“Kira-kira abah mau tidak kalau kakak yang tadi bersedia jadi istri keduanya abah? Nanti aku kok yang bilang. Aksa suka punya mama muda kayak begitu?” Naluriku mulai tergelitik untuk menjahili wanita ini. Ed hanya menahan senyum mendengar apa yang kukatakan. Dia tahu aku hanya berniat membalikan keadaan.“Maulah, kak. Biar setiap hari bisa cuci mata. Ya kan, Bah?” si anak malah ikutan menggoda abahnya. “Aksa!” Pak Suwandi mengingatkan anak laki-lakinya karena sang mama sudah mulai keluar taringnya.“Astaga, berani kamu nawar-nawarin istri di depan istri sahnya. Ini mama teh masih hidup, belum modar, masih sehat wal afiat. Kurang ajar kamu sama orang tua, ya?!”Wanita itu sudah melotot ke arahku dengan napas naik turun. Sangat tidak terima suaminya kubercandain tentang istri kedua.“Maaf...” Ed lagi-lagi mencemaskanku dan ingin membantu tapi kusenggol kakinya sebagai kode agar tidak ikut-ikutan. Jadinya dia hanya bisa menghela napas.Kalau sudah urusan sama ibu-ibu, mending bapak-ba
“Haha, sudah, enggak apa-apa. Kan Indah dan ibu yang ngrawat suamiku. Jadi kuanggap mereka tetap berjasa menyelamatkannya.” “Baiklah, apa sudah selesai? Aku haus ini...” Ed baru menyahut dan mengambil minuman di meja. Suasana yang tegang tadi mulai mencair.Pak Suwandi tertawa mendengar suara Ed, seolah begitu lega perdebatan para wanita di ruangan ini sudah berhasil dihentikan.“Ahaha, duh, makanannya sampai dingin. Ayo, silahkan makan!” aku pun menyahut mencairkan suasana.“Iya, Kak. Aku sudah lapar sejak tadi. Boleh, kan, Bah makan?” tanya Aksa meminta pertimbangan.Kuambilkan sepotong ayam di piring dan kusodorka pada Pak Suwandi agar pria itu memutuskan makan saja. Agar istri dan anak perempuannya tidak kembali membuka debat sesion dua.“Mangga, Bah. Mau diambilkan sayur juga?” kutawarkan dengan ramah.Pria itu tentu senang aku mengambilkannya makanan. Dan kubiarkan wanita di depan sana hanya melirik tajam suaminya yang manggut-manggut saja kutawari makanan.“Indah, nanti ka
Aku sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa pertemuan yang awalnya bertujuan sekedar silaturrahmi dan aku hanya ingin mengucapkan rasa terima kasih secara sepantasnya pada keluarga Indah karena sudah merawat suamiku, ternyata seperti itu adanya.Berlangsung dengan ketegangan dan malah berakhir dengan sesuatu yang kurang berkenan.Habis bagaimana lagi? Belum-belum Indah dan mamanya itu sudah dengan terang-terangan menyinggung bahwa Indah seolah-olah menjadi istri kedua suamiku. Istri mana coba yang tidak panas dan emosi?“Maaf ya, Sayang. Aku benar-benar kalap tadi.” Kini aku baru menyadari sikapku yang kalau kuingat-ingat lagi membuatku malu sendiri.“Kok minta maaf?” Ed heran denganku.“Tadi aku sudah sebar-bar itu sama Indah dan mamanya. Apa kau marah?”Ed menarik pinggangku hingga tubuh kami saling menempel dan tersenyum menatapku.“Kenapa aku harus marah? Kau hebat loh tadi. Aku saja sampai spechles dengan ketegasanmu.” Ed malah memujiku dan tertawa kecil mengingat pertemua
“Sekali lagi kecolongan kaya begini, aku akan membuat perhitungan pada kalian!” Ed marah-marah. Kedua satpam itu menunduk bersalah dan terlihat takut.Ed memang mengerikan kalau marah-marah begitu. Satpam yang berbadan gede gempal saja setakut itu.Ed pernah nutup pintu dengan keras saja jantungku sudah hampir copot, perasaanku sudah kacau tak karuan, aku tidak mau membayangkan bagaimana kalau Ed marah seperti itu padaku? Dan seketika aku terkejut karena Ed sudah membuka pintu. Dia masuk lewat pintu dapur dengan tergesa jadi tidak menyadari keberadaanku. Aku yang tadi hampir menyapanya mengurungkan niat.Tidak apa. Aku juga tidak mau menganggunya dulu.Sepertinya, dia langsung masuk ke ruang kerja. Aku jadi kasihan, bahkan sudah pulang pun dia masih juga ke ruang kerjanya. Bukannya ke kamar kami dan langsung beristirahat.Andai aku bisa membantunya sedikit hal saja yang bisa meringankan pekerjaannya, sayangnya pria itu selalu pelit kalau kumintai tahu tentang masalahnya.Aku kemb
“Maaf, Sam. Tadi aku berniat merijek ponsel tuan karena dia baru saja tidur. Tapi aku tidak sengaja membaca pesanmu.” Aku langsung menghubungi Sam dengan ponselku sendiri dan kusampaikan tentang pesannya yang tak sengaja kubaca.Agar dia tahu bukan Ed yang membacanya dan dia tidak harus menunggu balasan. Aku juga merasa tidak enak kalau nanti pas Ed terbangun dia mendapati pesan dari Sam sudah terbaca namun aku malah tidak membangunkannya.“Oh, begitukah, Nyonya?” Sam menyahuti.“Benar, Sam. Ed baru datang menjelang subuh tadi dan sekarang baru beristirahat. Apa menurutmu masalah ini sangat urgent dan aku harus membangunkannya?” kumintai Sam pendapat.Aku tidak ingin memutuskan sendiri karena saat ini aku masih sangat membenci Erik dan takutnya malah lebih condong membiarkannya.Sebenarnya sudah ada rasa bersalah juga karena bagaimanapun Erik adalah adik suamiku. Satu-satunya saudara kandungnya. Karenanya, kuminta Sam saja yang memutuskan.“Baik, Nyonya. Akan saya coba atasi dulu seme
“Kenapa juga Gala tidak cerita kalau bertemu pria itu?” tanyaku lagi pada Gala dengan serius.Anak ini semakin berani saja. Terkadang karena rasa penasarannya atas banyak hal, sehingga sering menyelinap pergi tanpa diketahui pengasuhnya. Nur memang pernah melaporkan hal ini padaku, namun Gala menyampaikan bahwa dia tidak akan lama-lama kalau sedang pergi sendirian.“Enggak suka loh mama kalau Gala sekarang main rahasia-rahasiaan?”“Siapa yang main rahasia, Ma?” Gala mengelak.“Itu, Gala enggak cerita kalau ketemu kembaran papa?”“Kan mama dan papa sibuk terus? Gimana Gala mau cerita. Kalau pas pulang pun Gala udah tidur, atau enggak sudah lupa deh!” Gala malah menyindirku.“Kalian juga pas mama di rumah sibuk mlulu, kan? Ngajak nenek ke playground ke sini ke situ...” Seperti anak kecil aku tidak mau begitu saja kalah atas sindiran Gala.“Oke, tidak perlu di bahas lagi hal itu. Lagian apa salahnya sih Gala bertemu dengan Om Gala sendiri. Dia kan kembaran papa, masa aku tidak boleh ke
“Sudah dibuang, Nyonya sama Tuan Edward,” tukas satpam itu saat kutanya tentang paket yang semalam kuberikan padanya.“Dibuang? Kenapa, Pak?” aku pura-pura tidak tahu tentang Ed yang marah-marah.“Saya kurang paham, Nyonya.”“Padahal itu hanya mainan anak-anak saja, kok, Pak.” Aku tidak mendapati pria itu meyahut. Jadi aku tidak lagi bertanya.Sekilas kulihat bak sampah dan ada bungkus plastik hitam menyembul dari sana.Apa Ed membuangnya di sampah itu?Apa kira-kira isi paketnya dan mengapa Ed sampai semarah itu?Apa dia tahu siapa pengirimnya?“Ya udah deh, Pak. Bapak sudah mau ganti shift, ya?” tukasku karena melihatnya membereskan beberapa barangnya.“Benar, Nyonya. Rekan saya juga sudah datang. Kalau tidak ada yang dibutuhkan lagi saya ke dalam, Nyonya.”“Iya, Pak. Silahkan. Terima kasih!” ujarku tak menahannya dan satu temannya. Lagi yang bersamanya. Kasihan mereka pasti sudah lelah dan mengantuk. Ingin lekas beritirahat di dalam.Aku tidak membuang waktu dan menghampiri bak s
“Ed, maaf, tadi aku menonaktifkan nada dering ponselmu. Kau baru tidur jadi aku tidak mau kau terganggu,” ujarku berhati-hati sembari memperhatikan raut wajahnya. Ed tampak resah.“Apa Sam sudah menghubungimu balik?” tanyaku lagi.“Iya, sudah,” ujarnya sembari menghela napas panjang.Untunglah, jadinya aku tidak perlu berbasa-basi tentang pesan itu. Sam pasti sudah menyampaikannya.“Bagaimana?” tanyaku yang juga sebenarnya sejak tadi ikut memikirkan nasib pria itu.Ed menoleh ke arahku dan menerka-nerka apa yang kumaksudkan. Dan dengan cepat dia paham. Karena sebelumnya aku sudah membaca pesannya.“Sam sedang mengurusnya,” ujarnya namun riak keresahan makin menyeruk di wajahnya. Pasti ada sesuatu yang sangat membebaninya.“Kenapa seresah itu, Sayang?” tanyaku lagi.Mungkin Ed dilema dan bingung harus bagaimana. Di antara pilihan sebuah tanggung jawab dan menjaga perasaanku.Aku yang memahami itu menggeser dudukku mendekatinya. Ku peluk bahunya dan kusandarkan kepalaku di pundaknya.
Ed langsung berjalan ke panggung dan meminta dua anaknya turun panggung. Dia juga tidak malu mengendong dua bocah yang sudah tampak lebih besar itu sembari meminta maaf pada pasangan yang bertunangan.Sambutan yang di sampaikan Pak Rawan sempat terhenti karena kegaduhan tawa beberapa undangan yang melihat dua bocah lucu itu.Mereka justru terhibur dengan kerandoman dua bocah itu.Apalagi melihat sang big bos di perusahaan mereka langsung turun tangan menjemput dua perusuh kecil itu di atas panggung, mereka banyak yang terkesan.Sam dan Ari baru menyadari tentang dua bocah itu. Dia juga tidak melihat kehadiran kami. Jadi tidak menduga kalau dua bocah kecil itu ternyata Gala dan Meida.Kalau mereka tahu sudah barang tentu gercep dan mengatasi mereka. Tidak membiarkan sang bos sampai harus menjemput dua anaknya di sana.“Tuan Edward sayang banget ya sama anak-anaknya.” Kedengar gumaman itu dibalik punggungku.“Iya, kupikir hanya bisa marah-marah di kantor seperti tadi marah besar pada T
“Ma... dilihatin pelayan dan Sus, tuh! Mama enggak malu sama mereka?” Meida terlihat kesal melihat kemesraan kami.“Ya deh, Pa. Kita pindah ke kamar, yuk biar enggak dilihatin!” Aku bangkit dan menarik lengan Ed.Membuat Meida langsung berlari menahan lengan papanya dan merajuk.Sekarang malah ganti aku yang menggoda anak perempuanku itu. Enggak heran deh kalau Meida jadi cengeng.Habis, dia mudah sekali digodain....“Ada apa, Ed?” tanyaku karena tadi dia sampai memanggilku saat aku masih bersama ibu.Ed tidak akan menggangguku yang masih berbicara dengan ibu kalau bukan karena ada sesuatu yang ingin disampaikannya.“Sam tadi baru menyampaikan ada undangan hari ini dari salah satu dewan direksiku. Tidak enak juga kalau tidak datang karena kami lumayan dekat di kantor. Kamu bisa temani aku, kan?”“Undangan apa itu, Sayang?”“Pertunangan putrinya. ““Baik, Sayang,” ujarku menyanggupi.Lalu aku baru ingat tentang Erik yang sudah tidak berada di rumah saat kami pulang dari liburan.“Erik
Kesibukan Ed dan beberapa hal yang sangat membutuhkan keberadaannya di Jakarta membuat liburan kami tidak bisa berlama-lama.Padahal Ed tidak begitu saja lepas pekerjaan saat kami liburan.Ketika anak-anak sudah tidur, biasanya dia membuka laptopnya sekedar berkordinasi dengan Sam mengenai urusan kantor atau lainnya.Perbedaan waktu antara negara tempat kami berlibur dengan Indonesia membuat Ed serasa selalu sibuk sepanjang waktu.Semisal anak-anak sudah lelah dan beristirahat ketika malam hari. Ed masih bisa mengadakan meeting jarak jauh dengan pegawainya di Indonesia yang masih di jam kerja.Karena musim dingin, jadi kami menggunakan waktu siang hari yang masih relatif jarang turun salju daripada ketika menjelang malam hari untuk jalan-jalan.Jadi malam harinya kami bisa bersantai di sebuah rumah yang kami sewa, menyalakan api di perapian untuk menghangatkan diri, menikmati minuman hangat dan kudapan bersama anak-anak sembari melihat salju berjatuhan dari jendela kaca. Gala dan
“Kalau bisa, kujambak sekalian saja rambutnya!” ujarku yang masih kesal sementara Ed hanya tertawa saja.“Ngapain juga sih masih kunjungin wanita seperti itu?”“Iya, sabar, buk!” Sambil menyetir Ed masih terkekeh.Kami segera sampai disebuah bangunan yang megah sekali. Sebuah gereja berkubah yang tampak sangat agung. Ed tadi bilang ini Katredal Monreale.“Kalau sudah hilang kesalnya kita masuk?” Ed melihat raut wajahku yang masih ketarik itu.“Belum. Aku mau duduk sebentar dan kau harus menjawab pertanyaanku dengan baik. Jadi kalau sampai aku bertanya pada orang lain, itu karena kau yang pelit sekali informasi tentang kelurgamu, Ed!” sekalian kukeluarkan kesalku agar nanti tinggal bersenang-senang melihat katredal yang terkenal itu.“Baik, Sayang.” Dengan sabar Ed mendengarku. “Bukankah hubunganmu dengan Erik tidak begitu baik? Tapi kulihat tadi kau juga begitu mengenal istri Erik?” aku tahunya Ed dan Erik sudah berpisah sejak mereka masih remaja. “Tidak baik bukan berarti aku tid
Kami tiba di sebuah rumah besar dan mewah setelah Ed mengajakku menemui lawyernya Erik.Setelah mendapat pengarahan, Ed sekalian mengajakku ke rumah ini. Tadi dia juga sudah menghubungi seseorang untuk menyampaikan akan datang. Mungkin itu istri Erik.Ah, bukan. Pengacara Erik tadi bilang berkas perceraian Erik sudah disetujui. Jadi mereka bukan lagi suami istri.“Ini masih di kota yang sama?” tanyaku padanya sembari menunggu orang yang dihubunginya keluar rumah.“Bukan, ini Monreale. Hotel kita tadi di Palermo,” jawab Ed.Aku yang tidak banyak tahu hanya mengangguk-angguk saja. Bagaimana bisa tahu, ini saja pegalaman pertamaku ke luar negri.“Kalau tadi anak-anak mau ikut, kita bisa berkunjung ke Katredal Monreale sekalian. Tidak jauh kok dari sini.” Ed memberitahu tentang salah satu destinasi tempat yang rekomended di kunjungi.“Ada apa saja di sana?”“Aku tidak bisa banyak menjelaskan, nantilah kalau kau mau kita mampir sebentar.”Aku mempertimbangkan. Nantilah lihat situasinya dul
Palermo, Italy..Gala tak berhenti menanyai papanya yang sudah terkantuk-kantuk itu setelah sebentar tadi kami berjalan-jalan di sekitaran kota Palermo.Dia tidak terima karena tidak mendapati salju di kota ini.“Lalu buat apa mama bawa baju tebal yang banyak kalau kita tidak mendapati salju, Pa?” tukasnya mengguncang bahu papanya yang sudah ingin rebahan.“Mungkin sekarang belum musim salju, Gal. Kasihan papa capek, seharian ngantar kita jalan-jalan. Padahal kita baru datang tadi malam.” Meida menyingkirkan tangan Gala agar tidak mengusik cinta pertamanya. Dengan lembut gadis kecilku itu menyelimuti sang papa dan menciumi pipinya.“Kau bodoh, ya? Ini bulan November. Sudah menjelang Desember. Sudah masuk musim dingin, lah. Jadi harusya sudah ada salju.”“Jangan bilang bodoh. Itu tidak boleh Gala. Kau kasar sekali pada wanita!” Meida memarahi saudaranya yang mengatai bodoh.Aku yang sedang sibuk mengolesi wajahku dengan pelembab hanya memutar bola mata, lalu melirik mereka yang masi
Keesokan harinya, rumah sedikit sibuk. Ibu dan Mbak Lilis menyiapkan banyak hidangan dibantu beberapa pelayan yang lain. Ada juga yang sudah menata meja makan dan beberapa kursi di halaman.Hari apa ini?Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal karena benar-benar tidak tahu akan ada acara apa?“Memangnya mau ada apa, Bu?” tanyaku dengan suara bantalku. Aku sedang halangan, jadi tidurnya bablas tanpa sholat subuh. Ed pun sengaja tidak membangunkanku.“Ya Allah, kamu ini sudah ibu-ibu lho, anaknya saja sudah bangun sejak tadi malah emaknya molor.” Bukannya menjawab, Ibu malah mengomeliku.“Ya habis enggak dibangunin sama menantu ibu itu. Harusnya ibu marahin tuh menantunya, jangan aku yang dimarahi!” Dengan seenak jidatku kulempar kesalahan pada Ed.Mumpung dia juga tidak ada. Karena kalau sudah kulempar kesalahan padanya, ibu tentu tidak akan mau memarahi mantu kesayangannya itu.Tapi, kemana dia? Tumben pergi tanpa bangunin aku untuk kasih tahu. Anak-anak juga tidak ada.“Mereka
“Mila?” Tante Atika menyenggolku membuatku terkejut bukan main. Bahkan hampir menjatuhkan nampan yang aku bawa. Untung gerakan reflekku masih bagus. Tante Atika pasti heran mengapa aku tidak menyuguhkan kue yang sudah kubawa, malah hanya berdiri membeku di balik jendela. “Kenapa enggak dibawa keluar? Malah bengong depan pintu. Awas ada setan lewat, lho!” tegurnya.“Apaan sih, Tante. Jadi kayak ibu saja, dikit-dikit kasih mitos begituan.”Tante Atika terkekeh. Aku orangnya parnoan. Walau tidak percaya dengan hal-hal begituan, tapi tetap saja aku jadi takut.“Ayo dibawa keluar, biar bisa diincip bapak-bapak di luar,” ujar Tante Atika mengingatkan lagi. “Hehe, iya, Tante. Ini mau keluar. Tadi paman masih bicara serius, takutnya aku malah ganggu.” Lalu kami besama keluar menghampiri suami-suami kami yang duduk di teras itu.Paman Prabowo suka memelihara binatang. Jadi banyak sangkar burung dan kucing di halaman rumah. Suara murai yang nyaring pun menjadi backsound selama obrola
“Sherin itu temanmu?” kutanya hal itu setelah kami sudah di perjalanan.Kebetulan Ed ada urusan dengan Paman Prabowo, jadi sekalian kuajak saja dia berkunjung ke rumahnya dari pada meminta orang yang lebih tua menemuinya.Mendengar nama Sherin kusebut, Ed melirikku sebentar. Kemudian tidak memberikan jawaban apapun dengan lebih fokus menyetir.Kupikir Ed tidak ingin menanggapi pertanyaanku tadi, dan aku juga sudah tidak peduli. Namun, dia akhirya mengangkat suaranya untuk bertanya balik.“Kenapa membahas dia?”“Tadi ketemu di mall, kita juga minum bareng di resto yang sama. Kau tidak melihatnya tadi?”Ed mengedikan bahunya. Sepertinya memang dia tidak melihatnya. Padahal Sherina tidak jauh dari tempat kami duduk.“Dia cerita tadi, katanya habis dari kantor dan ketemu kamu, mau nglamar pekerjaan.”“Iya, dia memang datang ke kantor tadi.” Ed membenarkannya.“Dia teman apa? Kuliah atau sekedar kenal karena dia teman Jessica? Tapi dia bilang dulu pernah menjadi teman dekatmu, lho!” kuta