Dada Wina perih membaca pesan itu. Napasnya menghela berat. Bibirnya bengkak. Tubuhnya tak terasa bergetar. 'Ujian apalagi ini?' Tak mungkin pesan itu dikirim oleh seorang laki-laki. Dadanya terasa sesak. Isi pesan itu mendorong masuk semua yang tadinya hendak tumpah dari batinnya, sejak parfum tercium dari kemeja Dewa. Ia tak mengira suaminya akan bermain di belakang. Mual terasa kembali di kerongkongan.Air mata sudah mengering. Sudah tak sanggup lagi menangisi nasibnya yang sangat menyakitkan. Terlalu penat hari ini. Ujian bertubi-tubi mendera. Tangannya menggapai ujung nakas. Tubuhnya mencoba bertahan dengan berdiri tegak. Dirinya sudah berniat tak mau lemah sedari tadi. Nasihat ibu kembali terngiang.'Aku harus kuat. Tak mungkin Allah memberiku kesulitan tanpa kemudahan untuk melangkah. Aku tak boleh lemah.'Wina melangkah mengambil air wudu. Ia akan bermunajat malam ini melepas semua bebannya di atas sajadah. Mengeluarkan segala rasa dengan menghadirkan hati mendekat pada-Nya.
"Apa maksud anda?" Dewa kali ini tidak tinggal diam. Matanya menyorot penuh kemarahan tertuju pada sosok paruh baya yang menantang di depannya.Orang-orang sekitar yang melihat situasi tidak kondusif, langsung melerai mereka berdua. "Mulut anda yang harus dijaga, Lelaki Tua! Kalau sudah jadi orang kepercayaan, jangan ember pada orang lain," sarkas Dewa.Dada Bobby panas tersiram kata-kata yang menyakitkan hatinya. Jelas sudah, kalimat yang baru saja terlontar, menjelaskan bahwa Dewa-lah yang telah 'membakar' bos besar di perusahaan ini."Memang kurang ajar, kau!" Lelaki tua itu langsung mencengkeram kerah kemeja Dewa.Orang-orang di sekitar spontan memegangi Dewa dan Bobby untuk memisahkan mereka."Rupanya benar kau orang yang sudah membuat posisiku jatuh di perusahaan ini," lanjut Bobby, sambil terus meronta dalam pegangan erat beberapa pegawai laki-laki."Kalau anda memang sudah tidak layak di perusahaan ini jangan mencari kambing hitam!" teriak Dewa dihalau oleh beberapa lelaki."
Tercetus sesuatu di kepala Lestari. Ia menduga menantunya pasti melakukan sesuatu yang memalukan, yang bisa membuat rumah tangga anaknya runyam. Hatinya senang jika Wina sering ribut dengan Dewa. Sebuah senyuman mengembang di bibir. Tak sabar rasanya menunggu anak laki-lakinya pulang sore nanti dan melaporkan tentang kelakuan istrinya.***Wina berjalan terus sambil melihat ke sana kemari. Daerah perumahan ini memang belum ia hapal benar. Kebanyakan beberapa toko kelontong yang ia datangi, tidak menjual pulsa. Setelah menikah, Dewa tak pernah mengajaknya berputar di kawasan perumahan yang luas ini, meski hanya sekedar jalan-jalan. Alasannya selalu malas dan capek. Namun, rasa cintanya terlalu besar untuk seorang Dewa. Hingga segala alasan suaminya, ia maklumi.Tak terasa, ia sudah berjalan sangat jauh. Jalanan yang ada di hadapan ramai kendaraan. Ternyata, ia sudah ada di depan gerbang masuk perumahan. Sambil berjalan menepi, indranya melayangkan pandang ke toko-toko yang berjajar di
Melihat amarah Dewa yang menakutkan, Wina menyurutkan langkah. Kepalanya menunduk ketakutan."Dari mana kau tadi siang?" tanya Dewa mendekat ke wajah istrinya.Wina langsung menengadah. Tak mengira Dewa tahu kegiatannya tadi siang. "Kamu tahu dari siapa?" polosnya."Kau tak perlu tahu dari siapa aku tahu informasi itu. Jawab dulu pertanyaanku?!" tekan Dewa gusar."Aku-aku beli pulsa, Wa." Tubuh Wina bergetar. "Bohong!" gelegar Dewa. Tangan kokohnya memegang kedua pundak Wina. "Kau tahu akibatnya jika tak jujur padaku?"Dada Wina berdegup kencang. Wajahnya pias. Mulutnya kelu tak tahu harus menjawab apa, karena kejujuran sudah ia ungkapkan. "A-aku tidak bohong, Wa.""Haahh!" Dewa mendorong kasar pundak Wina ke arah tempat tidur.Wina sontak kaget dan terpekik. Tubuhnya tersuruk di atas kasur. Bulir bening mulai mengalir. Batinnya perih, tak mengira akan mendapat perlakuan tak semestinya dari suaminya."Kalau kamu ketahuan selingkuh, awas aja!" ancam Dewa.Wina mengusap air matanya. Uc
"Ssshh, aw-auw." Rasa perih menjalar dari pipi kiri hingga ke sudut bibir. Wina mengompres pelan pipinya yang bengkak sebelah, sementara sudut bibirnya yang luka diolesi salep.Rasa perih ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan luka batin yang ditorehkan Dewa. Lelaki yang pernah ia percaya, saat ini telah membuat luka luar dalam. Tapi bagaimanapun, Wina tak ingin berlarut-larut mengingat kejadian kemarin sore. Satu yang ia percaya, rasa cintanya suatu saat akan mengubah watak kasar suaminya. Ia percaya kesabarannya akan berbuah manis.Terdengar suara notif pesan ponsel yang terletak di atas nakas panjang. Ia pun membukanya."Apa?!" Matanya membulat. Mulut bengkak ternganga, menyiratkan kebahagiaan! Ternyata, pesanan membanjir di chatnya. Wina bahkan tak menyangka ada beberapa nomor tak dikenal, meminta model baju yang sedang tren saat ini. Mereka bilang, dikasih informasi oleh teman-teman Wina.Tak dapat diungkapkan kegembiraan hatinya. Ujung jarinya segera membalas chat mereka s
Wina melihat nama di layar ponselnya. 'Wah, panggilan dari Tita!' Jarinya langsung menekan tombol terima dan menyapa dengan gembira, "Hai, Ta. Apa kabar?" "Wina! Senang sekali dengar suaramu. Kabarmu baik, 'kan? Aku minta nomor rekeningmu dari tadi, lama banget! Ayo cepetan. Mumpung aku lagi di luar nih," girang Tita dari seberang."Owh, maaf. Aku--"Suara teriakan Lestari terdengar dari bawah. Ia menduga pasti ibu mertuanya tak sabar untuk makan.Teriakan menggema itu ternyata terdengar oleh Tita. "Eh, suara siapa tuh? Kencang banget manggil kamu.""Oh, ehm, sepertinya ada tamu, Ta. Gimana kalau nanti kukirimi nomor rekeningku. Aku mau nemuin tamu dulu ya, nggak enak tuh udah teriak-teriak. Kamu santai sajalah bayarnya, pesananmu aku kirim begitu ready ya.""Kirain suara ibu mertuamu. Kalau benar dia, wah bisa nih kuajak duel jika berani sama kamu. Oke deh, nanti kutunggu ya.""Hush! Oke, Ta. Bye." Wina meletakkan ponsel dan langsung meluncur ke bawah."I-iya, Bu?" tanya Wina begitu
"Dari siapa, Wa?" tanya Wina penasaran melihat Dewa terdiam memegang ponsel."Emm, dari teman. Dia minta ketemu malam ini." Dewa terpaksa menutupi sosok Mona demi kenyamanan malam ini bersama istrinya.Wina menatap suaminya. Sorot indranya masih mencari jawaban di mata itu."Teman kantor," lanjut Dewa, menjawab Wina yang masih penasaran."Oh, lalu kamu mau ketemuan sama dia?" tanya Wina.Dewa terdiam. Netranya memandang istrinya yang masih tampak lemah dan sangat membutuhkan dirinya. Ada buah hati mereka di dalam perut Wina. Harapan masa depan mereka bertumpu pada anaknya. Selain merupakan calon generasi penerus keluarga, ia juga ingin meruntuhkan ego Fahri, ayah mertuanya. Tapi di sisi lain ia butuh karirnya meroket di perusahaan. Apalagi sekarang, saat yang tepat untuknya meraih atensi dari Mona."Kalau kau mau keluar, tak apa-apa, Wa. Tapi habiskan dulu makananmu," tutur Wina. Perlahan turun dari kasur. "Kenapa kamu turun, Win?" "Tidak apa-apa, aku hanya ingin--""Stop. Mana piri
Dewa terkesiap. Walau hatinya sangat bahagia dirindukan oleh Mona, tiba-tiba bayang Wina dan calon buah hatinya membayang di pelupuk mata. Perlahan, ia melepas pelukan Mona."Kenapa, Wa?""Tak apa-apa. Aku sedang banyak pikiran. Maka dari itu semalam aku tak membalas pesanmu. Aku minta ma--""Sstt, yang penting jangan kau ulangi lagi. Disaat aku membutuhkanmu segeralah datang," pinta Mona dengan penuh harap memandang lekat mata Dewa.Dewa melihat harapan yang besar di mata Mona. Ada rasa cinta terbalut rindu di sana. "Aku usahakan," jawabnya pelan.Mona tersenyum lega. Ia langsung memeluk erat tubuh Dewa. Menghirup segala wangi yang selalu dirindukan saat lelaki ini tak bersamanya."Aku akan kembali ke ruanganku, Mon. Kalau berlama-lama di sini bisa buat Ratih curiga." Dewa berbisik lembut.Sebelum melepas tubuh Dewa, Mona mendaratkan kecupan di bibir lelaki yang telah sanggup merebut hatinya itu.Dewa tak membalas. Hanya senyuman samar saat melepas pelukan Mona. Begitu keluar dari ru
"Bagaimana kabarmu, Wina Santika?" Sapaan itu tanpa sadar membuat Wina perlahan bangun dari hamparan rumput. Matanya terpana melihat sosok yang lama tak dijumpainya. Di sudut matanya mulai terbit titik air. Bibirnya mengembang seraya bergetar. "Baik." Wina membalas canggung sapaan itu. "Kamu?""Seperti yang kau lihat. Aku sehat.""Bundaa, ayo kita pulang. Katanya kalau ada tamu, harus duduk di ruang tamu," ucap Kirei dengan cadelnya.Celotehan itu membuat dua insan yang mendengar tersenyum. Bagai mendapat perintah, Wina melangkah lebih dulu, lalu menengok sekilas ke belakang, meminta sosok pria itu untuk mengikutinya."Silakan duduk di dalam," tawar Wina mempersilakan tamu spesialnya begitu sampai di depan teras rumah."Pemandangan di sini sangat indah. Bolehkan aku duduk di bangku teras ini saja?" Sofa empuk di teras menghadap ke halaman yang penuh dengan berbagai macam tanaman bunga dan juga kolam ikan koi. Memberi kesejukan mata bagi siapapun yang memandangnya.Wina hanya bisa
Lima tahun kemudian.“Saya tidak dapat menjalankan rencana ini tanpa persetujuan Nona Besar, Tuan. Menunggu beliau pulang dari Kanada adalah solusi terbaik.” Ratih menghela napas panjang. Sudah berapa kali ia menolak permintaan yang dirasa tak patut dijalankan. Karena ia tahu siapa tuannya sebelum menikahi Nona Besar.“Jadi kamu mau membangkang lagi?!”“Bukan, Tuan. Tapi Nona Besar sudah berpesan berulang kali kalau segala sesuatu harus melalui izin beliau. Saya tak bisa membantahnya.”“Kauuu!” Dewa menutup percakapan di telepon dengan kasar.Sudah berbagai upaya dilakukan agar Ratih menurut padanya, tapi tak sedikit pun celah berpihak padanya. Sejak menikahi atasannya lima tahun lalu, Dewa merasa dirinya berada dalam aturan yang tak pernah sejalan dengan pemikirannya. Momen di mana Mona sering melewatkan waktu di luar negeri untuk menjalankan usaha, sebenarnya merupakan waktu yang apik baginya untuk ikut mengatur cabang lain demi mendapatkan benefit untuk dirinya sendiri. Tapi bagaik
Duduk di tepi pantai di dalam saung bambu beratapkan daun rumbia, menjadi pilihan Sagara makan siang bersama Wina. Menu ikan bakar, udang saus manis, cumi tepung krispi, dan dua buah kelapa muda, menerbitkan selera Wina tanpa bisa dicegah. Sagara sampai tak berkedip melihat kalapnya perempuan yang ngidam itu hampir menghabiskan porsi yang ada."Ga, ayo makan. Keburu abis," ajak Wina sambil terus mengunyah. Sama sekali tak terusik walau jarinya sudah belepotan sambal. Keringat mengalir pelan di keningnya. "Aku sudah kenyang lihat kamu makan," celetuk Sagara memilih minum kelapa muda. Tangannya mengambil tisu dan mengusap lembut kening Wina."Aku pesankan lagi ya menunya?" timpal Wina dengan raut muka bersalah karena sudah begitu kalapnya menghabiskan semua menu.Sagara tertawa renyah. "Nggak usah. Kamu tahu nggak, apa yang membuatku bahagia saat ini?" "Apa?""Anakmu ternyata satu selera sama aku," jawab Sagara, tersenyum lebar.Pipi Wina bersemu merah. Kepalanya menunduk demi mengal
"Apakah tak dipikirkan lagi keputusanmu, Nak?" tanya Fahri untuk kedua kalinya, saat putrinya sedang berkemas di dalam kamar.Wina yang sedang mengemasi baju ke dalam koper, berbalik dan tersenyum ke arah ayahnya. "Seperti yang kuutarakan kemarin, Yah. Aku tak mau nantinya jadi bahan gosip tetangga, yang akhirnya sampai ke telinga Ayah dan Ibu. Kehamilanku sudah masuk trimester dua, aku tak mau mereka menuduhku hamil di luar nikah. Atau bahkan, mengataiku wanita yang dicampakkan suaminya." Dengan berusaha tersenyum, kelihatan sekali bibir Wina menahan untuk tidak menangis. "Selain itu, aku takut omongan mereka nanti berimbas pada perkembangan anakku."Fahri hanya bisa tercenung, tak punya daya untuk mempertahankan putrinya di rumah ini. Apalagi kemarin Wina juga beralasan ingin mengembangkan usaha online-nya dengan mendirikan toko di kota asal mbak Siti, asisten toko Ria yang sudah menjadi anak buah Wina selama ini. Siti bahkan sudah pulang kampung lebih dulu demi mencarikan tempat k
Fahri dan Wulan meraba bahwa apa yang didengarnya tidak salah. Lelaki yang sudah berani menikahi putrinya, ternyata meninggalkan begitu saja demi wanita lain? Sagara sebenarnya sungkan menjelaskan, tapi berusaha keras demi Wina. "Dewa telah menjalin cinta dengan atasannya. Dan Wina telah diusir dari rumah mertuanya.""Astaghfirullah." Tubuh Wulan menghempas ke sandaran kursi. Tak dapat membayangkan kesakitan yang dialami putrinya. Ia lalu memeluk Wina dengan penuh kasih sayang."Keluarga tak tahu diri!" geram Fahri bangkit dari kursinya.Sagara segera bangkit dan memegang pundak Fahri. "Sabar, Paman. Yang lebih penting sekarang adalah menyelamatkan kondisi Wina yang rapuh."Ucapan Sagara berhasil mengendurkan kemarahan Fahri. Tangis pun kini tumpah di wajahnya, merasa tak berdaya sebagai seorang ayah yang harusnya bisa melindungi putrinya. Perlahan ia berjalan ke arah Wina.Melihat ayahnya mendekat, Wina segera menyambut memeluknya. "Maafkan Wina, Ayah!"Fahri mengangguk dan mendekap
Air muka Wina terlihat memohon pada Sagara. Usai mengucapkannya, rasa lara dan kehilangan sosok suami seperti menguap entah ke mana. Masa krisis tersakiti dalam hubungan rumah tangga, seolah perlahan mulai ia lewati.Sagara serius menatap Wina. "Kenapa kau tiba-tiba--""Ga, aku tak mungkin bersedih terus-menerus." Wajah Wina menunduk, lalu ia melanjutkan berkata, "Sebenarnya sudah lama aku tersakiti akan tingkah Dewa. Harusnya aku tersadar sejak awal. Janji dia tidak bisa dipercaya."Kejujuran yang menyakitkan telinga Sagara, membuatnya semakin paham akan derita Wina yang dipendam selama ini. Hatinya tambah menyumpahi lelaki itu. Benar kata Ali. Tak seharusnya ia berusaha mengakurkan hubungan Wina dan Dewa. Tidak ada gunanya. Bahkan akan semakin menyakiti perempuan di hadapannya."Bagaimana dengan rasa cintamu?" Sagara bertanya lagi, meski dalam hati ia merasa bodoh menanyakan hal itu. Tapi setidaknya dia bisa mengantongi perasaan Wina terhadap Dewa."Seharusnya sejak bau parfum wanit
Hangat sinar surya pada dedaunan menerbitkan rasa nyaman mata yang memandangnya. Tetesan embun semakin menipis seiring langit berubah membiru. Kicauan burung di luar jendela kamar memecah keheningan di kamar yang berisi hanya dua orang sejak kemarin.Bibir Sagara melengkung ke atas melihat gerakan beberapa burung yang bertengger di atas dahan di luar jendela. Setidaknya makhluk kecil itu mampu menghibur hati dan pikirannya yang cemas sejak kemarin sore. Di sebelahnya, tubuh Wina masih belum sadarkan diri di atas tempat tidur. Untunglah kemarin ia berhasil menangkap tubuh ringkih itu sebelum jatuh ke lantai. Sejak kejadian itu, Wina beberapa kali mengigau tak jelas diiringi air mata yang mengalir. Karena kondisi itu, matanya tak bisa terpejam sedetik pun dari semalam. Jika kompres di dahi Wina mengering, ia dengan telaten menggantinya.Menurut dokter pribadi yang dipanggil Sagara ke rumah, keadaan Wina masih bisa teratasi. Beban pikiran yang ditanggungnya membuat raga wanita ini tidak
Perkataan Dewa masih terngiang, sangat menyakitkan menghujam jantung. Bahkan Wina berkali meyakinkan dirinya di bawah guyuran hujan, bahwa kejadian barusan bukanlah mimpi. Namun, semakin melangkah menjauh dari rumah, semakin percaya bahwa apa yang dialaminya benar-benar nyata. Ia telah diusir dari rumah itu. Tangisnya luruh bersama air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya. Kedua tangannya memeluk erat tas yang dibawa, mencari kehangatan di derasnya air langit yang menghujam tubuh. Sambil terus berjalan dan terisak, ia tak menduga harus tersisih dari sisi suaminya karena kehadiran seorang wanita yang jauh lebih segalanya darinya. Hatinya masih tak percaya jika ego suaminya telah tega mengalahkan buah hati mereka demi wanita yang baru dikenal. Langkah kakinya tak terasa semakin menjauh dari perumahan tempat tinggal lelaki yang tega menepikannya. Wina belum tahu akan melangkah ke mana. Hanya nama kakaknya yang sanggup diingat. Jika datang ke rumah Ria pun ia harus kuat menanggung malu
"Wina, ambil jemuran! Hujan bentar lagi turun!" teriak Lestari dari lantai bawah.Wina yang masih merapikan tempat tidur langsung menjawab seruan itu, agar ibu mertuanya tidak berteriak kesekian kali. Pandangannya beralih ke jendela. Rupanya di luar, mendung sudah menggantung di langit. Dengan cekatan ia segera merampungkan pekerjaannya dan bergegas turun. Sesampainya di lantai bawah, ia melihat Lestari masih asyik menonton acara televisi, sama sekali tak mempedulikan pekerjaan rumah. Namun, ia tak ambil pusing dan berjalan cepat ke halaman mengambil jemuran seprai serta selimut kepunyaan Lestari dan Diani. Tak lupa, pakaian satu rumah yang tadi dicucinya juga turut diambil dari tali jemuran. Benar saja, begitu jemuran terakhir diangkat, gerimis mulai turun.Wina meletakkan seluruh cucian kering itu di ruang setrika yang ada di sebelah dapur. Tatkala masih melipat seprai, ia mendengar mesin mobil berhenti di luar rumah. Indra pendengarannya yakin bahwa itu bukan suara mobil ayah mertu