Enjoy and happy reading... Terima kasih,,, Love you all 💕💕💕
“Apa yang salah dari ucapanku? Ada urusan yang tidak bisa aku undur, lantas apa harus sebegitunya mengorbankan kepentingan lebih besar sekedar untuk beramah tamah pada seseorang yang hanya memegang satu kartu—pernah menyelamatkanku—yang besok atau kapan masih bisa bertemu?”Ed tampak tidak suka aku mengingatkannya akan hal itu. Padahal, akulah yang jengah pada sikap Indah. Kenapa juga aku malah membelanya?Labil sekali sikapku ini...“Ya sudah jangan kesal begitu. Kita cari makan siang di luar, yuk? Kau tidak sedang repot ‘kan sekarang?” kubingkai wajah suamiku dengan kedua tanganku, di sana kulihat banyak sekali masalah yang sampai membuat keningnya sedikit berkerut.“Boleh, setelah ini aku harus menemui utusan perusahaan dari Jepang di Hotel Emeraldo. Dari pada di rumah juga tidak ada orang, ikut sekalian, yuk?” Ed menawarkan.Aku mengangguk tidak keberatan. Bisa menemani suamiku dalam kesibukannya adalah hal yang baik.Lalu kurangkulkan kedua lenganku di lehernya untuk berkata,
Kusempatkan mandi agar lebih segar. Karena tidak bawa baju ganti, jadi aku memakai bathrobe dan menggantung bajuku agar nanti masih bisa kupakai. Lupa tidak bawa mukena, jadi aku mengirim pesan pada Maria agar bisa mengambilkanku barang itu di mobil Ed tadi.Dengan cepat Maria membunyikan bel untuk mengantar barang yang kuminta. Dan baru saja aku menutup pintu, pesan dari Ed kuterima.[Serius sudah sholat ini?]Apa maksudnya dia bertanya itu?Astaga... Otakku lambat sekali menangkap.Pasti dia sudah heboh karena tahu aku meminta Maria mengambilkan mukena di mobilnya tadi. Artinya dia tahu aku sudah menyelesaikan masa nifasku. Dan apalagi coba yang ada di otak pria itu kalau bukan tentang meniduriku.[Kenapa memangnya, Tuan?] kubalas dengan pura-pura tidak paham apa maksudnya.[Asyiklah, aku selesaikan meeting dengan cepat, tunggu aku ya?]Aku hanya terkekeh membaca pesannya. Padahal dia sedang meeting penting dengan perwakilan perusahaan dari Jepang yang akan bekerjasama dalam suatu
Tangannya sibuk melucuti baju dan celananya sementara bibirnya tidak melepaskan bibirku dari pagutannya. Lidahnya menjelajah dan mengabsen satu persatu geligiku. Pria ini bahkan membuatku megap-megap kekurangan oksigen saat melepaskan ciuamannya.Aku masih mengatur napas dan Ed sudah menggedongku ke ranjang saja. Katanya suka dengan lingeri yang kupakai, tapi ujung-ujungnya dia pelorotkan juga. Tidak menyisakan bahkan dalaman yang kupakai. Lalu dengan terampil menyusuri setiap lekuk tubuh dengan begitu bergairah.Ciumannya melorot dari bibir, ke pipi, lalu turun keleher, dan semakin turun menyusuri gunung dan melumat puncaknya dengan begitu lahap, sedangkan satu bagian lagi tak dibiarkannya menganggur, jadi diremasnya dengan lembut dan nyaman.Mendapat perlakuan yang memabukan itu, tubuhku tidak kubiarkan menjadi munafik dengan pura-pura tidak menikmatinya. Erangan dan desahan pun kuloloskan. Apalagi setelah puas mencetak beberapa tanda cinta di kulit putihku, Ed menurunkan kepalanya h
“Ini istri saya, Pak.” Ed merangkul bahuku ketika keluarga Indah hanya sibuk menyapanya.Hanya pemuda itu yang sejak tadi memandangku sedikit malu-malu. Aku tidak tahu mengapa dia bersikap demikian?“Oh, Iya. Ini Kak Mila. Istrinya Mas Edward.” Indah baru menyinggungku.“Loh kita kan pernah ketemu waktu itu, ya?” Wanita itu ternyata masih ingat pernah mengobrol denganku. “Yang pembantunya sampai muntah-muntah karena naik lift itu ‘kan?”Mengingat tentang Mbak Lilis, Indah dan ibunya kompak tertawa. Tapi, ada yang membuatku tidak suka. Mereka tidak seharusnya mengatakan bahwa Mbak Lilis itu pembantuku. Meski Ed memang memintanya bantu-bantu di rumah dan menggajinya sebagaimana pegawainya yang lain, tapi bagiku Mbak Lilis itu sudah seperti kakak kandungku.“Tolong jangan bilang dia pembantu. Dia kakak saya,” ujarku menghentikan tawa mereka.Ed mengelus pundakku seolah mengingatkanku agar jangan mudah terpancing untuk emosi kalau menghadapi mereka. Tapi aku sudah kesal. Mereka mener
“Kira-kira abah mau tidak kalau kakak yang tadi bersedia jadi istri keduanya abah? Nanti aku kok yang bilang. Aksa suka punya mama muda kayak begitu?” Naluriku mulai tergelitik untuk menjahili wanita ini. Ed hanya menahan senyum mendengar apa yang kukatakan. Dia tahu aku hanya berniat membalikan keadaan.“Maulah, kak. Biar setiap hari bisa cuci mata. Ya kan, Bah?” si anak malah ikutan menggoda abahnya. “Aksa!” Pak Suwandi mengingatkan anak laki-lakinya karena sang mama sudah mulai keluar taringnya.“Astaga, berani kamu nawar-nawarin istri di depan istri sahnya. Ini mama teh masih hidup, belum modar, masih sehat wal afiat. Kurang ajar kamu sama orang tua, ya?!”Wanita itu sudah melotot ke arahku dengan napas naik turun. Sangat tidak terima suaminya kubercandain tentang istri kedua.“Maaf...” Ed lagi-lagi mencemaskanku dan ingin membantu tapi kusenggol kakinya sebagai kode agar tidak ikut-ikutan. Jadinya dia hanya bisa menghela napas.Kalau sudah urusan sama ibu-ibu, mending bapak-ba
“Haha, sudah, enggak apa-apa. Kan Indah dan ibu yang ngrawat suamiku. Jadi kuanggap mereka tetap berjasa menyelamatkannya.” “Baiklah, apa sudah selesai? Aku haus ini...” Ed baru menyahut dan mengambil minuman di meja. Suasana yang tegang tadi mulai mencair.Pak Suwandi tertawa mendengar suara Ed, seolah begitu lega perdebatan para wanita di ruangan ini sudah berhasil dihentikan.“Ahaha, duh, makanannya sampai dingin. Ayo, silahkan makan!” aku pun menyahut mencairkan suasana.“Iya, Kak. Aku sudah lapar sejak tadi. Boleh, kan, Bah makan?” tanya Aksa meminta pertimbangan.Kuambilkan sepotong ayam di piring dan kusodorka pada Pak Suwandi agar pria itu memutuskan makan saja. Agar istri dan anak perempuannya tidak kembali membuka debat sesion dua.“Mangga, Bah. Mau diambilkan sayur juga?” kutawarkan dengan ramah.Pria itu tentu senang aku mengambilkannya makanan. Dan kubiarkan wanita di depan sana hanya melirik tajam suaminya yang manggut-manggut saja kutawari makanan.“Indah, nanti ka
Aku sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa pertemuan yang awalnya bertujuan sekedar silaturrahmi dan aku hanya ingin mengucapkan rasa terima kasih secara sepantasnya pada keluarga Indah karena sudah merawat suamiku, ternyata seperti itu adanya.Berlangsung dengan ketegangan dan malah berakhir dengan sesuatu yang kurang berkenan.Habis bagaimana lagi? Belum-belum Indah dan mamanya itu sudah dengan terang-terangan menyinggung bahwa Indah seolah-olah menjadi istri kedua suamiku. Istri mana coba yang tidak panas dan emosi?“Maaf ya, Sayang. Aku benar-benar kalap tadi.” Kini aku baru menyadari sikapku yang kalau kuingat-ingat lagi membuatku malu sendiri.“Kok minta maaf?” Ed heran denganku.“Tadi aku sudah sebar-bar itu sama Indah dan mamanya. Apa kau marah?”Ed menarik pinggangku hingga tubuh kami saling menempel dan tersenyum menatapku.“Kenapa aku harus marah? Kau hebat loh tadi. Aku saja sampai spechles dengan ketegasanmu.” Ed malah memujiku dan tertawa kecil mengingat pertemua
“Sekali lagi kecolongan kaya begini, aku akan membuat perhitungan pada kalian!” Ed marah-marah. Kedua satpam itu menunduk bersalah dan terlihat takut.Ed memang mengerikan kalau marah-marah begitu. Satpam yang berbadan gede gempal saja setakut itu.Ed pernah nutup pintu dengan keras saja jantungku sudah hampir copot, perasaanku sudah kacau tak karuan, aku tidak mau membayangkan bagaimana kalau Ed marah seperti itu padaku? Dan seketika aku terkejut karena Ed sudah membuka pintu. Dia masuk lewat pintu dapur dengan tergesa jadi tidak menyadari keberadaanku. Aku yang tadi hampir menyapanya mengurungkan niat.Tidak apa. Aku juga tidak mau menganggunya dulu.Sepertinya, dia langsung masuk ke ruang kerja. Aku jadi kasihan, bahkan sudah pulang pun dia masih juga ke ruang kerjanya. Bukannya ke kamar kami dan langsung beristirahat.Andai aku bisa membantunya sedikit hal saja yang bisa meringankan pekerjaannya, sayangnya pria itu selalu pelit kalau kumintai tahu tentang masalahnya.Aku kemb