Melihat amarah Dewa yang menakutkan, Wina menyurutkan langkah. Kepalanya menunduk ketakutan."Dari mana kau tadi siang?" tanya Dewa mendekat ke wajah istrinya.Wina langsung menengadah. Tak mengira Dewa tahu kegiatannya tadi siang. "Kamu tahu dari siapa?" polosnya."Kau tak perlu tahu dari siapa aku tahu informasi itu. Jawab dulu pertanyaanku?!" tekan Dewa gusar."Aku-aku beli pulsa, Wa." Tubuh Wina bergetar. "Bohong!" gelegar Dewa. Tangan kokohnya memegang kedua pundak Wina. "Kau tahu akibatnya jika tak jujur padaku?"Dada Wina berdegup kencang. Wajahnya pias. Mulutnya kelu tak tahu harus menjawab apa, karena kejujuran sudah ia ungkapkan. "A-aku tidak bohong, Wa.""Haahh!" Dewa mendorong kasar pundak Wina ke arah tempat tidur.Wina sontak kaget dan terpekik. Tubuhnya tersuruk di atas kasur. Bulir bening mulai mengalir. Batinnya perih, tak mengira akan mendapat perlakuan tak semestinya dari suaminya."Kalau kamu ketahuan selingkuh, awas aja!" ancam Dewa.Wina mengusap air matanya. Uc
"Ssshh, aw-auw." Rasa perih menjalar dari pipi kiri hingga ke sudut bibir. Wina mengompres pelan pipinya yang bengkak sebelah, sementara sudut bibirnya yang luka diolesi salep.Rasa perih ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan luka batin yang ditorehkan Dewa. Lelaki yang pernah ia percaya, saat ini telah membuat luka luar dalam. Tapi bagaimanapun, Wina tak ingin berlarut-larut mengingat kejadian kemarin sore. Satu yang ia percaya, rasa cintanya suatu saat akan mengubah watak kasar suaminya. Ia percaya kesabarannya akan berbuah manis.Terdengar suara notif pesan ponsel yang terletak di atas nakas panjang. Ia pun membukanya."Apa?!" Matanya membulat. Mulut bengkak ternganga, menyiratkan kebahagiaan! Ternyata, pesanan membanjir di chatnya. Wina bahkan tak menyangka ada beberapa nomor tak dikenal, meminta model baju yang sedang tren saat ini. Mereka bilang, dikasih informasi oleh teman-teman Wina.Tak dapat diungkapkan kegembiraan hatinya. Ujung jarinya segera membalas chat mereka s
Wina melihat nama di layar ponselnya. 'Wah, panggilan dari Tita!' Jarinya langsung menekan tombol terima dan menyapa dengan gembira, "Hai, Ta. Apa kabar?" "Wina! Senang sekali dengar suaramu. Kabarmu baik, 'kan? Aku minta nomor rekeningmu dari tadi, lama banget! Ayo cepetan. Mumpung aku lagi di luar nih," girang Tita dari seberang."Owh, maaf. Aku--"Suara teriakan Lestari terdengar dari bawah. Ia menduga pasti ibu mertuanya tak sabar untuk makan.Teriakan menggema itu ternyata terdengar oleh Tita. "Eh, suara siapa tuh? Kencang banget manggil kamu.""Oh, ehm, sepertinya ada tamu, Ta. Gimana kalau nanti kukirimi nomor rekeningku. Aku mau nemuin tamu dulu ya, nggak enak tuh udah teriak-teriak. Kamu santai sajalah bayarnya, pesananmu aku kirim begitu ready ya.""Kirain suara ibu mertuamu. Kalau benar dia, wah bisa nih kuajak duel jika berani sama kamu. Oke deh, nanti kutunggu ya.""Hush! Oke, Ta. Bye." Wina meletakkan ponsel dan langsung meluncur ke bawah."I-iya, Bu?" tanya Wina begitu
"Dari siapa, Wa?" tanya Wina penasaran melihat Dewa terdiam memegang ponsel."Emm, dari teman. Dia minta ketemu malam ini." Dewa terpaksa menutupi sosok Mona demi kenyamanan malam ini bersama istrinya.Wina menatap suaminya. Sorot indranya masih mencari jawaban di mata itu."Teman kantor," lanjut Dewa, menjawab Wina yang masih penasaran."Oh, lalu kamu mau ketemuan sama dia?" tanya Wina.Dewa terdiam. Netranya memandang istrinya yang masih tampak lemah dan sangat membutuhkan dirinya. Ada buah hati mereka di dalam perut Wina. Harapan masa depan mereka bertumpu pada anaknya. Selain merupakan calon generasi penerus keluarga, ia juga ingin meruntuhkan ego Fahri, ayah mertuanya. Tapi di sisi lain ia butuh karirnya meroket di perusahaan. Apalagi sekarang, saat yang tepat untuknya meraih atensi dari Mona."Kalau kau mau keluar, tak apa-apa, Wa. Tapi habiskan dulu makananmu," tutur Wina. Perlahan turun dari kasur. "Kenapa kamu turun, Win?" "Tidak apa-apa, aku hanya ingin--""Stop. Mana piri
Dewa terkesiap. Walau hatinya sangat bahagia dirindukan oleh Mona, tiba-tiba bayang Wina dan calon buah hatinya membayang di pelupuk mata. Perlahan, ia melepas pelukan Mona."Kenapa, Wa?""Tak apa-apa. Aku sedang banyak pikiran. Maka dari itu semalam aku tak membalas pesanmu. Aku minta ma--""Sstt, yang penting jangan kau ulangi lagi. Disaat aku membutuhkanmu segeralah datang," pinta Mona dengan penuh harap memandang lekat mata Dewa.Dewa melihat harapan yang besar di mata Mona. Ada rasa cinta terbalut rindu di sana. "Aku usahakan," jawabnya pelan.Mona tersenyum lega. Ia langsung memeluk erat tubuh Dewa. Menghirup segala wangi yang selalu dirindukan saat lelaki ini tak bersamanya."Aku akan kembali ke ruanganku, Mon. Kalau berlama-lama di sini bisa buat Ratih curiga." Dewa berbisik lembut.Sebelum melepas tubuh Dewa, Mona mendaratkan kecupan di bibir lelaki yang telah sanggup merebut hatinya itu.Dewa tak membalas. Hanya senyuman samar saat melepas pelukan Mona. Begitu keluar dari ru
Wina tak sanggup melihat wajah Dewa. Seraya menunduk, ia mengangguk perlahan.Dewa tetap tak percaya akan jawaban istrinya, meski hanya anggukan. Ia beralih menoleh ke arah ibunya. "Biar semua kerjaan Wina, aku yang selesaikan, Bu. Aku tak ingin dia sakit saat hamil muda begini."Dewa tahu jika semua ini adalah ulah ibunya. Tetapi, ia tak mau ribut panjang. Tangan istrinya langsung digapai, berjalan menuju kamar.Lestari yang mendengar ucapan Dewa, bertambah panas. Anaknya telah berani membela Wina di depan mukanya. Keberadaannya saat ini sudah tersaingi oleh anak menantunya itu. 'Awas saja kau Wina. Tak akan kubiarkan hidup tenang.'***"Kau itu kalau disuruh ibu, bilang aja kalau dilarang sama aku ngerjakan semua pekerjaan rumah," protes Dewa saat mereka masuk ke dalam kamar."Aku sudah jawab gitu, Wa. Tapi sudahlah mungkin ibu juga capek," jawab Wina sambil merebahkan diri di kasur.Embusan napas kasar keluar. Dewa tak ingin mengulur waktu membahas ibunya. 'Toh, sudah sifatnya,' ba
Tak ada pilihan lain. Dewa merasa harus menebus kesalahannya dengan meluncur ke alamat Mona. Saat kencan di restoran dulu, wanita itu pernah memberikan alamatnya. Kemacetan di jam sore, membuat perjalanan memakan waktu hampir satu jam sampai di rumah bos besarnya yang berada di komplek perumahan elit di kota ini.Begitu sampai di depan sebuah rumah dengan pagar tinggi menjulang, satpam langsung membukakan pagar besi. Dewa pun melaju lurus memarkirkan motornya di garasi yang luas. Satpam tergopoh-gopoh berlari ke arahnya. "Tuan Dewa, nona Mona ada di lantai atas. Silakan masuk melalui pintu utama," pandu lelaki tua itu yang berperawakan sedang."Terima kasih, Pak."Melewati taman yang indah dan sangat terawat, satpam itu membuka pintu yang berdaun lebar dan besar. "Silakan, Tuan, lewat tangga itu," tunjuknya ke tangga mewah berlapis karpet tebal.Dewa mengangguk. Ia melangkah ke dalam dan perlahan naik ke anak tangga. Matanya menatap berkeliling, tak berkedip melihat keindahan dan kem
Mona beranjak dari sofa mendekat ke arah Dewa yang tergeletak lemas. Senyumnya mengembang."Sebentar lagi obatnya akan bekerja maksimal. Kau akan sangat membutuhkanku, Sayang," bisiknya sambil membuka kancing kemeja lelaki yang sudah ia nantikan sejak semalam. Obat bereaksi. Tiba-tiba Dewa merasakan seluruh tubuhnya sangat panas. Perlahan matanya terbuka perlahan. Di depannya nampak bayang istrinya, Wina. Sangat cantik dan menggoda. Tanpa sadar ia menarik tubuh itu dan hanyut dalam permainan panas.***Sudah jam delapan malam, Wina gelisah bukan main. Sudah berpuluh kali menelepon suaminya, tapi ponselnya tak aktif. Bahkan, pesan yang dikirimkan dari selepas Magrib belum dibalas sama sekali."Ke mana Dewa? Semoga nggak ada apa-apa di jalan," resah Wina berjalan bolak-balik di depan lemari. Ia tak berani keluar kamar, walau kunci ada di atas nakas. Ia pun tahu, Dewa yang meletakkan kunci itu karena khawatir akan perilaku ibunya saat ditinggal kerja.Dalam hati, Wina begitu bahagia den