“Lepas! Lepasin aku!” teriakku sembari memukul-mukul dada pria itu.“Mila, tenanglah!” tukasnya tapi aku tetap memukulinya sampai dia melepaskanku. “Lepaaass!” masih teriakku.“Hei, ini aku. Sayang, ini aku...” tukasnya lagi yang seketika membuatku berhenti memukulinya. Kemudian kudongakan wajahku dan baru melihat wajahnya.“Ugh...” lenguhku lega terbebas dari rasa takutku.Karena begitu paniknya aku tadi sampai tidak melihat siapa pria yang kutabrak. Aku bahkan memukulinya dan mengiranya orang yang akan berniat jahat padaku.“Ed?” ujarku dan aku langsung rebah di dadanya. Kupeluk tubuhnya erat sekali karena rasa takut itu masih membayangi.“Tidak ada apa-apa, tenanglah,” tukasnya menenangkanku. Ketika kami di mobil Ed masih menyodorkan air mineral dan mengelus kepalaku.“Tidak ada apa-apa, jangan setakut itu.”“Sungguh aku tidak bohong, Ed. Tadi aku melihat sepertinya ada orang yang mengawasiku. Aku sudah berbalik untuk pergi tapi aku merasa seperti ada yang mengejarku.” S
Kubuntuti Ed yang masuk ke dalam kamar untuk segera menyampaikan apa yang dikatakan Mbak Lilis. Sepertinya Ed menyembunyikan rasa cemasnya agar aku tenang.“Baik, nanti aku periksa CCTV. Jangan terlalu dibuat panik. Biar anak-anak tidak takut,” tuturnya.Aku mengangguk patuh. Untungnya masalah demi masalah yang terjadi selama di Jakarta ini, si kembar sama sekali tidak tahu. Mereka bahkan tidak menyadari bahwa pria yang sebulan lalu dikiranya papa mereka, bukanlah papa mereka.Sama sepertiku, Gala dan Meida yang belum pernah tahu tentang Erik, tentu akan melihatnya sebagai papa mereka saja.Saat kami makan malam Ed mendapat panggilan dan dia langsung mengakhiri dengan cepat. Aku tidak bertanya di depan anak-anak kemana dia pergi, karena sudah menduga bahwa Ed sedang mengurus masalah pengantar martabak tadi.“Papa kok buru-buru, Ma?” tanya Gala melirik papanya yang berlalu pergi.“Iya, Ma. Kan baru pulang, masa papa pergi lagi?” Meida jadi cemberut papanya keluar lagi.“Dihabiskan dul
“Tadi anak-anak sudah di teras, ketika pria itu memanggil mereka. Tentu saja saya juga kurang memperhatikan kalau itu bukan tuan, Nyonya.” Nur masih terlihat tegang. Namun kuminta dia tidak heboh agar anak-anak tidak terganggu.“Apa dia melakukan sesuatu yang tidak baik pada anak-anak?” tanyaku pada Nur.“Tidak, Nyonya. Dia malah menciumi Gala dan Meida, habis itu langsung buru-buru pergi. Saya pikir memang tuan yang hendak menjemput Anda di suatu tempat tapi menyempatkan mampir mengantar martabak itu.”Aku terhenyak mendengar pria itu malah menciumi Gala dan Meida. Tapi, sepengetahuanku, Erik memang menyukai anak-anakku. Dia juga bersikap baik dan lembut di depan anak-anak. Karenanya anak-anak terlihat nyaman-nyaman saja dan menganggap bahwa pria itu adalah papa mereka. Bagaimana Erik bisa tiba-tiba datang dalam momen yang pas sekali ketika anak-anak meminta martabak?Bukankah Ed pernah mengatakan sudah menahannya sendiri di suatu tenpat dan akan menghukumnya?Oh. Ya Tuhan. Mudah
“Sudah pulang, Sayangku?” kupeluk Ed dari belakang saat dia sudah masuk ke dalam kamar terlebih dahulu. Aroma parfumnya yang samar dan segar membuatku selalu betah berlama-lama memeluknya. “Anak-anak sudah tidur?” tanyanya membalikan tubuh agar bisa memelukku juga.“Sudah, Papa.”“Lalu kenapa mamanya belum tidur? Masih ngrumpi saja!” tukasnya sembari mencubit lembut pipiku. Pasti tadi saat pulang Ed sudah langsung ke kamar dan tidak mendapatiku. Jadinya dia mencari-cariku.“Nunggu suamiku pulang, lah. Kasihan kalau aku tinggal tidur.”Ed hanya tersenyum lalu kami sebentar berciuman mesra. Selepasnya aku baru menanyakan tentang urusannya.“Apa ada masalah, Sayang?”Dia menghela napas panjang dan itu cukup menunjukan bahwa ada banyak masalah yang ditanggungnya. Sayangnya pria ini selalu saja mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja padaku, agar aku tidak ikut mencemaskannya.Aku mana bisa langsung percaya padanya.“Ada apa?” tanyaku lagi.“Tidak ada apa-apa, mending kita istirahat yu
“Ed, sakiiiiit!” aku meringsut ketika bocah dewasa itu tidak berhenti mengusikku.Sejak bangun tidur tadi dia selalu nempel dan sekarang malah menggangguku yang tergesa ikut menyiapakan keperluan sekolah si kembar. Karena tidak mendapat perhatianku, Ed malah memelukku dari belakang dan menggigit leherku. “Masih ada Nur di sana, kau tidak malu?” tukasku kesal meliriknya di belakangku. Padahal kedua tanganku tidak menganggur. Aku harus memasukan beberapa keperluan anak-anak sembari membaca list yang di share guru mereka di grup sekolah.Nur kelupaan belum menyampaikan bahwa hari ini anak-anak harus berangkat lebih pagi karena ada kegiatan belajar di luar kelas. Karenanya, aku sampai ikutan heboh menyiapkan barang-barang yang akan mereka perlukan.“Nggak akan berani lihat dia, santai...” tukasnya masih bergelanyut di pundakku dengan suara bantalnya.Kelelahan karena semalam, sehabis subuh Ed tidur lagi. Padahal aku sengaja tidak membangunkannya, eh, saat bangun malah cari-cari dan le
Ed ada meeting dengan dewan direksinya. Aku yang boring di ruangannya memutuskan keluar sejenak.Mungkin menikmati segelas capucino di lounge bisa sedikit menghibur diri.Saat hendak menuju ke tempat itu dengan turun beberapa lantai dari ruang kerja suamiku, aku bertemu Sam.Apa dia tidak ikut meeting?“Sam?” sapaku dan pria itu menahan langkahnya sekedar memberikan hormat.Sam sejak dulu tidak berubah. Selalu sesopan itu.“Kau tidak ikut meeting?” tanyaku.“Ada yang harus saya lakukan, Nyonya. Jadi Tuan Edward tidak meminta saya mendampinginya meeting.”Kebetulan sekali. Aku bisa bertanya padanya.“Kau tidak keberatan bukan kalau kita duduk di lounge sebentar dan mengobrol?”Sam tidak langsung menyahut. Aku tahu pria ini sepertinya sedikit keberatan karena harus peri ke suatu tempat.Kalau dia bilang tidak bisa, aku juga tidak akan mengganggunya.Ternyata, Sam mengangguk dan memenuhi keinginanku. Mungkin segan menolak permintaan istri tuannya.Lagi pula, aku tidak akan lama-lama. Ak
“Ada tamu di dalam?” tanyaku pada sekretaris Ed sebelum masuk ke ruang kerjanya.“Ada, Nyonya. Apa perlu saya beritahu tuan kalau nyonya ada di sini?”“Apa tuan tidak mau diganggu?” tanyaku lagi. Kalau-kalau Ed berpesan agar tidak ada yang mengangunya saat ada tamu.“Tidak, Nyonya. Tuan tidak berpesan apa-apa.”Aku merasa lega, jadi kupikir memang gadis itulah yang kecentilan masuk dan mengganggu suamiku.“Kalau begitu, aku langsung masuk saja.”Dan sekretaris itu hanya mengangguk. Tidak menahanku karena memang Ed tidak memintanya menahanku. Saat kubuka pintu, Ed tampak duduk di sofa dan Indah juga duduk di sofa lainnya. Sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang tidak terlalu penting.Melihatku masuk, Ed langsung menyapaku. “Dari mana, Sayang?”“Oh, ada tamu?” Sapaku berjalan menghampiri mereka.“Hai Kak, Kakak di sini juga?” Indah dengan tampang cueknya menyapaku. Melihat gadis itu yang masa bodoh, aku mulai kesal padanya. Namun masih bisa kupertahankan sikap ramahku pada wanita
“Apa yang salah dari ucapanku? Ada urusan yang tidak bisa aku undur, lantas apa harus sebegitunya mengorbankan kepentingan lebih besar sekedar untuk beramah tamah pada seseorang yang hanya memegang satu kartu—pernah menyelamatkanku—yang besok atau kapan masih bisa bertemu?”Ed tampak tidak suka aku mengingatkannya akan hal itu. Padahal, akulah yang jengah pada sikap Indah. Kenapa juga aku malah membelanya?Labil sekali sikapku ini...“Ya sudah jangan kesal begitu. Kita cari makan siang di luar, yuk? Kau tidak sedang repot ‘kan sekarang?” kubingkai wajah suamiku dengan kedua tanganku, di sana kulihat banyak sekali masalah yang sampai membuat keningnya sedikit berkerut.“Boleh, setelah ini aku harus menemui utusan perusahaan dari Jepang di Hotel Emeraldo. Dari pada di rumah juga tidak ada orang, ikut sekalian, yuk?” Ed menawarkan.Aku mengangguk tidak keberatan. Bisa menemani suamiku dalam kesibukannya adalah hal yang baik.Lalu kurangkulkan kedua lenganku di lehernya untuk berkata,