Selamat membaca... Love you all, 💕💕💕
“Ed, maaf, tadi aku menonaktifkan nada dering ponselmu. Kau baru tidur jadi aku tidak mau kau terganggu,” ujarku berhati-hati sembari memperhatikan raut wajahnya. Ed tampak resah.“Apa Sam sudah menghubungimu balik?” tanyaku lagi.“Iya, sudah,” ujarnya sembari menghela napas panjang.Untunglah, jadinya aku tidak perlu berbasa-basi tentang pesan itu. Sam pasti sudah menyampaikannya.“Bagaimana?” tanyaku yang juga sebenarnya sejak tadi ikut memikirkan nasib pria itu.Ed menoleh ke arahku dan menerka-nerka apa yang kumaksudkan. Dan dengan cepat dia paham. Karena sebelumnya aku sudah membaca pesannya.“Sam sedang mengurusnya,” ujarnya namun riak keresahan makin menyeruk di wajahnya. Pasti ada sesuatu yang sangat membebaninya.“Kenapa seresah itu, Sayang?” tanyaku lagi.Mungkin Ed dilema dan bingung harus bagaimana. Di antara pilihan sebuah tanggung jawab dan menjaga perasaanku.Aku yang memahami itu menggeser dudukku mendekatinya. Ku peluk bahunya dan kusandarkan kepalaku di pundaknya.
“Ari, kemana kita?” tanyaku yang merasa tidak asing dengan jalan ini.Bukankah ini jalan menuju rumah keluarga?“Tuan Edward tadi ke rumah keluarga, Nyonya,” ujar pria itu.Tapi aku merasa dia membohongiku. Mungkin ini hanyalah tak-tinya agar aku tidak mengikuti Ed.Saat Ari turun dari mobilnya untuk membukakan pintu untukku, segera kukunci pintu agar Ari tidak bisa membukanya. Biarpun aku tidak bisa menyetir, namun sekedar mengunci pintu mobil, aku tahu.“Nyonya, apa yang Anda lakukan?” Ari mengetuk-ketuk kaca jendela.Kuambil ponselnya yang masih ditinggalnya di mobil dan mengheceknya.Ada pola garis untuk membukanya. Tidak tahu bagaimana di pola pertama aku langsung bisa membukanya. Kutarik garis membuat huruf L dan ternyata memang itulah pola ponsel Ari.Lihatlah, bahkan semesta mempermudahku kali ini.Yang pertama kulihat adalah aplikasi pesan. Langsung kucari nama Sam. Lalu dengan cepat membaca deretan pesan dari atas sampai bawah untuk mencari-cari sebuah petunjuk.Mataku membu
“Pras? Ini aku.” Ari nampak mengenal pria itu dan dia bersikap santai menyapanya.Aku heran namun rasa cemas menguasaiku.“Ari? Kenapa kesini?” pria yang tadi bersuara lantang kini melunak. Aku tidak tahu pria itu siapanya Ari.“Dia, temanku. Kebetulan kami di sekitar sini dan dia butuh toilet.”Penjelasan Ari sudah memberitahuku bahwa dia mencoba berpura-pura. Saat dia melirikku, aku langsung paham.“Di mana toiletnya, Ari?” tanyaku padanya.“Masuklah ke dalam, aku akan menunggumu di sini. Ini saudaraku.” Ari merangkul pria itu dan memberi kode padaku.Aku tahu harus bergerak cepat sebelum pria ini curiga.“Baik, Ari. Terima kasih,” ujarku padanya dan berjalan masuk.Masih bisa kudengar pria itu mencandai Ari. “Pacarmu? Jangan tinggi-tinggi standarnya. Kita ini hanya babu, lho!” Aku melangkah mengikuti insting saja. Saat kulihat seorang pelayan membawakan beberapa botol minuman, aku bersembunyi di balik dinding. Memperhatikan kemana wanita itu melangkah.Tidak ada salahnya mengiku
“Aw!” Tanpa sadar aku terkejut dan berteriak.Terlalu serius memperhatikan keadaan di dalam sana dengan perasaan campur aduk membuat tanganku mendorong pintu yang tidak tertutup itu sehingga terbuka.Sontak teriakanku itu mengundang mata-mata yang di sana menoleh ke arahku.Ed terlihat begitu terkejut dan menghela napas tidak berdaya. Mungkin memikirkan bagaimana aku sampai bisa ada di tempat ini?Tentu saja orang-orang Danio tidak tinggal diam. Bersamaan dengan Ed yang akan melangkah melindungiku, para algojo itu menahannya juga mengamankanku.“Danio, kita sudah sepakat tadi, kita akan bicarakan baik-baik. Kenapa kau menahanku seperti ini?” Ed memberontak mencoba melepaskan diri dari tangan-tangan kekar tukang pukul Danio. Melihatku yang ketakutan, Ed sepertinya tidak tega. “Kau bilang tidak datang dengan siapapun, kan? Ternyata ada orang lain yang kau suruh mengintai? Apa kau juga melapor polisi?” Danio bangkit dengan tatapan geram menghampiriku.Jantungku berdegup tak menentu.
“Lepaskan aku! Biarkan aku menghajar pria keparat ini!” Ed merusal dan menarik tubuhnya dari kedua pria kekar itu.Ketika dia berhasil melepaskan diri dan dua pria kekar itu hendak menahannya lagi, Danio melarang mereka.“Biarkan! Rasanya menarik juga kalau kita menyaksikan pergulatan dua putra kembar keluarga Permana. Lepaskan juga Erik. Awasi saja mereka dari jauh.” Danio memberikan perintah ada para tukang pukulnya.“Ed kumohon, jangan...” pintaku masih memberanikan diri bersuara padanya.Sebenci apapun dia dengan saudaranya, tapi janganlah sampai ada pertumpahan darah. Sebelumnya Ed tidak pernah mempermasalahkan hal ini, bahkan pernah melarangku untuk menyinggung dan menjelaskan tentang Erik agar aku tidak sedih.Lalu, apa yang terjadi sekarang? Mengapa hasutan Danio yang begitu saja sudah membuatnya semarah itu? Sebegitu mudahnya dia merubah sikapnya selama ini.“Diam dan lihat saja! Kau tidak akan pernah dirugikan, Kamila. Siapapun nanti yang kalah, kau masih punya satu pi
“Tidak, Tolong!” teriakku gemetar melihat darah sudah muncrat memenuhi bajuku.Tubuh itu tergolek di lantai tepat di depanku dengan kesadaran yang semakin menurun. Di tubuhnya bersarang beberapa peluru yang tadi sengaja dihalaunya agar tidak mengenaiku dan Ed.“Erik!” Ed langsung memapah tubuh saudaranya itu di pangkuannya. Sementara yang lain sudah langsung meringkus Danio. Pria itu harus ditembak di bagian kakinya karena terus memberontak dan melakukan perlawanan. Beberapa anggota polisi pun terkena peluru nyasar dan ada satu yang mengalami luka parah seperti Erik.Meski sudah terkena tembakan di kakinya pun, Danio masih berhasil melompat keluar melalui jendela kaca yang sudah di pecahkannya sambil melompat keluar.“Sam, cepat panggil ambulance dan evakuasi Erik!” panggilnya pada Sam.“Baik, Tuan!” Sam yang tadinya hendak membantu polisi mengejar Danio kini harus beralih mengurus Erik. “Ari, amankan, Mila!” ujarnya pada Ari juga. Dalam keadaan genting begini aku hanya menurut saj
“Papa belum pulang, Ma?” tanya Meida saat aku menemaninya tidur.Anak perempuanku mulai rewel lagi karena dua hari ini belum bertemu papanya.“Papa masih ada urusan, Meida,” ujarku yang berbaring di sampingnya sembari mengelus punggungnya agar bisa tertidur.“Papa kenapa selalu sibuk, Ma? Ketemu hanya sebentar terus pergi lagi. Katanya mau ajak kita jalan-jalan ke luar negri kalau mama sudah sembuh.” Walau matanya sudah mulai mengantuk, tapi Meida masih juga bergumam dengan kesal.“Iya, nanti,” ujarku dengan sabar menyahutinya.“Tapi, kapan?” Meida masih mendesak.“Sekolah kita belum libur, kan, Meida? Papa bilang kalau liburan, kan?” Gala menyahuti saudarinya.Kutoleh ke ranjang samping, anak itu sekarang malah duduk. Padahal tadi sudah kudengar dengkur halusnya.“Kok bangun? Ayo tidur lagi,” tuturku pada Gala.“Aku tidur di kamar mama saja, ya? sebal kalau terus dengarin Meida mengoceh. Udah enak-enakan mimpi eh kebangun.”“Yee, aku enggak ngoceh, kok. Enggak teriak-teriak juga.
“Jangan bercanda. Tadi dokter menyampaikan semuanya sudah baik-baik saja.” Ed terlihat gelisah dan nampak bingung harus melakukan apa.“Oke, aku akan segera ke sana!” tukasnya lalu melemparkan ponselnya di sofa dan bergegas ke kamar mandi.Aku bisa menduga pasti ada hal darurat di rumah sakit.“Kau akan ke rumah sakit?” tanyaku membantunya mengambil pakaian untuknya berganti. Ed hanya memakai piyama saat tidur, tidak mungkin juga ke rumah sakit tanpa berganti baju.“Iya, Sayang. Tanda-tanda vital Erik semakin menurun. Sam menelpon tadi,” tukasnya gugup.“Aku temani ya, Ed?” ujarku. Aku juga ingin melihat kondisi saudara iparku itu.Meski tidak langsung menjawab, tapi akhirnya Ed mengangguk.“Baiklah, ganti bajumu, aku tunggu di depan.”Segera saja dengan cepat kuganti pakaianku, membangunkan Nur untuk menitipkan anak-anak, lalu langsung menghampiri Ed yang sudah bersiap di mobil.Dengan segera kami sudah meluncur di jalan. Ed memang cakap dalam menyetir. Dia bisa mengemudikan dengan
Ed langsung berjalan ke panggung dan meminta dua anaknya turun panggung. Dia juga tidak malu mengendong dua bocah yang sudah tampak lebih besar itu sembari meminta maaf pada pasangan yang bertunangan.Sambutan yang di sampaikan Pak Rawan sempat terhenti karena kegaduhan tawa beberapa undangan yang melihat dua bocah lucu itu.Mereka justru terhibur dengan kerandoman dua bocah itu.Apalagi melihat sang big bos di perusahaan mereka langsung turun tangan menjemput dua perusuh kecil itu di atas panggung, mereka banyak yang terkesan.Sam dan Ari baru menyadari tentang dua bocah itu. Dia juga tidak melihat kehadiran kami. Jadi tidak menduga kalau dua bocah kecil itu ternyata Gala dan Meida.Kalau mereka tahu sudah barang tentu gercep dan mengatasi mereka. Tidak membiarkan sang bos sampai harus menjemput dua anaknya di sana.“Tuan Edward sayang banget ya sama anak-anaknya.” Kedengar gumaman itu dibalik punggungku.“Iya, kupikir hanya bisa marah-marah di kantor seperti tadi marah besar pada T
“Ma... dilihatin pelayan dan Sus, tuh! Mama enggak malu sama mereka?” Meida terlihat kesal melihat kemesraan kami.“Ya deh, Pa. Kita pindah ke kamar, yuk biar enggak dilihatin!” Aku bangkit dan menarik lengan Ed.Membuat Meida langsung berlari menahan lengan papanya dan merajuk.Sekarang malah ganti aku yang menggoda anak perempuanku itu. Enggak heran deh kalau Meida jadi cengeng.Habis, dia mudah sekali digodain....“Ada apa, Ed?” tanyaku karena tadi dia sampai memanggilku saat aku masih bersama ibu.Ed tidak akan menggangguku yang masih berbicara dengan ibu kalau bukan karena ada sesuatu yang ingin disampaikannya.“Sam tadi baru menyampaikan ada undangan hari ini dari salah satu dewan direksiku. Tidak enak juga kalau tidak datang karena kami lumayan dekat di kantor. Kamu bisa temani aku, kan?”“Undangan apa itu, Sayang?”“Pertunangan putrinya. ““Baik, Sayang,” ujarku menyanggupi.Lalu aku baru ingat tentang Erik yang sudah tidak berada di rumah saat kami pulang dari liburan.“Erik
Kesibukan Ed dan beberapa hal yang sangat membutuhkan keberadaannya di Jakarta membuat liburan kami tidak bisa berlama-lama.Padahal Ed tidak begitu saja lepas pekerjaan saat kami liburan.Ketika anak-anak sudah tidur, biasanya dia membuka laptopnya sekedar berkordinasi dengan Sam mengenai urusan kantor atau lainnya.Perbedaan waktu antara negara tempat kami berlibur dengan Indonesia membuat Ed serasa selalu sibuk sepanjang waktu.Semisal anak-anak sudah lelah dan beristirahat ketika malam hari. Ed masih bisa mengadakan meeting jarak jauh dengan pegawainya di Indonesia yang masih di jam kerja.Karena musim dingin, jadi kami menggunakan waktu siang hari yang masih relatif jarang turun salju daripada ketika menjelang malam hari untuk jalan-jalan.Jadi malam harinya kami bisa bersantai di sebuah rumah yang kami sewa, menyalakan api di perapian untuk menghangatkan diri, menikmati minuman hangat dan kudapan bersama anak-anak sembari melihat salju berjatuhan dari jendela kaca. Gala dan
“Kalau bisa, kujambak sekalian saja rambutnya!” ujarku yang masih kesal sementara Ed hanya tertawa saja.“Ngapain juga sih masih kunjungin wanita seperti itu?”“Iya, sabar, buk!” Sambil menyetir Ed masih terkekeh.Kami segera sampai disebuah bangunan yang megah sekali. Sebuah gereja berkubah yang tampak sangat agung. Ed tadi bilang ini Katredal Monreale.“Kalau sudah hilang kesalnya kita masuk?” Ed melihat raut wajahku yang masih ketarik itu.“Belum. Aku mau duduk sebentar dan kau harus menjawab pertanyaanku dengan baik. Jadi kalau sampai aku bertanya pada orang lain, itu karena kau yang pelit sekali informasi tentang kelurgamu, Ed!” sekalian kukeluarkan kesalku agar nanti tinggal bersenang-senang melihat katredal yang terkenal itu.“Baik, Sayang.” Dengan sabar Ed mendengarku. “Bukankah hubunganmu dengan Erik tidak begitu baik? Tapi kulihat tadi kau juga begitu mengenal istri Erik?” aku tahunya Ed dan Erik sudah berpisah sejak mereka masih remaja. “Tidak baik bukan berarti aku tid
Kami tiba di sebuah rumah besar dan mewah setelah Ed mengajakku menemui lawyernya Erik.Setelah mendapat pengarahan, Ed sekalian mengajakku ke rumah ini. Tadi dia juga sudah menghubungi seseorang untuk menyampaikan akan datang. Mungkin itu istri Erik.Ah, bukan. Pengacara Erik tadi bilang berkas perceraian Erik sudah disetujui. Jadi mereka bukan lagi suami istri.“Ini masih di kota yang sama?” tanyaku padanya sembari menunggu orang yang dihubunginya keluar rumah.“Bukan, ini Monreale. Hotel kita tadi di Palermo,” jawab Ed.Aku yang tidak banyak tahu hanya mengangguk-angguk saja. Bagaimana bisa tahu, ini saja pegalaman pertamaku ke luar negri.“Kalau tadi anak-anak mau ikut, kita bisa berkunjung ke Katredal Monreale sekalian. Tidak jauh kok dari sini.” Ed memberitahu tentang salah satu destinasi tempat yang rekomended di kunjungi.“Ada apa saja di sana?”“Aku tidak bisa banyak menjelaskan, nantilah kalau kau mau kita mampir sebentar.”Aku mempertimbangkan. Nantilah lihat situasinya dul
Palermo, Italy..Gala tak berhenti menanyai papanya yang sudah terkantuk-kantuk itu setelah sebentar tadi kami berjalan-jalan di sekitaran kota Palermo.Dia tidak terima karena tidak mendapati salju di kota ini.“Lalu buat apa mama bawa baju tebal yang banyak kalau kita tidak mendapati salju, Pa?” tukasnya mengguncang bahu papanya yang sudah ingin rebahan.“Mungkin sekarang belum musim salju, Gal. Kasihan papa capek, seharian ngantar kita jalan-jalan. Padahal kita baru datang tadi malam.” Meida menyingkirkan tangan Gala agar tidak mengusik cinta pertamanya. Dengan lembut gadis kecilku itu menyelimuti sang papa dan menciumi pipinya.“Kau bodoh, ya? Ini bulan November. Sudah menjelang Desember. Sudah masuk musim dingin, lah. Jadi harusya sudah ada salju.”“Jangan bilang bodoh. Itu tidak boleh Gala. Kau kasar sekali pada wanita!” Meida memarahi saudaranya yang mengatai bodoh.Aku yang sedang sibuk mengolesi wajahku dengan pelembab hanya memutar bola mata, lalu melirik mereka yang masi
Keesokan harinya, rumah sedikit sibuk. Ibu dan Mbak Lilis menyiapkan banyak hidangan dibantu beberapa pelayan yang lain. Ada juga yang sudah menata meja makan dan beberapa kursi di halaman.Hari apa ini?Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal karena benar-benar tidak tahu akan ada acara apa?“Memangnya mau ada apa, Bu?” tanyaku dengan suara bantalku. Aku sedang halangan, jadi tidurnya bablas tanpa sholat subuh. Ed pun sengaja tidak membangunkanku.“Ya Allah, kamu ini sudah ibu-ibu lho, anaknya saja sudah bangun sejak tadi malah emaknya molor.” Bukannya menjawab, Ibu malah mengomeliku.“Ya habis enggak dibangunin sama menantu ibu itu. Harusnya ibu marahin tuh menantunya, jangan aku yang dimarahi!” Dengan seenak jidatku kulempar kesalahan pada Ed.Mumpung dia juga tidak ada. Karena kalau sudah kulempar kesalahan padanya, ibu tentu tidak akan mau memarahi mantu kesayangannya itu.Tapi, kemana dia? Tumben pergi tanpa bangunin aku untuk kasih tahu. Anak-anak juga tidak ada.“Mereka
“Mila?” Tante Atika menyenggolku membuatku terkejut bukan main. Bahkan hampir menjatuhkan nampan yang aku bawa. Untung gerakan reflekku masih bagus. Tante Atika pasti heran mengapa aku tidak menyuguhkan kue yang sudah kubawa, malah hanya berdiri membeku di balik jendela. “Kenapa enggak dibawa keluar? Malah bengong depan pintu. Awas ada setan lewat, lho!” tegurnya.“Apaan sih, Tante. Jadi kayak ibu saja, dikit-dikit kasih mitos begituan.”Tante Atika terkekeh. Aku orangnya parnoan. Walau tidak percaya dengan hal-hal begituan, tapi tetap saja aku jadi takut.“Ayo dibawa keluar, biar bisa diincip bapak-bapak di luar,” ujar Tante Atika mengingatkan lagi. “Hehe, iya, Tante. Ini mau keluar. Tadi paman masih bicara serius, takutnya aku malah ganggu.” Lalu kami besama keluar menghampiri suami-suami kami yang duduk di teras itu.Paman Prabowo suka memelihara binatang. Jadi banyak sangkar burung dan kucing di halaman rumah. Suara murai yang nyaring pun menjadi backsound selama obrola
“Sherin itu temanmu?” kutanya hal itu setelah kami sudah di perjalanan.Kebetulan Ed ada urusan dengan Paman Prabowo, jadi sekalian kuajak saja dia berkunjung ke rumahnya dari pada meminta orang yang lebih tua menemuinya.Mendengar nama Sherin kusebut, Ed melirikku sebentar. Kemudian tidak memberikan jawaban apapun dengan lebih fokus menyetir.Kupikir Ed tidak ingin menanggapi pertanyaanku tadi, dan aku juga sudah tidak peduli. Namun, dia akhirya mengangkat suaranya untuk bertanya balik.“Kenapa membahas dia?”“Tadi ketemu di mall, kita juga minum bareng di resto yang sama. Kau tidak melihatnya tadi?”Ed mengedikan bahunya. Sepertinya memang dia tidak melihatnya. Padahal Sherina tidak jauh dari tempat kami duduk.“Dia cerita tadi, katanya habis dari kantor dan ketemu kamu, mau nglamar pekerjaan.”“Iya, dia memang datang ke kantor tadi.” Ed membenarkannya.“Dia teman apa? Kuliah atau sekedar kenal karena dia teman Jessica? Tapi dia bilang dulu pernah menjadi teman dekatmu, lho!” kuta