“Sudah pulang, Sayangku?” kupeluk Ed dari belakang saat dia sudah masuk ke dalam kamar terlebih dahulu. Aroma parfumnya yang samar dan segar membuatku selalu betah berlama-lama memeluknya. “Anak-anak sudah tidur?” tanyanya membalikan tubuh agar bisa memelukku juga.“Sudah, Papa.”“Lalu kenapa mamanya belum tidur? Masih ngrumpi saja!” tukasnya sembari mencubit lembut pipiku. Pasti tadi saat pulang Ed sudah langsung ke kamar dan tidak mendapatiku. Jadinya dia mencari-cariku.“Nunggu suamiku pulang, lah. Kasihan kalau aku tinggal tidur.”Ed hanya tersenyum lalu kami sebentar berciuman mesra. Selepasnya aku baru menanyakan tentang urusannya.“Apa ada masalah, Sayang?”Dia menghela napas panjang dan itu cukup menunjukan bahwa ada banyak masalah yang ditanggungnya. Sayangnya pria ini selalu saja mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja padaku, agar aku tidak ikut mencemaskannya.Aku mana bisa langsung percaya padanya.“Ada apa?” tanyaku lagi.“Tidak ada apa-apa, mending kita istirahat yu
“Ed, sakiiiiit!” aku meringsut ketika bocah dewasa itu tidak berhenti mengusikku.Sejak bangun tidur tadi dia selalu nempel dan sekarang malah menggangguku yang tergesa ikut menyiapakan keperluan sekolah si kembar. Karena tidak mendapat perhatianku, Ed malah memelukku dari belakang dan menggigit leherku. “Masih ada Nur di sana, kau tidak malu?” tukasku kesal meliriknya di belakangku. Padahal kedua tanganku tidak menganggur. Aku harus memasukan beberapa keperluan anak-anak sembari membaca list yang di share guru mereka di grup sekolah.Nur kelupaan belum menyampaikan bahwa hari ini anak-anak harus berangkat lebih pagi karena ada kegiatan belajar di luar kelas. Karenanya, aku sampai ikutan heboh menyiapkan barang-barang yang akan mereka perlukan.“Nggak akan berani lihat dia, santai...” tukasnya masih bergelanyut di pundakku dengan suara bantalnya.Kelelahan karena semalam, sehabis subuh Ed tidur lagi. Padahal aku sengaja tidak membangunkannya, eh, saat bangun malah cari-cari dan le
Ed ada meeting dengan dewan direksinya. Aku yang boring di ruangannya memutuskan keluar sejenak.Mungkin menikmati segelas capucino di lounge bisa sedikit menghibur diri.Saat hendak menuju ke tempat itu dengan turun beberapa lantai dari ruang kerja suamiku, aku bertemu Sam.Apa dia tidak ikut meeting?“Sam?” sapaku dan pria itu menahan langkahnya sekedar memberikan hormat.Sam sejak dulu tidak berubah. Selalu sesopan itu.“Kau tidak ikut meeting?” tanyaku.“Ada yang harus saya lakukan, Nyonya. Jadi Tuan Edward tidak meminta saya mendampinginya meeting.”Kebetulan sekali. Aku bisa bertanya padanya.“Kau tidak keberatan bukan kalau kita duduk di lounge sebentar dan mengobrol?”Sam tidak langsung menyahut. Aku tahu pria ini sepertinya sedikit keberatan karena harus peri ke suatu tempat.Kalau dia bilang tidak bisa, aku juga tidak akan mengganggunya.Ternyata, Sam mengangguk dan memenuhi keinginanku. Mungkin segan menolak permintaan istri tuannya.Lagi pula, aku tidak akan lama-lama. Ak
“Ada tamu di dalam?” tanyaku pada sekretaris Ed sebelum masuk ke ruang kerjanya.“Ada, Nyonya. Apa perlu saya beritahu tuan kalau nyonya ada di sini?”“Apa tuan tidak mau diganggu?” tanyaku lagi. Kalau-kalau Ed berpesan agar tidak ada yang mengangunya saat ada tamu.“Tidak, Nyonya. Tuan tidak berpesan apa-apa.”Aku merasa lega, jadi kupikir memang gadis itulah yang kecentilan masuk dan mengganggu suamiku.“Kalau begitu, aku langsung masuk saja.”Dan sekretaris itu hanya mengangguk. Tidak menahanku karena memang Ed tidak memintanya menahanku. Saat kubuka pintu, Ed tampak duduk di sofa dan Indah juga duduk di sofa lainnya. Sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang tidak terlalu penting.Melihatku masuk, Ed langsung menyapaku. “Dari mana, Sayang?”“Oh, ada tamu?” Sapaku berjalan menghampiri mereka.“Hai Kak, Kakak di sini juga?” Indah dengan tampang cueknya menyapaku. Melihat gadis itu yang masa bodoh, aku mulai kesal padanya. Namun masih bisa kupertahankan sikap ramahku pada wanita
“Apa yang salah dari ucapanku? Ada urusan yang tidak bisa aku undur, lantas apa harus sebegitunya mengorbankan kepentingan lebih besar sekedar untuk beramah tamah pada seseorang yang hanya memegang satu kartu—pernah menyelamatkanku—yang besok atau kapan masih bisa bertemu?”Ed tampak tidak suka aku mengingatkannya akan hal itu. Padahal, akulah yang jengah pada sikap Indah. Kenapa juga aku malah membelanya?Labil sekali sikapku ini...“Ya sudah jangan kesal begitu. Kita cari makan siang di luar, yuk? Kau tidak sedang repot ‘kan sekarang?” kubingkai wajah suamiku dengan kedua tanganku, di sana kulihat banyak sekali masalah yang sampai membuat keningnya sedikit berkerut.“Boleh, setelah ini aku harus menemui utusan perusahaan dari Jepang di Hotel Emeraldo. Dari pada di rumah juga tidak ada orang, ikut sekalian, yuk?” Ed menawarkan.Aku mengangguk tidak keberatan. Bisa menemani suamiku dalam kesibukannya adalah hal yang baik.Lalu kurangkulkan kedua lenganku di lehernya untuk berkata,
Kusempatkan mandi agar lebih segar. Karena tidak bawa baju ganti, jadi aku memakai bathrobe dan menggantung bajuku agar nanti masih bisa kupakai. Lupa tidak bawa mukena, jadi aku mengirim pesan pada Maria agar bisa mengambilkanku barang itu di mobil Ed tadi.Dengan cepat Maria membunyikan bel untuk mengantar barang yang kuminta. Dan baru saja aku menutup pintu, pesan dari Ed kuterima.[Serius sudah sholat ini?]Apa maksudnya dia bertanya itu?Astaga... Otakku lambat sekali menangkap.Pasti dia sudah heboh karena tahu aku meminta Maria mengambilkan mukena di mobilnya tadi. Artinya dia tahu aku sudah menyelesaikan masa nifasku. Dan apalagi coba yang ada di otak pria itu kalau bukan tentang meniduriku.[Kenapa memangnya, Tuan?] kubalas dengan pura-pura tidak paham apa maksudnya.[Asyiklah, aku selesaikan meeting dengan cepat, tunggu aku ya?]Aku hanya terkekeh membaca pesannya. Padahal dia sedang meeting penting dengan perwakilan perusahaan dari Jepang yang akan bekerjasama dalam suatu
Tangannya sibuk melucuti baju dan celananya sementara bibirnya tidak melepaskan bibirku dari pagutannya. Lidahnya menjelajah dan mengabsen satu persatu geligiku. Pria ini bahkan membuatku megap-megap kekurangan oksigen saat melepaskan ciuamannya.Aku masih mengatur napas dan Ed sudah menggedongku ke ranjang saja. Katanya suka dengan lingeri yang kupakai, tapi ujung-ujungnya dia pelorotkan juga. Tidak menyisakan bahkan dalaman yang kupakai. Lalu dengan terampil menyusuri setiap lekuk tubuh dengan begitu bergairah.Ciumannya melorot dari bibir, ke pipi, lalu turun keleher, dan semakin turun menyusuri gunung dan melumat puncaknya dengan begitu lahap, sedangkan satu bagian lagi tak dibiarkannya menganggur, jadi diremasnya dengan lembut dan nyaman.Mendapat perlakuan yang memabukan itu, tubuhku tidak kubiarkan menjadi munafik dengan pura-pura tidak menikmatinya. Erangan dan desahan pun kuloloskan. Apalagi setelah puas mencetak beberapa tanda cinta di kulit putihku, Ed menurunkan kepalanya h
“Ini istri saya, Pak.” Ed merangkul bahuku ketika keluarga Indah hanya sibuk menyapanya.Hanya pemuda itu yang sejak tadi memandangku sedikit malu-malu. Aku tidak tahu mengapa dia bersikap demikian?“Oh, Iya. Ini Kak Mila. Istrinya Mas Edward.” Indah baru menyinggungku.“Loh kita kan pernah ketemu waktu itu, ya?” Wanita itu ternyata masih ingat pernah mengobrol denganku. “Yang pembantunya sampai muntah-muntah karena naik lift itu ‘kan?”Mengingat tentang Mbak Lilis, Indah dan ibunya kompak tertawa. Tapi, ada yang membuatku tidak suka. Mereka tidak seharusnya mengatakan bahwa Mbak Lilis itu pembantuku. Meski Ed memang memintanya bantu-bantu di rumah dan menggajinya sebagaimana pegawainya yang lain, tapi bagiku Mbak Lilis itu sudah seperti kakak kandungku.“Tolong jangan bilang dia pembantu. Dia kakak saya,” ujarku menghentikan tawa mereka.Ed mengelus pundakku seolah mengingatkanku agar jangan mudah terpancing untuk emosi kalau menghadapi mereka. Tapi aku sudah kesal. Mereka mener