Selamat membaca... Love you all 💕💕💕
“Ini istri saya, Pak.” Ed merangkul bahuku ketika keluarga Indah hanya sibuk menyapanya.Hanya pemuda itu yang sejak tadi memandangku sedikit malu-malu. Aku tidak tahu mengapa dia bersikap demikian?“Oh, Iya. Ini Kak Mila. Istrinya Mas Edward.” Indah baru menyinggungku.“Loh kita kan pernah ketemu waktu itu, ya?” Wanita itu ternyata masih ingat pernah mengobrol denganku. “Yang pembantunya sampai muntah-muntah karena naik lift itu ‘kan?”Mengingat tentang Mbak Lilis, Indah dan ibunya kompak tertawa. Tapi, ada yang membuatku tidak suka. Mereka tidak seharusnya mengatakan bahwa Mbak Lilis itu pembantuku. Meski Ed memang memintanya bantu-bantu di rumah dan menggajinya sebagaimana pegawainya yang lain, tapi bagiku Mbak Lilis itu sudah seperti kakak kandungku.“Tolong jangan bilang dia pembantu. Dia kakak saya,” ujarku menghentikan tawa mereka.Ed mengelus pundakku seolah mengingatkanku agar jangan mudah terpancing untuk emosi kalau menghadapi mereka. Tapi aku sudah kesal. Mereka mener
“Kira-kira abah mau tidak kalau kakak yang tadi bersedia jadi istri keduanya abah? Nanti aku kok yang bilang. Aksa suka punya mama muda kayak begitu?” Naluriku mulai tergelitik untuk menjahili wanita ini. Ed hanya menahan senyum mendengar apa yang kukatakan. Dia tahu aku hanya berniat membalikan keadaan.“Maulah, kak. Biar setiap hari bisa cuci mata. Ya kan, Bah?” si anak malah ikutan menggoda abahnya. “Aksa!” Pak Suwandi mengingatkan anak laki-lakinya karena sang mama sudah mulai keluar taringnya.“Astaga, berani kamu nawar-nawarin istri di depan istri sahnya. Ini mama teh masih hidup, belum modar, masih sehat wal afiat. Kurang ajar kamu sama orang tua, ya?!”Wanita itu sudah melotot ke arahku dengan napas naik turun. Sangat tidak terima suaminya kubercandain tentang istri kedua.“Maaf...” Ed lagi-lagi mencemaskanku dan ingin membantu tapi kusenggol kakinya sebagai kode agar tidak ikut-ikutan. Jadinya dia hanya bisa menghela napas.Kalau sudah urusan sama ibu-ibu, mending bapak-ba
“Haha, sudah, enggak apa-apa. Kan Indah dan ibu yang ngrawat suamiku. Jadi kuanggap mereka tetap berjasa menyelamatkannya.” “Baiklah, apa sudah selesai? Aku haus ini...” Ed baru menyahut dan mengambil minuman di meja. Suasana yang tegang tadi mulai mencair.Pak Suwandi tertawa mendengar suara Ed, seolah begitu lega perdebatan para wanita di ruangan ini sudah berhasil dihentikan.“Ahaha, duh, makanannya sampai dingin. Ayo, silahkan makan!” aku pun menyahut mencairkan suasana.“Iya, Kak. Aku sudah lapar sejak tadi. Boleh, kan, Bah makan?” tanya Aksa meminta pertimbangan.Kuambilkan sepotong ayam di piring dan kusodorka pada Pak Suwandi agar pria itu memutuskan makan saja. Agar istri dan anak perempuannya tidak kembali membuka debat sesion dua.“Mangga, Bah. Mau diambilkan sayur juga?” kutawarkan dengan ramah.Pria itu tentu senang aku mengambilkannya makanan. Dan kubiarkan wanita di depan sana hanya melirik tajam suaminya yang manggut-manggut saja kutawari makanan.“Indah, nanti ka
Aku sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa pertemuan yang awalnya bertujuan sekedar silaturrahmi dan aku hanya ingin mengucapkan rasa terima kasih secara sepantasnya pada keluarga Indah karena sudah merawat suamiku, ternyata seperti itu adanya.Berlangsung dengan ketegangan dan malah berakhir dengan sesuatu yang kurang berkenan.Habis bagaimana lagi? Belum-belum Indah dan mamanya itu sudah dengan terang-terangan menyinggung bahwa Indah seolah-olah menjadi istri kedua suamiku. Istri mana coba yang tidak panas dan emosi?“Maaf ya, Sayang. Aku benar-benar kalap tadi.” Kini aku baru menyadari sikapku yang kalau kuingat-ingat lagi membuatku malu sendiri.“Kok minta maaf?” Ed heran denganku.“Tadi aku sudah sebar-bar itu sama Indah dan mamanya. Apa kau marah?”Ed menarik pinggangku hingga tubuh kami saling menempel dan tersenyum menatapku.“Kenapa aku harus marah? Kau hebat loh tadi. Aku saja sampai spechles dengan ketegasanmu.” Ed malah memujiku dan tertawa kecil mengingat pertemua
“Sekali lagi kecolongan kaya begini, aku akan membuat perhitungan pada kalian!” Ed marah-marah. Kedua satpam itu menunduk bersalah dan terlihat takut.Ed memang mengerikan kalau marah-marah begitu. Satpam yang berbadan gede gempal saja setakut itu.Ed pernah nutup pintu dengan keras saja jantungku sudah hampir copot, perasaanku sudah kacau tak karuan, aku tidak mau membayangkan bagaimana kalau Ed marah seperti itu padaku? Dan seketika aku terkejut karena Ed sudah membuka pintu. Dia masuk lewat pintu dapur dengan tergesa jadi tidak menyadari keberadaanku. Aku yang tadi hampir menyapanya mengurungkan niat.Tidak apa. Aku juga tidak mau menganggunya dulu.Sepertinya, dia langsung masuk ke ruang kerja. Aku jadi kasihan, bahkan sudah pulang pun dia masih juga ke ruang kerjanya. Bukannya ke kamar kami dan langsung beristirahat.Andai aku bisa membantunya sedikit hal saja yang bisa meringankan pekerjaannya, sayangnya pria itu selalu pelit kalau kumintai tahu tentang masalahnya.Aku kemb
“Utusan Keluarga Ramzi datang. Katanya, mereka mau membatalkan pernikahan ini!”Deg!Rasanya duniaku berputar seketika. Hari ini adalah hari pernikahan kami. Penghulu, tamu, sampai kerabat jauh sudah berkumpul di sini.Bagaimana bisa calon suamiku dan keluarganya itu membatalkan pernikahan ini secara sepihak? Padahal, kami sama sekali tidak ada masalah sebelum ini.Bugh!Tiba-tiba saja, Ibuku oleng. Dia bahkan sampai harus berpegangan pada dinding, saking syoknya.“Bu?!”Segera kupapah tubuh ringkih itu untuk masuk ke dalam kamar. Tapi, Ibu menolak. “Tidak usah, Mila. Ibu baik-baik saja!” Jantungku mencelos mendengarnya. Seminggu sebelum acara pernikahan, ibu padahal sudah pontang-panting menyiapkan semuanya karena merasa tidak bisa menyumbang banyak untuk acara pernikahan putrinya ini.Tunggu….Bicara soal biaya pernikahan, pamanku dan istrinyalah yang membiayai semua keperluan pernikahan ini. Sebab, tanteku itu ingin kolega yang pernah dikasih sumbangan, balas memberi amplop yang
“Apa dia pria baik-baik?”Ibuku cemas kala melihat Ed yang penampilannya 180 derajat berbeda dari Mas Ramzi.Mantan calon suamiku itu memang merupakan pria berpendidikan dan seorang dosen di sebuah universitas ternama di kota ini.Sementara pria yang akan menggantikannya kali ini hanyalah pria yang bahkan aku sendiri tidak tahu persis bagaimana dia.Tapi, dalam situasi begini, apa aku masih bisa memilih pria lain?Sungguh aku sudah sangat beruntung Ed menerima pernikahan ini.Setelahnya, kuharap kami bisa kembali kehidupan masing-masing. “Semoga saja, Bu.” jawabku lelah, menyembunyikan kenyataan yang bertolak belakang tentang Ed.Sesaat kemudian ibu mendekat dan memelukku erat. Mungkin dia sadar bahwa aku saat ini sedang hancur dan down. “Ibu hanya bisa berdoa agar Allah selalu melindungimu, Nak. Sabar ya...?”Elusan di pundakku itu justru membuatku begitu lemah dan hancur. Aku lalu rebah di pundaknya dan menangis hingga tergugu di sana. Teringat betapa selama ini hidupku dipenuhi mas
“Astaga! Bisa-bisanya kau menendang suamimu?!”Kulihat Ed terduduk di lantai karena ulahku.Aku jadi tak enak. Tapi, tadi itu gerakan refleks untuk perlindungan diri.“Tentu saja aku menendangmu, apa yang kau lakukan?” tukasku masih enggan merasa bersalah malah melototi pria yang kini berjalan mendekatiku.“Dengar Nona Mila! Aku tidak mungkin membiarkanmu tidur di mobil sepanjang malam, ’kan? Makanya aku menggendongmu ke kamar. Apa kau lupa kalau aku ini suamimu sekarang?” gerutunya tampak sebal sembari mencekal daguku tepat di kedua matanya.Aku sudah berpikir pria ini akan langsung memaksa mendapatkan haknya saja lantaran sok merasa menjadi suami.“Baik. Maafkan aku. Tapi jangan lakukan hal ini padaku. Kita harus bicara dulu,” ucapku penuh kecemasan.Untungnya Ed terlihat kasihan. Dia melepasku, lalu berjingkat pergi keluar kamar begitu saja.Baru saja aku bernapas lega, tapi pria pengganti calon suamiku itu sudah masuk lagi ke dalam kamar.“Aku lapar. Kau mau makan apa biar aku pes