerjaan rumah. Namun, ia tak ambil pusing dan berjalan cepat ke halaman mengambil jemuran seprai serta selimut kepunyaan Lestari dan Diani. Tak lupa, pakaian satu rumah yang tadi dicucinya juga turut diambil dari tali jemuran. Benar saja, begitu jemuran terakhir diangkat, gerimis mulai turun.Wina meletakkan seluruh cucian kering itu di ruang setrika yang ada di sebelah dapur. Tatkala masih melipat seprai, ia mendengar mesin mobil berhenti di luar rumah. Indra pendengarannya yakin bahwa itu bukan suara mobil ayah mertu