Aku sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa pertemuan yang awalnya bertujuan sekedar silaturrahmi dan aku hanya ingin mengucapkan rasa terima kasih secara sepantasnya pada keluarga Indah karena sudah merawat suamiku, ternyata seperti itu adanya.Berlangsung dengan ketegangan dan malah berakhir dengan sesuatu yang kurang berkenan.Habis bagaimana lagi? Belum-belum Indah dan mamanya itu sudah dengan terang-terangan menyinggung bahwa Indah seolah-olah menjadi istri kedua suamiku. Istri mana coba yang tidak panas dan emosi?“Maaf ya, Sayang. Aku benar-benar kalap tadi.” Kini aku baru menyadari sikapku yang kalau kuingat-ingat lagi membuatku malu sendiri.“Kok minta maaf?” Ed heran denganku.“Tadi aku sudah sebar-bar itu sama Indah dan mamanya. Apa kau marah?”Ed menarik pinggangku hingga tubuh kami saling menempel dan tersenyum menatapku.“Kenapa aku harus marah? Kau hebat loh tadi. Aku saja sampai spechles dengan ketegasanmu.” Ed malah memujiku dan tertawa kecil mengingat pertemua
“Sekali lagi kecolongan kaya begini, aku akan membuat perhitungan pada kalian!” Ed marah-marah. Kedua satpam itu menunduk bersalah dan terlihat takut.Ed memang mengerikan kalau marah-marah begitu. Satpam yang berbadan gede gempal saja setakut itu.Ed pernah nutup pintu dengan keras saja jantungku sudah hampir copot, perasaanku sudah kacau tak karuan, aku tidak mau membayangkan bagaimana kalau Ed marah seperti itu padaku? Dan seketika aku terkejut karena Ed sudah membuka pintu. Dia masuk lewat pintu dapur dengan tergesa jadi tidak menyadari keberadaanku. Aku yang tadi hampir menyapanya mengurungkan niat.Tidak apa. Aku juga tidak mau menganggunya dulu.Sepertinya, dia langsung masuk ke ruang kerja. Aku jadi kasihan, bahkan sudah pulang pun dia masih juga ke ruang kerjanya. Bukannya ke kamar kami dan langsung beristirahat.Andai aku bisa membantunya sedikit hal saja yang bisa meringankan pekerjaannya, sayangnya pria itu selalu pelit kalau kumintai tahu tentang masalahnya.Aku kemb
“Maaf, Sam. Tadi aku berniat merijek ponsel tuan karena dia baru saja tidur. Tapi aku tidak sengaja membaca pesanmu.” Aku langsung menghubungi Sam dengan ponselku sendiri dan kusampaikan tentang pesannya yang tak sengaja kubaca.Agar dia tahu bukan Ed yang membacanya dan dia tidak harus menunggu balasan. Aku juga merasa tidak enak kalau nanti pas Ed terbangun dia mendapati pesan dari Sam sudah terbaca namun aku malah tidak membangunkannya.“Oh, begitukah, Nyonya?” Sam menyahuti.“Benar, Sam. Ed baru datang menjelang subuh tadi dan sekarang baru beristirahat. Apa menurutmu masalah ini sangat urgent dan aku harus membangunkannya?” kumintai Sam pendapat.Aku tidak ingin memutuskan sendiri karena saat ini aku masih sangat membenci Erik dan takutnya malah lebih condong membiarkannya.Sebenarnya sudah ada rasa bersalah juga karena bagaimanapun Erik adalah adik suamiku. Satu-satunya saudara kandungnya. Karenanya, kuminta Sam saja yang memutuskan.“Baik, Nyonya. Akan saya coba atasi dulu seme
“Kenapa juga Gala tidak cerita kalau bertemu pria itu?” tanyaku lagi pada Gala dengan serius.Anak ini semakin berani saja. Terkadang karena rasa penasarannya atas banyak hal, sehingga sering menyelinap pergi tanpa diketahui pengasuhnya. Nur memang pernah melaporkan hal ini padaku, namun Gala menyampaikan bahwa dia tidak akan lama-lama kalau sedang pergi sendirian.“Enggak suka loh mama kalau Gala sekarang main rahasia-rahasiaan?”“Siapa yang main rahasia, Ma?” Gala mengelak.“Itu, Gala enggak cerita kalau ketemu kembaran papa?”“Kan mama dan papa sibuk terus? Gimana Gala mau cerita. Kalau pas pulang pun Gala udah tidur, atau enggak sudah lupa deh!” Gala malah menyindirku.“Kalian juga pas mama di rumah sibuk mlulu, kan? Ngajak nenek ke playground ke sini ke situ...” Seperti anak kecil aku tidak mau begitu saja kalah atas sindiran Gala.“Oke, tidak perlu di bahas lagi hal itu. Lagian apa salahnya sih Gala bertemu dengan Om Gala sendiri. Dia kan kembaran papa, masa aku tidak boleh ke
“Sudah dibuang, Nyonya sama Tuan Edward,” tukas satpam itu saat kutanya tentang paket yang semalam kuberikan padanya.“Dibuang? Kenapa, Pak?” aku pura-pura tidak tahu tentang Ed yang marah-marah.“Saya kurang paham, Nyonya.”“Padahal itu hanya mainan anak-anak saja, kok, Pak.” Aku tidak mendapati pria itu meyahut. Jadi aku tidak lagi bertanya.Sekilas kulihat bak sampah dan ada bungkus plastik hitam menyembul dari sana.Apa Ed membuangnya di sampah itu?Apa kira-kira isi paketnya dan mengapa Ed sampai semarah itu?Apa dia tahu siapa pengirimnya?“Ya udah deh, Pak. Bapak sudah mau ganti shift, ya?” tukasku karena melihatnya membereskan beberapa barangnya.“Benar, Nyonya. Rekan saya juga sudah datang. Kalau tidak ada yang dibutuhkan lagi saya ke dalam, Nyonya.”“Iya, Pak. Silahkan. Terima kasih!” ujarku tak menahannya dan satu temannya. Lagi yang bersamanya. Kasihan mereka pasti sudah lelah dan mengantuk. Ingin lekas beritirahat di dalam.Aku tidak membuang waktu dan menghampiri bak s
“Ed, maaf, tadi aku menonaktifkan nada dering ponselmu. Kau baru tidur jadi aku tidak mau kau terganggu,” ujarku berhati-hati sembari memperhatikan raut wajahnya. Ed tampak resah.“Apa Sam sudah menghubungimu balik?” tanyaku lagi.“Iya, sudah,” ujarnya sembari menghela napas panjang.Untunglah, jadinya aku tidak perlu berbasa-basi tentang pesan itu. Sam pasti sudah menyampaikannya.“Bagaimana?” tanyaku yang juga sebenarnya sejak tadi ikut memikirkan nasib pria itu.Ed menoleh ke arahku dan menerka-nerka apa yang kumaksudkan. Dan dengan cepat dia paham. Karena sebelumnya aku sudah membaca pesannya.“Sam sedang mengurusnya,” ujarnya namun riak keresahan makin menyeruk di wajahnya. Pasti ada sesuatu yang sangat membebaninya.“Kenapa seresah itu, Sayang?” tanyaku lagi.Mungkin Ed dilema dan bingung harus bagaimana. Di antara pilihan sebuah tanggung jawab dan menjaga perasaanku.Aku yang memahami itu menggeser dudukku mendekatinya. Ku peluk bahunya dan kusandarkan kepalaku di pundaknya.
“Ari, kemana kita?” tanyaku yang merasa tidak asing dengan jalan ini.Bukankah ini jalan menuju rumah keluarga?“Tuan Edward tadi ke rumah keluarga, Nyonya,” ujar pria itu.Tapi aku merasa dia membohongiku. Mungkin ini hanyalah tak-tinya agar aku tidak mengikuti Ed.Saat Ari turun dari mobilnya untuk membukakan pintu untukku, segera kukunci pintu agar Ari tidak bisa membukanya. Biarpun aku tidak bisa menyetir, namun sekedar mengunci pintu mobil, aku tahu.“Nyonya, apa yang Anda lakukan?” Ari mengetuk-ketuk kaca jendela.Kuambil ponselnya yang masih ditinggalnya di mobil dan mengheceknya.Ada pola garis untuk membukanya. Tidak tahu bagaimana di pola pertama aku langsung bisa membukanya. Kutarik garis membuat huruf L dan ternyata memang itulah pola ponsel Ari.Lihatlah, bahkan semesta mempermudahku kali ini.Yang pertama kulihat adalah aplikasi pesan. Langsung kucari nama Sam. Lalu dengan cepat membaca deretan pesan dari atas sampai bawah untuk mencari-cari sebuah petunjuk.Mataku membu
“Pras? Ini aku.” Ari nampak mengenal pria itu dan dia bersikap santai menyapanya.Aku heran namun rasa cemas menguasaiku.“Ari? Kenapa kesini?” pria yang tadi bersuara lantang kini melunak. Aku tidak tahu pria itu siapanya Ari.“Dia, temanku. Kebetulan kami di sekitar sini dan dia butuh toilet.”Penjelasan Ari sudah memberitahuku bahwa dia mencoba berpura-pura. Saat dia melirikku, aku langsung paham.“Di mana toiletnya, Ari?” tanyaku padanya.“Masuklah ke dalam, aku akan menunggumu di sini. Ini saudaraku.” Ari merangkul pria itu dan memberi kode padaku.Aku tahu harus bergerak cepat sebelum pria ini curiga.“Baik, Ari. Terima kasih,” ujarku padanya dan berjalan masuk.Masih bisa kudengar pria itu mencandai Ari. “Pacarmu? Jangan tinggi-tinggi standarnya. Kita ini hanya babu, lho!” Aku melangkah mengikuti insting saja. Saat kulihat seorang pelayan membawakan beberapa botol minuman, aku bersembunyi di balik dinding. Memperhatikan kemana wanita itu melangkah.Tidak ada salahnya mengiku
Kukirim pesan pada Ed bahwa saat ini aku dan Mbak Lilis ada di pusat perbelanjaan di dekat kantornya.Ed mengirim pesan balik yang menyampaikan akan segera menyusulku.Di sana aku tidak sengaja bertemu dengan wanita yang waktu itu bersama Jessica. Seingatku namanya Sherin. Aku juga tidak lupa, dia bilang temannya Jessica.“Kau sedang berbelanja?” tanyaku basa-basi seteah dia duluan yang menyapaku.Kami duduk di resto dan mengobrol santai di sana sembari menikmati makanan yang kami pesan.“Iya, tadi aku dari kantor suamimu, mau tanya adakah lowongan pekerjaan di sana. Aku mau tinggal di Indonesia lagi saja,” ujar Sherina.Senyumnya ramah sekali. Penampilannya juga cantik dan elegan. Dia berteman dengan Jessica, pasti sedikit tahu tentangku dan Ed. Namun wanita ini masih tetap ramah. Sepertinya dia berbeda dengan Jessica.“Sebelum ini tinggal di mana?” tanyaku lagi.“Di Prancis. Aku model di sana. Tapi usia semakin tua dan kalah saing dengan para model muda. Jadi sudah seharusnya aku m
Gala dan Meida senangnya minta ampun ketika papanya bilang minggu depan akan mengajak mereka jalan-jalan ke luar negri. Padahal libur sekolah masih sebulanan. Tapi Ed tidak mempermasalahkan hal itu.“Jangan terlalu keras, mereka masih TK. Enggak masalah juga,” ujarnya saat kuingatkan tentang jadwal sekolah mereka.“Takutnya sekolah tidak memberi izin, Sayang,” ujarku memberi alasan.“Anak-anak aku sendiri, ngapain juga minta izin?” tukasnya tidak begitu memikirkan hal ini.“Astaga, Papa...!” tukasku menanggapinya. Mungkin dia tidak serius. Tapi, ya sudahlah. Biar nanti kumintakan izin pada pihak sekolah kalau anak-anak lebih dulu libur panjang. Tidak mungkin juga ‘kan kalau mereka tidak memberi izin. Seandainya sampai pihak sekolah tidak memberi izin, baru ucapan Ed bisa dibenarkan.“Ma, nanti kita belanja jaket tebal, ya? Papa bilang sekarang sedang musim dingin di Eropa?” Meida sudah bingung sendiri dan membayangkan akan kedinginan kalau tidak punya jaket tebal.“Iya nanti kita bel
“Danio sudah mati?” tanyanya pada Ed yang duduk di sofa panjang penunggu tak jauh dari ranjangnya.“Hmm, kami baru dari pemakamannya,” jawab Ed.Keduanya kembali terdiam ketika aku keluar dari toilet. Ed memintaku duduk di sampingnya dan Erik tampak menatapku dengan perasaan bersalah.Aku jadi tidak tahu harus ngomong apa?“Aku minta antar Sam atau Ari saja untuk pulang, ya?” Aku bicara pada suamiku.“Di luar hujan deras, Sayang. Dan Sam barusan mengabarkan ada truk besar terguling dan menyebabkan jalanan macet. Mending kita tunggu saja sebentar.”Aku baru tahu hal itu. Memang saat memasuki gedung ini tadi, sudah gerimis. Bisa jadi sekarang hujan deras teringat mendungnya yang pekat membuat langit Jakarta mengabu.“Oh, baiklah!” ujarku. Aku tidak menolak. Lagi pula ada Ed di sampingku. Kenapa juga aku masih merasa tidak enak?Setelah dokter memeriksa dan memberikan injection pada jarum infus Erik, pria itu menutup matanya. Sepertinya pengaruh obatnya membuatnya lebih banyak mengant
“Ed, mama dan papa kan sudah berpisah. Tapi mengapa...?”Belum tuntas pertanyaanku, Ed sudah menerima panggilan dari rumah sakit.Aku tidak akan menganggunya dulu.Lalu kupikir, nanti akan kutanyakan saja pada Paman Prabowo. Ed selalu pelit untuk menyampaikan tentang keluarganya.Kebanyakan aku mengetahui banyak hal pun bukan darinya. Dia hanya kebagian membenarkan saja saat kukonformasi apa yang disampaikan orang lain.Lagipula sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah Tante Atika. Nanti sekalian mengajak ibu dan Mbak Lilis juga anak-anak ke rumahnya.“Kau mau aku antar pulang?” tanyanya. Padahal kudengar tadi dia mau ke rumah sakit.“Ada apa di rumah sakit?” aku tidak menjawabi pertanyaannya, tapi malah balik bertanya.“Erik sudah sadar, dia mencariku.” “Oh, syukurlah, Ed. Apa kau akan ke sana?”“Ya, aku akan menengoknya sebentar. Aku antar kau pulang dulu.”“Rumah sakit lebih dekat, Ed. Jadi kita ke rumah sakit saja dan nanti baru mengantarku pulang kalau sudah selesai dari meneng
Jenazah Danio disemayamkan di rumah duka sebelum akhirnya diberangkatkan ke pemakaman keluarga.Kami baru datang ketika beberapa mobil pengantar jenazah sudah berjalan keluar dari rumah duka. Sam menghampiri mobil dan Ed membuka kaca jendela. Aku tidak tahu apa maksud percakapan mereka yang hanya sepotong-sepotong itu. Apapun itu pasti hanya mengenai prosesi pemakaman Danio.“Siap, Tuan!” Sam melaporkan.“Datang?”“Datang, Tuan.”“Oke, kita langsung ke sana!”Dan kami kembali meluncur ke pemakaman keluarga. Ed memberitahu bahwa meski dalam satu arah dan berdekatan, tapi makam keluarga Ed dan Danio berbeda tempat.Padahal kalau Danio itu masih adik neneknya Ed, seharusnya masih dalam satu keluarga dan dimakamkan di tempat yang sama, kan? Tapi mungkin akulah di sini yang kurang mengerti. Nantilah aku menanyakan pada Ed. Aku menggandeng lengan Ed dengan sedikit erat ketika memasuki areal pemakaman yang sepi dan sedikit rimbun dengan bunga kamboja itu.Untungnya sepanjang jalan setapak
“Ahaha, Papa kalau tidur memang suka begitu, Meida. Sama kan kayak Gala. Suka jatuh dari tempat tidur,” aku menyahuti pertanyaan bocah itu. Padahal Ed sudah melirikku seolah mengatakan tidak perlu menjawabnya agar tidak terlihat bohongnya.“Tapi kok baju mama dan papa di lepas. Meida lihat kok baju mama dan papa di lantai?”Tuh kan? Bocah itu akan terus bertanya karena merasa tidak puas dengan jawabanku sebelumnya.Kali ini Ed bukannya membantuku, tapi malah memakai headseatnya dan bangkit pura-pura menerima panggilan.Entahlah, apa itu beneran ada panggilan atau hanya kamuflasenya saja agar terhindar dari pertanyaan Meida?Kulihat Nur dengan sopan tidak bereaksi apapun mendegar celoteh bocah asuannya itu. Dia langsung memakaikan Meida bathrobe kecil lalu mengendongnya duduk di sebelahku dan ganti mengurus gala yang belum mau mentas dari kolam renang.Kuambil kesempatan itu untuk mengajak putriku masuk ke dalam kamar dengan alasan memandikannya dan mengganti bajunya. Setelah itu ak
“Enggak jadi minta dipijitin dulu?” Aku masih mengingatkannya saat leherku sudah penuh gigitan lembutnya.“Tanggung, Beb. Aku saja yang sekarang pijitin kamu,” ujarnya sembari melorotkan tali lingeri yang kugenakan untuk bisa menangkupkan kedua tangan besarnya itu pada dua bagian yang katanya semakin mantap itu. Sejak dulu aku memang rajin merawat diri, apalagi untuk suamiku yang ganteng dan selalu menjadi incaran para wanita diluar sana.Ed duduk bertumpu pada kedua lututnya dan kedua kakiku melingkar di pinggangnya, sedangkan tangan besar itu sudah ayik mengadon dua benda yang membusung itu dengan remasan lembut dan nyaman. Tanpa kuperintah, bibirku sudah meloloskan suara desah manjalita yang membuat pria itu lebih tergoda. Napasku sudah naik turun menggilai kenyamanan yang diberikannya. Otot-otoku mengejang perlahan di bawah pada kenikmatan nirwana. Tahu aku sudah dimabuk kepayang, Ed berlanjut melumat dua puncak itu bergantian, sedangkan satu tangannya malah diturunkan menelu
“Berani dia pulang ke Indonesia saat status hukumnya masih sebagai narapidana?” tanyaku pada Ed yang sudah rebahan di tempat tidur.Dia sudah datang beberapa waktu yang lalu, namun karena Meida merengek memintanya menemani mereka di kamar sebelum tidur, jadinya Ed melenyapkan rasa lelahnya sementara sampai dua bocah kecil itu bersedia tidur. “Kenapa?” tanya Ed yang bisa kukatakan kurang fokus saja dengan pembicaraan tentang Jessica. Mungkin dia lelah. Karenanya, aku menunda acara pijit-pijit yang sudah kami rencanakan tadi.“Apa kasus Jessica sudah tuntas?” tanyaku.“Informasi yang aku dengar Danio meminta pengacara untuk bernegosiasi dengan pihak keluarga anak-anak yang diculik. Mereka memilih menyelesaikan dengan cara kekeluargaan.”“Hah?! Serius, Ed?” Aku jadi merasa tidak terima wanita itu bisa lolos begitu saja dari jerat hukum. Pasti Danio tidak hanya menawarkan tentang kekeluargaannya itu. Bisa jadi pria itu juga mengancam.“Ya sudahlah, bukan urusan kita juga ‘kan?”“Walau
“Innalillahi...” ucapku mendengar berita duka itu.Walau pria itu sudah kejam dan memiliki niat jahat pada kami, sebagai sesama manusia aku juga ikut prihatin.“Paman di rumah sakit, Tante?” tanyaku.“Iya, dia tentu juga harus mengurus semua perkara ini, Mila. Tadinya suamimu memintanya segera mengusut tentang pembunuhan papanya, tak dinyana, Danio sudah menghembuskan napas terakhir sebelum menerima hukumannya di pengadilan negara.”Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Danio saat pengejaran. Karena sebelumnya Danio tidak kenapa-kenapa. Dia melompat dari jendela dan berhasil melarikan diri. Lalu setelahnya aku tidak mengikuti beritanya lagi.Sorenya aku mengirim pesan pada Ed dengan alasan anak-anaknya merindukannya dan ingin melakukan video call.Ed tidak menolak dan langsung menghubungi balik anak-anak untuk melakukan vidio call.Kubiarkan saja dua bocah itu berkomunikasi dengan papanya. Aku hanya memperhatikan keduanya dari jauh saja. Sesekali melirik Ed di layar ponsel. Walau wajah