Ed,Maafkan aku,Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayaiku,Tapi, aku mencintaimu.Hiduplah dengan baik dan lupakan saja aku.Semoga kau bahagia...Kutulis kata-kata itu di layar ponselku yang baru kuaktifkan. Dengan berlinang air mata kutekan tombol kirim ke nomor Ed.Meski statusnya tidak aktif, mudah-mudahan kapan hari dia berkenan mengechek ponselnya dan melihat pesanku.Kalau tidak pun, tidak masalah...Mungkin Tuhan sudah menghendaki semua berakhir seperti ini.Kupaksakan kakiku tetap melangkah meski badanku sudah sangat payah.Seharian rela tidak makan dan minum hanya karena tidak sabar ingin bertemu dengan suamiku itu. Ternyata semua tidaklah seindah yang kubayangkan.Aku kembali tersadar, siapalah aku ini. Hanya gadis kampung dengan nasib yang malang. Yang kini duduk di pinggir trotoar dan tidak tahu harus ke mana.Bingung dan tertekan di rumah Ed, aku memaksakan diri menyelinap pergi di tengah malam dari rumah itu, karena tidak tahan dengan semua keadaan yang membelenggu
Tidak menyangka, akhirnya bisa lagi menginjakkan kakiku di tanah kelahiran ayahku. Suasana damai sudah menyeruak yang pasti membuatku betah tinggal di tempat ini kembali.Sebenarnya ini tidaklah dengan mudah sampai di sini. Aku terjaring razia sosial hingga membuatku sempat tinggal di dinas siosial selama beberapa hari.Namun, kuanggap itu sebuah pertolongan terselubung dari Tuhanku saja.Bagaimana tidak, aku yang tidak punya uang dan tak tahu harus bagaimana tiba-tiba saja di angkut di mobil Satpol PP. Di tempat itu diberi makan dan diberi tempat tinggal dengan gratis, jadinya aku malah bersyukur. Di sana aku bertemu dengan wanita yang mengalami penyakit kepikunan dini meski usianya belum terlalu tua. Kutemani dia dengan baik dan saat keluarganya menjemput, mereka juga menawarkan untuk mengantarku ke kampung halaman.Kupilih kampung ayahku saja karena niatku memang ingin menyendiri. Ayah masih punya rumah peninggalan keluarganya dan dua tahun yang lalu aku masih sering datang unt
“Mila, kau kenapa?” Ibu jadi panik melihatku yang lemas.Dia segera bangkit untuk membantuku duduk di kursi. Sekarang ibu malah yang mondar-mandir mencari sesuatu untuk membuatku lebih baik.“Punya minyak kayu putih atau apa biasanya, Mila?” tanyanya sembari memeriksa laci“Tidak apa, Bu. Mila baik-baik saja.” Aku malah bingung melihat ibu sepanik itu.“Kita ke Puskesmas ya, Nak?” Ibu kembali dan membujukku.Aku pun mengangguk.Sejak kemarin aku mulai sering merasa pusing dan mual. Kuanggap biasa saja karena aku tahu saat ini sedang hamil. Dan hal -hal seperti itu sudah wajar.Tapi karena tidak mau kenapa-kenapa juga dengan bayiku, kusanggupi saat ibu mengajakku periksa ke Puskesmas. Lagipula sejak di periksa Dokter Hartono, aku belum sempat memeriksakan kandunganku lagi.Kami berjalan sebentar keluar gang dan memanggil becak motor di pangkalan untuk mengantar kami ke Puskesmas.Di kampung juga ada Polindes, tapi biasanya sore begini sudah tutup. Jadi kami pergi ke Puskesmas saja yan
Kami tidak langsung kembali ke rumah karena Ibu mengajakku ke Pasar Sore tidak jauh dari Puskesmas itu untuk menjual kalung emasnya.Dia bilang ingin mengadakan syukuran kecil-kecilan di rumah. Jadinya setelah menjual kalung emasnya itu kami sibuk belanja beberapa keperluan.“Jangan berlebihan Bu, ini masih 3 bulan, nanti biaya lahiran dan merawat bayi lebih gede. Mending ditabung saja buat nanti,” ujarku yang malah menasihati ibuku itu.Kondisi yang prihatin dengan hanya mengandalkan membuat kue basah dan menitipkannya di warung-warung dekat rumah, membuatku selalu berpikir hemat. “Jangan dipikir yang belum, Mila. Kita harus banyak bersyukur. Di dalam perutmu ini ada cucu, Ibu. Nanti ibu juga akan bantu-bantu biaya merawat anak-anakmu. Yang penting cucu ibu sehat dan lahir baik-baik saja, tidak kurang apapun.”Ibu mengelus perutku dan kembali tampak berkaca-kaca. Sepertinya dia sangat bahagia akan punya cucu. Aku ingat, ibu sangat penyayang anak-anak.Akhirya kubiarkan saja ibu men
“Aku tidak mau sekolah!”Bocah lelaki kecil itu tidak bisa berhenti berlarian saat kukejar karena sudah sesiang ini belum mau mandi.“Mama harus berangkat kerja, Gala. Lihat Meida sudah siap berangkat sama nenek!” tukasku sedikit kesal karena bocah itu selalu berdrama kalau waktunya sekolah. Padahal sekolahnya pun hanya tiga hari saja.“Bial Meida yang sekolah, aku di lumah saja, Mama!” lelaki kecilku masih menawar dengan logat bicaranya yang masih cadel, tidak bisa mengatakan hurur ‘r’ dengan benar.“Ya sudah, nanti kalau Mama ada jalan-jalan di kantor, Gala tidak usah ikut, ya?”Kesal belum juga berhasil membujuk anak itu, aku seperti biasa pura-pura tidak lagi mengejarnya.Lalu, si bocah kecil yang tampan itu malah berlari memeluk kakiku. “Ikut, Mama. Jangan tinggalin Gala.”Aku tersenyum dan mengangkat tubuh bocah 4 tahun itu.Kuelus rambut tebalnya yang halus itu dan kucium pipinya.Anak lelakiku tampan sekali, jadi suka lupa waktu kalau sudah dekat-dekat dengannya.“Gala sayang m
“Ya. Tuan Edward Eagan.”Pak Betha mengulang nama itu saat aku bertanya karena terkejut.“Edward Eagan ‘kan Pak?” aku masih memastikan.“Iya, Mila. Memangnya kenapa?” Pak Betha sedikit heran aku sampai harus beberapa kali memastikan nama itu.“Oh. Ahaha, I-iya. Tuan Edward Eagan ya, Pak. Saya hanya takut salah karena bagaimanapun nanti harus ikut mempersiapkan untuk menyambutnya.”“Benar. Catat baik-baik, namanya Edward Eagan. Awas kalau salah sebut atau salah pengejaannya. Ini kali pertama kita dapat proyek kerjasama dengan perusahaan besar dari Jakarta. Aku tidak mau ada kesalahan.” Pak Betha yang perfeksionis itu menegaskan.“Tentu, Pak!” jawabku dengan penuh kelegaan.Sesaat tadi aliran darahku sempat berhenti mendengar nama itu.Kupikir yang disebut Pak Betha adalah nama yang sama—yang sudah menjadi masa laluku.Sepertinya bukan.Ini Edward Eagan, bukan Edward Permana.Ada banyak nama Edward di dunia ini bukan pria itu saja. Kenapa juga aku setegang ini. Padahal sudah kuikhlaskan
“Ke-kenapa pingsan, Mis?”Mendengar ibuku pingsan aku sudah bingung sendiri. “Belum tahu, Ma. Ini baru mau dibawa ke Klinik Asyifa.” Mis Echa menyebutkan klinik yang dekat dengan gedung sekolah anak-anak.“Baik, Mis. Terima kasih sudah diberitahu. Aku akan segera ke sana. Nitip anak-anak ya, Mis,” ujarku bergegas membereskan barang-barangku.Setelah meminta izin pada Pak Betha, aku segera memacu motor maticku menuju klinik tempat ibu di bawa tadi.Sepanjang jalan hatiku tidak tenang. Kenapa ibu sampai jatuh pingsan?Aku jadi takut kalau neneknya anak-anak sampai kenapa-kenapa. Mereka pasti sedih kalau neneknya sakit.Mudah-mudahan ibu hanya sedang kelelahan saja.Teringat itu aku jadi menyalahkan diriku sendiri. Tidak seharusnya membiarkan ibu capek-capek merawat si kembar di usinya yang mulai menua itu.Mungkin setelah ini aku harus carikan orang yag bisa sekedar bantu-bantu di rumah.Walau nanti pengeluaran semakin membengkak, tapi aku akan berusaha bekerja lebih keras lagi.Demi m
“Tidak apa, Mila. Kau baliklah lagi ke kantor. Ibu sudah baik-baik saja, kok!”Ibu tahu aku sejak tadi diuber panggilan walau tidak kuangkat. Dia bisa mengira itu dari kantor tempatku kerja apalagi ini masih di jam kerja.“Aku nunggu Mbak Siti dulu, Bu. Barangkali bisa dimintai tolong jaga anak-anak. Ibu masih sakit.”Tadi aku sudah menghubungi seorang wanita yang bernama Mbak Siti.Wanita itu biasanya kupanggil kalau kebetulan pekerjaan rumah menumpuk sementara aku dan ibu tidak bisa mengatasinya.Mbak Siti bilang akan segera datang. Jadi kutunggu dulu sampai dia datang sekalian memberinya upah.Biasanya kalau tidak diberi upah dulu, wanita itu suka tidak sepenuh hati kerjanya.“Kamu suruh dia lagi?” Ibu tidak begitu suka dengan wanita yang kusuruh datang itu. Dia sudah tahu bagaimana Mbak Siti yang belum-belum sudah menanyakan upah kerjanya.“Ya siapa lagi, Bu? Hanya Mbak Siti yang aku kenal di komplek ini.”“Sudah batalin saja, Ibu masih bisa kok jaga anak-anak. Mereka juga sudah