"Apa maksud anda?" Dewa kali ini tidak tinggal diam. Matanya menyorot penuh kemarahan tertuju pada sosok paruh baya yang menantang di depannya.Orang-orang sekitar yang melihat situasi tidak kondusif, langsung melerai mereka berdua. "Mulut anda yang harus dijaga, Lelaki Tua! Kalau sudah jadi orang kepercayaan, jangan ember pada orang lain," sarkas Dewa.Dada Bobby panas tersiram kata-kata yang menyakitkan hatinya. Jelas sudah, kalimat yang baru saja terlontar, menjelaskan bahwa Dewa-lah yang telah 'membakar' bos besar di perusahaan ini."Memang kurang ajar, kau!" Lelaki tua itu langsung mencengkeram kerah kemeja Dewa.Orang-orang di sekitar spontan memegangi Dewa dan Bobby untuk memisahkan mereka."Rupanya benar kau orang yang sudah membuat posisiku jatuh di perusahaan ini," lanjut Bobby, sambil terus meronta dalam pegangan erat beberapa pegawai laki-laki."Kalau anda memang sudah tidak layak di perusahaan ini jangan mencari kambing hitam!" teriak Dewa dihalau oleh beberapa lelaki."
Tercetus sesuatu di kepala Lestari. Ia menduga menantunya pasti melakukan sesuatu yang memalukan, yang bisa membuat rumah tangga anaknya runyam. Hatinya senang jika Wina sering ribut dengan Dewa. Sebuah senyuman mengembang di bibir. Tak sabar rasanya menunggu anak laki-lakinya pulang sore nanti dan melaporkan tentang kelakuan istrinya.***Wina berjalan terus sambil melihat ke sana kemari. Daerah perumahan ini memang belum ia hapal benar. Kebanyakan beberapa toko kelontong yang ia datangi, tidak menjual pulsa. Setelah menikah, Dewa tak pernah mengajaknya berputar di kawasan perumahan yang luas ini, meski hanya sekedar jalan-jalan. Alasannya selalu malas dan capek. Namun, rasa cintanya terlalu besar untuk seorang Dewa. Hingga segala alasan suaminya, ia maklumi.Tak terasa, ia sudah berjalan sangat jauh. Jalanan yang ada di hadapan ramai kendaraan. Ternyata, ia sudah ada di depan gerbang masuk perumahan. Sambil berjalan menepi, indranya melayangkan pandang ke toko-toko yang berjajar di
Melihat amarah Dewa yang menakutkan, Wina menyurutkan langkah. Kepalanya menunduk ketakutan."Dari mana kau tadi siang?" tanya Dewa mendekat ke wajah istrinya.Wina langsung menengadah. Tak mengira Dewa tahu kegiatannya tadi siang. "Kamu tahu dari siapa?" polosnya."Kau tak perlu tahu dari siapa aku tahu informasi itu. Jawab dulu pertanyaanku?!" tekan Dewa gusar."Aku-aku beli pulsa, Wa." Tubuh Wina bergetar. "Bohong!" gelegar Dewa. Tangan kokohnya memegang kedua pundak Wina. "Kau tahu akibatnya jika tak jujur padaku?"Dada Wina berdegup kencang. Wajahnya pias. Mulutnya kelu tak tahu harus menjawab apa, karena kejujuran sudah ia ungkapkan. "A-aku tidak bohong, Wa.""Haahh!" Dewa mendorong kasar pundak Wina ke arah tempat tidur.Wina sontak kaget dan terpekik. Tubuhnya tersuruk di atas kasur. Bulir bening mulai mengalir. Batinnya perih, tak mengira akan mendapat perlakuan tak semestinya dari suaminya."Kalau kamu ketahuan selingkuh, awas aja!" ancam Dewa.Wina mengusap air matanya. Uc
"Ssshh, aw-auw." Rasa perih menjalar dari pipi kiri hingga ke sudut bibir. Wina mengompres pelan pipinya yang bengkak sebelah, sementara sudut bibirnya yang luka diolesi salep.Rasa perih ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan luka batin yang ditorehkan Dewa. Lelaki yang pernah ia percaya, saat ini telah membuat luka luar dalam. Tapi bagaimanapun, Wina tak ingin berlarut-larut mengingat kejadian kemarin sore. Satu yang ia percaya, rasa cintanya suatu saat akan mengubah watak kasar suaminya. Ia percaya kesabarannya akan berbuah manis.Terdengar suara notif pesan ponsel yang terletak di atas nakas panjang. Ia pun membukanya."Apa?!" Matanya membulat. Mulut bengkak ternganga, menyiratkan kebahagiaan! Ternyata, pesanan membanjir di chatnya. Wina bahkan tak menyangka ada beberapa nomor tak dikenal, meminta model baju yang sedang tren saat ini. Mereka bilang, dikasih informasi oleh teman-teman Wina.Tak dapat diungkapkan kegembiraan hatinya. Ujung jarinya segera membalas chat mereka s
Wina melihat nama di layar ponselnya. 'Wah, panggilan dari Tita!' Jarinya langsung menekan tombol terima dan menyapa dengan gembira, "Hai, Ta. Apa kabar?" "Wina! Senang sekali dengar suaramu. Kabarmu baik, 'kan? Aku minta nomor rekeningmu dari tadi, lama banget! Ayo cepetan. Mumpung aku lagi di luar nih," girang Tita dari seberang."Owh, maaf. Aku--"Suara teriakan Lestari terdengar dari bawah. Ia menduga pasti ibu mertuanya tak sabar untuk makan.Teriakan menggema itu ternyata terdengar oleh Tita. "Eh, suara siapa tuh? Kencang banget manggil kamu.""Oh, ehm, sepertinya ada tamu, Ta. Gimana kalau nanti kukirimi nomor rekeningku. Aku mau nemuin tamu dulu ya, nggak enak tuh udah teriak-teriak. Kamu santai sajalah bayarnya, pesananmu aku kirim begitu ready ya.""Kirain suara ibu mertuamu. Kalau benar dia, wah bisa nih kuajak duel jika berani sama kamu. Oke deh, nanti kutunggu ya.""Hush! Oke, Ta. Bye." Wina meletakkan ponsel dan langsung meluncur ke bawah."I-iya, Bu?" tanya Wina begitu
"Dari siapa, Wa?" tanya Wina penasaran melihat Dewa terdiam memegang ponsel."Emm, dari teman. Dia minta ketemu malam ini." Dewa terpaksa menutupi sosok Mona demi kenyamanan malam ini bersama istrinya.Wina menatap suaminya. Sorot indranya masih mencari jawaban di mata itu."Teman kantor," lanjut Dewa, menjawab Wina yang masih penasaran."Oh, lalu kamu mau ketemuan sama dia?" tanya Wina.Dewa terdiam. Netranya memandang istrinya yang masih tampak lemah dan sangat membutuhkan dirinya. Ada buah hati mereka di dalam perut Wina. Harapan masa depan mereka bertumpu pada anaknya. Selain merupakan calon generasi penerus keluarga, ia juga ingin meruntuhkan ego Fahri, ayah mertuanya. Tapi di sisi lain ia butuh karirnya meroket di perusahaan. Apalagi sekarang, saat yang tepat untuknya meraih atensi dari Mona."Kalau kau mau keluar, tak apa-apa, Wa. Tapi habiskan dulu makananmu," tutur Wina. Perlahan turun dari kasur. "Kenapa kamu turun, Win?" "Tidak apa-apa, aku hanya ingin--""Stop. Mana piri
Dewa terkesiap. Walau hatinya sangat bahagia dirindukan oleh Mona, tiba-tiba bayang Wina dan calon buah hatinya membayang di pelupuk mata. Perlahan, ia melepas pelukan Mona."Kenapa, Wa?""Tak apa-apa. Aku sedang banyak pikiran. Maka dari itu semalam aku tak membalas pesanmu. Aku minta ma--""Sstt, yang penting jangan kau ulangi lagi. Disaat aku membutuhkanmu segeralah datang," pinta Mona dengan penuh harap memandang lekat mata Dewa.Dewa melihat harapan yang besar di mata Mona. Ada rasa cinta terbalut rindu di sana. "Aku usahakan," jawabnya pelan.Mona tersenyum lega. Ia langsung memeluk erat tubuh Dewa. Menghirup segala wangi yang selalu dirindukan saat lelaki ini tak bersamanya."Aku akan kembali ke ruanganku, Mon. Kalau berlama-lama di sini bisa buat Ratih curiga." Dewa berbisik lembut.Sebelum melepas tubuh Dewa, Mona mendaratkan kecupan di bibir lelaki yang telah sanggup merebut hatinya itu.Dewa tak membalas. Hanya senyuman samar saat melepas pelukan Mona. Begitu keluar dari ru
Wina tak sanggup melihat wajah Dewa. Seraya menunduk, ia mengangguk perlahan.Dewa tetap tak percaya akan jawaban istrinya, meski hanya anggukan. Ia beralih menoleh ke arah ibunya. "Biar semua kerjaan Wina, aku yang selesaikan, Bu. Aku tak ingin dia sakit saat hamil muda begini."Dewa tahu jika semua ini adalah ulah ibunya. Tetapi, ia tak mau ribut panjang. Tangan istrinya langsung digapai, berjalan menuju kamar.Lestari yang mendengar ucapan Dewa, bertambah panas. Anaknya telah berani membela Wina di depan mukanya. Keberadaannya saat ini sudah tersaingi oleh anak menantunya itu. 'Awas saja kau Wina. Tak akan kubiarkan hidup tenang.'***"Kau itu kalau disuruh ibu, bilang aja kalau dilarang sama aku ngerjakan semua pekerjaan rumah," protes Dewa saat mereka masuk ke dalam kamar."Aku sudah jawab gitu, Wa. Tapi sudahlah mungkin ibu juga capek," jawab Wina sambil merebahkan diri di kasur.Embusan napas kasar keluar. Dewa tak ingin mengulur waktu membahas ibunya. 'Toh, sudah sifatnya,' ba